Fatwa Syaikh Abdul Aziz Bin Baz

Soal:
Saudara perempuan saya dalam kurun waktu bertahun-tahun tidak pernah meng-qadha puasa yang ditinggalkannya karena sebab tamu bulanan (haid). Hal itu dikarenakan ia jahil (tidak tahu) terhadap hukum meng-qadha puasa. Lebih lagi banyak wanita dari kalangan orang awam berkata kepadanya bahwa ia tidak perlu meng-qadha. Bagaimana solusinya?
Jawab:
Ia wajib istighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya. Dan ia wajib berpuasa sebanyak hari yang ia tinggalkan ditambah memberi makan satu orang miskin setiap harinya, sebagaimana difatwakan oleh oleh sebagaian sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Memberi makan sebanyak setengah sha, sekitar 1,5 kilogram.
Kewajiban ini tidak gugur darinya hanya karena perkataan wanita-wanita awam terhadapnya bahwa tidak perlu meng-qadha. ’Aisyah radhiallahu’anha berkata:
كنا نؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
Kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat” (Muttafaqun ‘alaihi)
Jika datang Ramadhan dan ia belum meng-qadha maka ia berdosa. Maka ia wajib untuk meng-qadha dan bertaubat serta memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan, jika ia mampu. Jika ia faqir tidak mampu memberi makan (fidyah), maka sudah cukup baginya meng-qadha puasa dan bertaubat. Gugur darinya kewajiban membayar fidyah. Jika ia tidak mengetahui hitungan hari yang ditinggalkannya, hendaknya ia memperkirakannya lalu berpuasa sebanyak hari yang menurut perkiraannya itu hari puasa yang ia tinggalkan, ini sudah mencukupi baginya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُم
Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghabun: 16)
Salah satu bentuk rahmah Allah adalah tidak diwajibkannya wanita haid untuk meng-qadha shalat, karena dengan meng-qadha nya akan menjadi masyaqqah (kesulitan). Dan kepada orang yang sakit hendaknya mereka bersemangat untuk menegakkan shalat sesuai kemampuannya walaupun ia harus shalat dengan pakaian yang terkena najis ketika tidak memiliki pakaian yang suci. Ia juga bisa shalat dengan ber-tayammum jika tidak mampu untuk wudhu dengan air, berdasarkan ayat yang barusan disebutkan, yaitu ayat (yang artinya) “bertaqwalah kepada Allah semampu kalian“. Orang sakit pun boleh shalat tidak menghadap kiblat jika memang tidak mampu menghadapkan diri ke kiblat, ia juga boleh shalat semampunya dengan berdiri atau duduk ataupun sambil berbaring ataupun telentang. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada Imran bin Hushain yang sedang sakit:
صل قائماً فإن لم تستطع فقاعداً، فإن لم تستطع فعلى جنب، فإن لم تستطع فمستلقياً
Shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka sambil duduk, jika tidak mampu maka sambil berbaring, jika tidak mampu maka sambil telentang” (HR. Al Bukhari dalam Shahih-nya, An Nasa-i dalam Sunan-nya. Ini lafadz An Nasa-i)
Kecuali jika orang yang sakit itu hilang akalnya, maka tidak ada kewajiban qadha baginya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
رُفع القلم عن ثلاثة: عن النائم حتى يستيقظ، وعن المجنون حتى يفيق، وعن الصغير حتى يبلغ
Pena diangkat dari 3 jenis orang: orang yang tidur sampai ia bangun, orang yang gila sampai ia waras, anak kecil sampai ia baligh” (HR. Ahmad 896, Ibnu Majah 2031, Abu Daud 3825)
Namun jika hilang akalnya hanya 2-3 hari karena sakit lalu kemudian ia sadar maka ia tetap wajib qadha karena keadaannya tersebut semisal dengan orang tidur. Wallahu Waliyyut Taufiq.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers