Peran keluarga
Peran keluarga
Keluarga menurut etimologi berarti baju besi yang kuat yang melindungi manusia dan menguatkannya saat dibutuhkan.
Adapun secara terminologis, keluarga berarti sekelompok orang yang pertama berinteraksi dengan bayi dan bersama merekalah bayi hidup pada tahun-tahun pertama pembentukan hidup dan usianya.
Bayi itu tumbuh dan berkembang mengikuti kebiasaan dan tingkah laku orang tuanya dan orang-orang sekitarnya. Bayi tunduk mengikuti bentuk pendidikan dan pertumbuhan pada tahun-tahun pertama.

Fungsi keluarga

Fungsi utama keluarga yaitu menjaga fitrah anak yang lurus dan suci di atas akidah yang shohih, mengajarkan Islam yang berdasar kepada al-Qur’an dan as-Sunnah di atas pemahaman as-shalafush sholih. Meluruskan fitrahnya dan membangkitkan serta mengembangkan bakat serta kemampuan positifnya.
Fungsi selanjutnya adalah menciptakan lingkungan yang penuh dengan kasih sayang, lemah lembut, dan saling mencintai agar anak itu memiliki kepribadian normal yang mampu melaksanakan kewajiban dan memberikan sumbangsihnya.
Keluarga memiliki fungsi yang sangat penting dalam memberikan informasi tentang pendidikan dan kebudayaan masyarakat, bahasa, adat istiadat, dan norma-norma sosial yang tidak bertentangan dengan syari’at agar anak dapat mempersiapkan kehidupan sosialnya dalam masyarakat.
Di antara tugas keluarga yaitu memupuk bakat dan kemampuan anak untuk mencapai perkembangan yang baik, menyediakan lingkungan yang efektif dan kesempatan untuk menumbuhkan kecerdasan emosional, tingkah laku, sosial kemasyarakatan, dan kecerdasan intelegensi. Keluarga juga harus memberikan kenyamanan dan ketenangan, mampu memahami gerakan, isyarat dan kebutuhan anak, memberikan jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan anak di waktu yang tepat. Keluarga juga berperan dalam menumbuhkan kepekaan kesadaran bermasyarakat pada anak yang merupakan salah satu unsur kejiwaan, seperti halnya nurani. Kepekaan kesadaran bermasyarakat itu terus tumbuh di dalam jiwa anak dalam kedisiplinan keluarga.
Keluarga ibarat sekolah pertama yang dimasuki anak sebagai pusat untuk menumbuhkan kebiasaan (tabiat), mencari pengetahuan dan pengalaman. Keluarga adalah perantara untuk membangun kesempurnaan akal anak dan kedua orang tuanyalah yang bertanggung jawab untuk mengarahkan serta membangun (mengembangkan) kecerdasan berpikir anak.
Contohnya, ketika anak berusia lima tahun, ia mulai menunjukkan sifat yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Biasanya terjalin hubungan erat antara laki-laki dan ayahnya, antara anak perempuan dan ibunya. Saat-saat inilah kali pertamanya anak dekat dengan orang lain yang berjenis kelamin sama. Biasanya anak laki-laki menilai bapaknya sebagai teladan yang patut dicontoh. Demikian juga anak perempuan terhadap ibunya. Fase ini merupakan fase yang sangat penting baginya. Kedua orang tua harus sadar dan mampu memberikan contoh dan teladan di hadapan anak-anaknya. Semua sikap, perilaku, dan perbuatan kedua orang tua selalu menjadi perhatian anak-anak. Biasanya anak-anak pada usia seperti ini berusaha keras keras untuk memberikan kepuasan kepada kedua orang tuanya. Karena itu, pergunakanlah kesempatan fase kanak-kanak dan kedekatan emosional.
Para ahli ilmu pendidikan meyakini bahwa keluarga merupakan faktor utama yang mampu memberikan pengaruh di masa kanak-kanak, saat anak selesai sekolah, sampai anak itu lepas pengasuhan mengarungi bahtera kehidupan selamanya.
Anak mengambil prinsip kehidupan, akhlak, norma-norma sosial dari kedua orang tuanya, juga kebaikan-kebaikan dan kerusakan kedua orang tuanya. Kebenaran menurut anak adalah setiap yang dapat diterima oleh kedua orang tuanya dan kesalahan menurut mereka adalah setiap yang ditolak oleh kedua orang tuanya.
Bila setiap pasangan suami istri dapat menjaga keselamatan pembentukan jiwa anak dan memperhatikan setiap individu anggota keluarganya, berarti ia dapat mengantarkan masyarakat menuju perbaikan/reformasi umat seluruhnya.

Gambaran umum keluarga muslim saat ini

Sesungguhnya keluarga muslim saat ini mengalami kesulitan dalam menanggung beban tanggung jawab menyiapkan dan membentuk generasi pada tahun-tahun pertama usia anak. Kesulitan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tingginya persentase buta huruf di kalangan orang tua dan buta pendidikan anak di kalangan intelektual. Juga disebabkan ketidaktahuan pendidik dalam menyiapkan generasi mendatang dan membentuk anak yang kreatif, ditambah lagi melemahnya penerapan norma-norma Islam akibat penjajahan intelektual dari kebudayaan Barat di lingkungan masyarakat muslim. Globalisasi yang bertujuan mengglobalkan nilai-nilai moral dan peleburan batas-batas kebudayaan bangsa-bangsa sangatlah berbahaya bagi tatanan keluarga. Di antara akibat dari bahaya tersebut adalah melemahnya hubungan keluarga, bertambahnya persentase perceraian, lari dari tanggung jawab, dan pengejaran materi yang berlebihan sebagaimana masyarakat Barat. Ditambah lagi banyak ibu yang bekerja di luar rumah, melemahnya pendidikan, dan lain-lain. Karena itu, di antara tantangan paling penting bagi masyarakat muslim saat itu yaitu mempersiapkan lembaga pendidikan Islam yang bermutu, baik lewat pondok pesantren maupun sekolah non pesantren.
Masyarakat juga harus memperhatikan kemampuan para guru dengan cara menyelenggarakan (juga memberikan sarana dan biaya) pelatihan ilmiah untuk meningkatkan kemampuan mereka. Begitu juga dengan tenaga pengajar play group dan taman kanak-kanak.
Kita harus mempersiapkan dengan serius materi-materi khusus yang akan dipelajari anak seputar masalah keorangtuaan untuk anak laki-laki dan perempuan di setiap jenjang pendidikan. Kita juga harus melakukan perbaikan (reformasi) pendidikan dan pengembangan buku-buku dan bahan ajarnya. Semua ini demi perbaikan kondisi kita, pembangunan masyarakat kita, dan pemeliharaan identitas keislaman kita sebelum kita tenggelam dan hilang di dalam kebudayaan dunia lain.

Sejak kapan pendidikan anak dimulai?

Sebagian orang menjawab pertanyaan di atas dengan mengatakan bahwa pendidikan dimulai sejak anak mulai memahami segala sesuatu di sekitarnya, yaitu setelah berusia dua tahun. Sebagian orang mengatakan bahwa pendidikan dimulai sejak awal-awal bulan pertama dari kehamilan, bahkan sebelum menikah.
Di antara cara mendidik anak sebelum mereka dilahirkan adalah kedua orang tuanya hendaknya mencari rezeki yang halal dan tidak mengonsumsi makanan dan minuman kecuali yang halal dengan cara yang halal pula karena nuthfah (sperma dan ovum) berasal dari intisari makanan.
Perjalanan menuju pembangunan pondasi pendidikan anak dan persiapannya terus berlanjut ketika memilih pasangan hidup. Bila seorang laki-laki memilih istri yang sholihah, insya Alloh istrinya itu akan melahirkan anak yang sholih pula. Demikian juga jika seorang perempuan memilih suami yang sholih, insya Alloh suaminya itu akan menjadi pendidik dan teladan bagi anak-anaknya. Memilih ibu yang sholihah termasuk hak anak terhadap bapaknya.
Setelah memilih pasangan yang baik dan Alloh Subhaanahu wa ta’aala telah menghendaki kehamilan, di sinilah sang ibu mulai merasakan awal peranan dan tanggung jawabnya. Seorang ibu harus terus-menerus memperbaiki dirinya karena setelah melahirkan ia akan menjadi teladan bagi anaknya. Ia harus terus banyak berdzikir, memohon perlindungan kepada Alloh Subhaanahu wa ta’aala, berharap dan memohon agar Alloh Subhaanahu wa ta’aala memelihara janinnya dari sesuatu yang tidak diharapkan. Kehamilan membuat ibu banyak melakukan perubahan dari kebiasaannya dari sisi kesehatan demi menjaga janin dan kenormalan pertumbuhannya. Si ibu hendaknya juga menjauhkan diri dari hal-hal yang menyebabkan dirinya depresi, memperhatikan gizinya, bahkan melakukan hal-hal positif bagi perkembangan janinnya.
Sesungguhnya, kasih sayang yang kita berikan belumlah cukup. Memberi makan yang lezat dan bergizi, pakaian yang bagus bukanlah pendidikan yang sebenarnya. Ada beberapa anak yang hanya sebatas mengerjakan pekerjaan rumah, mengatur waktu tidur dan makan. Adapun bapaknya berperan ibarat lembaran cek di bank yang hanya memberikan kepuasaan materi. Betapa banyak anak yang hidup hanya dengan pembantu dan sopir, seakan-akan mereka hidup sendiri di hotel dengan gaya hidup mewah, tetapi tanpa orang tua.
Seorang kepala sekolah menulis suatu kisah nyata menyedihkan yang terjadi di beberapa keluarga. Ketika kepala sekolah berada di luar sekolah setelah anak sekolah dasar pulang, ia memperhatikan ada seorang anak kecil menangis karena tidak ada yang menjemputnya dari sekolah. Ia kemudian menelepon keluarga anak malang tersebut, namun tidak ada yang menjawab teleponnya. Kepala sekolah itu menunggu beberapa lama kemudian ia mengajak anak kecil itu pulang ke rumahnya (kepala sekolah), setelah ia meninggalkan nomor telepon bila ada yang mencari anak tersebut. Ketika pagi, diajaknya anak itu ke sekolah, tetapi tetap saja tidak ada yang mencarinya. Setelah itu, ia kembali menghubungi rumah anak itu dan berbicara dengan ibunya, setelah dibangunkan pembantunya. Ia mengatakan kepada sang ibu bahwa anak perempuannya ada bersamanya sejak kemarin dan tidak ada yang mencarinya. Sungguh mengherankan, jawaban ibu tersebut hanyalah, “Oh… dasar sopir bodoh. Rupanya ia lupa menjemputnya kemarin dari sekolah!”
Para orang tua seperti pada kisah tersebut sangat membutuhkan transfer kasih sayang dan cinta karena mereka tidak memilikinya! Mereka bahkan tidak memiliki hati nurani dan rasa tanggung jawab. Wallohu a’lam.
[ OlehAbdurrahim al-Basyir, M.Pd ]
sumber: almawaddah.or.id


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers