Setiap kali ada musibah dan ujian yang menghantui kehidupan manusia seorang Muslim, ia harus kembalikan semuanya  kepada  Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena ia meyakini bahwa Allah-lah, Rabb yang mampu menyingkap hijab-hijab kesulitan, kefakiran dan kepayahan para hambaNya. Dan ia juga meyakini bahwa Dialah yang mampu memberikan pertolongan, kemudahan dan petunjuk. Tidak ada kekuatan lain yang mampu melakukan hal ini selain Dia, Allah Ta’alaa. Terkadang dalam memohon dan berdo’a, manusia sering menggunakan perantara (atau yang disebut dengan tawassul dalam terminology aqidah) antara dirinya dan Allah Ta’alaa. Karena mereka merasa tidak mampu, lemah dan tidak memiliki apa-apa dihadapan Rabbnya. Hal ini mereka lakukan agar do’a dan permohonannya terkabulkan dengan segera.
Namun sebagai manusia muslim, ia harus selalu memperhatikan rambu-rambu Islam dalam masalah tawassul, karena tidak semua bentuk tawassul atau perantaraan yang berkembang dalam masyarakat ini diperbolehkan dalam ajaran Islam. Boleh jadi seorang muslim dalam berdo’a, ia bertawassul dengan kuburan-kuburan, batu-batuan dan pepohonan yang dikramatkan. Bahkan ada yang meyakini adanya kekuatan lain atau penguasa lain selain Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah yang ada di bumi ini.
Tawassul menurut etimologi bahasa Arab artinya: “Sesuatu yang bisa mendekatkan kepada yang lain.” (Mukhtar Ash-Shihah)
Ibnu Atsir di dalam An-Nihayah mengatakan: “(Tawassul adalah) sesuatu yang akan menyampaikan kepada yang lain dan mendekatkan diri dengannya.”
Adapun menurut terminologi syariat, tawassul adalah: “Mendekatkan diri kepada Allah dengan segala bentuk ketaatan dan peribadatan, dengan cara mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan segala bentuk amalan yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diridhai-Nya.” (At-Tawassul Ila Haqiqati Tawassul).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah Kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya.” (QS. Al-Maa’idah: 35).
Qatadah berkata, “Bertaqarrublah kepadaNya dengan ketaatan kepadaNya dan mengamalkan segala yang diridhaiNya.”
Tawassul yang disyari’atkan adalah tawassul sebagaimana yang diperintahkan oleh Al-Qur ’an, dituntunkan oleh Rasulullah dan dipraktekkan oleh para sahabat. Pada dasarnya setiap ketaatan dan sikap merendahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat dijadikan sebagai bentuk tawassul. Ada beberapa macam tawassul yang disyari’atkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam, yaitu:
1.   Tawassul dengan iman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, menceritakan tawassul para hambaNya dengan iman:
“Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu),’Berimanlah kamu kepada Rabbmu’, maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali Imraan: 193).
2.   Tawassul dengan tauhid, seperti dosa Nabi Yunus Alaihis Salam ketika ditelan oleh ikan besar:
“Maka ia menyeru dalam keadaan sangat gelap: ‘Bahwa tak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.’ Maka Kami memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikanlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiyaa’: 87-88).
3.   Tawassul dengan nama-nama Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada­Nya dengan menyebut asma-ul husna itu.” (QS. Al-A’raaf: 180).
Di antara doa Rasul Shalallahu’alaihi wa Salam dengan nama-namaNya ialah ucapan beliau:
“Aku memohon kepadaMu dengan semua nama yang Engkau miliki.” (HR. At-Tirmidzi, dan ia menilai hasan shahih).
4.   Tawassul dengan sifat-sifat Allah, seperti ucapan Rasul Shalallahu’alaihi wa Salam:
“Wahai Yang Mahahidup lagi Yang Mengatur urusan makhlukNya, dengan rahmatMu aku memohon bantuan.” (Hasan, riwayat at-Tirmidzi).
Syaikh ar-Rifa’i mengatakan, “Mohonlah segala hajat kalian kepada Allah dengan kecintaanNya kepada auliya’Nya.”
5.   Tawassul dengan amal-amal shalih, seperti shalat, berbakti kepa­da kedua orang tua, memelihara hak-hak, amanah dan sedekah, dzikir, membaca al-Qur`an, shalawat atas Nabi Shalallahu’alaihi wa Salam, kecintaan kita kepadanya dan para sahabatnya, serta amal-amal shalih lainnya. Disebutkan dalam Shahih Muslim tentang tiga orang yang tertahan di dalam gua, lalu mereka bertawassul kepada Allah, yang pertama dengan amal shalih berupa memelihara hak buruh, yang kedua dengan baktinya kepada kedua orang tuanya dan yang ketiga dengan rasa takutnya terhadap Allah, maka Allahpun membebaskan mereka dari gua tersebut.
6.   Tawassul kepada Allah dengan meninggalkan kemak­siatan, seperti khamar, zina dan yang diharamkan lainnya. Salah seorang yang terperangkap dalam gua tersebut bertawassul dengan perbuatan zina yang yang ditinggalkannya, lalu Allah membebaskannya dari gua tersebut.
Sebagian kaum muslimin tidak mengerjakan amal shalih dan bertawassul dengannya. Mereka justru bertawassul dengan amalan-amalan orang lain yang sudah mati, dengan menyelisihi petunjuk Rasul Shalallahu’alaihi wa Salam dan para sahabatnya.
7.   Tawassul dengan meminta doa dari para Nabi dan orang-orang shalih semasa hidupnya. Diriwayatkan bahwa seorang yang buta matanya datang kepada Nabi Shalallahu’alaihi wa Salam seraya mengatakan, “Berdoalah kepada Allah agar Dia memberi kesembuhan kepadaku.” Beliau bersabda: “Jika kamu suka, aku berdoa untukmu dan jika kamu suka, kamu bersabar saja; dan itu lebih baik bagimu.” Ia mengatakan, “Berdoalah!” Kemudian beliau memerintahkannya supaya berwudhu dengan sempurna, lalu shalat dua rekaat, dan berdoa dengan doa ini:
“Ya Allah, aku memohon kepadaMu dan menghadap kepadaMu dengan nabiMu, nabi rahmat. Wahai Muhammad aku menghadap denganmu kepada Rabbku dalam hajatku ini agar hajatku ini diselesaikan. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku, dan berilah aku syafaat melalui (doa)nya.”
Orang itu pun melakukannya sehingga terbebas dari kebutaannya. (Shahih, riwayat Ahmad).
Hadits ini mengandung arti bahwa Rasul Shalallahu’alaihi wa Salam berdoa untuk orang buta semasa hidupnya, lalu Allah mengabulkan doanya. Beliau memerintahkan kepadanya agar berdoa untuk dirinya sendiri, dan menghadap kepada Allah dengan doa Nabinya, maka Allah menerima doanya. Doa ini khusus semasa hayat beliau Shalallahu’alaihi wa Salam dan tidak boleh berdoa dengannya sepeninggalnya. Karena para sahabat tidak melakukannya, dan orang-orang yang buta tidak bisa mengambil manfaat dari doa itu setelah peristiwa ini.
Untuk menjaga tauhid dan kesempuranannya, setiap mukmin harus berupaya dan berusaha menjauhkan dirinya dari bentuk tawassul yang mengandung bid’ah dan dilarang oleh Islam. Karena tawassul yang mengandung nilai kemungkaran ini akan berpengaruh pada terkabulnya do’a itu sendiri. Dan seharusnya setiap mukmin memperhatikan do’a-do’a yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Dikutip dari buku “Meniti dan Meneladani Golongan yang  Selamat
Penulis : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Penerbit : Pustaka At-Tibyan

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers