BERDAKWAH DENGAN AHLAK MULIA
Oleh: al-Ustadz Abdullah Zaen, MA.
Segala puji bagi Allah ta’ala, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi-Nya shallallahu’alaihiwasallam.
Sebuah renungan dari sepenggal kisah nyata
Beberapa saat lalu, penulis diceritai adik ipar kisah seorang mantan preman yang mendapatkan hidayah mengenal manhaj salaf. Katanya, dulu ketika masih preman, ia amat dibenci masyarakat kampungnya; karena kereseannya; gemar mabuk, berjudi, mengganggu orang lain dan seabrek perilaku negatif lain yang merugikan masyarakat. Namun tidak ada seorangpun yang berani menegurnya; karena takut mendapatkan hadiah bogem mentah.
Dengan berjalannya waktu, Allah ta’ala berkenan mengaruniakan hidayah kepada orang tersebut. Dia mengenal ajaran Ahlus Sunnah dan intens dengan manhaj salaf. Namun demikian, setelah ia berubah menjadi orang yang salih dan alim, ia tidak kemudian disenangi masyarakatnya, malahan mereka tetap membencinya. Padahal ia tidak lagi mempraktekkan tindak-tindak kepremanannya yang dulu. Bahkan, kalau dulu masyarakatnya tidak berani menegurnya, sekarang malah berani memarahinya, bahkan menyidangnya pula.
Apa pasalnya? Ternyata kebencian tersebut dipicu dari sikap kaku dan keras orang tersebut, juga kekurangpiawaiannya dalam membawa diri di masyarakat.
Dulu dibenci karena kepremanannya, sekarang dibenci karena ‘kesalihan’nya…
Haruskah orang yang menganut manhaj salaf dibenci masyarakatnya? Apakah itu merupakan sebuah resiko yang tidak terelakkan? Adakah kiat khusus untuk menghindari hal tersebut atau paling tidak meminimalisirnya?
Memang betul seorang yang teguh memegang kebenaran, ia akan menghadapi tantangan. Sedangkan di zaman Rasul shallallahu’alahiwasallam dan kurun ulama salaf saja, ada tantangan bagi pengusung kebenaran, apalagi di akhir zaman ini, dimana kejahatan lebih mendominasi dunia dibanding kebaikan.
Namun yang perlu menjadi catatan di sini, apakah kebencian yang muncul di banyak masyarakat kepada para pengikut manhaj salaf, murni diakibatkan kekokohan mereka dalam berpegang teguh terhadap prinsip, atau dikarenakan kekurangbisaan mereka dalam membawa diri, kekurangpiawaian dalam menjelaskan prinsip dan kekurangpandaian dalam menetralisir pandangan miring masyarakat terhadap prinsip-prinsip Ahlus Sunnah dengan penerapan akhlak mulia? Atau mungkin juga karena enggan melakukan sesuatu yang dikira terlarang, padahal sebenarnya boleh atau justru disyariatkan?
Berdasarkan pengamatan terbatas penulis, juga kisah-kisah nyata yang masuk, nampaknya faktor terakhir lebih dominan.
Dalam makalah sederhana ini, dengan memohon taufik dari Allah semata, penulis berusaha memaparkan peran besar akhlak mulia dalam meredam kebencian masyarakat terhadap pengusung kebenaran, bahkan dalam menarik mereka untuk mengikuti kebenaran tersebut.
Perintah untuk berakhlak mulia
Sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tentunya Islam tidak melewatkan pembahasan akhlak dalam ajarannya. Begitu banyak dalil dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang memerintahkan kita untuk berakhlak mulia. Di antaranya:
Firman Allah ta’ala tatkala memuji Nabi-Nya shallallahu’alaihiwasallam,
“وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ”.
Artinya: “Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur”. QS. Al-Qalam: 4.
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ”.
“Berakhlak mulia lah dengan para manusia”. HR. Tirmidzy (hal. 449 no. 1987) dari Abu Dzar, dan beliau menilai hadits ini hasan sahih.
Apa itu akhlak mulia?
Banyak definisi yang ditawarkan para ulama, di antara yang penulis anggap cukup mewakili:
“بَذْلُ النَّدَى، وَكَفُّ الْأَذَى، وَاحْتِمَالُ الْأَذَى”.
“Akhlak mulia adalah: berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya dan menahan diri tatkala disakiti”.[1]
Dari definisi di atas kita bisa membagi akhlak mulia menjadi tiga macam:
  1. Melakukan kebaikan kepada orang lain. Contohnya: berkata jujur, membantu orang lain, bermuka manis dan lain sebagainya.
  2. Menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain. Contohnya: tidak mencela, tidak berkhianat, tidak berdusta dan yang semisal.
  3. Menahan diri tatkala disakiti. Contohnya: tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa.
Apa maksud dakwah dengan akhlak? Bukankah dakwah itu cukup dengan lisan?
Pernah suatu hari ketika penulis mengisi sebuah pengajian, penulis melontarkan sebuah pertanyaan kepada para hadirin, “Apakah yang dimaksud dengan dakwah?”.
“Dakwah adalah seperti yang ustadz lakukan sekarang; ceramah dan khutbah!” sahut salah seorang jama’ah.
Dari jawaban yang terlontar tersebut, kita bisa meraba bahwa sebagian kalangan masih belum memahami makna dakwah. Mereka masih menganggap bahwa dakwah adalah penyampaian materi secara lisan. Padahal sebenarnya dakwah meliputi hal itu juga yang lainnya; semisal praktek, memberi contoh amalan, dan akhlak mulia, atau yang biasa diistilahkan dengan dakwah bil hâl. Bahkan justru yang terakhir inilah yang lebih berat dibanding dakwah dengan lisan dan lebih mengena sasaran.[2]
Banyak orang yang pintar berbicara dan menyampaikan teori dengan lancar, namun amat sedikit orang-orang yang mewujudkan omongannya dalam praktek nyata. Di sinilah terlihat urgensi adanya qudwah di masyarakat, yang tugasnya adalah menerjemahkan teori-teori kebaikan dalam amaliah nyata, sehingga teori tersebut tidak selalu hanya terlukis dalam lembaran-lembaran kertas. [3]
Jadi, dakwah dengan akhlak mulia maksudnya adalah: mempraktekkan akhlak mulia sebagai sarana untuk mendakwahi umat manusia kepada kebenaran.
Akhlak mulia dan dampak positifnya dalam dakwah
Di atas telah dijelaskan bahwa definisi akhlak mulia adalah: berbuat baik kepada orang lain, mengindari sesuatu yang menyakitinya serta menahan diri ketika disakiti. Berdasarkan definisi ini berarti cakupan akhlak mulia sangatlah luas, dan tidak mungkin semua cakupannya dipaparkan satu persatu dalam makalah singkat ini. Karena itulah penulis hanya akan membawa beberapa contoh saja, semoga yang sedikit ini bisa mendatangkan berkah dan para pembaca bisa menganalogikannya kepada contoh-contoh yang lain.
1. Gemar membantu orang lain.
Banyak nas dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang memotivasi kita untuk mempraktekkan karakter mulia ini. Di antaranya: sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ؛ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ”
“Allah akan membantu seorang hamba; jika ia membantu saudaranya”. HR. Muslim (XVII/24 no. 6793) dari Abu Hurairah.
Karakter gemar membantu orang lain akan membuahkan dampak positif yang luar biasa bagi keberhasilan dakwah pemilik karakter tersebut. Menarik untuk kita cermati ungkapan Ummul Mukminin Khadijah tatkala beliau menghibur suaminya; Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang ketakutan dan merasa khawatir tatkala wahyu turun pertama kali pada beliau. Khadijah berkata,
“كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا؛ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ“.
“Demi Allah tidak mungkin! Allah tidak akan pernah menghinakanmu. Sebab engkau selalu bersilaturrahmi, meringankan beban orang lain, memberi orang lain sesuatu yang tidak mereka dapatkan kecuali pada dirimu, gemar menjamu tamu dan engkau membantu orang lain dalam musibah-musibah”. HR. Bukhari (hal. 2 no. 3) dan Muslim (II/376 no. 401).
Maksud perkataan Khadijah di atas adalah: “Sesungguhnya engkau Muhammad, tidak akan ditimpa sesuatu yang tidak kau sukai; karena Allah telah menjadikan dalam dirimu berbagai akhlak mulia dan karakter utama. Lalu Khadijah menyebutkan berbagai contohnya”,[4] yang di antaranya adalah: gemar membantu orang lain.
Karakter ini sangat membantu keberhasilan dakwah kita. Sebab tatkala seseorang dalam keadaan sangat membutuhkan bantuan, lantas ada orang yang membantunya, jelas susah bagi dia untuk melupakan kebaikan tersebut. Dia akan terus mengingat jasa baik itu, sehingga manakala kita menyampaikan sesuatu padanya, minimal dia akan lebih terbuka untuk mendengar ucapan kita, bahkan sangat mungkin dia akan menerima masukan dan nasehat kita. Sebagai salah satu bentuk ‘kompensasi’ dia atas kebaikan kita padanya.
Karena itu, seyogyanya kita berusaha menerapkan akhlak mulia ini dalam kehidupan sehari-hari. Tatkala ada tetangga yang meninggal dunia; kitalah yang pertama kali memberikan sumbangan belasungkawa kepada keluarganya. Manakala ada yang dioperasi karena sakit; kita turut membantu secara materi semampunya. Saat ada yang membutuhkan bantuan piutang; kita berusaha memberikan hutangan pada orang tersebut. Begitu seterusnya.
Jika hal ini rajin kita terapkan; lambat laun akan terbangun jembatan yang mengantarkan kita untuk masuk ke dalam hati orang-orang yang pernah kita bantu. Sehingga dakwah yang kita sampaikan lebih mudah untuk mereka terima.
2. Jujur dalam bertutur kata.
Sifat jujur merupakan salah satu karakter mulia yang amat dianjurkan dalam Islam. Allah ta’ala berfiman,
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً”.
Artinya:  “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar”. QS. Al-Ahzab: 70.
Masih banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam yang berisikan perintah serupa.
Kejujuran bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari membuahkan kepercayaan masyarakat terhadap apa yang kita sampaikan, bukan hanya dalam perkara duniawi, namun juga dalam perkara agama.
Ibnu Abbas bercerita, bahwa tatkala turun firman Allah,
“وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.
Artinya: “Berilah peringatan (wahai Muhammad) kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”. QS. Asy-Syu’ara: 214.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam keluar dari rumahnya lalu menaiki bukit Shafa dan berteriak memanggil, “Wahai kaumku kemarilah!”. Orang-orang Quraisy berkata, “Siapakah yang memanggil itu?”. “Muhammad”, jawab mereka. Mereka pun berduyun-duyun menuju bukit Shafa.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam berkata, “Wahai bani Fulan, bani Fulan, bani Fulan, bani Abdi Manaf dan bani Abdil Mutthalib. Andaikan aku kabarkan bahwa dari kaki bukit ini akan keluar seekor kuda, apakah kalian mempercayaiku?”.
Mereka menjawab, “Kami tidak pernah mendapatkanmu berdusta!”.
“Sesungguhnya aku mengingatkan kalian akan datangnya azab yang sangat pedih!” lanjut Rasul shallallahu’alaihiwasallam. HR. Bukhari (hal. 1082 no. 4971) dan Muslim (III/77 no. 507) dengan redaksi Muslim.
Lihatlah bagaimana Rasululullah shallallahu’alaihiwasallam menjadikan kejujurannya dalam bertutur kata sebagai dalil dan bukti akan kebenaran risalah yang disampaikannya.[5]
Seorang muslim yang telah dikenal di masyarakatnya jujur dalam bertutur kata, berhati-hati dalam berbicara dan menyampaikan berita; dia akan disegani oleh mereka. Ucapannya berbobot dan omongannya didengar. Dan ini adalah modal yang amat berharga untuk berdakwah. Didengarkannya apa yang kita sampaikan itu sudah merupakan suatu langkah awal yang menyiratkan keberhasilan dakwah. Andaikan dari awal saja, masyarakat sudah enggan mendengar apa yang kita sampaikan, karena kita telah dikenal, misalnya, mudah menukil berita tanpa diklarifikasi terlebih dahulu, tentu jalan dakwah berikutnya akan semakin terjal.
Benarlah pepatah orang Jawa: “Ajining diri soko ing lathi” (Kehormatan diri dinilai dari lisan).
3. Bertindak ramah terhadap orang miskin dan kaum lemah.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ؛ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ“.
“Tolonglah aku untuk mencari dan membantu orang-orang lemah; sesungguhnya kalian dikaruniai rizki dan meraih kemenangan lantaran adanya orang-orang miskin di antara kalian”. HR. Abu Dawud (III/52 no. 2594), dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh an-Nawawy[6].
Masih banyak hadits lain, juga ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk berbuat baik, berlaku ramah dan membantu orang-orang lemah juga miskin. Bahkan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pernah ditegur langsung Allah ta’ala tatkala suatu hari beliau bermuka masam dan berpaling dari seorang lemah yang datang kepada beliau; karena saat itu beliau sedang sibuk mendakwahi para pembesar Quraisy. Kejadian itu Allah abadikan dalam surat ‘Abasa. Namun setelah itu Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam amat memuliakan orang lemah tadi dan bahkan menunjuknya sebagai salah satu muadzin di kota Madinah. Orang tersebut adalah Abdullah Ibn Ummi Maktum radhiyallahu’anhu.
Bersikap ramah dan care terhadap orang-orang lemah menguntungkan dakwah dari dua arah; sisi orang-orang lemah tersebut, juga sisi masyarakat yang menyaksikan sikap mulia yang kita praktekkan tersebut.
Adapun sisi pertama, keuntungannya: orang-orang lemah tersebut akan mudah untuk didakwahi dan diajak kepada kebenaran; apalagi pada umumnya mereka memang lebih mudah untuk didakwahi. Perlu dicatat di sini, apa yang disebutkan para ahli sejarah tentang salah satu isi dialog antara Abu Sufyan dan kaisar Romawi; Heraklius. Tatkala Abu Sufyan ditanya tentang siapakah pengikut Rasul shallallahu’alaihiwasallam? Dia menjawab, “Orang-orang lemah dan kaum miskin”. Heraklius pun menimpali, “Begitulah kondisi pengikut para nabi di setiap masa”.[7]
Ketika menafsirkan QS. Asy-Syu’ara: 111, Imam Abu Hayyân menjelaskan bahwa orang-orang lemah lebih banyak untuk menerima dakwah dibanding orang-orang yang terpandang. Sebab otak mereka tidak dipenuhi dengan keindahan-keindahan duniawi; sehingga mereka lebih mudah mengetahui al-haq dan menerimanya dibanding orang-orang terpandang.[8]
Sedangkan keuntungan kedua, adalah dipandang dari sisi ketertarikan orang-orang yang menyaksikan praktek akhlak mulia tersebut, sampaipun yang menyaksikan tersebut adalah orang yang memiliki kedudukan dalam perihal harta maupun sosial. Masyarakat cenderung lebih respek kepada ulama atau da’i yang rendah hati serta akrab dengan orang-orang lemah dan papa dibanding mereka yang berada dalam lingkaran kehidupan orang-orang kaya dan pemilik kekuasaan. Sebab masyarakat menganggap da’i tersebut cenderung lebih tulus. Adapun ulama yang hanya beramah-tamah dengan para pejabat dan konglomerat; masyarakat akan bertanya-tanya tentang motif kedekatan tersebut? Apakah karena mengharapkan harta duniawi atau apa?
Keterangan ini sama sekali bukan untuk mengecilkan urgensi mendakwahi orang-orang yang memiliki kedudukan[9], namun penulis hanya ingin mengajak para pembaca untuk membayangkan alangkah indahnya andaikan para da’i serta ulama menyeimbangkan antara kedekatannya dengan orang-orang terpandang dan kedekatannya dengan orang-orang lemah yang kekurangan. Tanpa ada tujuan lain melainkan untuk mengajak mereka semua ke jalan Allah ta’ala.
Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah masuk Islamnya ‘Adiy bin Hâtim ath-Thâ’iy. Beliau adalah satu raja terpandang di negeri Arab. Ketika mendengar munculnya Rasul shallallahu’alaihiwasallam dan pengikutnya dari hari kehari semakin bertambah; membuncahlah dalam hatinya kebencian dan rasa cemburu akan adanya raja pesaing baru. Hingga datanglah suatu hari di mana Allah membuka hatinya untuk mendatangi Rasul shallallahu’alaihiwasallam.
Begitu mendengar kedatangan ‘Adiy, Rasulullah shallallahu’alihiwasallam yang saat itu sedang berada di masjid beserta para sahabatnya pun bergegas menyambut kedatangannya dan menggandeng tangannya mengajak berkunjung ke rumah beliau. Di tengah perjalanan menuju ke rumah, ada seorang wanita lemah yang telah lanjut usia memanggil-manggil beliau. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun berhenti dan meninggalkan ‘Adiy guna mendatangi wanita tersebut, beliau berdiri lama beserta dia melayani kebutuhannya. Manakala melihat ketawadhuan Nabi shallallahu’alaihiwasallam ‘Adiy bergumam dalam hatinya, “Demi Allah, ini bukanlah tipe seorang raja!”.
Setelah selesai urusannya dengan wanita tua tersebut, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggamit tangan ‘Adiy melanjutkan perjalanan. Sesampai di rumah, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bergegas mengambil satu-satunya bantal duduk yang terbalut kulit dan berisikan sabut pohon kurma, lalu mempersilahkan ‘Adiy untuk duduk di atasnya. ‘Adiy pun menjawab, “Tidak, duduklah engkau di atasnya”. “Tidak! Engkaulah yang duduk di atasnya” sahut Rasul shallallahu’alaihiwasallam”. Akhirnya ‘Adiy duduk di atas bantal tersebut dan Rasul shallallahu’alaihiwasallam duduk di atas tanah. Saat itu ‘Adiy kembali bergumam dalam hatinya, “Demi Allah, ini bukanlah karakter seorang raja!”.
Lantas terjadi diskusi antara keduanya, hingga akhirnya ‘Adiy pun mengucapkan dua kalimat syahadat; menyatakan keislamannya.[10]
Lihatlah bagaimana ‘Adiy begitu terkesan dengan kerendahan hati Rasul shallallahu’alaihiwasallam yang dengan sabar melayani kebutuhan seorang wanita tua dan lemah di tengah-tengah perjalannya mendampingi seorang raja besar! Goresan keterkesanan yang terukir dalam hatinya, merupakan titik awal ketertarikan dia untuk masuk ke dalam agama Islam.
Penulis tutup pembahasan ini dengan sebuah kisah nyata tentang salah seorang da’i muda Ahlus Sunnah di sebuah kota di tanah air. Dengan usianya yang masih sangat hijau, dalam waktu singkat, sebagai pemain baru di kotanya, berkat taufik dari Allah ta’ala, dia telah bisa mengambil hati banyak masyarakat di kota tersebut. Bahkan pernah pada suatu momen, ia diundang untuk mengisi suatu acara kemasyarakatan di sebuah komunitas yang sebenarnya di situ banyak tokoh-tokoh agama senior. Tatkala berusaha menghindar dengan alasan banyak kyai di situ, orang yang mengundang menjawab, “Kalau yang mengisi pengajian kyai A, sebagian masyarakat tidak mau datang, dan kalau yang diundang kyai B, yang mau datang juga hanya sebagian. Tapi kalau yang mengisi panjenengan, mereka semua mau datang!”. Ketika penulis cermati, ternyata salah satu rahasia kecintaan masyarakat terhadap da’i tersebut: keramahannya kepada siapapun, apalagi terhadap orang-orang ‘kecil’. Dia menyapa tukang parkir, tukang sapu, orang tidak punya, bersalaman dengan mereka dan tidak segan-segan untuk bertanya tentang keadaan keluarga mereka dan anak-anaknya!
Badruddin Ibn Jama’ah (w. 723 H) menyebutkan bahwa di antara akhlak ulama, “Bermu’amalah dengan para manusia dengan akhlak mulia, seperti bermuka manis, menebar salam … berlemah lembut dengan kaum fakir, memperlihatkan kasih sayang terhadap tetangga dan kerabat …”.[11]
4. Santun dalam menyampaikan nasehat, sambil memperhatikan kondisi psikologis orang yang dinasehati.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ”
“Ucapan yang baik adalah shadaqah”. HR. Bukhari (hal. 606 no. 2989) dan Muslim (VII/96 no. 2332).
Memilih kata-kata yang baik juga memperhatikan psikologis seseorang sangat menentukan keberhasilan dakwah seseorang. Penulis pernah diceritai saksi mata obrolan antara seorang ikhwan yang sudah ngaji dengan seorang awam yang sebelumnya tidak pernah saling bertemu. Orang awam tadi membuka obrolannya dengan kekagumannya akan perkembangan pembangunan fisik kota tempat mereka berdua tinggal yang begitu cepat dan maju. Namun ikhwan tadi langsung menukas, “Ya, itukan cuma lahiriahnya saja. Tapi kalau kita lihat jiwa-jiwa penduduknya, ternyata kosong dan rapuh!”. Begitu mendengar balasan lawan bicaranya, muka orang awam tadi langsung berubah dan terdiam.
Kita bukan sedang meragukan niat baik ikhwan tadi, namun tidakkah ada kata-kata yang lebih santun? Haruskah kita ‘menabrak’ langsung lawan bicara kita. Apakah itu justru tidak mengakibatkan dakwah kita sulit untuk diterima? Bukankah akan lebih enak didengar dan diterima jika ikuti alur pembicaraannya lalu secara perlahan kita arahkan kepada poin yang kita sampaikan?
Misalnya kita katakan pada orang awam tersebut, “Ya, memang pembangunan fisik kota kita ini memang amat membanggakan, dan ini amat bermanfaat untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat. Namun alangkah indahnya jika pembangunan fisik tersebut diiringi pula dengan pembangunan mental masyarakat; sehingga timbul keseimbangan antara dua sisi tersebut”.
Kita bisa mengambil suri tauladan dari metode Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam menasehati para sahabatnya.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ إِنَّ فَتًى شَابًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: “يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي بِالزِّنَا”، فَأَقْبَلَ الْقَوْمُ عَلَيْهِ فَزَجَرُوهُ قَالُوا: “مَهْ مَهْ”. فَقَالَ: “ادْنُهْ”، فَدَنَا مِنْهُ قَرِيبًا، قَالَ فَجَلَسَ، قَالَ: “أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ؟”. قَالَ: “لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ”. قَالَ: “وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأُمَّهَاتِهِمْ”. قَالَ: “أَفَتُحِبُّهُ لِابْنَتِكَ؟” قَالَ: “لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ” قَالَ: “وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِبَنَاتِهِمْ” قَالَ: “أَفَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ؟” قَالَ: “لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ” قَالَ: “وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأَخَوَاتِهِمْ” قَالَ: “أَفَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ؟” قَالَ: “لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ” قَالَ: “وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِعَمَّاتِهِمْ” قَالَ: “أَفَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ؟” قَالَ: “لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ” قَالَ: “وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِخَالَاتِهِمْ” قَالَ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهِ وَقَالَ: “اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ، وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ” فَلَمْ يَكُنْ بَعْدُ ذَلِكَ الْفَتَى يَلْتَفِتُ إِلَى شَيْءٍ.
Abu Umamah bercerita, “Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi shallallahu’alaihiwasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”. Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, mereka berkata, “Diam kamu, diam!”. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam berkata, “Mendekatlah”. Pemuda tadi mendekati beliau dan duduk.
Nabi shallallahu’alaihiwasallam bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?”.
“Tidak demi Allah wahai Rasul” sahut pemuda tersebut.
“Begitu pula orang lain tidak rela kalau ibu mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?”.
“Tidak demi Allah wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?”.
“Tidak demi Allah wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika bibi dari jalur bapakmu dizinai?”.
“Tidak demi Allah wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika bibi dari jalur ibumu dizinai?”.
“Tidak demi Allah wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.
Lalu Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya”.
Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina”. HR. Ahmad (XXXVI/545 no. 22211) dan sanadnya dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani.[12]
Cermatilah bagaimana Nabi shallallahu’alaihiwasallam tidak langsung menyalahkan pemuda tadi. Namun dengan sabar beliau mengajak pemuda tadi untuk berpikir sambil beliau juga memperhatikan kondisi psikologisnya. Mungkin sebagian kalangan yang kurang paham menilai bahwa metode tersebut terlalu panjang dan bertele-tele. Namun lihatlah apa hasilnya? Memang jalan dakwah itu panjang dan membutuhkan kesabaran.
Tidak ada salahnya kita kembali memutar rekaman perjalanan hidup kita dahulu sebelum mengenal dakwah salaf dan proses perkenalan kita dengan manhaj yang penuh dengan berkah ini. Apakah dulu serta merta sekali diomongi, kita langsung meninggalkan keyakinan yang telah berpuluh tahun kita anut? Atau melalui proses panjang yang penuh dengan lika-liku?
Dengan merenungi masa lalu kelam sebelum mendapat hidayah, dan bahwasanya kita memperolehnya secara bertahap; kita akan terdorong untuk mendakwahi orang lain juga dengan hikmah, nasehat yang bijak, serta secara bertahap. Demikian keterangan yang disampaikan Syaikh as-Sa’dy ketika beliau menafsirkan firman Allah,
“كَذَلِكَ كُنتُم مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللّهُ عَلَيْكُمْ”.
Artinya: “Begitu pulalah keadaan kalian dahulu, lalu Allah melimpahkan nikmat-Nya pada kalian”. QS. An-Nisa: 94.[13]
Tidaklah mudah mengajak seseorang meninggalkan ideologi lamanya untuk menganut sebuah ideologi baru. Pertama kali buatlah ia ragu akan ideologi lamanya, lalu secara bertahap kita jelaskan keunggulan ideologi baru yang akan kita tawarkan padanya. Dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit ideologi lama akan ditinggalkannya, kemudian beralih ke ideologi yang baru.
5. Bersifat pemaaf terhadap orang yang menyakiti dan membalas keburukan dengan kebaikan.
Allah ta’ala berfirman,
“خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”.
Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-orang jahil”. QS. Al-A’raf: 199.
Adapun potret praktek akhlak mulia ini dalam kehidupan Rasul shallallahu’alaihiwasallam amatlah banyak, baik dengan sesama muslim, maupun dengan para musuh beliau dari kalangan orang-orang kafir dan kaum musyrikin.
Di antara contoh jenis pertama, apa yang dikisahkan Anas bin Malik,
“كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَذَبَهُ جَذْبَةً شَدِيدَةً حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَذْبَتِهِ ثُمَّ قَالَ: “مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ!” فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ”.
“Suatu hari aku berjalan bersama Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan saat itu beliau berpakaian kain buatan Najran yang tepinya kasar. Tiba-tiba datanglah seorang Arab badui dari belakang dan menarik keras kain beliau, hingga aku melihat di pundaknya tergaris merah bekas kasarnya tarikan dia. Sembari berkata, “Berilah aku sebagian dari harta yang Allah berikan padamu!”. Beliaupun menengok kepadanya sembari tersenyum lalu memerintahkan agar ia diberi sebagian harta”. HR. Bukhari (hal. 642 no. 3149) dan Muslim (VII/147 no. 2426).
Contoh jenis kedua antara lain: apa yang dikisahkan Aisyah radhiyallahu’anha,
“أَنَّهَا قَالَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ؟ فَقَالَ: “لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ؛ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ، فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ، فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ: “إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رُدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ”. قَالَ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ وَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ: “يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَأَنَا مَلَكُ الْجِبَالِ وَقَدْ بَعَثَنِي رَبُّكَ إِلَيْكَ لِتَأْمُرَنِي بِأَمْرِكَ فَمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ” فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا”.
“Suatu hari aku bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihiwasallam, “Wahai Rasululllah, apakah engkau pernah melewati suatu hari yang lebih berat dibanding hari peperangan Uhud?”.
Beliau menjawab, “Aku telah menghadapi berbagai cobaan dari kaummu, dan cobaan yang paling kurasa berat adalah kejadian di hari Aqabah. Saat itu aku menawarkan dakwah kepada Ibn Abd Yâlil bin Abd Kulal, namun ia enggan menerimaku. Akupun pergi dalam keadaan amat sedih dan tidak tersadar melainkan tatkala sampai di Qarn ats-Tsa’âlib. Aku pun mendongakkan kepala, ternyata di atasku ada sebuah awan yang menaungiku. Kulihat di sana ada malaikat Jibril, ia memanggilku, “Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka padamu. Allah telah mengirimkan untukmu malaikat gunung[14], supaya engkau memerintahkannya melakukan apa saja kepada mereka sesuai kehendakmu”. Malaikat gunung pun memanggilku dan mengucapkan salam lalu berkata, “Wahai Muhammad, jika engkau mau, akan kutimpakan dua gunung atas mereka!”. Nabi shallallahu’alaihiwasallam pun menjawab, “Justru aku berharap, semoga Allah berkenan menjadikan keturunan mereka generasi yang mau beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun”. HR. Muslim (XII/365 no. 4629).
Jalan dakwah merupakan jalan yang terjal yang dipenuhi onak dan duri. Apalagi mengajak manusia meninggalkan keyakinan-keyakinan keliru yang telah mendarah daging puluhan tahun dalam diri mereka. Pasti akan ada tantangan, berupa cemoohan, makian, atau bahkan mungkin bisa berupa serangan fisik, dari musuh-musuh dakwah. Ketika seorang da’i menghadapi semua halangan tadi dengan ketegaran dan kesabaran, tidak lupa diiringi dengan kelapangan dada, bahkan justru membalas keburukan dengan kebaikan; insyaAllah dengan berjalannya waktu, hati para ‘lawan’ dakwah akan luluh, atau minimal akan menyegani dakwah haq dan tidak mudah untuk melontarkan tuduhan-tuduhan miring. [15]
Biografi para ulama Islam penuh dengan contoh praktek sifat mulia ini. Penulis bawakan dua contoh dari kehidupan seorang ulama yang telah tersohor kekokohannya dalam mempertahankan prinsip dan ketegasannya dalam meluruskan penyimpangan sekte-sekte sesat. Beliau adalah Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah.
Contoh pertama: Suatu hari segerombolan ahlul bid’ah mencegat Ibn Taimiyah lalu mereka memukuli beliau ramai-ramai dan pergi. Tatkala kabar itu sampai ke telinga murid-murid dan para pendukung beliau, mereka pun bergegas datang kepadanya, untuk minta izin guna membalas dendam perbuatan jahat gerombolan ahlul bid’ah itu.
Namun Ibn Taimiyah melarang mereka, seraya berkata, “Kalian tidak boleh melakukan hal itu”.
“Perbuatan mereka pun juga tidak boleh didiamkan, kami sudah tidak tahan lagi!”, tukas mereka.
Ibn Taimiyah menimpali, “Hanya ada tiga kemungkinan; hak  untuk balas dendam itu milikku, atau milik kalian, atau milik Allah. Seandainya hak untuk balas dendam itu adalah milikku maka aku telah memaafkan mereka! Jika hak itu adalah milik kalian, seandainya kalian tidak mau mendengar nasehatku dan fatwaku maka berbuatlah semau kalian! Andaikan hak itu adalah milik Allah, maka Dia yang akan membalas jika Dia berkehendak!”. [16]
Contoh kedua: Kisah makar ahlul bid’ah untuk menggantung Ibnu Taimiyyah.
Di antara penguasa yang mencintai dan mendukung dakwah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah Sultan Muhammad Qalawun. Di suatu tahun Sultan Qalawun pergi berhaji ke baitullah. Selama dia melakukan ibadah haji pemerintahan diserahkan kepada salah seorang wakilnya: Sultan al-Muzhaffar Ruknuddin Piprus, yang kebetulan dia adalah murid salah satu tokoh sufi abad itu: Nashr al-Manbajy, dan al-Manbajy ini amat benci sekali terhadap Ibnu Taimiyah.
Tatkala Piprus mengambil tampuk pemerintahan, ahlul bid’ah pun segera menyusun makar agar pemerintah mengeluarkan surat perintah hukum mati Ibnu Taimiyah. Namun sebelum makar mereka berhasil, Sultan Qalawun keburu kembali dari haji.
Tatkala mendengar berita akan makar ahlul bid’ah tersebut, Sultan Qalawun pun marah besar dan memerintahkan bawahannya untuk menghukum mati para pelaku makar tersebut. Tatkala mendengar berita itu, Ibn Taimiyah bergegas datang ke Sultan Qalawun dan berkata, “Adapun saya maka telah memaafkan mereka semua”. Akhirnya Sultan pun memaafkan mereka.
Setelah peristiwa itu, salah seorang musuh besar Ibn Taimiyah: Zainuddin bin Makhluf pun berkata, “Tidak pernah kita mendapatkan orang setakwa Ibn Taimiyah! Setiap ada kesempatan untuk mencelakakannya kami berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Namun tatkala dia memiliki kesempatan untuk membalas, malah dia memaafkan kami!”.[17]
Begitulah orang-orang berjiwa besar menyikapi kejahatan orang lain, dan lihatlah buahnya! Disegani lawan maupun kawan. Betapa banyak musuh bebuyutan yang berubah menjadi teman seperjuangan; berkat taufiq dari Allah dan ketulusan hati para da’i.
6. Menahan diri dari meminta-minta apa yang dimiliki orang lain.
Sifat ini lebih dikenal para ulama dengan istilah ‘iffah atau ‘afâf. Ini merupakan salah satu karakter para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam sebagaimana Allah ceritakan dalam al-Qur’an,
“يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاء مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافاً “.
Artinya: “(Orang lain) yang tidak tahu menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya; karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada orang lain”. (QS. Al-Baqarah: 273).
Tidak heran andaikan mereka memiliki karakter mulia tersebut; sebab mereka melihat langsung Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam sendiri mempraktekkannya dan senantiasa memotivasi mereka untuk mempraktekkannya juga. Di antara nasehat yang beliau sampaikan: sabdanya,
“مَنْ يَسْتَعِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ”.
“Barang siapa menjaga kehormatan dirinya (dengan tidak meminta-minta kepada manusia dan berambisi untuk memperoleh apa yang ada di tangan mereka) niscaya Allah akan menganugerahkan kepadanya iffah (kehormatan diri). Dan barang siapa merasa diri berkecukupan; niscaya Allah akan mencukupinya”. HR. Bukhari (hal. 283 no. 1427) dan Muslim (VII/145 no. 2421) dari Hakîm bin Hizâm.
Karakter pertama merupakan jalan pengantar menuju karakter kedua. Sebab barang siapa menjaga kehormatannya untuk tidak berambisi terhadap apa yang dimiliki orang lain; ia akan memperkuat ketergantungannya pada Allah, berharap dan berambisi terhadap karunia dan kebaikan Allah.[18]
Lantas apa korelasi antara bersifat ‘iffah dengan keberhasilan dakwah? Sekurang-kurangnya bisa ditinjau dari dua sisi:
Pertama: Orang yang menjaga diri dari meminta apa yang dimiliki orang lain, juga tidak silau dengan apa yang dimiliki orang lain; akan dicintai mereka. Sebab secara tabiat manusia tidak menyukai orang lain yang meminta-minta apa yang dimilikinya. Hal itu telah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam isyaratkan dalam nasehatnya untuk seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahukan padaku suatu amalan yang jika kukerjakan; aku akan disayang Allah dan dicintai manusia!”. Beliaupun menjawab,
“ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ”.
“Bersifat zuhudlah di dunia; niscaya engkau akan disayang Allah. Dan bersikap zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia; niscaya mereka mencintaimu”. HR. Ibn Majah (IV/163 no. 4177) dari Sahl bin Sa’d as-Sâ’idy dan sanadnya dinilai hasan oleh Imam an-Nawawy[19].
Jika seorang da’i telah dicintai masyarakat, maka mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya.
Kedua: Orang yang memiliki sifat ‘afâf, ketika ia berdakwah, masyarakat akan menilai bahwa dakwahnya tersebut ikhlas karena Allah, bukan karena mengharapkan balasan duniawi dari mereka. Saat mereka merasakan ketulusan niat da’i tersebut; jelas -dengan izin Allah- mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya. Allah ta’ala berfirman,
“اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُم مُّهْتَدُونَ”.
Artinya: “Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. QS. Yasin: 21.
Kiat menumbuhkan sifat ‘afâf
Sifat mulia ini memang cukup berat untuk ditumbuhkan dalam jiwa. Namun di sana ada kiat yang membantu kita untuk menumbuhkan karakter mulia dalam diri kita. Yaitu dengan melatih diri bersifat qona’ah yang berarti: menerima dan rela dengan berapapun yang diberikan Allah ta’ala. Sebab sebenarnya sifat ‘afaf sendiri merupakan buah dari sifat qona’ah. [20]
Jika ada yang bertanya bagaimana cara membangun pribadi yang qona’ah? Jawabannya: dengan melatih diri menyadari seyakin-yakinnya bahwa rizki hanyalah di tangan Allah dan yang kita dapatkan telah dicatat Allah ta’ala, serta tidak mungkin melebihi apa yang telah ditentukan-Nya, walaupun kita pontang-panting dalam bekerja.
Catatan penting[21]
Ada tiga catatan penting di akhir makalah ini:
Pertama: Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita ‘melarutkan’ diri dalam ritual-ritual bid’ah yang ada di masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia!
Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti yasinan[22], tahlilan[23], maulidan atau acara-acara bid’ah lainnya. Caranya? Kita berusaha untuk berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur penyimpangan terhadap syariat, contohnya: kita bisa berpartisipasi dalam kerja bakti, pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu membawakan barang belanjaan seseorang yang baru pulang dari pasar, membantu mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan lain sebagainya.
Dengan berjalannya waktu, masyarakat akan paham bahwa ketidak ikutsertaan kita dalam ritual-ritual bid’ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang ‘tidak ada tawar-menawar’ di dalamnya.
Kedua: Sebagian pihak ‘mengolok-olok’ beberapa da’i Ahlus Sunnah yang tidak jemu-jemunya menekankan pentingnya akhlak mulia, dengan mengatakan bahwa mereka telah tasyabbuh (menyerupai) salah satu kelompok ahlul bid’ah yang terkenal berkonsentrasi dalam membenahi akhlak umat namun mengabaikan pembenahan akidah.
Jawabannya:
  1. Barangkali pihak yang gemar ‘mengolok-olok’ itu lupa bahwa dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukanlah dakwah yang hanya mengajak kepada akidah yang benar saja. Namun, dia juga merupakan dakwah yang mengajak kepada penerapan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari; karena dakwah Ahlus Sunnah tidak lain adalah agama Islam yang dibawa Rasulullah r, di mana Islam memadukan antara akidah, ibadah dan akhlak. Imam Bisyr al-Hâfî rahimahullâh berkata, “Sunnah adalah Islam dan Islam adalah Sunnah”[24].
Syaikh Dr. Ibrâhîm bin ‘Âmir ar-Ruhailî hafizhahullâh menjelaskan, “Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka yang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan akidah maupun akhlak. Termasuk pemahaman yang keliru: prasangka bahwa sunni atau salafi adalah orang yang merealisasikan akidah Ahlus Sunnah saja tanpa memperhatikan sisi akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum muslimin”[25].
  1. Seandainya ada sebagian ahlul bid’ah menonjol dalam pengamalan beberapa sisi syariat Islam, apakah kita akan mengabaikannya hanya karena mereka lebih terkenal dalam penerapannya?! Bukankah justru sebaliknya kita harus berusaha membenahi diri dengan menutupi kekurangan yang ada pada diri kita, sehingga kita benar-benar bisa menerapkan ajaran Ahlus Sunnah secara komprehensif dan bukan sepotong-sepotong?!
Ketiga: Mungkin pula ada sebagian pihak lain yang ketika ia merasa jenuh melihat kekurangan sebagian Ahlus Sunnah dalam penerapan akhlak islami, dia cenderung ‘menjauhi’ mereka dan memilih ‘bergabung’ dengan kelompok-kelompok ahlul bid’ah yang terkenal menonjol dalam sisi itu.
Sikap ini juga kurang tepat; karena justru yang benar seharusnya dia berusaha membenahi diri dengan ‘merenovasi’ akhlaknya yang kurang mulia, lalu berusaha terus menerus pantang mundur untuk menasehati saudara-saudaranya sesama Ahlus Sunnah guna memperbaiki akhlak mereka, bukan malah menjauh. Mari kita selesaikan suatu masalah dengan cara yang tidak menimbulkan masalah lain!
Penutup
Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lain penerapan akhlak mulia yang akan membuahkan dampak positif bagi keberhasilan dakwah. Seperti bersifat amanah dalam segala sesuatu, termasuk dalam berbisnis, yang amat disayangkan mulai luntur, bahkan sampai di kalangan mereka yang sudah ngaji. Sehingga muncullah istilah “Bisnis afwan akhi!” [26], yang intinya adalah berbisnis tanpa mengindahkan etika-etikanya. Dan contoh-contoh lainnya yang dipandang perlu untuk disinggung. Namun karena keterbatasan waktulah, yang memaksa penulis untuk mencukupkan makalah ini sampai di sini. Semoga Allah berkenan mengaruniakan kelonggaran waktu di lain kesempatan, sehingga contoh-contoh lainnya tersebut bisa dikupas, amien.
Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith tharîq… Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in…
@ Kedungwuluh Purbalingga, 13 Rajab 1431 / 25 Juni 2010

DAFTAR PUSTAKA:
  1. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Darus Sunnah, 2007.
  2. 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah, karya Abdullah Zaen, Lc, Jogjakarta: Pustaka Muslim, cet II, 1429.
  3. Al-‘Uqûd ad-Durriyyah Min Manâqib Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, karya Muhammad bin Ahmad bin Abdil Hadi, tahqiq Thal’at al-Hulwani, Kairo: al-Faruq al-Haditsah, cet I, 1422/2000.
  4. Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, karya Imam Ibn Katsir, tahqîq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turky, Jaizah: Dar Hajar, cet I, 1419/1998.
  5. Ashnâf al-Mad’uwwîn wa Kaifiyyah Da’watihim, karya Prof. Dr. Hamud bin Ahmad ar-Ruhaily, Madinah: Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam, cet II, 1424/2003.
  6. Bahjah an-Nâzhirîn Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilaly, Dammam: Dar Ibn al-Jauzy, cet IV, 1420/1999.
  7. Bahjah Qulûb al-Abrâr wa Qurrat ‘Uyûn al-Akhyâr fî Syarh Jawâmi’ al-Akhbâr, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy, Riyadh: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyyah, cet I, 1422.
  8. It-hâf al-Khiyarah al-Maharah fî Ma’rifah Wasâ’il at-Tarbiyah al-Mu’atsirah karya Ummu Abdirrahman binti Ahmad al-Jaudar, Riyadh: Maktabah at-Taubah, cet I, 1419/1998.
  9. Jâmi’ at-Tirmidzy, karya Imam Muhammad bin Isa at-Tirmidzy, tahqîq ‘Adil Mursyid, Tha’if: Maktabah Dar al-Bayan al-Haditsah, cet I, 1422/2001.
  10. Madârij as-Sâlikîn baina Manâzil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în, karya Imam Ibn al-Qayyim, tahqîq Muhammad Hamid al-Faqy, Beirut: Dar al-Kitab al-’Araby, cet II, 1393/1973.
  11. Majalah Nikah, vol. 8, no. 6, September-Oktober 2009 (hal. 82-83).
  12. Majmû’ Rasâil al-Hâfizh Ibn Rajab al-Hanbaly, oleh Imam Ibn Rajab al-Hanbaly, tahqîq tahqiq Thal’at al-Hulwani, Kairo: al-Faruq al-Haditsah, cet I, 1425/2004.
  13. Makârim al-Akhlâq fî Dhau’i al-Kitâb wa as-Sunnah, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilaly, Dammam: Dar Ibn al-Qayyim, cet I, 1421/2000.
  14. Munthalaqât ad-Da’wah wa Wasâ’il Nasyriha, karya Hamd Hasan Raqith, Beirut: Dar Ibn Hazm, cet I, 1420/1999.
  15. Musnad al-Imam Ahmad, karya Imam Ahmad bin Hanbal, tahqîq Syu’aib al-Arna’uth dkk, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, cet I, 1420/1999.
  16. Mu’taqad Firaq al-Muslimîn wa al-Yahûd wa an-Nashârâ wa al-Falâsifah wa al-Watsaniyyîn fî al-Malâ’ikah al-Muqarrabîn karya Dr. Muhammad bin Abdil Wahhab al-’Aqîl, Riyadh: Adhwa’ as-Salaf, cet I, 1422/2002.
  17. Nashîhah li asy-Syabâb, karya Syaikh Dr. Ibrâhîm bin ‘Âmir ar-Ruhailî, (fotokopian).
  18. Riyâdh ash-Shâlihîn, karya Imam an-Nawawy, tahqîq Syaikh al-Albany, Beirut: al-Maktab al-Islamy, cet II, 1404/1984.
  19. Shahîh al-Bukhari, karya Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhary, Riyadh: Darussalam,  cet I, 1417/1997.
  20. Shahîh Muslim, karya Imam Muslim, tahqîq Khalil Ma’mun Syiha, Beirut: Dar al-Ma’rifah, cet VI, 1420/1999.
  21. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1415/1995.
  22. Sunan Abi Dawud, kara Imam Abu Dawud Sulaiman as-Sijistany, tahqîq ‘Izzat ‘Ubaid ad-Da’as dan ‘Adil as-Sayyid, Beirut: Dar Ibn Hazm, cet I, 1418/1997.
  23. Sunan Ibn Majah, karya Imam Muhammad bin Yazid al-Qazwiny, tahqîq Syaikh Ali bin Hasan al-Halaby, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, cet I, 1419/1998.
  24. Syarh as-Sunnah, karya Imâm al-Barbâharî, tahqîq Syaikh Khâlid bin Qâsim ar-Raddâdî, Riyâdh: Dâr ash-Shumai’i, cet. III, 1421/2000.
  25. Syarh Shahîh Muslim, karya Imam an-Nawawy, tahqîq Khalil Ma’mun Syiha, Beirut: Dar al-Ma’rifah, cet VI, 1420/1999.
  26. Tadzkirah as-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab al-’Âlim wa al-Muta’allim, karya Badruddin Ibn Jamâ’ah al-Kinâny, tahqîq Abdussalam Umar Ali, Thantha: Dar adh-Dhiya’, cet I, 1423/2002.
  27. Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, karya Imam Abu Hayyân al-Andalûsi (w. 745 H), tahqîq ‘Âdil Ahmad Abdul Maujud dkk, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, cet I, 1413/1993.
  28. Tafsîr as-Sa’dy yang berjudul Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, cet I, 1420/1999.
  29. Tahdzîb Sîrah Ibn Hisyâm, karya Abdussalam Muhammad Harun, Kairo: Maktabah as-Sunnah, cet VI, 1409/1989.

[1] Lihat: Ikhtiyar al-Ûlâ fî Syarh Hadîts al-Mala’ al-A’lâ karya Imam Ibn Rajab, sebagaimana dalam Majmû’ Rasâ’il al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbaly (IV/44) dan Madârij as-Sâlikîn karya Imam Ibn al-Qayyim (II/318-319).
[2] Lihat: Munthalaqât ad-Da’wah wa Wasâ’il Nasyriha, karya Hamd Hasan Raqîth (hal. 97-99) dan Ashnâf al-Mad’uwwîn wa Kaifiyyah Da’watihim, karya Prof. Dr. Hamud bin Ahmad ar-Ruhaily (hal. 41).
[3] Lihat: It-hâf al-Khiyarah al-Maharah fî Ma’rifah Wasâ’il at-Tarbiyah al-Mu’atsirah karya Ummu Abdirrahman binti Ahmad al-Jaudar (hal. 14).
[4] Syarh Shahih Muslim karya Imam an-Nawawy (II/377).
[5] Lihat: Makârim al-Akhlâq fî Dhau’i al-Kitâb wa as-Sunnah karya Syaikh Salim al-Hilâly (hal. 39).
[6] Lihat: Riyâdh ash-Shâlihîn (hal. 146).
[7] Lihat: Al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Imam Ibn Katsir (VI/471-472).
[8] Lihat: Tafsîr al-Bahr al-Muhîth (VII/30).
[9] Penulis telah sedikit mengupas tentang permasalahan ini serta dampaknya yang amat signifikan untuk kemajuan dan perkembangan dakwah, dalam buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah (hal. 69-73).
[10] Lihat: Tahdzîb Sîrah Ibn Hisyâm oleh Abdussalam Harun (hal. 272-274).
[11] Tadzkirah as-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab al-’Âlim wa al-Muta’allim (hal. 96-97).
[12] Lihat: Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/713 no. 370).
[13] Lihat: Tafsîr as-Sa’dy (hal. 158).
[14] Apakah tugas yang Allah bebankan kepada malaikat ini? Wallahu a’lam penulis belum menemukan keterangan para ulama dalam masalah ini. Yang jelas ia ditugaskan Allah untuk melakukan apa yang berkenaan dengan gunung. Periksa: Mu’taqad Firaq al-Muslimîn wa al-Yahûd wa an-Nashârâ wa al-Falâsifah wa al-Watsaniyyîn fî al-Malâ’ikah al-Muqarrabîn karya Dr. Muhammad bin Abdil Wahhab al-’Aqîl (hal. 155).
[15] Cermati: Ashnâf al-Mad’uwwîn (hal. 54).
[16] Lihat: Al-’Uqûd ad-Durriyyah karya Ibn Abdil Hadi (hal. 224-225).
[17] Lihat: Ibid (hal. 221).
[18] Lihat: Bahjah Qulûb al-Abrâr karya Syaikh as-Sa’dy (hal. 78).
[19] Lihat: Riyâdh ash-Shâlihîn (hal. 216).
[20] Lihat: Bahjah an-Nâzhirîn karya Syaikh Salim al-Hilaly (I/583).
[21] Dinukil dari buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah (hal. 25-27).
[22] Untuk mengenal lebih lanjut hukum yasinan dipandang dari kacamata Islam, silahkan merujuk ke buku Yasinan karya Ust. Yazîd bin Abdul Qâdir Jawwâs, dan makalah Takhrîj Hadits-Hadits tentang Keutamaan Surat Yâsîn karya Ust. Dzulqarnain Sunûsi (dalam Majalah an-Nashîhah vol 06 hal 50-59).
[23] Untuk mengenal lebih lanjut hukum tahlilan dipandang dari kacamata Islam, silakan merujuk ke buku Santri NU Menggugat Tahlilan, karya Harry Yuniardi dan Hukum Tahlilan Menurut Empat Madzhab karya Ust Abdul Hakîm bin ‘Âmir ‘Abdât.
[24] Syarh as-Sunnah karya Imam al-Barbahârî (hal. 126).
[25] Nashîhah li asy-Syabâb (hal. 1).
[26] Lihat: Majalah Nikah, vol. 8, no. 6, September-Oktober 2009 (hal. 82-83).


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers