A. MAKAN SAHUR
 
Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amru bin al-‘Ash bahwa Rasulullah bersabda:
 
“Perbedaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)
 
Dari Salman, Rasulullah bersabda:
 
“Berkah ada pada tiga hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. ath-Thabarani, 6/251, dengan sanad yang hasan dengan penguatnya, lihat Shifat Shaum an-Nabi, hlm. 44)
 
Disukai untuk mengakhirkan makan sahur, berdasarkan hadits Anas dari Zaid bin Tsabit, ia berkata,
 
Kami makan sahur bersama Rasulullah kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya, “Berapa jarak antara adzan[1] dan sahur?” Beliau menjawab, “Kadarnya (seperti orang membaca) 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih)
 
Namun apa yang diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dengan istilah imsak yaitu menahan (tidak makan) beberapa saat sebelum adzan Subuh adalah perbuatan bid’ah, karena dalam ajaran Nabi tidak ada imsak (menahan diri) kecuali bila adzan fajar dikumandangkan. Rasulullah bersabda:
 
“Apabila Bilal mengumandangkan adzan (pertama), maka (tetap) makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih)
 
Bahkan bagi orang yang ketika adzan dikumandangkan masih memegang gelas dan semisalnya untuk minum, diberikan rukhshah (keringanan) khusus baginya sehingga dia boleh meminumnya. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
 
“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga menuntaskan hajatnya dari bejana (tersebut).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud serta dihasankan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi al-Wadi’i dalam al-Jami’ ash-Shahih, 2/418—419)
 
Hukum makan sahur adalah sunnah muakkadah. Ibnul Mundzir berkata, “Umat ini telah bersepakat bahwa makan sahur hukumnya sunnah, dan tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya, berdasarkan hadits Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda:
 
“Makan sahurlah, karena sesungguhnya pada makan sahur itu ada berkahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
 
Dianjurkan makan sahur dengan buah kurma jika ada, boleh pula dengan yang lain, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
 
“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah buah kurma.” (HR. Abu Dawud, 2/2345, dan Ibnu Hibban, 8/3475, al-Baihaqi, 4/236, serta disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)
 
Jika seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum, dibolehkan dia makan dan minum hingga dia yakin bahwa fajar telah terbit. Firman Allah:
“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ….” (al-Baqarah: 187)
 
As-Sa’di berkata, “Pada (ayat ini) terdapat (dalil) bahwa jika (seseorang) makan dan semisalnya dalam keadaan ragu akan terbitnya fajar maka (yang demikian) tidak mengapa.” (Taisir al-Karim ar-Rahman hlm. 87)
 
B. BERBUKA PUASA
 
Orang yang berpuasa dianjurkan untuk menyegerakan berbuka jika memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh menundanya meski ia merasa masih kuat untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun al-Audi meriwayatkan:
 
“Para sahabat Muhammad adalah orang yang paling bersegera berbukanya dan paling lambat sahurnya.” (HR. al-Baihaqi, 4/238, dan al-Hafizh Ibnu Hajar mensahihkan sanadnya)
 
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Menyegerakan berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam matahari, bukan karena adzan. Namun di waktu sekarang (banyak) manusia menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum mengumandangkan adzan.” (asy-Syarh al-Mumti’)
 
Berbuka puasa dilakukan dalam keadaan ia mengetahui dengan yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat di lautan dan semisalnya. Adapun hanya sekadar menduga dengan kegelapan dan semisalnya, bukanlah dalil atas terbenamnya matahari. Wallahu a’lam.
 
Menyegerakan buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah. Sahl bin Sa’d meriwayatkan Rasulullah bersabda:
 
“Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” (HR. al-Hakim, 1/599, Ibnu Hibban, 8/3510, dengan sanad yang sahih. Lihat Shifat Shaum an-Nabi hlm. 63)
 
Menyegerakan berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah bersabda:
 
“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan buka puasa.” (HR. al-Bukhari, 2/1856, dan Muslim, 2/1098)
 
Menyegerakan berbuka puasa juga merupakan perbuatan menyelisihi Yahudi dan Nasrani. Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda:
 
“Senantiasa agama ini tampak jelas selama manusia menyegerakan buka puasa karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud, 2/2353, Ibnu Majah, 1/1698, an-Nasai dalam al-Kubra, 2/253, dan Ibnu Hibban, 8/3503, dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani)
 
Selain itu, bersegera dalam berbuka puasa termasuk akhlak kenabian. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah:
 
“Tiga hal dari akhlak kenabian: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. ad-Daruquthni, 1/284, dan al-Baihaqi, 2/29)
 
Orang harus berbuka puasa lebih dahulu sebelum shalat Maghrib, berdasarkan hadits Anas bahwa Rasulullah berbuka puasa sebelum shalat (Maghrib). Dan makanan yang paling dianjurkan untuk berbuka puasa adalah kurma. Anas bin Malik berkata,
 
“Adalah Nabi berbuka dengan ruthab (kurma basah) sebelum shalat (Maghrib). Bila tidak ada ruthab maka dengan tamr (kurma kering). Bila tidak ada maka dengan beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud, 2/2356, at-Tirmidzi, 3/696, ad-Daruquthni, 2/185, dengan sanad yang sahih, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)
 
Jangan lupa, berdoa sebelum berbuka puasa dengan doa:
 
“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala insya Allah Ta’ala.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, 2/255, ad-Daruquthni, 2/185, dan al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani)
 
Orang yang menjalankan ibadah puasa diharuskan menjauhkan perkataan dusta sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
 
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka tidak ada keinginan Allah pada puasanya.” (HR. al-Bukhari no. 1804)
 
Catatan kaki:
[1] Yang dimaksud adalah iqamat, karena terkadang iqamah disebut adzan, wallahu a’lam. Yang dimaksud dengan sahur adalah akhir waktu sahur yaitu ketika masuk waktu subuh, sebagaimana akan lebih jelas dalam “Sahur dan Berbuka” pada halaman 199 -red.
 
 
 
C. PEMBATAL PUASA
 
a. Makan dan minum dengan sengaja
 
Allah berfirman:
 
“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam dari fajar kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (al-Baqarah: 187)
 
Namun jika seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Rasulullah:
 
“Jika ia lupa lalu makan dan minum hendaklah dia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. al-Bukhari no. 1831 dan Muslim no. 1155)
 
b. Keluar darah haid dan nifas
 
Hal ini sebagaimana dikatakan ‘Aisyah, “Adalah kami mengalami (haid), maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
 
Para ulama telah sepakat dalam perkara ini.
 
c. Melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan
 
Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan secara terus-menerus. Bila tidak mampu juga maka memberi makan 60 orang miskin. Tidak ada qadha baginya menurut pendapat yang kuat. Hukum ini berlaku secara umum baik bagi laki-laki maupun perempuan.
 
Adapun bila seseorang melakukan hubungan suami-istri karena lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang kuat dari para ulama adalah puasanya tidak batal, tidak ada qadha, dan tidak pula kaffarah.
 
Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
 
“Barang siapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya).” (HR. al-Baihaqi, 4/229, Ibnu Khuzaimah, 3/1990, ad-Daruquthni, 2/178, Ibnu Hibban, 8/3521, dan al-Hakim, 1/595, dengan sanad yang shahih)
 
Kata ifthar mencakup makan, minum, dan bersetubuh. Inilah pendapat jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan asy-Syaukani rahimahumallah.
 
d. Berbekam
 
Ini termasuk perkara yang membatalkan puasa menurut pendapat yang rajih, berdasarkan hadits Rasulullah:
 
“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam.” (HR. at-Tirmidzi, 3/774, Abu Dawud, 2/236, 2370—2371, an-Nasa’i, 2/228, Ibnu Majah no. 1679, dan lainnya)
 
Hadits ini sahih dan diriwayatkan oleh kurang lebih delapan belas sahabat serta disahihkan oleh para ulama seperti al-Imam Ahmad, al-Bukhari, Ibnul Madini, dan yang lainnya. Ini merupakan pendapat al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah serta dikuatkan oleh Ibnul Mundzir.
 
D. ADA BEBERAPA PERKARA LAIN YANG JUGA DISEBUTKAN SEBAGIAN PARA ULAMA BAHWA HAL TERSEBUT TERMASUK PEMBATAL PUASA. DI ANTARANYA:
 
a. Muntah dengan sengaja
 
Namun yang rajih dari pendapat ulama bahwa muntah tidaklah membatalkan puasa secara mutlak, sengaja atau tidak sengaja. Sebab asal puasa seorang muslim adalah sah, tidaklah sesuatu itu membatalkan kecuali dengan dalil. Adapun hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
 
“Barang siapa yang dikalahkan oleh muntahnya maka tidak ada sesuatu atasnya dan barang siapa yang sengaja muntah maka hendaklah dia mengqadha (menggantinya).” (HR. Ahmad, 2/498, at-Tirmidzi, 3/720, Abu Dawud, no. 2376 dan 2380, Ibnu Majah no. 1676)
 
Hadits ini dilemahkan oleh para ulama, di antaranya al-Bukhari dan Ahmad. Juga dilemahkan oleh asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahumullah.
Namun jika muntah tersebut keluar lalu dia sengaja memasukkannya kembali maka hal ini membatalkan puasanya.
 
b. Menggunakan cairan pengganti makanan seperti infus
 
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama dan yang rajih bahwa suntikan terbagi menjadi dua bagian:
 
1. Suntikan yang kedudukannya sebagai pengganti makanan, maka hal ini membatalkan puasanya. Sebab bila didapatkan sesuatu yang termasuk dalam penggambaran yang sama dengan nash-nash syariat maka dihukumi sama seperti yang terdapat dalam nash.
 
2. Suntikan yang tidak berkedudukan sebagai pengganti makanan, maka hal ini tidaklah membatalkan puasa. Sebab gambarannya tidak seperti yang terdapat dalam nash baik lafadz maupun makna. Tidak dikatakan makan dan tidak pula minum, serta tidak pula termasuk dalam makna keduanya. Asalnya adalah sahnya puasa seorang muslim sampai meyakinkan pembatalnya berdasarkan dalil yang syar’i. (lihat fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Fatawa Islamiyyah, 2/130, fatwa asy-Syaikh Bin Baz dalam Fatawa Ramadhan, 2/485, Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah, 2/486, dan fatwa Syaikhul Islam rahimahumullah dalam Haqiqatu ash-Shiyam, 54—60)
 
Namun asy-Syaikh Muqbil menasihatkan bagi orang yang sakit untuk berbuka dan tidak berpuasa, agar tidak terjatuh ke dalam sesuatu yang menimbulkan syubhat. (Min Fatawa ash-Shiyam hlm. 6)
 
c. Onani
 
Pendapat yang rajih dari pendapat para ulama bahwa onani tidaklah membatalkan puasa, namun termasuk perbuatan dosa yang diharamkan melakukannya, baik ketika berpuasa maupun tidak. Allah berfirman menyebutkan di antara ciri-ciri orang mukmin:
 
“Dan (mereka adalah) orang yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istrinya atau budak wanita yang mereka miliki. Maka sesungguhnya (hal itu) tidak tercela. Maka barang siapa yang mencari selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (al-Mu’minun: 5—7)
 
 
 
E. HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN BAGI ORANG YANG BERPUASA
 
a. Bersiwak
 
Rasulullah bersabda:
 
“Jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap hendak shalat.” (Muttafaq ‘alaih)
 
b. Masuknya waktu fajar dalam keadaan junub
 
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah bahwa Nabi mendapati waktu fajar dalam keadaan junub setelah (bersetubuh dengan) istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (Muttafaq ‘alaihi)
 
c. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan
 
Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
 
“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung ketika berwudhu) kecuali bila kalian berpuasa.” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan at-Tirmidzi, 3/788, an-Nasa’i, 1/66, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)
 
d. Menggauli istri selain bersetubuh
 
Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah, “Adalah Rasulullah mencium (istrinya) dan beliau berpuasa, menggaulinya (bukan jima’) dan beliau berpuasa.” (Muttafaqun ‘alaihi)
 
e. Mencicipi makanan dan menciumnya asal tidak memasukkan ke dalam kerongkongan
 
Ibnu ‘Abbas berkata, “Tidak mengapa seseorang mencicipi cuka atau sesuatu (yang lain) selama tidak masuk kerongkongannya dalam keadaan dia berpuasa.” (Diriwayatkan al-Bukhari secara mu’allaq dan disambung sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi)
 
f. Mandi di siang hari
 
Sebagaimana yang terdapat pada kisah junub Nabi yang telah lalu.
 
F. PERBUATAN YANG DIANJURKAN DI BULAN RAMADHAN
 
a. Memperbanyak shadaqah
 
b. Memperbanyak bacaan Al-Qur’an, zikir, doa, dan shalat
 
Ibnu ‘Abbas meriwayatkan:
 
“Adalah Rasulullah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya lalu membacakan kepadanya Al-Qur’an.” (HR. al-Bukhari)
 
c. Memberikan makan kepada orang yang berbuka puasa
 
Rasulullah bersabda:
 
“Barang siapa yang memberi makan orang yang berpuasa maka baginya seperti pahala (yang berpuasa) dalam keadaan tidak mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. Ahmad, 4/114, at-Tirmidzi, 3/807, Ibnu Majah, 1/1746, ad-Darimi no. 1702, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi). Wallahul muwaffiq.
 
 
 
G. HAL-HAL YANG DIANGGAP MEMBATALKAN PUASA
 
Berbicara puasa tentu tidak bisa dipisahkan dengan hal-hal yang membatalkannya. Menjadi urgen untuk terus dikaji karena di masyarakat juga tumbuh fikih-fikih tertentu kaitannya dengan pembatal-pembatal puasa yang sangat masyhur, namun sesungguhnya tidak dibangun di atas dalil.
 
Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama. Namun ada pula hanya sekadar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.
 
Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan—cetakan pertama dari penerbit Adhwa’ as-Salaf—yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh al-‘Utsaimin, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
 
Di antara faedah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
 
1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya, seperti orang yang menunaikan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba.
 
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata, “Pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa), dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).”
 
Kemudian beliau membawakan beberapa dalil. Di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:
 
“Ya Allah, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (al-Baqarah: 286)
 
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
 
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat an-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426—428)
 
Yang dimaksud oleh asy-Syaikh al-‘Utsaimin adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)
 
2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
 
“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di dalam al-Irwa’ no. 930)
 
Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak memuntahkan apa yang ada dalam perutnya karena hal ini akan membatalkan puasanya. Jangan pula dia menahan muntahnya karena ini pun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)
 
3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Asy-Syaikh Ibnu Baz berkata, “Tidak mengapa untuk menelan ludah. Saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak, wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
 
4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka, atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit, tidaklah membatalkan puasa. Asy-Syaikh al-‘Utsaimin berkata dalam beberapa fatwanya:
 
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah memengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak tertelan….”
b. “Tes darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa, yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya, tidaklah mengapa….”
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak jika berakibat sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)….” (Fatawa Ramadhan, 2/460—466)
 
Maka, orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).
 
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari. Namun yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.
 
5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat, apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam, yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510—511)
 
6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa selama tidak keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits sahih yang artinya, “Dahulu Rasulullah mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa. Akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab al-Irwa’, hadits no. 934)
 
Akan tetapi bagi orang yang mengkhawatirkan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekadar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah bersabda:
 
“(Orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku (Allah).” (Sahih, HR. Muslim)
 
Beliau juga bersabda:
 
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, dan At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.” Dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’)
 
7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirup atau mengisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam kerongkongan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, tidaklah membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan at-Tirmidzi, 3/788, an-Nasa’i, 1/66, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’, hadits no. 935)
 
8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke kerongkongan.
 
9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk kerongkongan.
 
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas dalam sebuah atsar, “Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang akan dia beli.” (Atsar ini dihasankan asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’ no. 937)
 
Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah tentu telah menjelaskan seluruh hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta penjelasan para ulama.
 
Wallahu a’lam bish-shawab.
 
 


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers