Seseorang bertanya :Kenapa
Islam menganggap wanita seperti narapidana (tidak bebas keluar),harus
ditutup tubuh dan kepalanya (padahal panas), juga tidak boleh laki-laki
menyentuhnya, bukankah itu seperti zaman jahiliyah?
Dijawab : Karena Islam
menganggap wanita ibarat Ratu. Tidak sembarang orang bisa bertemu,
melihat dan menyentuh seorang Ratu. Seorang Ratu juga tidak seperti kuli
yang harus kerja berat, tidak seperti artis atau wanita malam yang
mengobral kecantikan dan tubuhnya. Seorang Ratu cukup diam dalam
singgasana kerajaannya, melayani dan mendampingi Rajanya
Orang-orang kafir hanya menghormati
wanita jika wanita tersebut adalah seorang Ratu Bangsawan yang
terhormat. Bagi yang pernah melihat film-film kerajaan pasti tahu
bagaimana rakyat menghormati ratunya. Jika seorang ratu keluar dari
kerajaannya, maka dia ditutupi oleh hijab/tabir, baik tatkala berjalan
maupun naik kendaraan, dan rakyatnya malu dan takut untuk menatap wajah
ratunya. Jika menatap saja tidak diperbolehkan oleh undang-undang
kerajaan, apalagi menyentuhnya? Dengan begitu, ratu tersebut menjadi
sangat terhormat di mata rakyatnya. Dan islam telah menjadikan
wanita-wanita muslimah semuanya ibarat seorang ratu yang sangat dihargai
dan dihormati. Maka islam mengatur tentang muamalah para wanita.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Wanita (istri) shalihah adalah yang
taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada dikarenakan Allah
telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (QS. An Nuur: 31).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah.” (QS. Al Ahzab: 33).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Hai Nabi, Katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Bahkan kalau tahu keadaan wanita pada
zaman jahiliyah dulu, mirip sekali dengan zaman ini, dan tidak seperti
dalam ajaran Islam untuk menghargai wanita. Dahulu di zaman Jahiliyah,
wanita-wanita yang berhijab (menutup auratnya) hanyalah dari kalangan
bangsawan atau wanita terhormat saja. Wanita zaman jahiliyah juga
dijadikan pekerja-pekerja seperti para laki-laki, mirip dengan
emansipasi wanita pada zaman sekarang. Belum lagi mereka banyak yang
dijual atau dijadikan budak-budak untuk memenuhi syahwat para laki-laki
hidung belang, sedangkan zaman sekarang tidak beda halnya, yaitu
banyaknya tempat-tempat lokalisasi dimana-mana. Pada zaman Jahiliyah,
wanita-wanita dijadikan pertunjukan atau dipertontonkan dari kecantikan
dan tubuhnya untuk hiburan orang-orang, sedangkan di zaman sekarang juga
sama, seperti para artis-artis yang menjual dan mempertontonkan
kecantikan serta tubuhnya di film, sinetron, musik dan majalah-majalah.
Manakah yang lebih menghargai wanita??? Islam, zaman Jahiliyah, zaman
sekarang, emansipasi wanita atau HAM????
Kondisi wanita di zaman Jahiliyah [1] :
- Masyarakat Jahiliyah konon menganggap
wanita sebagai sumber kecelakaan dan malapetaka. Kelahiran seorang bayi
perempuan mereka anggap sebagai kesialan. Tak berhenti sampai di situ,
mereka kadang menangani si mungil yang tak berdosa itu dengan penuh
kebengisan… benar, sebagian dari mereka bahkan tega menguburnya
hidup-hidup![2]
- Wanita tak memiliki hak sedikitpun terhadap harta warisan.
- Mereka tak sudi untuk makan dan minum bersamanya selama ia haidh.
- Bagi mereka, cerai tidak ada
batasannya. Seorang suami boleh mencerai isterinya semaunya, namun saat
masa iddahnya hampir selesai ia merujuknya, dan demikian seterusnya agar
wanita malang ini tetap tersiksa dan terlunta-lunta.
Riwayat-riwayat berikut menjelaskan
kepada kita bagaimana sebenarnya kondisi wanita Arab di zaman Jahiliyah.
Umar bin Khatthab mengatakan:
وَاللَّهِ إِنْ كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَا نَعُدُّ لِلنِّسَاءِ أَمْرًا حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِنَّ مَا أَنْزَلَ وَقَسَمَ لَهُنَّ مَا قَسَمَ
Demi Allah, semasa Jahiliyyah kami tak
pernah menganggap wanita punya kedudukan apapun, hingga Allah menurunkan
ayat-ayat tentang mereka dan menetapkan bagi mereka harta warisan.[3]
Dalam menjelaskan sebab turunnya surat An
Nisa ayat 19[4], Ibnu Abbas mengatakan: “Dahulu, bila seorang laki-laki
ditinggal mati oleh saudara atau ayahnya, maka ialah yang paling berhak
terhadap istri si mayit. Ia boleh memiliki wanita tersebut, atau
mengurungnya dalam rumah hingga menebus dirinya seharga mahar yang
dahulu diterimanya, atau dibiarkan sampai mati kemudian hartanya
diambil”.
Sedangkan Mujahid -murid Ibnu Abbas-
mengatakan: “Jika seorang bapak mati meninggalkan isterinya, maka yang
paling berhak terhadap isteri ayahnya ialah anaknya. Ia boleh
menikahinya jika wanita itu bukan ibu kandungnya, atau menikahkannya
dengan saudara atau keponakan yang dia sukai.” [5]
- Kebiasaan ‘gila’ lainnya yang dilakukan oleh orang Jahiliyah ialah ketika thawaf.
Al Imam Jalaluddin As Suyuti menyebutkan dalam tafsirnya:
“Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah,
Muslim, An Nasa’i, Ath Thabary, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu
Mardawaih dan Al Baihaqy dalam Sunan-nya dari Ibnu Abbas, katanya:
“Dahulu kaum wanita thawaf di baitullah dalam keadaan telanjang, mereka
hanya menutup kemaluannya dengan secarik kain. Dalam thawafnya mereka
mengatakan:
“Hari ini nampaklah seluruhnya atau sebagian, dan yang nampak hari ini takkan kurelakan”
Said bin Jubair mengatakan: “Orang-orang
Jahiliyah biasa thawaf dalam keadaan telanjang. Mereka mengatakan: “Kami
tidak akan thawaf dengan pakaian yang berlumuran dosa”. Maka datanglah
seorang wanita yang mencampakkan pakaiannya kemudian thawaf, dan selama
thawaf ia menutup kemaluannya dengan kedua tangannya sambil mengucapkan
bait-bait diatas. Maka turunlah firman Allah berikut…” [6]
Demikianlah gambaran singkat akan kondisi
wanita Arab zaman Jahiliyah. Tak jauh beda dengan perlakuan
bangsa-bangsa lain terhadap mereka di kala itu.[7]
- Menurut masyarakat Cina kuno, wanita
dianggap makhluk najis hasil perbuatan setan. Ia tak ubahnya seperti
barang loakan yang dijual di pasar. Hak-haknya dirampas, tak ada warisan
baginya dan tak boleh menggunakan harta.
- Dalam undang-undang Hammurabi [8],
wanita tak ubahnya seperti hewan ternak milik seseorang. Karenanya,
barangsiapa membunuh puteri orang, ia harus menyerahkan puterinya untuk
dibunuh atau dimiliki orang tersebut.[9]
- Adapun di India, sebagaimana yang
dituturkan Gustav Labon: “Wanita menganggap suaminya sebagai titisan
Tuhan di bumi. Mereka yang belum bersuami atau janda dianggap sebagai
makhluk buangan oleh masyarakat Hindu, yang artinya sejajar dengan
binatang. Di antara janda malang tersebut ialah gadis yang ditinggal
mati suaminya di usia muda. Kematian seorang Hindu merupakan petaka
besar bagi istrinya, karena ia takkan mampu melanjutkan hidupnya setelah
itu. Seorang wanita Hindu yang menjanda akan berkabung selamanya. Ia
tak lagi dianggap sebagai manusia. Pandangannya dianggap membawa
kesialan, dan semua yang disentuhnya dianggap najis. Yang terbaik
baginya ialah mencampakkan dirinya dalam api, sebagaimana jasad suaminya
dibakar. Sebab jika tidak, ia harus menanggung kehinaan dan penderitaan
yang melebihi siksa api.” [10]
- Demikian pula dengan umat Nasrani yang
terdahulu. Para pendeta tercengang menyaksikan kebejatan orang-orang
Romawi…. Perzinaan merajalela, kemungkaran ada di mana-mana, dan moral
masyarakat menurun drastis. Mereka menganggap bahwa wanita lah yang
bertanggung jawab atas ini semua karena terlalu membaur dengan
masyarakat, bebas bermain sesukanya, dan bebas bergaul dengan lelaki
manapun yang dia suka. Akhirnya mereka menetapkan bahwa pernikahan
adalah kenistaan yang harus dijauhi, dan lelaki bujangan adalah lebih
mulia di sisi Allah dari pada yang beristeri. Mereka mengumumkan bahwa
wanita merupakan pintu setan, dan berhubungan dengannya adalah perbuatan
kotor. Karenanya, kemuliaan hanya dapat diraih dengan tidak menikah.
- Pada abad ke-5 Masehi, sejumlah
rohaniawan Kristen berkumpul untuk membahas dan mendiskusikan dalam
‘Perkumpulan Macon’; apakah wanita adalah jasad semata ataukah jasad
dengan ruh yang bisa selamat dan celaka. Ternyata mayoritas mereka
berpendapat bahwa wanita tidak memiliki ruh yang selamat, dan pendapat
ini berlaku untuk seluruh kaum hawa kecuali Bunda Maria –yakni Maryam,
ibunda Nabi Isa –.[11]
- Lalu pada tahun 586 M, –masa remaja
Rasulullah– orang-orang Perancis mengadakan suatu muktamar untuk
membahas apakah wanita termasuk manusia atau bukan? Apakah ia memiliki
ruh atau tidak? Kalaupun memiliki ruh, maka itu ruh hewani atau ruh
manusiawi? Kalaupun ruh manusiawi, maka apakah sederajat dengan
laki-laki atau dibawahnya? Akhirnya mereka memutuskan bahwa wanita
adalah manusia akan tetapi ia diciptakan untuk menjadi pelayan laki-laki
saja.
- Jadi, agama Nasrani yang tersimpangkan
yang dianut oleh masyarakat barat hari ini, hanya menganggap wanita
sebagai sumber maksiat dan biang kejahatan semata. Wanita menurut mereka
adalah salah satu pintu Jahannam, sebab ialah yang menjerumuskan
laki-laki dalam berbagai dosa, dan darinya lah berbagai musibah menerpa
seluruh manusia. Karenanya, ketika Raja Henry VIII berkuasa, parlemen
Inggris mengeluarkan keputusan yang melarang wanita untuk membaca kitab
‘Perjanjian Baru’ –alias Bible,– karena ia dianggap najis.
Semenjak itu, kaum wanita senantiasa
terikat oleh Undang-undang Umum Inggris (English Common Law) hingga
sekitar pertengahan abad lalu (± 1850 M), dan hanya segelintir dari
mereka yang mendapat pengecualian [12]. Karenanya. wanita tak memiliki
hak apa pun yang bersifat pribadi. Ia tak berhak terhadap harta yang
diperolehnya dan tak berhak memiliki apa pun termasuk pakaian yang
melekat di tubuhnya. Bahkan Undang-undang Inggris hingga tahun 1805
masih membolehkan suami untuk menjual istrinya. Undang-undang tersebut
juga menetapkan bahwa harga jual seorang istri ialah 6 Pence (½
Shilling). Bahkan pernah terjadi seorang lelaki Inggris menjual
isterinya seharga 500 Pound pada tahun 1931. Dalam pembelaan di
Pengadilan, pengacaranya berdalih bahwa Undang-undang Inggris tahun 1801
telah menentukan bahwa harga seorang isteri adalah 6 Pence, dengan
syarat isterinya setuju dijual. Maka Mahkamah pun menjawab bahwa
Undang-undang tersebut telah diganti tahun 1805 dengan peraturan yang
melarang seorang suami untuk menjual atau memberikan isterinya. Setelah
perdebatan yang cukup lama, akhirnya mahkamah memvonis si suami dengan
penjara 10 bulan.
- Disebutkan pula dalam majalah
‘Hadharatul Islam’ tahun kedua hal 1078: “Tahun lalu ada seorang pria
berkebangsaan Italia yang menjual isterinya kepada orang lain secara
kredit. Namun ketika pembelinya menolak untuk membayar cicilan terakhir,
lelaki itu pun membunuhnya”.
- Al Ustadz Muhammad Rasyid Ridha
-rahimahullah- mengatakan: “Diantara peristiwa aneh yang diberitakan
oleh sebagian surat kabar Inggris beberapa hari terakhir[13] ialah;
bahwa di pedesaan Inggris masih ada para suami yang menjual isteri
mereka dengan harga yang sangat murah, yaitu sekitar 30 Shilling!
Beberapa surat kabar tersebut bahkan menyebutkan sebagian nama mereka.”
[14]
Demikianlah kondisi wanita eropa yang
menjadi panutan banyak orang. Kalau sekarang mereka gembar-gembor
tentang HAM dan kebebasan wanita, berarti mereka lah ‘pahlawan
kesiangan’ bin ‘maling teriak maling’. Memangnya siapa yang dahulu
menjajah Indonesia selama 350 tahun dan memperbudak bangsa kita demi
kemakmuran pribadi? Siapa yang melarang wanita mengenakan jilbab di luar
rumah? Siapa yang membombardir Afghanistan, Iraq dan Sudan serta
membantai ratusan ribu warga sipil? Siapa pula yang paling doyan ikut
campur urusan dalam negeri negara lain? Bukankah negara-negara Eropa
dibawah komando Amerika?
Mereka gencar mengecam para da’i yang
memperjuangkan hijab sebagai perisai akan kesucian wanita. Padahal,
masyarakat mereka yang rusak berantakan dan berada pada ujung
kehancuran, jauh lebih pantas untuk dikecam agar berbenah secara total
dari dalam. Namun begitulah kedengkian mereka yang membara dalam dada
terhadap kaum muslimin yang agamis dan memelihara kehormatannya.
Ketika penentangan terhadap masuknya
muslimah berjilbab ke perguruan tinggi dan tempat-tempat kerja demikian
gencar, kita sama sekali tidak mendengar adanya penentangan terhadap
penyimpangan seksual atau prostitusi, sebagaimana yang kita saksikan di
negara-negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Jerman dan Eropa
secara umum. Padahal data statistik mereka menunjukkan betapa tingginya
tingkat penderitaan dan penyia-nyiaan yang sehari-hari dihadapi oleh
wanita barat. Bagaimana mereka bisa bergerak dengan aman dan bebas,
sedangkan diri mereka terancam oleh tindak perkosaan tiap enam menit
saat berada di luar rumah!!?? [15]
Adapun pembunuhan, sama sekali tidak
lebih ringan dari ini. Setiap wanita harus siap untuk dihabisi oleh
suaminya, pacarnya, atau bahkan saudara kandungnya karena masalah
sepele. Seperti jika ada diantara mereka yang ingin putus hubungan
dengan pacarnya, maka tak ada jalan lain bagi si pacar selain
membunuhnya, sebagai pelampiasan emosi atas perbuatan mantan pacarnya
tadi. Lantas dimanakah kebebasan dan rasa aman yang mereka
dengung-dengungkan selama ini? Bukankah lebih penting bagi mereka untuk
membenahi ‘rumah mereka’ dan membersihkannya dari setiap kenistaan dan
kekejaman, sebelum menjadi relawan untuk membersihkan rumah orang?
Marilah sejenak kita biarkan angka-angka berbicara mengenai mereka…
Tindak perkosaan
- Di Amerika, resiko seorang wanita untuk
diperkosa cukup tinggi (lihat indeks). Jumlah mereka yang melaporkan
diri sebagai korban perkosaan ke polisi pada tahun 1996 tercatat 96.250
orang. Sedangkan yang tidak melaporkannya diperkirakan mencapai 310.000
orang. Adapun di Kanada, tercatat ada sebanyak 20.530 kasus perkosaan
dalam tahun itu, dan di sana ada 150 pusat rehabilitasi korban perkosaan
bagi mereka yang diperkosa.
- Dalam skup yang lebih luas, di
Australia terdapat 75 pusat rehabilitasi korban perkosaan, dan di Jerman
tercatat sebanyak 5527 kasus perkosaan. Sedangkan di komunitas Yahudi
Israel terdapat 7 pusat rehabilitasi korban perkosaan.
Demikianlah angka-angka berbicara tentang mereka.
Pembunuhan wanita:
- Di Amerika, tiap harinya sepuluh wanita
terbunuh di tangan suami atau pacar mereka sendiri. 75% dari kasus
pembunuhan ini terjadi setelah si wanita putus hubungan dengan pacarnya,
atau minta cerai dari suaminya. Adapun di Rusia, tercatat bahwa separuh
dari kasus pembunuhan wanita dilakukan oleh suami atau pacar mereka
sendiri.
Kasus Aborsi
- Perseteruan antara pendukung dan
penentang aborsi hingga kini terus berlangsung di Amerika. Hal ini besar
sekali pengaruhnya terhadap masyarakat, sampai-sampai mereka yang
mencalonkan diri sebagai gubernur pun tak ketinggalan untuk menyinggung
masalah aborsi dalam kampanye mereka. Krisis ini umumnya menyangkut
anak-anak hasil perzinaan yang kadang meruncing di antara mereka hingga
menyebabkan kontak senjata. Aborsi merupakan ancaman serius bagi
eksistensi wanita, setiap tahunnya tercatat 200 ribu wanita meninggal
dunia akibat percobaan aborsi yang ilegal.
Perceraian
- Tentang perceraian, nampaknya telah
menjadi rahasia umum. Mereka nyaris tak pernah mengumumkan pernikahan
kecuali sesaat kemudian mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.
Prosentase perceraian di Amerika pada tahun 1990 saja mencapai 55%, di
Perancis 32%, di Inggris 42%, dan di Swedia 44%.
Inilah realita wanita barat moderen tanpa
dibesar-besarkan, dan inilah hakikat yang sebenarnya. Kebebasan yang
mereka kampanyekan selama ini hanyalah bualan besar dan omong kosong
belaka. Negeri mereka ternyata lebih menyeramkan untuk dihuni dari pada
hutan belantara, lantas dimanakah kebebasan itu… dimana kedamaian…
dimana pula ketentraman jika kehormatan, harta dan jiwa wanita terancam
setiap saat.
Kesimpulannya: siapa yang lebih layak untuk dibebaskan: wanita kita atau wanita mereka? [16]
==========================
Referensi:
Referensi:
[1] Yaitu masa senggang antara seorang
Rasul dengan Rasul berikutnya sebelum datangnya Islam. Atau keadaan
masyarakat Arab sebelum Islam (lihat Al Mu’jamul wasith hal 144).
[2] Sebagaimana firman Allah tabaraka wa
Ta’ala : “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia
sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan
buruknya berita yang sampai kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya
dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup)? Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu” (An Nahl:
58-59).
[3] H.R. Bukhari (no 4629) dan Muslim (no 1479).
[4] Yang maknanya: Hai orang-orang yang
beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila
mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka
secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
[5] Lihat Tafsir Ath Thabary cet. Muassasah Ar Risalah, 8/106.
[6] Lihat Ad Durrul Mantsur cet. Darul Fikr, 3/439. Ayat yang dimaksud ialah (Q.S. Al A’raf: 31-32).
[7] Paragraf ini dan yang berikutnya
dinukil dari berbagai sumber, diantaranya: Al Mar-atu bainal Fiqhi wal
Qonun tulisan Dr. Musthafa As Siba’i (hal 13-22); Maadza ‘anil Mar-ah?
tulisan Dr. Nuruddien ‘Itr (hal 13-16); Al Mar-atul Muslimah tulisan
Wahby Ghawaji (hal 25-27); Al Mar-atu wa Makaanatuha tulisan Al Hushain
(hal 11-17); Al Mar-atul ‘Arabiyyah tulisan Syaikh Abdullah Afify; dan
Al Hijab tulisan Al Maududi (hal 12-25) dengan perantaraan kitab
‘Audatul Hijab tulisan Syaikh Muhammad Isma’il Al Muqaddami (2/41-47).
Sebagian dari data di atas juga disebutkan dalam buku-buku ensiklopedi
seperti Encyclopedia Britannica, Encyclopedia Biblica dan yang lainnya.
[8] Nama Raja Babilonia yang berkuasa
sekitar abad 18 sebelum Masehi. Kekuasaannya terbentang dari Teluk
Persia ke utara melewati sungai Eufrat dan Tigris, dan ke barat hingga
laut Mediterania. Ia merupakan seorang militer dan negarawan ulung yang
terkenal dengan undang-undangnya tersebut (Microsoft Encarta
Encyclopedia Standard 2003).
[9] ‘Audatul Hijab 2/43.
[10] Ibid 2/43-44, dinukil dari
Hadhaaratul Hind, tulisan Gustav Labon (hal 644-646). Syaikh Muhammad Al
Muqaddami mengatakan bahwa kezaliman terhadap wanita India tersebut
baru dihapus setelah masuknya Islam kesana, yang konon hampir menguasai
seluruh wilayah India di zaman Raja Aorank Zeib, hingga akhirnya jatuh
di tangan kolonial Inggris.
[11] Ibid hal 45, dinukil dari: Al Mar-atu fil Qur’an, hal 54.
[12] Yaitu mereka yang digolongkan
sebagai orang terpandang dan warga negara menurut undang-undang. Bahkan
pada tahun 1567, Parlemen Inggris mengeluarkan keputusan bahwa kaum
wanita tidak boleh diberi kekuasaan apa pun atas apa pun (‘Audatul Hijab
2/46).
[13] Dengan mengingat bahwa kitab beliau
dicetak tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1351 H. Artinya pengaruh masa lalu
masih ada di Inggris sampai lima puluh tahunan silam.
[14] Dinukil dari Huququn Nisa’ fil
Islam, tulisan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Mengomentari hal ini, DR.
Nuruddien ‘Itr mengatakan: “Kejadian semisal pernah diceritakan oleh
temanku yang baru saja menyelesaikan program pasca sarjananya di Amerika
Serikat. Ia mengisahkan bahwa dalam masyarakat Amerika ada sebagian
kalangan yang saling pinjam-meminjam isteri dalam jangka waktu tertentu,
kemudian masing-masing mengambil kembali isteri yang dipinjamkannya.
Persis seperti orang desa yang meminjamkan ternaknya, atau orang kota
yang meminjamkan perkakas rumah tangganya”, dinukil dari: Maadza ‘anil
Mar-ah? hal 15-16.
[15] Angka ini didapat dari jumlah
rata-rata kasus perkosaan tiap hari di Amerika antara tahun 1996-2005,
yaitu 256 kasus. Kalau sehari semalam adalah 1440 menit, maka hasilnya
1440:256=5,625 yang dibulatkan jadi 6. Artinya tiap enam menit terjadi
sekali perkosaan (lihat lampiran 1).
[16] Disadur dari artikel berjudul:
Ayyuhuma aula bit tahrir: al mar’atu ladaina am ladaihim?!, oleh Jilnar
Fuhaim dengan sedikit penyesuaian (www.ikhwanonline.com). Atau di
artikel yang berjudul “Hijab & Kehormatan Wanita” oleh Abu Hudzaifah
Al Atsary.
Sumber : http://gizanherbal.wordpress.com/2011/06/15/saudariku-maukah-engkau-menjadi-seorang-ratu
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer