Oleh Ustadz Abu Ammar al-Ghoyami dalam Majalah almawaddah
Setelah pernikahan diikrarkan. Setelah akad ditetapkan dan diterima, idealnya tak seorang suami atau istri pun yang mau merana hidupnya bersama pasangannya. Pernikahan adalah lembaga kecil antara suami istri yang bermuamalah bersama sehingga tumbuhlah sakinah, ketenangan, mawaddah, cinta, serta rohmah, belas kasih.
Nuansa rumah tangga yang diliputi samara ini bisa saja tiba-tiba berubah menjadi lesu bila salah satu pasutri tidak memperhatikan pasangannya. Salah satunya bisa jadi istri merana bila suami menelantarkan hak-haknya. Di antara faktor penyebab istri merana ialah:
1.
Ibadah yang berlebihan
Ibadah merupakan amal yang begitu agung nilainya, bahkan merupakan salah satu tujuan sebuah pernikahan. Namun, beribadah yang tidak pada proporsinya justru buruk akibatnya. Suami yang terlalu disibukkan oleh urusan ibadah yang berlebihan bisa menjadi pemicu terjadinya pisah ranjang. Dan kasus seperti ini bahkan telah terjadi sejak masa sebaik-baik umat ini, yaitu pada beberapa sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam rodhiallohu ‘anhum ajma’in. Sebagaimana pada beberapa riwayat berikut ini:
Suatu ketika, Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan sebuah kejadian bahwa Khuwailah binti Hakim (istri Utsman bin Mazh’un) memasuki rumahnya. Dia masuk rumahnya dalam keadaan lusuh dan memendam kesedihan. Melihat keadaannya yang lu­suh tersebut, maka Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Wahai Aisyah, alang­kah lusuhnya Khuwailah itu. Ada apa dengannya?” Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri beliau yang sangat beliau cintai tersebut menga­takan: “Wahai Rosululloh, suami perempuan ini senantiasa puasa di siang hari dan senantiasa sholat sepanjang malam, sehingga keadaan perempuan ini seakan-akan tidak bersuami. Oleh sebab itulah ia merasa tidak perlu berhias, bahkan mem­biarkan dirinya apa adanya seperti ini.” [Hadits dengan sanad jayyid, lihat Irwa'ul Gholil 7/79 oleh Syaikh al-Albani rahimahullah]
Riwayat lain, Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu pernah mendatangi Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Keduanya ialah dua orang sahabat yang telah dipersaudarakan oleh Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam. Salman melihat Ummu Darda’ dalam keadaan lusuh, maka ia pun bertanya: “Me­ngapa keadaanmu lusuh seperti ini?” Ummu Darda’ mengatakan: “Sesungguhnya saudaramu itu (Abu Darda’) tidak butuh dunia (tidak tertarik pada istri). Dia senantiasa puasa di siang hari dan sholat sepanjang malam.” Kemudian datanglah Abu Darda’ seraya mempersilakan tamunya masuk dan menyuguhkan hidangan untuknya. Salman berka­ta kepadanya, “Silakan makan juga.” Abu Darda’ men­jawab: “Aku sedang puasa.” Lalu Salam an berkata, “Aku bersumpah, demi Alloh, demi dirimu sendiri, hen­daklah engkau makan juga.” Maka keduanya pun akhirnya makan.
Kemudian Salman bermalam di rumah Abu Darda’. Pada malam harinya tatkala Abu Darda’ hendak mela­kukan qiyamullail (sholat malam), Salman melarang­nya sambil berkata: “Sesungguhnya jasadmu memiliki hak yang harus kamu tunaikan. Robbmu juga memiliki hak yang harus kamu tunaikan. Istrimu juga memiliki hak yang harus kamu tunaikan. Oleh sebab itu, pua­salah di siang hari namun jangan setiap hari. Sholat malamlah tapi jangan sepanjang malam. Datangilah istrimu dan berikan hak-hak kepada setiap pemilik hak.” Dan tatkala menjelang Shubuh, Salman berkata, “Sekarang bangunlah jika kamu mau sholat.” Setelah itu keduanya bangun, mengambil wudhu serta sholat malam bersama. Kemudian keduanya keluar untuk sholat Shubuh. Lalu Abu Darda’ mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya menceritakan keadaannya tersebut. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Salman benar!” [HR. al-Bukhori dalam Fathul Bari 4/209, Ibnu Hajar al-Asqolani radhiyallahu 'anhu]
2.
Bekerja yang berlebihan
Memang bekerja untuk mengais nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Namun bila bekerja di­lakukan dengan cara berlebih-lebihan pun tidak baik akibatnya. Hal itu akan nampak misalnya tatkala se­orang suami lebih banyak meninggalkan istrinya di rumah dengan banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Bahkan tak jarang seorang suami yang be­ranjak dari rumahnya pagi-pagi, lalu baru pulang ke rumahnya setelah larut malam dengan seonggok kepe­natan dan beban kepayahan. Kalau sudah demikian, ia akan datang di rumah dan merasa tidak ada kebu­tuhan selain segera merebahkan badan di atas kasur tanpa sempat bersantai sejenak berbagi asa bersama istrinya.
Tidak semua pekerjaan dan amal-amal sholih harus dilakukan sampai lupa waktu bersama istri dan kelu­arga di rumah. Dan tak selamanya suami harus kerja lembur. Pekerjaan yang sudah menjadi rutinitas akan lebih mudah diatur, sehingga suami harus pintar mem­bagi waktu dan aktivitas pekerjaannya agar tidak sela­manya meninggalkan istri sendirian di rumah. Apala­gi harus membiarkannya tidur sendirian sementara pekerjaannya sebenarnya bisa di­lakukan di lain waktu. Begitu pula apabila memang pekerjaan suami ti­dak tertentu saat dan tempatnya, maka tetap saja pasutri harus pandai-pandai menjaga hubungan baik di antara mereka berdua, agar taman pasutri tidak gersang dan bunga-bunganya tidak menjadi layu lalu mengering.
3.
Suami tak adil dalam ta’addud (menikah lagi)
Tidak semua laki-laki mampu menikahi lebih dari seorang wanita. Dan Alloh Ta’ala pun telah memaklu­minya dan tidak menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk tidak menikahi wanita sama sekali. Dia tetap memerintahkan agar laki-laki menikah meski hanya dengan seorang wanita saja.
Memang kenyataannya tidak semua suami yang menikah lagi bisa berbuat ma’ruf terhadap semua istrinya. Hal demikian jelas akan memadhorotkan diri suami sendiri, para istri juga rumah tangga. Adakala­nya istri pertama yang merana, namun tak jarang juga istri kedua yang tertelantarkan. Padahal menikah lagi (ta’addud) bukanlah kezholiman, namun merupakan keadilan bagi suami juga bagi para istri. Sehingga da­lam rumah tangga ta’addud diharamkan kezholiman. Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang memiliki dua istri (atau lebih) lalu ia cen­derung (melebihkan) salah satunya, maka kelak ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan pun­daknya miring.” [HR. Abu Dawud 2133, an-Nasa'i 2/157, at-Tirmidzi 1/213, dan Ibnu Majah 1969, dll. Dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa' no: 2017]
Fenomena merananya istri mungkin dianggap oleh sebagian suami hanya sekadar hal kecil dalam sebuah rumah tangga. Padahal hal ini sangat mungkin me­nimbulkan problem lain yang lebih serius, yaitu pisah ranjang, tidak tidur bersama di atas satu tempat tidur. Memang problem pisah tidur ini pun terkadang hanya sesaat saja, namun tak jarang yang berujung kepada perpisahan yang begitu menelantarkan, yaitu talak. Nas’alullohal ‘afiyah.
- shalihah.com -

Sumber: Majalah almawaddah Vol. 35 Dzulqo’dah 1431 H, oleh Ustadz Abu Ammar al-Ghoyami



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers