Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi Lc


Ramadhan adalah bulan mulia, selalu ditunggu dan diharapkan kedatangannya oleh kaum mukminin. Al Qur’an turun pada bulan ini. Dan pada bulan ini, Allah menjadikannya sebagai bulan puasa dan ketakwaan, sebagaimana firman Allah :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa". [al Baqarah/2 :185].


Dalam ayat di atas, Ramadhan dinyatakan sebagai bulan turunnya Al Qur’an. Pernyataan tersebut diikuti dengan perintah yang dimulai dengan huruf (ف ), yang berfungsi menunjukkan makna “alasan dan sebab” – dalam ( فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ). Hal itu menunjukkan, yang menjadi penyebab dipilihnya bulan Ramadhan sebagai bulan puasa, ialah karena di dalamnya diturunkan Al Qur’an.

Sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan hari akhir, sudah seharusnya kita bersungguh-sungguh memperhatikan bulan Ramadhan ini, agar dapat mencapai apa yang diharapkan dan ditunggu-tunggu.

Salah satu bentuk perhatian tersebut, yaitu menghitung bulan Sya’ban 29 hari. Karena hitungan satu bulan dalam Islam adalah 29 hari atau 30 hari, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ )رواه البخاري(

"Satu bulan itu 29 malam. Maka jangan berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari" [1].

BAGAIMANA MENENTUKAN AWAL RAMADHAN
Dalam menentukan permulaan bulan Ramadhan, kita diperintahkan untuk melihat hilal atau menyempurnakan jumlah bulan Sya’ban 30 hari, bila hilal terhalang dari penglihatan manusia. Itulah satu-satunya cara yang disyari’atkan dalam Islam, sebagaimana diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam banyak hadits, diantaranya:

Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

"Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Dan jika melihatnya kembali, maka berbukalah (berhari Raya ‘Ied). Lalu, jika kalian terhalangi (tidak dapat melihatnya), maka ukurlah". [2]

Kata (فَاقْدُرُوا ) dalam hadits ini dijelaskan Rasulullah dalam hadits Ibnu Umar di atas dengan lafadz : فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ dan dalam riwayat lain dengan lafadz :

فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَقْدُرُوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ

"Jika kalian terhalang melihatnya, maka ukurlah untuknya tigapuluh". [3]

Demikian juga dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

"Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah kalian (untuk Iedul Fithri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup oleh mendung, maka sempurnakanlah Sya’ban 30 hari".[4]

Dalam riwayat lain :

فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الْشَهرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ dan dalam lafadz lainnya: فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعَدَدَ

Serta dalam lafadz lainnya فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُم فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا .

Hal ini cukup jelas, apalagi ditambah dengan hadits ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ

"Jika datang Ramadhan maka berpuasalah 30 hari kecuali kalian telah melihat hilal sebelumnya" [5].

Ibnu Hajar menyatakan, masih terdapat lagi beberapa hadits penguat tentang penyempurnaan 30 hari ini, dari hadits Hudzaifah dari riwayat Ibnu Khuzaimah, Abu Hurairah dan Ibnu Abas dalam Sunan Abu Daud dan Sunan An Nasa’i dan lainnya.[6]

Adapun hadits Hudzaifah Radhiyallahu anhu dengan lafadz :

لَا تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ

"Janganlah kalian memulai bulan baru sampai melihat hilal atau menyempurnakan bilangan bulan, kemudian berpuasalah sampai melihat hilal atau menyempurnakan jumlah bilangan harinya" [6].

Sedangkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu telah diisyaratkan dii atas, dan hadits Ibnu Abas Radhiyallahu anhu adalah :

لَا تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ

"Janganlah mendahului Ramadhan dengan satu hari puasa atau dua hari, kecuali puasa yang biasa salah seorang kalian lakukan, dan janganlah berpuasa sampai kalian melihatnya (hilal), kemuidan berpuasalah sampai melihatnya. Jika terhalang mendung, maka sempurnakanlah bilangan hari 30, kemudian ber-Iedul Fithri dan bulan itu 29 hari".[8]

Hal inipun ditegaskan dengan perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dalam pernyataannya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ

"Dulu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memperhatikan bulan Sya’ban, melebihi perhatiannya terhadap bulan lain, kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa karena melihat hilal Ramadhan. Jika terhalang mendung, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menggenapkan 30 hari, kemudian berpuasa".[9]

Dan pernyataan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثًا حَتَّى ذَكَرَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ

"Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghisab, bulan itu demikian, demikian dan demikian tiga kali, sampai menyebut 29".

Demikianlah penjelasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang permasalahan ini. Cukuplah keterangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ini sebagai sebaik-baiknya penjelas. Oleh karena itulah telah terjadi Ijma’ tentang penentuan bulan Ramadhan dengan melihat hilal (ru’yah). Jika melihat adanya hilal, maka wajib berpuasa, sebagaimana pendapat para ulama, diantaranya: Ibnu Al Mundzir [10], Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H)[11] dan Ibnu Taimiyah [12].

Penentuan bulan dengan melihat hilal, juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah Azza wa Jalla .

يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

"Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: "Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji".[al- Baqarah/2 :189].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, ”Allah Azza wa Jalla (dalam ayat ini) mengkhabarkan bahwa hilal adalah tanda waktu bagi manusia. Dan ini umum dalam seluruh urusan mereka. Dikhususkan penyebutan haji dalam ayat ini, sebagai pembeda. Dan karena haji disaksikan para malaikat dan makhluk lainnya, serta haji berada di akhir bulan dalam setahun, sehingga menjadi tanda untuk tahun, sebagaimana hilal menjadi tanda untuk bulan. Oleh karena itu, bangsa Arab menyatakan, ‘usianya tujuh puluh haji dan kami tinggal selama lima haji’. Allah Azza wa Jalla telah menjadikan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia dalam hukum-hukum syari’at, atau sebab dari ibadah dan untuk hukum-hukum yang ditetapkan dengan syarat-syarat hamba, sehingga semua yang ada dari waktu-waktu dalam syari’at atau syarat, maka hilal sebagai batas waktunya. Termasuk dalam hal ini, yaitu puasa, haji, masa illa’ dan iddah dan puasa kafarat. Kelima perkara itu ditetapkan dalam Al Qur’an.”[13]

Dari sini kita ketahui bahwa tidak diwajibkan puasa dengan penunjukan hisab. Sehingga, seandainya ulama telah menetapkan secara hisab falakiyah bahwa malam ini adalah malam Ramadhan, namun mereka pada waktu itu belum melihat hilal, maka tidak berpuasa. Karena syari’at menentukan hukum ini dengan sesuatu yang ter-indrakan, yaitu melihat hilal.”[14]

Oleh kerenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Kita sudah mengetahui dengan pasti bahwa termasuk dalam agama Islam, yaitu beramal dengan melihat hilal puasa, haji, atau iddah (masa menunggu), atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berhubungan dengan hilal. Adapun pengambilan dengan cara mengambil berita orang yang menghitungnya dengan hisab, baik dia melihat ataupun tidak, maka tidak boleh. Nash-nash yang masyhur dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini cukup banyak, dan kaum musliminpun telah Ijma’ atasnya, dan sama sekali tidak diketahui adanya perselisihan baik (pada waktu) terdahulu ataupun sekarang, kecuali sebagian mutafaqqihah mutaakhirin setelah tahun tiga ratusan, (yang) menyatakan, jika hilal terhalang mendung, diperbolehkan al hasib (orang yang bisa menghisab) beramal dengan hisab untuk dirinya sendiri. Jika hisab menunjukkan ru’yah maka ia berpuasa, kalau tidak, maka tidak boleh. Pendapat ini, walaupun terbatas pada keadaan mendung dan khusus untuk orang yang menghisab saja, namun tetap merupakan pendapat syadz (aneh) yang menyelisihi Ijma’ yang ada. Sedangkan mengikuti hisab pada keadaan cerah, atau menentukan perkara syari’at umum yang lain dengan hisab, maka ini tidak dikatakan oleh seorang muslimpun.” [15]

Demikian juga Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menggantungkan perkara puasa dan Ied (fithri) dengan sesuatu yang tampak. Sehingga manusia dapat mengetahui secara jelas urusan mereka. Yaitu dengan melihat hilal bulan, atau menyempurnakan bilangan bulan yang lalu 30 hari. Karena tidak mungkin lebih dari 30 hari. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan umatnya untuk puasa bila melihat hilal Ramadhan, dan memerintahkan berbuka Iedul Fithri bila melihat hilal Syawal. Jika ada halangan melihatnya karena mendung atau sejenisnya, maka mereka menyempurnakan jumlah bulan terdahulu (yaitu) 30 hari, karena pada asalnya demikian, sehingga tidak dihukumi keluar dari bulan tersebut kecuali dengan keyakinan”.[16]

Namun penentuan bulan Ramadhan dengan cara melihat hilal ini dapat ditetapkan dengan persaksian seorang muslim yang adil, sebagaimana dikatakan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu :

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ النبي أَنِّيْ رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

"Manusia sedang mencari hilal, lalu aku khabarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya, maka Beliau berpuasa dan memerintahkan manuasia untuk berpuasa".[17]

KAPAN DIAKUI ADANYA HILAL?
Manusia berselisih tentang hilal, apakah ia merupakan nama untuk hilal yang terbit di langit, ataukah tidak dinamakan hilal sampai manusia melihat dan mengetahuinya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memandang, hilal ini diambil dari makna tampak dan mengangkat suara. Berdasarkan hal ini, maka terbitnya hilal di langit jika tidak tampak dari permukaan bumi, maka tidak ada hukumnya sama sekali. Dan sesungguhnya nama hilal diambil dari perbuatan manusia. Dikatakan ( أَهْلَلْنَا الْهِلاَل وَاسْتَهْلَلْنَاه ) sehingga tidak ada hilal, kecuali yang tampak. Bila seorang atau dua orang melihat hilal, lalu tidak memberitahukannya (kepada umum), maka hal itu tidak dikatakan hilal. Tidak ditetapkan hukumnya sampai diberitahukan. Sehingga pemberiatahuan inilah yang dinamakan hilal, yang bermakna mengangkat suara dengan memberitahukannya. Juga karena beban syari’at mengikuti ilmu. Maka jika tidak diketahui keberadaannya, tidak diwajibkan berpuasa” [18].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Pertama, kata hilal adalah nama sesuatu yang ditampakkan, yang maknanya disuarakan. Dan disuarakan (diumumkan) tidak benar, kecuali dengan diketahui oleh mata dan pendengaran. Kedua, Allah menjadikannya sebagai tanda waktu bagi manusia. Tidak dapat menjadi tanda waktu bagi manusia, kecuali jika diketahui dengan mata dan telinga. Karena jika tidak diketahui, maka tidak mungkin menjadi tanda waktu.” [19]

Beliau rahimahullah juga menyatakan: “Tidak diwajibkan puasa, kecuali ketika diberitahukan dan terlihat, bukan ketika terbitnya [20]. Dan syarat dikatakan hilal, yaitu diketahui dan terlihatnya di kalangan orang banyak”.[21]

Kesimpulannya, hilal Ramadhan dianggap sebagai tanda masuk Ramadhan, jika terlihat oleh manusia atau sebagiannya, dan diberitahukan kepada yang lainnya, sehingga diketahui oleh khalayak ramai. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR Al Bukhari, dalam Shahih-nya, kitab Ash Shiyam, no. 1.907. Lihat Ibnu Hajar, Fat-hul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, tanpa cetakan dan tahun, Maktabah As Salafiyah, hlm. 4/119.
[2]. HR Al Bukhari, dalam Shahih-nya, kitab Ash Shiyam, no. 1.906. Lihat Fat-hul Bari, Op.Cit., hlm. 4/119 dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Ash Shaum, no. 2.500. Lihat An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al
Hajjaj, Tahqiq Asy Syaikh Kholil Ma’mun Syaikhu, Cetakan ketiga tahun 1417, Dar Al Ma’rifah, Bairut, hlm. 7/190.
[3]. HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab Ash Shaum, no. 2.496. Lihat Syarh An Nawawi, Op.Cit., hlm. 7/188
[4]. HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Ash Shaum, no. 1.909. Lihat Fat-hul Bari, Op.Cit. hlm. 4/119.
[5]. HR Ath Thahawi dan Ath Thabrany dalam Mu’jam Al Kabir (17/171) dan dihasankan Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, no. hadits 901.
[6]. Lihat pernyataan Ibnu Hajar dalam Fat-hul Bari, Op.Cit., hlm. 4/121 tentang hal ini.
[7]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shaum, Bab Idza Ughmiya Asy Syahru, no. 2.326, hlm. 2/744 dengan tahqiq ‘Izaat Ubaid Al Da’as.
[8]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shaum, no. 2.327.
[9]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shaum, no. 2.325, hlm. 2/744. Imam Nawawi berkata,”Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dan Ad Daraquthni, dan berkata bahwa sanadnya shahih.” Lihat Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab, tahqiq Muhammad Najib Al Muthi’i, Cetakan tahun 1415 H , Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi, hlm. 6/276.
[10]. Lihat Fat-hul Bari, Op.Cit., hlm. 4/123.
[11]. Muwaffaquddin Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Al Mughni, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin At Turki dan Abdul Fattah Muhammad Al Hulu, Cetakan Kedua, Tahun1312 H, Hajar, Kairo, Mesir, hlm. 4/326.
[12]. Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, tahqiq Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, tanpa tahun dan cetakan, hlm. 25/132.
[13]. Majmu’ Al Fatawa, Op.Cit., hlm. 132-133.
[14]. Diambil dari pernyataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, tahqiq Dr Sulaiman Aba Khoil dan Dr Kholid Al Musyaiqih, Cetakan Pertama, Tahun 1416 H, Muassasah Aasam, Riyaadh, KSA, hlm. 6/316.
[15]. Lihat Majmu’ al Fatawa, Op.Cit., hlm. 25/132.
[16]. Ibnu Utsaimin, Tambih Al Afhaam Bi Syarhi Umdah Al Ahkam, tanpa tahun dan cetakan, Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh KSA, hlm. 3/35.
[17]. HR Abu Dawud, dalam Sunan-nya kitab Ash Shaum, Op.Cit., hlm. 2/756, no. 2.342. dengan sanad yang shahih.
[18]. Dr. Ahmad Muwafi, Taisir Al Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyarat Al Fiqhiyah Li Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah, Cetakan Pertama, Tahun 1416, Dar Ibnu Al Jauzi, Dammam, KSA, hlm. 1/428.
[19]. Diringkas dari pernyataan beliau dalam Majmu’ Al Fatawa, Op.Cit., hlm. 25/112-113
[20]. Majmu’ Al Fatawa, Op.Cit., hlm. 25/111.
[21]. Ibid, 25/117


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers