Soal: Siapa yang wajib puasa?
Jawab: Puasa itu wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang baligh/ dewasa, berakal, kuat, mukim, dan sepi dari halangan. Inilah 6 sifat, yaitu: Muslim, baligh, berakal, kuat/ mampu, mukim, dan sepi dari halangan. Adapun orang kafir maka tidak wajib atasnya berpuasa dan tidak wajib pula ibadah-ibadah lainnya.
Arti perkataan kami, “tidak wajib atasnya berpuasa”, bahwa dia tidak wajib puasa waktu kafir, dan tidak wajib mengqadha’/ menggantinya setelah dia masuk Islam. Karena orang kafir tidak diterima ibadahnya waktu kafirnya. Karena firman Allah Ta’ala:

“وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ” الآية،[التوبة:54]

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS At-Taubah: 54).

Dan tidak diwajibkan qadha’ ibadah ketika dia masuk Islam, karena firman Allah Ta’ala:

“قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ” الآية [الأنفال: 38].

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu. (QS Al-Anfal: 38).
Tetapi si kafir itu disiksa atas apa yang ditinggalkannya berupa kewajiban-kewajiban waktu kafirnya. Karena firman Allah Ta’ala mengenai ashabul yamin yang mereka itu berdialog dengan orang-orang berdosa:

” مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ * قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ * وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ * وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ* وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ*حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ”[المدثر:42-47].

Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian”. (QS Al-Muddatstsir: 42-47).
Maka disebutkannya: meninggalkan sholat dan (tidak) memberi makan orang miskin termasuk sebab masuknya mereka ke neraka, itu menunjukkan bahwa karena hal itu memberi pengaruh untuk masuknya mereka ke neraka.
Bahkan sesungguhnya orang kafir itu disiksa atas segala apa yang dinikmatinya berupa nikmat-nikmat Allah yaitu makanan, minuman, dan pakaian; karena Allah swt berfirman:

” لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ”[المائدة:93].

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Maidah: 93).
Maka ditiadakannya dosa bagi mukminin dalam hal apa yang dimakan itu menunjukkan atas tetapnya dosa atas selain mukminin dalam hal yang mereka makan.
Dan karena firman Allah Ta’ala:

“قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ” الآية [الأعراف: 32].

Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS Al-a’raf: 32).
Maka firmanNya

” لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ”

(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan duniakhusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Itu menunjukkan bahwa hukum mengenai selain mukminin berbeda dari hukum mengenai mukminin.
Tetapi ketika orang kafir masuk Islam di bulan Ramadhan maka dia tidak wajib qadha/ mengganti apa yang telah lalu sebelum Islamnya. Maka apabila dia masuk Islam pada malam tanggal 15 misalnya, maka 14 hari yang lalu itu tidak wajib diqadha’.
Apabila dia masuk Islam pada tengah hari maka dia wajib imsak/ menahan diri (dari makan minum dan sebagainya yang dilarang dalam puasa) bukan wajib qadha’, apabila masuk Islam ketika matahari condong misalnya; kami katakan kepadanya: tahanlah sisa harimu dan kamu tidak wajib qadha’. Kami perintahkan imsak/ menahan diri, karena menjadi orang yang berkewajiban, dan tidak kami perintahkan qadha’ karena melaksanakan kewajiban yaitu imsak sejak dia masuk Islam; dan barangsiapa telah melaksanakan kewajiban maka tidak dibebani dengan mengulangi ibadah kedua kali.
Adapun berakal yaitu sifat kedua bagi yang wajib puasa.
Akal yaitu yang dengan akal itu diperoleh pembedaan, yakni membedakan sesuatu dengan lainnya. Maka kalau seseorang tidak berakal, dia tidak wajib puasa, sebagaimana tidak wajib atasnya ibadah apapun selain zakat. Di antara jenis yang tak berakal ini orang yang sudah dewasa umurnya tapi tidak bisa membedakan. Yaitu yang dikenal di masyarakat umum dengan tidak waras, maka orang yang tidak waras tidak wajib puasa, dan tidak wajib memberi makan (ganti dari puasa) karena dia bukan termasuk cakap (menjalankan) kewajiban (ahlil wujub).
Adapun sifat ketiga yaitu baligh.
Baligh/ dewasa itu didapati dengan salah satu dari tiga hal:
  1. sempurna umur 15 tahun.
  2. atau tumbuh bulu kemaluan, yaitu bulu kasar yang ada di sekitar kemaluan.
  3. atau keluar mani dengan merasa enak, baik itu dalam mimpi atau pun melek.
  4. bagi wanita tambah satu, hal yang keempat yaitu haidh, apabila wanita haidh maka sudah baligh/ dewasa.
Dan barangsiapa tumbuh bulu kemaluannya walaupun ia belum umur 15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, maka dia sudah baligh. Dan barangsiapa keluar mani dengan merasa enak, laki-laki ataupun perempuan, walaupun belum umur 15 tahun, maka dia sudah baligh. Dan barangsiapa haidh walaupun belum umur 15 tahun maka dia sudah baligh. Barangkali perempuan sudah haidh sedang dia baru berumur 10 tahun.
Di sini wajib diperhatikan masalah yang dilupakan banyak orang ini. Karena sebagian perempuan ada yang haidh di umur muda sekali, dan dia tidak tahu bahwa dirinya wajib puasa dan lainnya yaitu ibadah-ibadah yang ditetapkan kewajibannya atas orang dewasa. Karena kebanyakan orang menyangka bahwa baligh itu ketika sempurna umur 15 tahun. Sangkaan ini tidak berdasar!
Apabila seseorang belum baligh, maka dia tidak wajib puasa, tetapi para ulama memperingatkan bahwa wali/ orang tua diperintah untuk menyuruh anak-anaknya yang kecil, baik lelaki maupun perempuan, untuk berpuasa supaya terbiasa sehingga terlatih dan mudah untuk puasa ketika sudah baligh. Inilah yang dulu para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, radhiyallahu ‘anhum melakukannya. Mereka mengajak anak-anaknya yang kecil untuk puasa sehingga satu di antara mereka menangis, maka diberi mainan yang membuat dia main dengannya hingga maghrib.
Adapun sifat keempat: yaitu kuat puasa
Artinya kuat untuk berpuasa tanpa susah payah. Maka kalau tidak kuat, tidak ada puasa atasnya.
Tetapi orang yang tidak kuat puasa itu terbagi dua golongan:
Golongan pertama: orang yang tidak kuat puasa terus menerus, permanen, seperti orang sudah tua dan orang sakit yang tak diharapkan sembuhnya. Golongan ini wajib memberi makan (ganti dari puasa) tiap harinya kepada satu orang miskin. Kalau bulan itu 30 hari maka memberi makan 30 orang miskin. Dan kalau bulan tu 29 hari maka memberi makan 29 orang miskin. Untuk memberi makan itu ada dua cara:
Cara pertama; hendaknya mengeluarkan biji-bijian berupa beras atau gandum, ukurannya seperempat sho’ yaitu sho’nya Nabi saw sama dengan 2,4 Kilogram gandum/ beras yang baik. Yakni bahwa anda bila menimbang beras yang baik yang mencapai 2,4 kilogram, maka itu adalah satu sho’, yaitu sho’nya Nabi saw. Satu sho’nya Nabi saw itu 4 mud, maka satu sho’ itu mencukupi untuk 4 orang miskin. (fatwa yang lain, menyebut setengah sho’ sekitar 1,5 kilogram, pen).
(Satu sho’ = 2,4 kg = 4 mud. Jadi satu hari tak puasa diganti dengan satu mud, sedang satu sho’ untuk 4 orang miskin maka masing-masing 0,6 kg tetapi fatwa yang lain menyebut, satu sho’ 3 kilogram, sedang untuk satu orang miskin setengah sho’. Wallahu a’lam).
Baik juga dalam hal ini, ketika memberikan makanan kepada fakir itu disertai lauknya berupa daging atau lainnya sesuai dengan tuntutan keadaan dan kebiasaan (setempat).
Segi yang kedua dari makanan itu: maka hendaknya membuat makanan yang cukup untuk 30 atau 29 orang fakir sesuai bilangan satu bulan itu, dan mengundang mereka ke hidangan itu seperti yang disebutkan hal itu dari Anas bin Malik radhiyallalhu ‘anhu ketika dia tua. Tidak boleh memberi makan hanya satu orang saja dengan seukuran mencukupi 30 atau 29 orang, karena mesti makanan itu (menjadi ganti) dari setiap hari satu orang miskin.
Adapun golongan kedua dari orang yang tak kuat puasa; yaitu yang diharapkan sembuhnya, yaitu yang tak kuatnya hanya sementara, seperti sakit yang terjadi bagi seseorang di tengah puasa, dan saat itu dia sulit untuk puasa. Maka kami katakan kepadanya; berbukalah, dan qodho’ lah/ gantilah hari yang anda batal itu, karena firman Allah Ta’ala

“فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ“ الآية [البقرة: من 184] .

(Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS Al-Baqarah: 184).
Sifat kelima: muqim, lawan kata musafir.
Musafir yaitu orang yang berpisah/ meninggalkan negerinya/ tempat tinggalnya, dia tidak wajib puasa. Karena firman Allah Ta’ala:

“فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ“ الآية (البقرة: 184)

(Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS Al-Baqarah: 184).
Tetapi lebih utama agar puasa, kecuali kalau berat atasnya maka lebih utama berbuka. Karena kata Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu ; Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari yang sangat panas dan tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah.
Adapun ketika berat atasnya berpuasa maka berbuka itu mesti, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikeluhi orang-orang, yang mereka itu sungguh berat berpuasa, maka mereka berbuka. Kemudian dikatakan kepada beliau: bahwa sebagian orang sungguh (tetap) berpuasa, maka beliau bersabda: “mereka itu ‘ushot/ orang-orang maksiat, mereka itu ‘ushot/ orang-orang maksiat”.
Sifat keenam; sepi dari halangan-halangan.
Artinya berupa penghalang kewajiban, dan ini khusus bagi perempuan; maka disyaratkan dalam wajibnya melaksanakan puasa adalah hendaknya tidak dalam keadaan haidh dan tidak pula nifas (keluar darah karena beranak).
Apabila perempuan sedang haidh atau nifas maka tidak wajib baginya puasa, hanya saja dia mengqadha’/ mengganti hari-hari yang dia berbuka. Karena sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang menetapkan hal itu:

َفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : { أَلَيْسَ إذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ ؟ }

“Bukankah ketika dia haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR Al-Bukhari).
Apabila wanita sedang haidh maka tidak ada puasa atasnya, tetapi menggantinya di hari-hari lain.
Di sini ada dua masalah yang seyogyanya cerdas terhadap keduanya:
Masalah pertama: Bahwa sebagian wanita, suci dari haidh pada akhir malam, dan dia tahu bahwa telah suci, tetapi dia tidak puasa di hari itu dengan sangkaan bahwa jika dia belum mandi maka puasanya tidak sah. Perkaranya tidak seperti itu. Bahkan puasanya sah walaupun belum mandi kecuali (belum mandinya itu) setelah terbit matahari.
Masalah kedua: Sebagian perempuan sedang puasa, lalu ketika terbenam matahari dan berbuka, datanglah haidh padanya sebelum shalat maghrib. Maka sebagian perempuan berkata: sesungguhnya apabila datangnya haidh itu setelah berbuka sebelum sholat maghrib maka puasanya siang itu batal, dan sebagian perempuan kebangetan pula, dan berkata: apabila datangnya haidh sebelum sholat isya’ maka puasanya hari itu batal. Ini semua tidak benar.
Maka wanita itu apabila terbenam matahari dan dia belum melihat haidh keluar, maka puasanya sah, hingga kalaupun haidh keluar sekejap setelah matahari tenggelam maka puasanya sah.
Inilah 6 sifat apabila terkumpul dalam diri seseorang maka dia wajib berpuasa Ramadhan, secara langsung melaksanakannya (adaa’an/ bukan qodho’) dan tidak halal baginya untuk berbuka (sebelum waktunya). Apabila ada salah satu yang tak terpenuhi (dari 6 sifat itu) maka aturannya seperti tersebut di atas.

[فقه العبادات لابن عثيمين. ص:173- 178]. / Fiqhul ‘Ibaadaat, oleh Ibnu ‘Utsaimin, halaman 173-178). محمد بن صالح العثيمين -رحمه الله -عضو هيئة التدريس بكلية الشريعة جامعة الإمام محمد بن سعود الإسلامية وعضو هيئة كبار العلماء

كتاب الصيام/شروط الصيام التاريخ 1/9/1423هـ

* Judul semula: Yang Wajib Puasa Ramadhan


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers