Awal Kisah Terjadinya Perdebatan
Adapun penyebab kepergian al-Baqillani ke Romawi adalah ketika meninggal salah seorang raja Romawi Armanus dan digantikan oleh puteranya Basil dan Qastantin. Sebagian panglimanya berambisi untuk mendapatkan kekuasaan. Di antara mereka yang berambisi tersebut adalah Saklarous yang dikenal dengan Wirdurrumi. Dia mengumumkan perang kepada kedua putera raja tersebut, namun keduanya bisa mengalahkannya. Dia pergi ke ‘Adhudud Daulah untuk meminta perlindungan dan pertolongan. Kedua bersaudara tersebut mengetahui hal itu dan segera mengirimkan utusan yang bernama Naqfour ke ‘Adhudud Daulah untuk menggagalkan rencara Wird. Dia menawarkan kepada raja (‘Adhudud Daulah) untuk menyerahkan Wird kepada keduanya dengan bayaran akan melepaskan semua tawanan muslim yang ada di negeri Romawi.
‘Adhudud Daulah tertarik dengan penawaran tersebut, namun tidak ingin menyerahkan Wird. Dia melakukan pengelabuan di dalam menangkap dan menawannya. Dia menjanjikan kebaikan kepada Naqfour utusan kedua bersaudara dan mengutus al-Baqillani untuk membalas utusan. Al-Baqillani adalah seorang yang cerdas dan dekat dengan ‘Adhudud Daulah. Ditambah dengan terkumpulnya sifat genius, pintar, luas pengetahuan dan cepat tanggap. ‘Adhudud Daulah menginginkan misi politik ini dibarengi dengan misi agama yang keduanya diemban oleh al-Qadhi. Dengan demikian dia bisa mendebat orang-orang Nasrani dan menunjukkan kekeliruan agama, kelemahan argumentasi dan kerancuan akidahnya.
Ternyata betul, al-Qadhi berangkat dan terjadi dengan mereka cerita yang mengasikkan dan perdebatan yang mengagumkan. Kemenangan diraih oleh al-Qadhi -dengan izin Allah Subhanahu wata’ala- dan kekuatan argumentasi beliau melawan raja Nasrani dan pendeta-pendeta mereka. Beliau kembali ke ‘Adhudud Daulah dengan membawa proyek perdamaian dengan Nashrani untuk dilaksanakan. Dengan perjanjian damai ini ‘Adhudud Daulah berhasil mengembalikan sebagian tawanan. Misi kedua dilanjutkan oleh Abu Ishaq bin Syahram dan beliau juga kembali dengan membawa proyek perdamaian yang lainnya. Hal ini bertepatan dengan sakit keras yang diderita oleh ‘Adhudud Daulah dan meninggal pada tanggal 8 Syawal 372 H. Berikutnya perjanjian damai ditandatangani oleh putera beliau yaitu Shamshamud Daulah.” (Penjelasan lanjutan tentang apa yang terjadi antara ‘Adhudud Daulah dengan raja Romawi disebutkan oleh Ibnul Atsir dalam al-Kamil, 8/703 dan setelahnya (cet. Darush Shadir). Ringkasan ini diambil dari muqaddimah tahqiq kitab I’ja-zul Qur’an, karya al-Baqillani oleh Ahmad Shaqar)
Membantah Tukang  Ramal
‘Adhudud Daulah mengutus al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani kepada raja Romawi. Beliau dikhususkan untuk mengangkat ketinggian Islam, kekuatan hujjah agama ini dan terangnya argumentasinya. Dan untuk menjelaskan kerancuan pada agama mereka, menampakkan kontradiksi aqidah mereka dan misi-misi lain yang telah kami sebutkan sebelumnya seperti misi perdamaian dengan mereka.
Ketika al-Qadhi sudah bersiap-siap untuk keluar, salah satu menteri ‘Adhudud Daulah bernama Abul Qasim al-Muthahhar bin Abdullah[1] berkata kepadanya, “Saya telah mencari informasi dengan kepergianmu, yaitu bertanya kepada tukang ramal tentang kepergianmu ini apakah ia beruntung atau sial (gagal)?
Al-Qadhi kemudian menjelaskan kesalahan akidah ini bahwasanya Islam berlepas diri dari tukang ramal dan tukang tenung. Kebaikan dan kejelekan semuanya dengan takdir Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak ada hubung-annya dengan ramalan. Sesungguhnya ilmu tentang ghaib adalah khusus milik Allah Subhanahu wa ta’ala. Tidak ada orang yang bisa mengetahuinya kecuali orang-orang yang telah diizinkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk mengetahuinya, sebagaimana firmanNya,
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (26) إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (27)
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27).
Sesungguhnya kitab-kitab ramalan ditaruh agar orang-orang yang jahil bisa hidup di tengah-tengah masyarakat.
Al-Wazir (Sang Menteri) berkata, “Datangkan kepadaku Ibnu Shufi. Beliau adalah orang terkenal dalam masalah ini.” Ketika dia datang kepadanya, sang Menteri menyuruhnya untuk mendebat al-Qadhi untuk membenarkan apa (ramalan) yang telah disalahkan oleh al-Qadhi sebelumnya.
Ibnu Shufi berkata, “Saya bukan orang yang ahli debat dan saya tidak bisa melakukannya. Saya hanya menghafal ilmu perbintangan (ramalan) dan mengatakan jika bintang ini muncul, maka akan begini dan begini. Adapun analisanya, maka itu termasuk ilmu ahli mantiq dan ahli kalam. Orang yang cocok untuk melakukan perdebatan tentang itu adalah Abu Sulaiman al-Mantiqi.”
Abu Sulaiman kemudian dihadirkan dan disuruh untuk mendebat al-Baqillani. Berkata Abu Sulaiman kepada al-Baqillani, “Al-Qadhi ini mengatakan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Kuasa atas sepuluh orang yang sedang menaiki kapal di sungai Dajlah tersebut, apabila dia telah sampai di ujung yang lain, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan menambah mereka yang lainnya, sehingga berjumlah sebelas orang. Dengan demikian, maka orang yang ke-11 diciptakan ketika itu. Jika saya mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mampu, maka itu mustahil, mereka akan memotong lidahku dan membunuhku. Jika mereka berbuat baik kepadaku, maka mereka akan memegangku dan melemparku ke sungai Dajlah. Tetapi jika permasalahannya seperti yang saya sebutkan, maka perdebatanku dengannya tidak akan bermakna.”
Al-Wazir menoleh ke al-Qadhi dan berkata, “Bagaimana pendapatmu wahai al-Qadhi?” Saya (al-Qadhi) berkata, “Pembicaraan kita bukan masalah kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala, karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, sekali pun diingkari oleh sang pengingkar ini. Namun pembicaraan kita tentang pengaruh bintang-bintang ini. Dia mengalihkan pembicaraannya karena ketidakmampuannya dan ketidaktahuannya. Kalau tidak demikian, maka apa gunanya mengomentari kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam permasalahan kita ini? Jika saya mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mampu untuk melakukan hal itu, maka aku tidak mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala melakukan sesuatu di luar kebiasaan dan Dia harus melakukannya sekarang. Dengan demikian, maka al-Wazir mengetahui bahwa dia melarikan diri dari permasalahan.”
Al-Wazir berkata, “Dia seperti yang anda katakan.”
Al-Mantiqi berkata, “Perdebatan adalah kebiasaan dan pengalaman, saya tidak mengenal perdebatan dengan orang-orang seperti mereka. Mereka tidak mengetahui keadaan dan ibarat-ibarat kami. Perdebatan tidak mungkin dilakukan dengan orang-orang yang seperti ini keadaannya.”
Al-Wazir berkata, “Kami menerima alasanmu, kebenaran sudah jelas”. Al-Wazir menoleh ke arah Al-Baqillani dan berkata kepadanya, “Berangkatlah dengan penjagaan Allah Subhanahu wa ta’ala!”.
Al-Qadhi Tiba Di Negeri Romawi
Al-Qadhi berkata: “Saya keluar dan masuk ke negeri Romawi sehingga sampai pada raja yang berada di Konstantinopal. Raja diberitahu kedatangan kami dan mengutus seorang untuk menemui kami. Dia (utusan) itu berkata, “Jangan masuk menemui raja dengan memakai surban kalian sampai dilepas, kecuali sekedar saputangan yang tipis dan juga menanggalkan sepatu-sepatu kalian.”
Al-Qadhi berkata, “Saya tidak akan melakukan hal itu dan saya tidak akan masuk kecuali dengan penampilan dan pakaian seperti ini. Jika kalian rela (maka saya akan masuk) dan jika tidak, maka ambil kitab ini untuk kalian baca dan kalian kirimkan jawabannya dan saya akan kembali denganya.”
Hal itu disampaikan kepada raja dan berkata, “Saya ingin mengetahui sebab (menolak melepas surban dan sepatu) dan alasan penolakannya karena itulah peraturan resmi yang berlaku pada semua utusan.”
Al-Qadhi menjawab masalah ini dan berkata, “Saya adalah salah seorang dari ulama muslim. Sementara yang anda inginkan dari kami adalah termasuk kehinaan dan kekerdilan. Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengangkat kami dengan Islam dan memuliakan kami dengan Nabi kami Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan juga kebiasaan para raja apabila mengutus utusannya kepada raja yang lain, mereka menghormati kedudukan utusannya dan tidak bermaksud menghinakannya. Apalagi utusan tersebut termasuk orang yang berilmu. Merendahkan martabat mereka termasuk penghancuran terhadap kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala dan di tengah orang-orang muslim. Dan jika aku melakukan apa yang mereka inginkan, maka orang-orang Islam akan menghinaku dan mencela agamaku sehingga aku akan jatuh dari pandangan mereka. Jika kalian menginginkan saya masuk, maka saya akan masuk sebagaimana saya masuk menghadap khalifah. Dan jika anda tidak suka, maka silahkan membaca kitab kami dan berikan jawabannya. Kemudian biarkan kami kembali ke saudara kami dan kami tidak ada kepentingan untuk bertemu dengan kalian.”
Jawaban al-Baqillani ini disampaikan kepada raja dan dia berkata, “Biarkan dia masuk dan orang-orang yang bersamanya sebagaimana yang mereka inginkan. Raja mengetahui kedudukan utusan ini dan pengetahuan yang diberikan kepadanya dan kekuatan kepribadiannya, kecepatan daya tangkapnya. Dia adalah seorang pemuka kaum muslimin dan memiliki kedudukan yang terhormat di sisi mereka.”[2]
Sang raja mengetahui bahwa al-Qadhi tidak akan mau sujud kepadanya sebagaimana kebiasaan rakyat yang mencium tanah di hadapan raja-rajanya. Dia membuat siasat agar al-Qadhi melakukan sebagian dari hal itu. Dia menaruh singgasananya di belakang pintu masuk, sehingga tidak mungkin seorang akan bisa masuk kecuali dengan cara ruku’. Al-Qadhi pun akan masuk menemuinya dengan cara seperti itu (ruku’). Itu sebagai pengganti dari sujud dan mencium tanah di hadapannya.
Ketika raja duduk di singgasananya, dia menyuruh al-Qadhi masuk melalui pintu tersebut. Ketika melihat raja, al-Qadhi berpikir dan mengetahui bahwasanya di sini ada siasat, beliau membalikkan badannya dan menundukkan kepalanya dengan ruku’ dan masuk melewati pintu tersebut dengan mundur, sehingga menghadapnya dengan duburnya sampai di hadapannya. Setelah itu baru beliau mengangkat wajahnya dan menegakkan punggungnya ketika berada di hadapannya. Sang raja kagum dengan kecerdasannya dan wibawa beliau terangkat di hati raja.[3]
Al-Qadhi berkata, “Saya masuk menemuinya dengan bajuku yang bagus dan surban serta selendangku. Ketika pandangannya tertuju kepadaku, dia menyuruhku mendekat dan mengangkatku di atas semua orang. Dia mulai bertanya tentang pakaianku”
Saya berkata, “Dengan pakaian ini kami menemui Rajaku Yang Agung (Allah Subhanahu wa ta’ala), kepada penguasa kami yang mulia yang Allah Subhanahu wa ta’ala dan RasulNya memerintahkan kami untuk mentaatinya. Mereka tidak pernah melarang kami dengan pakaian ini, karena kami termasuk salah seorang ulama kaum muslimin. Apabila saya menemui anda dengan bukan penampilan ini dan kembali kepada hukum anda, maka saya telah menghinakan ilmu dan diri saya dan kehormatanku akan hilang di hadapan orang-orang muslim.”
Sang raja berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepadanya bahwasanya kami telah menerima alasanmu dan mengangkat derajatmu. Kedudukan anda di hadapan kami tidak sama dengan kedudukan para utusan yang lainnya. Kedudukan anda di hadapan kami adalah kedudukan orang mulia dan terhormat.”[4]
Al-Qadhi berkata, “Saya telah menyampaikan misi kemudian dia membaca kitab, yang di dalamnya terdapat kalimat: “Dan saya telah mengutus kepadamu lisan orang yang beragama, sebagai pengagungan dan penghormatan kepadamu.”
Dia (Raja) berkata kepadaku, “Apa maksud kalimat ini?
Saya berkata, “Saya seorang yang berbicara tentang terjadinya alam ini dan menetapkan Penciptanya, sifat yang wajib bagiNya, yang mustahil atasNya dan yang boleh pada hukumNya. Saya juga berbicara tentang keesaanNya dan membantah orang-orang Barahimah[5], Mannaniyah[6], Majusi, Yahudi dan Nasrani. Saya menjelaskan apa yang saya anggap benar dari segi akal dan apa yang berkaitan dengannya dari segi naql (wahyu). Saya menerangkan semua itu dengan argumentasi yang jelas. Saya juga pernah membantah 72 kelompok dan argumentasi saya yang menang.”[7]
Raja berkata, “Saya ingin untuk mengetahui hal itu dan mendengarnya sebagaimana yang anda sampaikan.”
Al-Qadhi berkata,” Apabila raja berkenan.”
Raja berkata, “Turunlah ke tempat yang saya sudah siapkan dan cerita itu dilakukan setelah pertemuan ini.”
Al-Qadhi berkata, “Saya turun ke tempat yang telah disiapkan untuk kami.”
Ibnu Katsir berkata, “Dikatakan bahwasanya Raja telah dibawakan ke hadapannya sebuah alat musik yang disebut al-Arghal[8] untuk menghilangkan akal dengannya. Ia adalah alat yang tidak ada seorang pun yang mendengarnya kecuali akan terlena (ikut menyanyi dan menari), suka atau tidak suka. Ketika al-Baqillani mendengar hal itu beliau takut dengan dirinya untuk tampak gerakan yang mengurangi (kewibawaan) di hadapan raja. Beliau tidak segan-segan mengiris kakinya sehingga terluka dan mengeluarkan darah yang banyak. Dengan begitu, beliau tersibukkan oleh lukanya sehingga tidak terlihat dari beliau perbuatan yang bisa mengurangi (kewibawaan) dan merendahkan (martabatnya). Sang Raja kagum dengan hal itu, setelah itu masalahnya diketahui yaitu beliau melukai dirinya agar disibukkan dari mendengar alat musik. Raja semakin mengetahui keteguhan dirinya dan ketinggian semangatnya.”[9]
Majelis Perdebatan Pertama
Al-Qadhi berkata, “Ketika tiba hari Ahad, sang raja mengutus orang untuk menjemputku dan berkata, “Termasuk kebiasaan seorang utusan adalah menghadiri jamuan makan, maka kami menginginkan anda untuk memenuhi undangan kami dan tidak mengurangi semua peraturan kami.”
Saya (al-Qadhi) berkata kepada utusan tersebut, “Saya adalah termasuk salah seorang ulama Islam, dan bukan seperti kebanyakan utusan dari kalangan tentara dan lainnya, yang mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan dalam keadaan seperti ini. Paduka raja pasti mengetahui bahwasanya ulama` tidak dibolehkan untuk masuk ke tempat ini sedang mereka mengetahuinya. Saya khawatir di meja makan kalian ada daging babi dan sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan RasulNya.”
Sang penerjemah pergi kemudian kembali lagi kepada al-Qadhi dan berkata, “Raja berkata kepada anda: “Tidak ada di atas meja makan saya dan juga makanan-makanannya yang anda tidak sukai. Saya telah berbuat baik dengan apa yang telah saya lakukan. Anda di hadapan kami bukan seperti utusan-utusan yang lainnya, bahkan lebih agung. Apa yang anda tidak sukai seperti daging babi berada di luar meja makan saya, dan antara saya dengannya ada dinding.”
Al-Qadhi berkata, “Saya mengikuti keinginannya dan duduk, kemudian dihidangkan makanan. Saya mengulurkan tangan dan ingin makan, namun tidak jadi memakan sedikitpun dari makanannya, walaupun saya tidak pernah melihat di atas meja makanannya sedikitpun yang diharamkan. Setelah jamuan selesai, majlis diberi bukhur (asap ghaharu) dan wewangian.[10]
Raja kemudian berkata, “Sebuah mu’jizat yang diakui oleh nabimu berupa terpecahnya bulan, bagaimana pendapat anda tentang hal itu?
Saya berkata, “Menurut kami itu benar, bulan pernah terpecah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang-orang bisa melihat hal itu. Namun yang bisa melihatnya adalah orang-orang yang hadir dan pandangannya tepat mengenai bulan tersebut pada saat kejadian.”
Raja berkata, “Bagaimana hal itu tidak bisa dilihat oleh semua orang? “
Saya menjawab, “Karena orang-orang tidak berada pada saat yang sama ketika terbelahnya bulan dan tidak menghadirinya”.
Dia berkata, “Antara kalian dan bulan itu ada hubungan atau kedekatan, kenapa orang Romawi dan orang lainnya tidak mengetahuinya? Hanya khusus dilihat oleh kalian saja, padahal kalian sudah tahu bahwasanya bulan berada di langit yang bukan dikhususkan untuk kalian?”
Saya berkata, “al-Maidah[11] ini antara kalian dengannya ada hubungan. Kalian bisa melihatnya sementara Yahudi, Majusi, Barahimah dan orang Ateis, khususnya orang Yunani sebagai tetangga kalian mengingkarinya. Mereka semuanya mengingkari hal ini, kalian bisa melihatnya sementara yang lainnya tidak bisa. “
Raja bingung kemudian terlontar dalam perkataannya, “Maha Suci Allah Subhanahu wa ta’ala” Dia menyuruh untuk dihadirkan seorang Qissis (pendeta)[12] untuk berbicara dengan saya. Raja berkata, “Kita tidak akan mampu menghadapinya, karena temannya mengatakan bahwa tidak ada seorangpun di dalam kerajaan anda yang sama dengannya dan tidak ada seorang muslim pada masanya yang menyamai dia.”
Al-Qadhi berkata, “Saya tidak merasa, tiba-tiba sudah didatangkan seorang yang seperti srigala dengan rambut berurai. Dia kemudian duduk dan saya ceritakan permasalahannya.”
Dia berkata, “Apa yang dikatakan oleh seorang muslim ini adalah lazim dan benar. Saya tidak mengetahui jawaban kecuali apa yang telah dia sebutkan.”
Al-Qadhi berkata kepadanya, “Bukankah anda mengaku bahwasanya bumi ini bulat? Dia menjawab, “Ya.”
Saya berkata, “Apakah anda mengingkari bahwa sesuatu bisa dilihat di alam ini, apa yang tidak bisa dilihat oleh yang lainnya, seperti gerhana yang dilihat di sebuah tempat namun tidak terlihat di tempat lain. Begitu juga dengan planet di langit bisa dilihat di suatu tempat tapi tidak bisa di tempat yang lain. Atau anda mengatakan bahwa apabila gerhana terjadi, maka akan terlihat oleh seluruh penduduk bumi? “
Sang pendeta berkata, “Bahkan tidak bisa dilihat kecuali oleh orang yang bertepatan dengannya.”
Saya berkata, “Kenapa kalian mengingkari terbelahnya bulan, ketika ia berada di satu sisi dan tidak dilihat kecuali oleh orang yang berada di arah tersebut dan oleh orang yang sudah siap untuk melihatnya. Adapun orang yang berpaling darinya atau berada di tempat yang bulan tidak bisa dilihat di sana, maka dia tidak bisa melihatnya.”[13]
Dia berkata, “Dia benar seperti yang dikatakannya, tidak ada seorangpun yang bisa membantah anda. Permasalahannya adalah pada riwayat yang menukilnya. Adapun celaan pada selain itu, maka tidak benar. “
Raja berkata, “Bagaimana dia dicela dari segi penukilan? “
Qissis berkata, “Tanda-tanda yang semirip dengan ini apabila benar, maka wajib dinukil oleh jumlah yang banyak sehingga sampai kepada kita secara ilmu. Seandainya itu terjadi niscaya akan terjadi pada kita ilmu dharuri dengannya. Ketika tidak terjadi ilmu dharuri dengannya, maka informasi tersebut tidak benar dan batil.”
Sang raja menoleh dan berkata, “Berikan jawaban!”
Al-Qadhi berkata, “Konsekwensi yang sama akan terjadi pada masalah al-Maidah seperti yang terjadi pada terbelahnya bulan.” Dikatakan tentangnya, “Jika turunnya Maidah benar, niscaya dinukil (disampaikan) oleh jumlah yang banyak. Tidak ada yang tersisa seorang dari kalangan Yahudi, Nasrani dan Tsanawi[14]  kecuali mengetahui hal tersebut dengan dharuri. Ketika mereka tidak mengetahuinya dengan dharuri, maka menunjukkan bahwa khabar tentang al-Maidah juga dusta.” Lalu semua orang-orang Nasrani, raja dan yang ada di majlis terheran dan terdiam. Majlis berakhir sampai masalah ini. [15]
Majelis Perdebatan Kedua
Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad ath-Thib Al-Baqillani berkata, “Kemudian di pertemuan kedua raja bertanya kepadaku, dia berkata, “Apa yang anda katakan tentang al-Masih Isa bin Maryam ‘alaihis salam?”
Saya menjawab, “(Beliau adalah) Ruh dari Allah Subhanahu wa ta’ala, KalimatNya, hambaNya, NabiNya, RasulNya sebagaimana Nabi Adam ‘alaihis salam yang Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakannya dari tanah dan berfirman kepadanya, “كُنْ فَيَكُونُ” “Jadilah, maka jadilah dia”. Saya membacakan kepadanya firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آَدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya misal (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:”Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia”. (Ali ‘Imran: 59)
Raja berkata, “Wahai muslim, apakah anda mengatakan bahwa al-Masih seorang hamba?
Saya menjawab, “Ya, itulah yang kami katakan dan kami yakini.”
Dia berkata, “Anda tidak mengatakan bahwa dia adalah anak Allah Subhanahu wa ta’ala?”
Saya menjawab, “Maha Suci Allah Subhanahu wa ta’ala, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada ilah (yang lain) beserta-Nya.” (Al-Mu’-minun: 91)
Sesungguhnya kalian mengucapkan perkataan yang besar (salahnya). Jika anda menjadikan al-Masih sebagai anak Allah Subhanahu wa ta’ala, maka siapa yang menjadi ayahnya, saudaranya, kakeknya, pamannya dan bibinya? Saya menyebutkan sejumlah kerabatnya sehingga dia kebingungan.”
Dia berkata, “Wahai Muslim, seorang hamba bisa mencipta, menghidupkan, mematikan, menyembuhkan orang buta dan berpenyakit sopak?”
Saya berkata, “Tidak mungkin dia mampu untuk melakukan hal itu. Semua itu adalah perbuatan Allah Subhanahu wa ta’ala. “
Dia berkata, “Bagaimana al-Masih menjadi seorang hamba Allah Subhanahu wa ta’ala, salah satu dari ciptaanNya, padahal dia telah mendatangkan bukti-bukti seperti ini dan melakukan hal tersebut semuanya?”
Saya berkata, “Maha Suci Allah Subhanahu wa ta’ala, al-Masih tidak pernah sama sekali menghidupkan orang mati dan tidak pernah menyembuhkan orang buta dan berpenyakit sopak.”
Raja menjadi bingung dan berkurang kesabarannya, kemudian berkata, “Wahai Muslim, apakah anda mengingkari hal ini padahal sudah diketahui oleh semua makhluk dan diterima oleh semua orang?”
Saya berkata, “Tidak ada seorang Ahli Fiqih dan orang berilmu yang mengatakan bahwasanya para nabi melakukan mu’jizat dari dirinya sendiri, namun ia adalah sesuatu yang dilakukan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala lewat tangan mereka sebagai pembenaran bagi mereka dan itu berlaku sebagai persaksian.”
Raja berkata, “Telah hadir sekelompok orang dari keturunan nabimu dan orang-orang yang terkenal di antara kalian, semuanya mengatakan bahwa hal itu ada pada kitabmu.”
Saya berkata, “Wahai Raja, di dalam kitab kami semua itu atas izin Allah Subhanahu wa ta’ala. Saya kemudian membacakan kepadanya nash-nash (dalil dari) al-Qur’an yang bercerita tentang al-Masih, di antaranya firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلَى وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَتُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِي وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي وَإِذْ كَفَفْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ
“(Ingatlah), ketika Allah mengatakan:”Hai ‘Isa putera Maryam, ingatlah nikmatKu kepadamu dan kepada Ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izinKu, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizinKu, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) dikala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata:”Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”. (Al-Maidah: 110)
Juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَرَسُولًا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنِّي قَدْ جِئْتُكُمْ بِآَيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ أَنِّي أَخْلُقُ لَكُمْ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنْفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَأُحْيِي الْمَوْتَى بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka):”Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mu’jizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (Ali ‘Imran: 49)
Saya berkata, “Sesungguhnya al-Masih melakukan hal itu semuanya dengan izin Allah Subhanahu wa ta’ala semata dan tidak ada sekutu bagiNya, bukan dari diri al-Masih. Seandainya al-Masih bisa menghidupkan orang mati dan menyembuhkan buta dan penyakit sopak dari dirinya dan kekuatannya, niscaya boleh dikatakan bahwa Musa ‘alaihis salam membelah laut dan mengeluarkan tangannya putih bersih tanpa adanya kejelekan dari dirinya, bukan termasuk mu’jizat para nabi ‘alaihimus salam, termasuk perbuatan mereka bukan atas kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala. Ketika hal itu tidak boleh, maka tidak boleh disandarkan mu’jizat yang muncul dari tangan al-Masih kepada dirinya.”[16]
Raja berkata, “Semua para nabi sejak Adam ‘alihis salam hingga nabi setelahnya, mereka merendahkan diri meminta kepada al-Masih sehingga dia melakukan apa yang mereka inginkan.”
Saya berkata, “Bukankah pada lisan orang Yahudi ada orang besar yang mereka tidak bisa mengklaim bahwa sesungguhnya al-Masih yang merendahkan diri kepada Musa ‘alaihis salam. Dan setiap pengikut nabi berkata, “Sesungguhnya al-Masih yang merendahkan diri kepada nabinya.” Tidak ada perbedaannya antara kedua pengakuan ini.”[17]
Salah seorang dari uskup mereka bertanya kepada al-Qadhi dan berkata, “Apa yang telah dilakukan oleh istri nabimu? Bagaimana ceritanya sehingga dia dituduh berbuat selingkuh?”
Al-Qadhi berkata sebagai jawaban spontanitas, “Ada dua wanita yang dituduh dengan kejelekan yaitu Maryam dan Aisyah, kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala membebaskan keduanya dari tuduhan tersebut. Aisyah adalah seorang yang bersuami namun tidak memiliki anak, sementara Maryam membawa anak padahal tidak memiliki suami.”
Maksudnya bahwasanya Aisyah lebih utama untuk dibebaskan dari tuduhan tersebut daripada Maryam. Keduanya terbebas dari apa yang dituduhkan kepadanya. Jika di benak yang rusak terlintas keraguan pada hal ini (tuduhan kepada Aisyah), maka kepada yang itu (tuduhan kepada Maryam) lebih rusak. Keduanya -Alhamdulillah- disucikan dan dibebaskan dari langit lewat wahyu dari Allah Subhanahu wa ta’ala untuk keduanya -semoga keselamatan kepada keduanya.[18]
Majelis Perdebatan Ketiga
Al-Qadhi berkata, “Kami kemudian berbicara pada majlis ketiga. Saya berkata kepada raja, “Kenapa Lahut dan Nasut bisa menyatu?”[19]
Raja berkata, “Dia ingin menyelamatkan manusia dari kebinasaan.”
Saya berkata, “Apakah dia mengetahui bahwasanya dia akan dibunuh dan disalib kemudian hal itu terjadi padanya? Jika anda mengatakan bahwasanya dia tidak mengetahui apa yang akan diinginkan oleh Yahudi dengannya, maka ia tidak boleh untuk menjadi tuhan. Apabila dia tidak boleh menjadi tuhan, maka dia tidak boleh untuk menjadi anak tuhan. Jika anda mengatakan bahwa dia mengetahui dan hal ini telah masuk ke pengetahuannya, maka dia bukanlah orang yang bijaksana. Karena kebijaksanaan akan mencegah seseorang untuk terjatuh kepada bala’.
Raja kemudian terdiam kebingungan, dan inilah majlis terakhir saya bersamanya.”[20]
Majelis Terakhir
Setelah itu raja menjanjikan al-Qadhi Abu Bakar untuk berkumpul bersamanya pada sebuah perayaan agama Nasrani pada hari yang telah ditentukannya. Abu Bakar al-Baqillani menyempatkan diri untuk hadir. Majlis mengadakan perayaan yang sangat meriah dan dengan hiasan yang berlebihan. Raja menyuruh al-Baqillani mendekat dan memintanya dengan sangat ramah, kemudian mendudukkannya di atas kursi yang sedikit di bawah singgasananya. Raja berada dalam kebesaran dan pakaian khususnya, memakai mahkota dan perhiasannya. Para pembesar-pembesarnya duduk sesuai tingkatannya.
Ketika mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba muncul al-Bathrak -pemuka agama mereka-. Raja telah memuliakannya dengan berusaha untuk menjaganya dari orang genius ini (al-Baqillani) dengan berkata, “Jagalah dirimu darinya, hadirkan pikiranmu, mungkin anda mendapatkan darinya kesalahan atau menemukan darinya kekeliruan yang bisa menghilangkan penghormatan kami kepadanya.”
Al-Bathrak tiba pada rombongan terakhir. Di sekelilingnya ada pengikut-pengikutnya yang membaca injil sambil mereka mengasapnya dengan gaharu basah dan parfum Maryam. Dia memakai pakaian yang sangat indah. Ketika berada di tengah-tengah majlis, raja dan para pembesarnya berdiri sebagai penghormatan kepadanya. Setelah mereka memberikan haknya dan mengusap ujung pakaiannya, maka raja mendudukkannya di sampingnya dan memandang kepada al-Qadhi dan berkata, “Wahai Faqih, beliau adalah al-Bathrak pemuka agama dan penanggung jawab keagamaan kami.” Al-Qadhi mengucapkan salam kepadanya dengan salam yang hangat dan bertanya kepadanya dengan penuh keramahan. Beliau bertanya kepadanya, “Bagaimana kabar keluarga dan anak-anak?”
Pertanyaan ini sangat menyinggung perasaannya dan perasaan semuanya. Mereka semua berubah (wajahnya) dan memalingkan wajah mereka darinya dan mengingkari perkataan Abu Bakar kepadanya. al-Qadhi berkata, “Apa yang kalian ingkari dari perkataan saya? “
Raja berkata, “Kami mensucikan mereka dari istri dan anak.”
Al-Qadhi berkata, “Wahai sekalian manusia, kalian menganggap agung manusia ini untuk memiliki istri dan anak dan mensucikan mereka dari yang demikian? Namun tidak mengagungkan Tuhan kalian dan menisbahkan kepadaNya yang demikian itu (memiliki istri dan anak)? Alangkah jeleknya pendapat seperti ini dan alangkah jelasnya kesalahannya!”
Mereka semua terdiam, terpaku dan tidak berkutik, mereka tidak bisa memberikan jawaban. Mereka telah dikalahkan oleh kewibawaannya yang agung.[21]
Berikutnya raja berkata kepada al-Bathrak, “Bagaimana pendapatmu tentang setan ini (al-Baqillani)?
Al-Bathrak menjawab, “Selesaikan keperluannya, perlakukan dengan baik temannya, berikan mereka hadiah dan keluarkan orang Irak ini dari negaramu hari ini juga -kalau bisa-. Kalau tidak, maka orang-orang Nasrani tidak akan aman dari fitnah dengannya.”
Raja pun melakukan hal tersebut, memberikan balasan yang baik kepada ‘Adhudud Daulah dengan berbagai hadiah dan memulangkan al-Qadhi Abu Bakar dengan segera. Dia mengirimkan bersamanya tawanan-tawanan muslim dan mushaf Al-Qur’an. Dia juga menyerahkan kepada al-Qadhi beberapa orang prajurit untuk menjaganya sehingga sampai ke tempat tinggalnya.[22]
Alhamdulillah sudah selesai. Inilah akhir apa yang saya dapatkan dari cerita perdebatan yang mengagumkan ini.
Sumber : www.alsofwah.or.id [Tambahan Sub Judul Dari Admin]

[1] Beliau: Abul Qasim al-Muthahhar bin Muhammad bin Abdullah. Beliau menjabat sebagai menteri pada masa ‘Adhudud Daulah dan banyak memimpin pasukan. Dia mempunyai cerita yang disebutkan oleh Ibnul Atsir dalam pembahasan kekuasaan ‘Adhudud Daulah, jilid 8 hal. 646-647. Kisah kematiannya sangat mengherankan disebutkan pada halaman 701
[2] Tartibul Madarik, 7/60 dan ‘Uyunul Munazharat, hal. 246.
[3] Tarikh Baghdad, 5/379; Tabyin Kizbil Muftari, hal. 218; Tartibul Madarik, 7/61-62; Siyar A’lam an-Nubala`, 17/191; al-Bidayah wan Nihayah, 11/350, al-Mun-tazam, 7/265 dan al-Ansab, 2/51-52
[4] Tartibul Madarik, 7/61.
[5] Al-Barahimah adalah kelompok dari kalangan Yahudi yang tidak membolehkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala untuk mengutus para nabi, mengharamkan daging semua hewan, dan mufrad (bentuk tunggal) mereka adalah Barahmi. Asy-Syaharstani dalam al-Milal, 2/250 berkata, “Di antara manusia ada yang menyangka bahwa mereka dinamakan Barahimah karena nisbah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Yang demikian itu adalah salah, sesungguhnya mereka orang-orang yang spesialis menolak nubuwah (kenabian) secara asal dan keseluruhan. Bagaimana dikatakan mereka menisbahkan diri kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam? Adapun kelompok yang meyakini kenabian Ibrahim disebut Tsanawiyah berasal dari India. Orang-orang Barahimah adalah mereka yang menisbahkan diri kepada seorang laki-laki bernama Barahim
[6] Al-Manawiyah atau Mananiyah adalah kelompok dari Tsanawiyah. Asy-Syaharstani dalam al-Milal, 1/44 berkata, “Pengikut Mani bin Fatik al-Hakim. Mereka muncul pada zaman Sabu bin Ardasyir, dia dibunuh oleh Harmuz bin Saabur yang hidup setelah Nabi Isa bin Maryam ‘alaihis salam. Mereka membuat agama perpaduan antara Majusi dan Nasrani, yang meyakini kenabian Isa ‘alaihis salam namun tidak mengakui kenabian Musa ‘alaihis salam. Muhammad bin Harun menceritakan bahwasanya pada asalnya mereka adalah orang-orang Majusi yang mengetahui tentang madzhab mereka. Yaitu Hakim bin Mani mengakui bahwa alam semesta disusun dari dua asal yang qadim (terdahulu) yaitu cahaya dan kegelapan. Keduanya adalah azali dan akan senan-tiasa azali. Mereka mengingkari wujud sesuatu kecuali dari asal yang qadim (terdahulu). Dia diikuti oleh banyak orang dari kalangan Majusi dan mengakui mendapatkan kenabian.”
[7] Ini adalah riwayat al-Iskafi di dalam Uyunul Munazarah, hal. 247 dan merupakan riwayat paling sempurna dari yang disebutkan oleh al-Qadhi Iyadh di dalam Tartibul Madarik. Di antara yang disebutkan oleh al-Iskafi bahwasanya Raja berkata kepadanya (al-Qadhi): “Wahai Muslim, duduklah di sisiku saya akan membagi kerajaanku kepadamu.” Al-Qadhi menjawab, “Saya ingin melakukan demikian, namun hal itu tidak dibenarkan oleh syariat (agamaku) untukku.”
[8] Di dalam Mu’jamul Wasith disebutkan dua alat; Pertama, al-Urghun yaitu alat musik tiup yang memiliki tempat tiupan dari kulit, tabung dan lobang untuk memperindah suara (semacam seruling). Kedua, al-Urghul yaitu seruling yang memiliki dua batang yang berlubang yang salah satunya lebih panjang dari yang lainnya. Jamaknya adalah araghil.
[9] Al-Bidayah wan Nihayah, 11/350
[10] Tartibul Madarik, 7/62-63.
[11] Al-Maidah yang dimaksud adalah seperti yang disebut di akhir surah al-Maidah, ketika orang-orang Hawariyyun meminta kepada Isa ‘alaihis salam agar memohon kepada Tuhannya untuk diturunkan makanan kepada mereka. Terjadi perselisihan tentang diturunkannya, mayoritas ulama mengatakan bahwa ia diturunkan. Ini yang dipilih oleh Ibnu Jarir, karena Allah Subhanahu wa ta’ala memberitahukan tentang turunnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala, artinya, “Aku menurunkannya kepada kalian.” Janji Allah Subhanahu wa ta’ala adalah benar dan jujur. Ibnu Katsir (3/226) berkata, “Pendapat ini -wallahu a’lam- yang benar sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits dan atsar dari para Salaf dan lainnya.”
[12] Qissis adalah ketua agama orang-orang Nasrani. Sekarang ini berada pada tingkatan antara uskup dan Syammas. Tingkatan-tingkatan ahli agama menurut orang Nasrani adalah: Baba kemudian Bathrak, Ma-thran, Uskup, Qissis dan Syammas. Urutan-urutan ini telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (6/308), terbitan asy-Sya’ab.
[13] Dalam riwayat asy-Syaukani di ‘Uyunul Munazharah, hal. 248 disebutkan: “Ketika dia mengakui hal ini, teman-temannya berkata kepadanya: “Biarkan kami untuk membantahnya, bukan untuk membantah kami dan membantunya. Dia berkata kepada mereka, “Seorang yang benar wajib dibantu.” Majlis ditutup dengan ini dan dengan apa yang saya sebutkan di Tartibul Madarik.
[14] Tsanawi adalah kelompok yang dinisbahkan kepada madzhab Tsanawiyah yaitu sebuah madzhab yang mengatakan ada dua tuhan; tuhan kebaikan dan tuhan kejelekan. Mereka melambangkannya dengan cahaya dan kegelapan, keduanya azali dan qadim. Berbeda dengan orang Majusi yang mengatakan bahwa kegelapan itu baharu dan menyebutkan penyebab baharunya. Mereka terdiri dari beberapa kelompok yaitu al-Manuwiyah atau al-Mannaniyah, al-Mazdakiyah, ad-Dayshaniyah, al-Marqayuniyah, al-Kainuniyah, ash-Shayyamiyah dan at-Tanasukhiyah. (Lihat, al-Milal wan Nihal al-Syahirstani, 1/224-225)
[15] Tartibul Madarik, 7/64-65.
[16] Tartibul Madarik, 7/65-66.
[17] Tartibul Madarik, 7/66 dan di sebagian riwayat disebutkan bahwasanya dia berkata di awal jawabannya, “Sesungguhnya di lisan orang Yahudi ada orang besar.”
[18] Tabyin Kizbul Muftari, hal. 219; ‘Uyunul Munazharat, hal. 249; Siyar A’lam an-Nubala`, 17/192 dan al-Bidayah wan Nihayah, 11/350 dan ini adalah lafadznya
[19] Nasut adalah tabiat kemanusiaan dan lawannya adalah Lahut berarti ketuhanan. Orang Nasrani mengaku bahwasanya al-Masih adalah tuhan yang nampak untuk manusia dalam bentuk manusia. Kedua tabiat telah menyatu yaitu ketuhanan dan kemanusiaan
[20] Tartibul Madarik, 7/67
[21] Tabyin Kizbul Muftari, hal. 218-219; Tartibul Madarik, 7/67-68; ‘Uyunul Munazharat, hal. 248; Siyar A’lam an-Nubala`, 17/191.
[22] Tartibul Madarik, 7/67-68.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers