Sa’id Abdul ‘Adhim

Perbuatan zina yang berhak mendapat hukuman adalah tatkala diketahui benar bahwa pelakunya telah membenamkan ujung dzakar (kepala dzakar)-nya dalam kemaluan perempuan yang haram baginya yang disukai oleh tabiat manusia tanpa ada kesamaran (kerancuan) nikah dan meskipun air spermanya tidak keluar. Maka tidak tergolong di dalamnya orang yang memasukkan kepala dzakarnya ke dalam kemaluan hewan dan jima’ dalam pernikahan yang rancu (misal seorang laki-laki menyetubuhi wanita yang dikira isterinya padahal bukan). Jika seseorang menikmati wanita pada selain kemaluannya, maka dia tidak berhak mendapatkan hukuman yang telah ditetapkan untuk pelaku zina meskipun juga berhak mendapat hukuman yang lain.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dia berkata:
“Seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia berkata: Sesungguhnya saya telah menikmati perempuan dari daerah Madinah yang paling jauh dan saya telah bersenang-senang dengannya tanpa menyetubuhinya. Saya telah hadir di hadapan engkau untuk mengikuti keputusanmu. Maka segerakanlah hukuman atas saya menurut keinginan engkau. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Allah menutupi kesalahanmu jika engkau menutupi kesalahanmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menanggapinya sedikitpun, sehingga orang itu pergi, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh seseorang mengikutinya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan membacakan (ayat) kepadanya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membaca:
“Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam, sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114)
Seseorang dari kaum berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah ini khusus baginya atau untuk semua orang? Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Untuk semua orang…” (Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Hukuman Bagi Pelaku Zina yang Belum Pernah Menikah
Para ahli fiqih telah sepakat bahwa orang merdeka yang belum menikah jika melakukan zina maka dicambuk 100 kali baik laki-laki maupun perempuan, karena Azza wa Jalla berfirman:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 2)
Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa pelaku zina ini diberi hukuman cambuk dan diasingkan selama 1 tahun sebagaimana pendapat yang benar dari para ulama. Demikian itu karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan hukuman untuk orang yang berzina dan belum menikah dengan diasingkan selama satu tahun dan ditegakkan hukuman (cambuk) atasnya.
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ambillah oleh kalian hukuman (bagi pezina) dari saya, ambillah oleh kalian (hukuman bagi pezina) dari saya … sesungguhnya Allah telah menjadikan hukuman yang jelas untuk mereka (para pezina) : laki-laki yang belum menikah (berzina) dengan gadis dicambuk 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun sedangkan laki-laki dan perempuan yang sudah menikah dicambuk 100 kali dan dirajam.”
Beliau mengasingkan orang berzina yang belum menikah, demikian pula khalifah ar-rasyidin. Adapun jika yang diasingkan adalah wanita, maka tidaklah dia diasingkan kecuali bersama mahram atau suaminya karena wanita adalah aurat.

Hukuman Bagi Pelaku Zina yang Telah Menikah
Para ahli fiqih telah sepakat atas hukuman rajam sampai mati bagi (pelaku zina yang) muhshin (berakal, baligh dan merdeka yang telah menikah dengan pernikahan yang benar dan telah menyetubuhi istrinya meskipun air maninya tidak keluar) demikian pula seorang janda atau duda berdasarkan hadits yang telah lalu dan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Seseorang didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berada di masjid maka dia memanggil beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya saya telah berzina.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling darinya sehingga orang itu mendatangi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hingga 4 kali. Maka tatkala dia telah mempersaksikan dirinya sebanyak 4 kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan bertanya, “Apakah kamu punya penyakit gila?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Apakah kamu telah menikah?” diam menjawab, “Iya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Bawalah dia pergi dan rajamlah.” (Disepakati oleh Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaukani menyebutkan bahwa hukuman rajam telah disepakati. Hukuman itu ditetapkan berdasarkan sunnah mutawatir dan dalil Al-Qur’an, karena hadits Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata,
“Di antara ayat yang diturunkan atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ayat rajam, kami telah membaca dan memperhatikannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melakukan hukuman rajam dan kamipun melakukannya sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Diriwayatkan oleh Jamaah)
Ayat yang disebutkan Umar radhiyallahu ‘anhu adalah:
“Laki-laki dan wanita yang tua (yang telah menikah) jika keduanya berzina, maka rajamlah keduanya disebabkan kelezatan yang telah mereka berdua rasakan.”
Ini merupakan bagian dari sejumlah ayat Al-Qur’an yang telah dimansukh (dihapus) bacaannya tetapi tidak hukumnya.
Para ulama berselisih tentang menggabungkan hukuman cambuk dan rajam. Mayoritas ulama berpendapat bahwa pelaku zina yang telah menikah cukup dirajam karena demikianlah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Maiz, Al-Ghamidiyah dan orang Yahudi yang telah berzina, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Unais radhiyallahu ‘anhu,
“Jika dia (wanita yang telah menikah) itu mengaku bahwa dirinya telah berzina, maka rajamlah dia.”
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu telah merajam pelaku zina saat keduanya menjabat kekhilafahan dan tidak menggabungkan antara hukuman cambuk dan rajam.

Menetapkan Hukuman dan Syarat-syaratnya
Hukuman tidak dilaksanakan disebabkan perkara yang masih samar, maka tidaklah hukuman itu ditegakkan kecuali setelah diyakini bahwa kejahatan itu telah dilakukan. Penetapan zina harus dari 4 orang saksi yang adil dari kalangan laki-laki. Maka persaksian wanita dan orang yang fasik tidak diterima. Semua saksi telah melihat laki-laki tersebut menyetubuhi wanita yang diharamkan atasnya, sebagaimana laki-laki itu menyetubuhi istrinya yang halal baginya, seperti masuknya alat pencelak mata ke dalam botol tempat celak dan seperti tali timba masuk ke sumur. Juga disyaratkan dalam menegakkan hukuman zina yaitu pelakunya berakal, baligh, tahu tentang haramnya perbuatan zina dan dia melakukannya dengan sukarela, maksudnya dia melakukan zina dengan sempurna perbuatannya tanpa ada paksaan sebagaimana telah ditunjukkan oleh banyak dalil.
Seorang muslim disyariatkan menutupi aib yang dilakukannya dan bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla karena hadits,
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang keji ini, maka hendaklah dia menutupi aibnya dengan tutup Allah Azza wa Jalla. Barangsiapa yang menanyakan lembaran perkaranya itu kepada kita, maka kita tegakkan hukuman dalam Kitab Allah atasnya.” (Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatha)
Demikian juga, orang lain disyariatkan menutupi perbuatan pelaku zina selama orang yang zina itu tidak membiasakan perbuatannya, tidak mengungkapkannya serta tidak melakukannya dengan terus terang. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wahai Hazal, kalau kamu menutupinya dengan selendangmu, maka itu lebih baik bagimu.”
Hazal adalah orang yang berzina dengan Maiz Al-Aslami dan dia menyebutkan perbuatannya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam supaya dirinya diberi hukuman.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[Sumber: Kafarah Penghapus Dosa karya Sa'id Abdul 'Adhim (penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi), penerbit: Cahaya Tauhid Press, hal. 21-28]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers