Sisi lain yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini berkatagori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ”.
“Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak membutuhkan puasanya)”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma menyampaikan petuahnya,
“إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ الْكَذِبِ وَالْمَحَارِمِ وَدَعْ أَذَى الْجَارِ, وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِيْنَةٌ يَوْمَ صَوْمِكَ, وَلاَ تَجْعَلْ يَوْمَ صَوْمِكَ وَيَوْمَ فِطْرِكَ سَوَاء”.
“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu juga turut berpuasa dari dusta serta hal-hal haram dan janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama”[4].
Orang yang menahan lisannya dari ghibah dan matanya dari memandang hal-hal yang haram ketika berpuasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih baik daripada orang yang berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi! Inilah realita mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan kemaksiatan.
Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya tentang arti taqwa, “Taqwa adalah menjalankan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram”, jawab beliau. Para ulama menegaskan, “Inilah ketakwaan yang sejati. Adapun mencampuradukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, maka ini tidak masuk dalam bingkai taqwa, meski dibarengi dengan amalan-amalan sunnah”.
Oleh sebab itu para ulama merasa heran terhadap sosok yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap dosa. Ibnu Rajab al-Hambali bertutur, “Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan, minuman dan jima’, ini sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal mubah yang diperbolehkan. Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya dibolehkan seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman; seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa”.
-bersambung-
Ditulis oleh Ust. Abdullah Zaen, Lc, M.A
Endnote:
[4] Lathâ’if al-Ma’ârif, karya Ibnu Rajab al-Hambali, hal: 292.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers