Mempersiapkan Jenazah Menuju Alam Barzakh

oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husain Al-Atsariyyah
Pada edisi yang lalu telah dibahas tuntunan dalam menghadapi sakaratul maut. Masih dalam rangkaian tema yang sama, berikut adalah bahasan tentang tata cara mempersiapkan jenazah menurut tata cara yang benar dalam Islam.
Sesosok jenazah terbujur di hadapan kita menanti uluran tangan insan yang hidup untuk memandikan, mengafani, menshalatkan dan menguburkannya. Yang demikian ini merupakan kewajiban orang yang masih hidup, namun bila telah ada sebagian orang yang menunaikannya, maka gugurlah kewajiban yang lain. (Al-Hawil Kabir, Al-Mawardi, 3/6. Al-Muhalla 4/343)
Berikut ini kami akan merinci penyelenggaraan jenazah seorang muslim, dimulai dari memandikannya.

Memandikan Jenazah

Hukum dimandikannya jenazah diperselisihkan ulama. Adapun penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah ini yang disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (5/112) tidaklah tepat. Karena kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t, perselisihan pendapat dalam masalah ini masyhur di kalangan madzhab Malikiyyah. Sampai-sampai Al-Imam Al-Qurthubi t menguatkan pendapat yang menyatakan hukumnya sunnah. Akan tetapi jumhur ulama berpendapat wajib, dan Ibnul ‘Arabi t telah membantah orang yang berpendapat dengan selain pendapat jumhur ini. (Fathul Bari 3/156)
Hadits Ibnu ‘Abbas c merupakan satu di antara beberapa dalil yang menunjukkan jenazah itu wajib dimandikan. Ibnu ‘Abbas c berkata: “Ketika seseorang sedang wuquf di Arafah, tiba-tiba ia jatuh dari hewan tunggangannya yang seketika itu menginjaknya hingga meninggal. Maka Nabi n memerintahkan para shahabatnya:
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara….”1
Yang Harus Diperhatikan sebelum Memandikan Jenazah    
Sebelum memandikan jenazah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Pertama: Jenazah laki-laki harus dimandikan oleh laki-laki dan jenazah wanita dimandikan oleh wanita pula, kecuali suami istri. Diperbolehkan suami memandikan jenazah istrinya dan sebaliknya istri boleh memandikan jenazah suaminya menurut pendapat jumhur ulama (Syarhus Sunnah, Al-Baghawi, 5/309, Al-Muhalla 3/405, Nailul Authar 4/37, Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ 2/489).
Dengan dalil hadits ‘Aisyah x:
“Nabi n kembali kepadaku setelah mengantarkan jenazah ke Baqi’. Ketika itu aku merasakan sakit pada kepalaku, maka aku katakan: “Aduh, kepalaku sakit.” Beliau n pun berkata: “Aduh, aku juga sakit kepalaku. Tidak bermudharat bagimu, seandainya engkau meninggal mendahuluiku, aku akan memandikan jenazahmu, mengafanimu, menshalatimu kemudian menguburkanmu.”2
Aisyah x berkata:
“Seandainya perkara yang telah lewat ini dapat kutemui pada waktu mendatang, niscaya tidak ada yang memandikan Nabi n kecuali istri-istri beliau.”3
Ibnu Hazm t menyatakan, suami boleh memandikan jenazah istrinya, istri pun boleh memandikan jenazah suaminya. (Al-Muhalla 3/405)
Kedua: Yang memandikan jenazah hendaklah orang yang memiliki pengetahuan tentang tata caranya, terlebih lagi bila orang tersebut dari kalangan keluarganya (Ahkamul Jana`iz, Asy-Syaikh Al-Albani t hal. 68). Dan diutamakan seorang yang shalih, karena ia dapat menahan dirinya untuk menceritakan aib (cacat/ cela) yang dilihatnya dari si mayit bahkan menutupinya. Rasulullah n bersabda:
“Siapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.”4
Sebagaimana pula beliau n bersabda:
“Siapa yang memandikan (jenazah) seorang muslim lalu ia menyembunyikan (apa yang dilihatnya dari aib si mayit) maka Allah akan mengampuninya 40 kali.”5
Ketiga: Jenazah yang akan dimandikan jangan diletakkan di atas tanah karena akan mempercepat kerusakan jasadnya, tapi diletakkan di atas tempat tidur atau papan yang lurus. Papan tersebut pada bagian kaki mayit agak dimiringkan sehingga air basuhan dapat mengalir ke bawah kaki, tidak mengalir ke kepala mayat atau menggenang di bawah tubuhnya. (Al-Mughni 2/164, Al-Majmu’ 5/131, Asy-Syarhul Mumti’ 2/479)

Tata Cara Memandikan Jenazah 

Hadits ‘Aisyah x berikut ini mengawali pembicaraan kita tentang tata cara memandikan jenazah. Aisyah x berkata: “Ketika hendak memandikan Nabi n, mereka berkata: ‘Demi Allah, kami tidak tahu, apakah kami harus melepaskan pakaian Rasulullah n sebagaimana yang biasa kami lakukan terhadap orang yang meninggal di kalangan kami, atau kami harus memandikan beliau dalam keadaan beliau tetap mengenakan pakaiannya?’ Maka ketika mereka berbeda pendapat dalam masalah ini, Allah I memberikan rasa kantuk pada mereka hingga mereka pun tertidur. Sampai-sampai tidak ada seorang pun dari mereka kecuali dagunya menempel pada dadanya. Kemudian ada seseorang yang tidak mereka ketahui mengajak bicara mereka dari sisi rumah. Orang itu berkata: “Mandikanlah Nabi n dalam keadaan tetap mengenakan pakaiannya”. Setelahnya mereka pun bangkit menuju Rasulullah n untuk memandikannya sementara gamis beliau tetap menempel pada tubuh beliau. Mereka menuangkan air di atas gamis beliau dan menggosok tubuh beliau dengan gamis tersebut, tidak langsung dengan tangan-tangan mereka.”6

DOWNLOAD GRATIS ANIMASI VIDEO CARA MEMANDIKAN MAYAT/JENAZAH SECARA ISLAM

http://downloads.ziddu.com/downloadfile/9031697/DeadWash.exe.html

Kemudian, hadits Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyyah x yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim t dalam Shahih keduanya, kita bawakan di bawah ini karena hadits ini termasuk pokok dalam masalah memandikan jenazah dan tata caranya. Sehingga sekelompok shahabat dan ulama dari kalangan tabi’in di Bashrah mengambil cara memandikan jenazah dari Ummu ‘Athiyyah (Al-Isti’ab 4/1947, Al-Ishabah 8/261). Ibnul Mundzir t berkata: “Tidak ada hadits yang berbicara tentang memandikan jenazah yang lebih tinggi daripada hadits Ummu ‘Athiyyah x.” (Fathul Bari 3/159)
Download File Kajian Ahkamul Janaiz 04 Memandikan Jenazah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-04.-Memandikan-Jenazah.mp3
Shahabiyah yang biasa memandikan jenazah ini berkata, mengisahkan saat ia memandikan jenazah Zainab putri Rasulullah n:
“Nabi n masuk menemui kami ketika kami akan memandikan jenazah putri beliau Zainab. Beliau berkata: ‘Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih bila kalian pandang perlu, dengan air dan daun sidr. Jadikanlah akhir basuhannya bercampur dengan kapur barus atau sedikit dari kapur barus. Bila kalian telah selesai memandikannya, panggillah aku.” Maka ketika kami telah selesai, kami pun memanggil beliau. Beliau memberikan sarungnya pada kami seraya berkata: “Selimutilah tubuhnya7 dengan kain ini.”8
Ummu ‘Athiyyah juga mengabarkan:
Mereka menjadikan rambut putri Rasulullah n tiga pintalan, (sebelumnya) mereka menguraikannya (melepas ikatannya) kemudian mencucinya, lalu menjadikannya tiga pintalan.”9
Masih berita dari Ummu ‘Athiyyah x:
“Rasulullah n bersabda ketika putri beliau sedang dimandikan:
“Mulailah dari bagian kanannya dan tempat-tempat (anggota-anggota, ed) wudhunya.”10
Dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan bahwa cara memandikan jenazah adalah sebagai berikut: 
1. Ketika hendak dimandikan, pakaian yang masih menutupi tubuh mayat dilepas seluruhnya, sebagaimana hal ini biasa dilakukan di masa Nabi n yang ditunjukkan dalam hadits Aisyah x di atas. Dan bagian auratnya ditutup (Asy-Syarhul Mumti’ 2/492), karena Rasulullah n bersabda:
“Seorang lelaki tidak boleh melihat aurat laki-laki yang lain dan seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lain.”11
Ibnu Qudamah t berkata: “Disenangi melepas pakaian si mayat ketika hendak dimandikan dan auratnya ditutup dengan kain.” (Al-Mughni 2/163)
Mayat dimandikan di tempat yang tertutup dari pandangan mata, yang hanya dihadiri oleh orang yang memandikannya beserta orang yang membantunya bila memang diperlukan. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Sepantasnya mayat dimandikan di tempat yang tidak terlihat manusia, bisa di kamar atau di kemah dan semisalnya. Karena menutup mayat dari pandangan mata lebih utama dari menyingkapnya. Hal ini disebabkan karena mayat itu terkadang berada dalam keadaan yang tidak disenangi (untuk dipandang) sehingga menampakkannya di hadapan manusia merupakan satu bentuk penghinaan terhadapnya. Dan juga terkadang mayat itu menakutkan bagi orang yang melihatnya, terlebih lagi bagi sebagian manusia yang mereka ini sangat ketakutan bila melihat mayat. Dengan demikian, menutup mayat dari pandangan manusia lebih utama dan lebih menjaga.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/493)
2. Mayat mulai dicuci anggota-anggota wudhunya. 
Ibnu Qudamah t mengatakan: “Setelah dihilangkan najis dari si mayat (dan dibersihkan, pen.), ia diwudhukan oleh orang yang memandikannya seperti wudhu untuk shalat. Dicuci kedua telapak tangannya. Lalu diambil kain yang kasar, dibasahi dan diletakkan pada jari orang yang memandikan si mayat. Kemudian dengan jari yang dibalut kain tersebut gigi geligi mayat diusap. Demikian pula bagian dalam hidungnya hingga bersih. Hal ini dilakukan dengan lemah lembut. Kemudian wajah mayat dicuci dan disempurnakan wudhunya.” (Al-Mughni 2/165)
Setelah mayat diwudhukan, rambutnya digerai dengan perlahan dan dicuci bersih. (Al-Hawil Kabir 3/10, Al Majmu’ 5/132). Bila mayat itu seorang wanita, rambutnya disisir dan dikepang tiga, dua kepangan pada dua sisi kepala dan satunya lagi di bagian rambut depan/ jambul, sebagaimana dinyatakan Sufyan Ats-Tsauri t12. Kemudian, sebagaimana kata Ummu ‘Athiyyah x:
“Kami menjalin rambutnya menjadi tiga pintalan dan meletakkannya di belakangnya.”13
3. Setelahnya dimulai membasuh bagian kanan tubuh mayat. 
Mayat dimandikan dengan tiga kali siraman atau lebih bila dipandang perlu oleh yang memandikan, namun tetap dalam hitungan ganjil. Pada sebagian siraman, mayat dibasuh dengan air yang dicampur dengan b Namun bila tidak didapatkan, bisa digantikan dengan pembersih lainnya seperti sabun atau yang lainnya (Ahkamul Jana`iz, hal. 64) karena Allah I berfirman:
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.”
“Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sekadar kemampuannya.”
Pada akhir basuhan, air dicampur dengan wewangian, lebih utama lagi dicampur dengan kapur barus yang dihaluskan. (Ahkamul Jana`iz, hal. 65, Asy Syarhul Mumti’ 2/497)
Air yang digunakan untuk memandikan mayat sebaiknya air dingin, namun bila ada kebutuhan dan melihat kemanfaatan bagi kebersihan tubuh si mayat, bisa digunakan air hangat (Al-Hawil Kabir 3/9, Asy Syarhul Mumti’ 2/497).
4. Ketika dimandikan, bagian-bagian tubuh mayat digosok perlahan dengan kain perca/ washlap atau semisalnya. Caranya, orang yang memandikan membungkus tangannya dengan kain tersebut atau menggunakan kaos tangan. Kemudian tubuh mayat digosok perlahan dari bawah kain penutup tubuhnya. Hal ini dilakukan agar orang yang memandikan tidak menyentuh aurat si mayit. Sebaiknya disiapkan lebih dari satu kain perca/ kaos tangan, sehingga setelah kain/ kaos tangan yang satu dipakai untuk menggosok bagian pembuangan si mayat, kain/ kaos tangan tersebut diganti dengan yang lain. (Al-Umm 1/302, Al-Hawil Kabir 3/9, Al-Majmu’ 5/130, Asy Syarhul Mumti’, 2/494)
Setiap kali basuhan, tangan orang yang memandikan tidak lepas dari mengurut-urut perut mayat agar sisa kotoran yang mungkin tertinggal dapat keluar. (Asy Syarhul Mumti’, 2/496)
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Kemudian mayat dimandikan (mulai) dari sisi kanan lehernya, belahan (kanan) dadanya, rusuknya, paha dan betis (kanan)nya. Kemudian kembali ke bagian kiri tubuhnya dan diperbuat semisal bagian kanan tubuhnya. Setelahnya mayat dimiringkan ke rusuk kirinya, lalu dicuci punggungnya, tengkuk, paha dan betis kanannya. Kemudian dimiringkan ke rusuk kanannya dan dilakukan hal yang sama dengan sebelumnya. Setelah itu dicuci bagian bawah kedua telapak kakinya, antara dua pahanya dan belahan pantatnya dengan kain perca.” (Al-Hawil Kabir 3/10, Al Majmu’ 5/133)
Selesai dari semua itu, seluruh tubuh mayat disiram dengan air yang dicampur dengan kapur barus.
Usai basuhan terakhir, kedua tangan mayat dirapatkan pada rusuknya dan kedua kakinya dirapatkan hingga kedua mata kakinya saling menempel, kedua pahanya pun saling dirapatkan. Bila keluar sesuatu dari tubuh mayat setelah selesai dimandikan maka dibersihkan dan tubuhnya dibasuh sekali lagi. Terakhir, tubuh mayat dikeringkan dengan kain. Setelah kering, diletakkan di atas kafan yang telah disiapkan. (Al-Umm 1/303, Al-Hawil Kabir 5/12)

Mengusap Perut Mayat agar Kotoran yang Ada di Dalamnya Keluar 

Ketika mayat telah dibaringkan di tempat yang disiapkan untuk memandikannya, mayat didudukkan sedikit (hampir mendekati posisi duduk) dengan mengangkat kepalanya. Lalu orang yang memandikan menjalankan tangannya di atas perut mayat berulang kali (diusap dengan tekanan/ diurut) dengan lembut agar keluar kotoran yang mungkin masih ada dalam perutnya14, kemudian dibersihkan/ dicebok dengan cara orang yang memandikan membalutkan tangannya dengan kain atau dengan memakai kaos tangan, kemudian ia membersihkan kemaluan si mayat dari kotoran yang keluar. Hal ini dilakukan untuk mencegah jangan sampai kotoran itu keluar setelah mayat selesai dimandikan sehingga mengotori kafannya. (Al-Umm 3/404, Al-Majmu’ 5/130, Asy-Syarhul Mumti’ 2/493-494)
Disenangi bila di dekat tempat tersebut diletakkan wangi-wangian seperti bukhur (dupa yang dibakar sehingga asapnya menyebarkan aroma yang wangi) agar bau tidak sedap yang mungkin tercium dari kotoran si mayat bisa tersamarkan. (Al- Majmu’ 5/135, Al-Mughni 2/165).
Apa yang Dilakukan setelah Selesai Memandikan Jenazah? 
Selesai memandikan jenazah, disunnahkan bagi yang memandikannya untuk mandi menurut pendapat jumhur ulama15 (Al-Majmu’ 5/144), dengan dalil sabda Nabi n:
“Siapa yang memandikan jenazah, maka hendaklah ia mandi. Dan siapa yang memikul jenazah, hendaklah ia berwudhu.”16
Perintah Rasulullah n dalam hadits di atas tidaklah bermakna wajib karena ada hadits lain yang mauquf17 namun hukumnya marfu’, kata Asy-Syaikh Al-Albani t. Salah satunya dari Ibnu ‘Umar c, ia menyatakan:
“Kami dulunya memandikan mayit, maka di antara kami ada yang mandi dan ada yang tidak mandi.”18
Bolehkah Wanita yang Sedang Haid atau Nifas Memandikan Jenazah?
Dalam masalah ini ahlul ilmi berbeda pendapat, antara yang membolehkan dengan yang menganggap makruh. ‘Alqamah berpendapat boleh, sedangkan Al-Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin berpendapat makruh sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (2/254). Pendapat yang kami pandang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang membolehkan karena tidak adanya larangan dari Nabi n dalam hal ini. Pendapat ini dipilih Al-Imam An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (5/145).
Ditanyakan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`19 tentang permasalahan ini, maka keluarlah fatwa dari lajnah ini bernomor 6193 dengan pernyataan: boleh bagi wanita yang sedang haid untuk memandikan dan mengafani jenazah wanita, atau jenazah suaminya secara khusus, karena haid tidak teranggap sebagai penghalang untuk memandikan jenazah. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 8/369)

Mayat Meninggal dalam Keadaan Haid atau Junub

Apabila mayat meninggal dalam keadaan haid atau junub maka cukup dimandikan dengan sekali mandi karena tidak ada larangan dalam hal ini, demikian pendapat sejumlah ulama. (Al-Majmu’ 5/123). Pendapat inilah yang kuat, Insya Allah, walaupun dalam hal ini ada ulama lain yang memakruhkan bila si mayat hanya dimandikan sekali. Al-Hasan berpendapat mayat yang junub dimandikan dengan mandi janabah dulu, yang haid juga dimandikan mandi haid dulu, kemudian baru dimandikan dengan mandi jenazah, sehingga mayat dimandikan dua kali mandi. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/254)
Apakah Janin yang Gugur Harus Dimandikan?
Bila janin tadi belum genap empat bulan maka tidak dimandikan, tidak pula dishalati. Dia dibalut dalam kain dan dikuburkan, kata Ibnu Qudamah t, karena sebelum berusia empat bulan janin itu belum ditiupkan ruh sehingga belum menjadi manusia. Adapun bila janin telah genap empat bulan maka harus dimandikan. (Al-Mughni 2/200, Asy-Syarhul Mumti’2/507)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Bersambung insya Allah)

1 HR. Al-Bukhari no. 1265 dalam Shahih-nya, Kitab Al-Jana`iz, bab Al-Kafan fi Tsaubaini dan Muslim no. 1206, kitab Al-Hajj, bab Ma Yuf’alu bil Muhrim idza Maata.
2 HR. Ahmad 6/228 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ahkamul Jana`iz, hal. 67.
3 HR. Ahmad 6/267, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jami’ush Shahih 2/248
4 HR. Al-Bukhari no. 2442, kitab Al-Mazhalim, bab La Yazhlimul Muslim Al-Muslima wa Yuslimuhu dan Muslim no. 2580, kitab Al-Birru wash Shilah wal Adab, bab Tahrimuzh Zhulm
5 HR. Al-Hakim 1/354, 362. Ia berkata tentang hadits ini: “Shahih di atas syarat Muslim”. Adz-Dzahabi menyepakatinya. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata dalam Ahkamul Jana`iz hal. 69: “Hadits ini memang shahih di atas syarat Muslim sebagaimana yang dikatakan keduanya.”
6 HR. Abu Dawud no. 3141, Kitab Al-Jana`iz, bab Fi Satril Mayyit ‘inda Ghaslihi, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud
7 Al-Imam Al-Baghawi t menyatakan: “Rasulullah n menyuruh mereka untuk menjadikan kain beliau sebagai syi’ar bagi putrinya. Makna syi’ar adalah pakaian/ kain yang langsung bersentuhan dengan tubuh, tanpa ada penghalang. Sedangkan ditsar adalah pakaian/ kain yang diletakkan di atas syi’ar.” (Syarhus Sunnah 5/306)
8 HR. Al-Bukhari no. 1253, Kitab Al-Jana`iz bab Ghuslil Mayyit wa Wudhu‘ihi bil Ma‘i was Sidr dan Muslim no. 939 Kitab Al-Jana`iz bab Fi Ghuslil Mayyit
9 HR. Al-Bukhari no. 1260, Kitab Al-Jana`iz, bab Naqdhu Sya’ril Mar`ah dan Muslim no. 939
Ummu Athiyyah x berkata:
“Kami menyisirnya menjadi tiga jalinan.” (HR. Al-Bukhari no. 1254 bab Ma Yustahabbu An Yughsala Witran dan Muslim no. 939)
10 HR. Al-Bukhari no. 1255 bab Yubda`u bi Mayaminil Mayyit dan Muslim no. 939
11 HR. Muslim no. 338 kitab Al-Haidh, bab Tahrimun Nazhar ilal ‘Aurat
12 HR. Al-Bukhari no. 1262, bab Yuj’al Sya’rul Mar`ati Tsalatsata Qurun
13 HR. Al-Bukhari no. 1263, bab Yulqa Sya’rul Mar`ah Khalfaha
14 Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Mayat itu mengendor/ lunak seluruh urat syarafnya, sehingga bila kepalanya diangkat pada posisi demikian dan perutnya diurut dengan lembut maka bisa jadi akan keluar kotoran yang ada dalam perutnya yang memang telah siap untuk keluar.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/493)
15 Karena memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini.
16 HR. Abu Dawud no. 3161 dan At-Tirmidzi no. 993 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abu Dawud dan Shahih At-Tirmidzi
17 Ucapan, perbuatan ataupun taqrir dari shahabat, bukan dari Rasulullah n.
18 HR. Ad-Daraquthni no. 191 dan Al-Khathib dalam Tarikh-nya 5/424 dengan sanad shahih sebagaimana dinyatakan Al-Hafizh, kata Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ahkamul Jana`iz hal. 72
19 Yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dan wakil ketua Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi
Sumber : http://www.asysyariah.com/sakinah/wanita-dalam-sorotan/1093-mempersiapkan-jenazah-menuju-alam-barzakh-wanita-dalam-sorotan-edisi-18.html

Mengafani Jenazah

oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Ketika mayat selesai dimandikan, ia pun wajib dikafani. Bagaimana cara mengafani menurut syariat? Jawabannya ada di bahasan berikut.
Kematian adalah suatu kepastian. Kita ataupun orang-orang di sekitar kita mesti akan menemuinya karena Allah I telah menetapkan:
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian.” (Ali Imran: 185)
Rasulullah r sendiri telah mengingatkan kita untuk memperbanyak mengingat mati dalam titahnya yang agung:
“Perbanyaklah kalian mengingat penghancur kelezatan.” (Kata perawi) yang dimaksud beliau r adalah kematian.1
Seorang muslim yang meninggal dunia punya hak yang harus ditunaikan oleh kaum muslimin yang masih hidup sebagai kewajiban kifayah yang bila sudah ditunaikan oleh sekelompok orang akan menggugurkan kewajiban bagi yang lain. Kewajiban yang dimaksud di sini adalah si mayat dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Hal-hal yang berkaitan dengan memandikan mayat telah dibahas dalam edisi sebelum ini, selanjutnya masalah mengafani mayat.
Mengafani Mayat
Setelah mayat dimandikan, ia wajib dikafani karena adanya perintah Nabi r yang tersebut dalam kisah seseorang yang sedang wuquf di Arafah, tiba-tiba ia jatuh dari hewan tunggangannya yang seketika itu menginjaknya hingga ia meninggal dunia. Nabi r pun memerintahkan para shahabatnya:
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara. Dan kafani dalam dua pakaian/ kain….”2
Al-Imam An-Nawawi t ketika mensyarah (menjelaskan) hadits Aisyah x:
“Rasulullah r dikafani dalam tiga kain yang putih Suhuliyyah.”3
Beliau berkata: “Dalam hadits ini dan hadits Mush’ab bin Umair4 yang terdahulu serta selain kedua hadits ini, menunjukkan wajibnya mengafani mayat. Ini merupakan kesepakatan kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim, 7/8)
Ibnul Qaththan t berkata: “Sunnah yang disepakati berkaitan dengan orang yang meninggal dari kalangan muslimin adalah mereka itu dimandikan dan dikafani. Ulama sepakat wajibnya mayat itu dimandikan dan dikafani apabila ia telah baligh, selama ia tidak gugur sebagai syahid, atau terbunuh secara dzalim atau meninggal dalam hukum qishash.” (Al-Iqna’ fi Masail Al-Ijma’ , 1/182)
Kafan tersebut atau biayanya diambil dari harta pokok si mayat5 dengan dalil hadits Khabbab ibnul Aratt z. Ia mengisahkan bahwa ketika Mush’ab bin Umair z gugur dalam perang Uhud, ia tidak meninggalkan kecuali namirah, sejenis kain wol bergaris-garis yang biasa diselimutkan ke tubuh. Bila mereka menutupi kepalanya dengan namirah tersebut, tampaklah kedua kakinya. Dan bila mereka menutupi kedua kakinya, tampak kepalanya. Melihat hal itu Rasulullah n memerintahkan mereka untuk menutupi bagian kepala sedangkan kedua kakinya yang terbuka ditutupi tumbuhan bernama idzkhir sejenis rumput-rumputan yang wangi (Syarh Shahih Muslim 7/7)6.
Nabi n memerintahkan agar Mush’ab z dikafani dengan namirahnya dan beliau tidak menyuruh shahabat lain untuk mengeluarkan harta mereka guna keperluan kafan Mush’ab z. Para fuqaha berkata: “Kafan mayat wajib diambil dari harta yang ditinggalkannya. Namun bila ia tidak memiliki harta, maka yang menanggung keperluan pengafanannya adalah orang yang wajib menafkahinya ketika ia hidup.” (Syarhu Shahih Muslim 7/8, Nailul Authar 4/46, Taudhihul Ahkam 3/173)
Sepantasnya kafan yang dipakai untuk menutupi mayat itu panjang dan lebar sehingga dapat menutupi seluruh tubuhnya (Al-Majmu’, 5/154) sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Jabir bin Abdillah z:
“Suatu hari Nabi n berkhutbah, lalu beliau menyebut seseorang dari kalangan shahabat beliau yang telah meninggal, orang itu dibungkus dengan kafan yang tidak panjang/ lapang dan dikuburkan pada malam hari. Maka Nabi n pun mencerca bila jenazah seseorang dikuburkan pada malam hari sampai jenazah itu selesai dishalatkan. Kecuali bila seseorang terpaksa melakukan hal tersebut. Nabi n bersabda: “Bila salah seorang dari kalian mengafani saudaranya maka hendaklah ia membaguskan kafannya.”7
Yang dimaksud dengan membaguskan kafan di sini, kata ulama adalah kafan itu berwarna putih, bersih, tebal, dapat menutupi, serta pertengahan sifatnya -tidak berlebih-lebihan/ mewah dan tidak pula jelek. Sehingga membaguskan kafan bukan maksudnya berlebihan-lebihan dan megah-megahan. (Syarhus Sunnah 5/315, Al-Majmu’, 5/155, Subulus Salam 2/154, Ahkamul Janaiz, Asy-Syaikh Al-Albani , hal. 77)
Ada beberapa perkara yang disunnahkan berkaitan dengan kain kafan:
1. Berwarna putih, karena Nabi r bersabda:
“Pakailah kain yang berwarna putih dari pakaian kalian, karena pakaian putih adalah sebaik-baik pakaian kalian, dan kafanilah orang yang meninggal di kalangan kalian dalam kain putih.”8
2. Tiga lembar, dengan dalil hadits Aisyah x:
“Sesungguhnya Rasulullah r dikafani dalam tiga kain Yamaniyyah berwarna putih Suhuliyyah dari bahan katun. Tidak ada di antara lembar kafan itu gamis (baju) dan tidak ada imamah (surban), beliau dimasukkan (dibungkus) ke dalam semua kafan itu.”9
Tidak boleh menambah kafan lebih dari tiga lembar karena menyelisihi apa yang telah dilakukan Rasulullah r dan juga perbuatan demikian berarti menyia-nyiakan/ membuang harta sementara kita dilarang melakukan yang demikian itu. Orang yang masih hidup dari kalangan keluarga yang ditinggalkan si mayat tentunya lebih utama untuk mendapatkan kelebihan kain tersebut daripada digunakan secara berlebihan (sebagai kafan), apatah lagi bila kainnya bagus/ mewah/ mahal. Semoga Allah merahmati Abu Bakar Ash-Shiddiq z, ketika Aisyah x, putrinya, berkomentar tentang kain yang disediakannya untuk kafannya nanti: “Kain ini telah usang”. Abu Bakar menanggapi dengan pernyataannya: “Sungguh orang yang masih hidup lebih pantas untuk memakai kain yang baru.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah dengan Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/85).
Bila tidak ada kain kafan kecuali hanya selembar maka mencukupi dan telah tertunaikan kewajiban, karena Nabi r pernah mengafani paman beliau, Hamzah z, dengan satu kain/ pakaian. (Syarhus Sunnah 5/314, Tharhu At-Tatsrib fi Syarhi At-Taqrib 3/915)
Jumlah Kafan bagi Wanita
Mayat wanita dalam hal ini sama dengan laki-laki, sunnah untuk dikafani dengan tiga lembar kafan, karena tidak ada dalil yang membedakannya dengan lelaki. Adapun hadits Laila bintu Qais Ats-Tsaqafiyyah tentang pengafanan putri Nabi n dengan lima kain kafan, kata Asy-Syaikh Al-Albani t tidaklah shahih sanadnya, karena ada rawi bernama Nuh bin Hakim Ats-Tsaqafi. Dia adalah rawi yang majhul sebagaimana dinyatakan Al-Hafizh Ibnu Hajar t dan selainnya. Dan juga dalam hadits tersebut ada ‘illat (penyakit/ cacat) yang lain sebagaimana diterangkan oleh Az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah. (Ahkamul Janaiz , hal. 85)
Demikian pula tambahan lafadz yang dimasukkan sebagian perawi dalam kisah dimandikannya jenazah Zainab bintu Rasulullah x:
“Maka kami mengafaninya dalam lima kain.”
merupakan tambahan yang syadz (ganjil) atau mungkar sebagaimana diterangkan secara panjang lebar oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Adh-Dha’ifah (12/752-754). Setelahnya, beliau t berkata: “Yang wajib dari sisi fiqhiyyah adalah berhenti pada hadits ‘Aisyah x yang terdahulu bahwasanya Nabi r dikafani dengan tiga kain, dan tidak menambah lebih dari tiga, dalam rangka mengikuti sunnah dan menjaga harta. Alangkah bagusnya atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/259) dengan sanad yang shahih dari Rasyid bin Sa’d, ia berkata: “Umar t berkata: “Seorang lelaki dikafani dalam tiga kain dan jangan kalian melebihkannya karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat melampaui batas.”
Abu Bakr Ash-Shiddiq z pun dikafani dengan tiga kain. Dan tidak diragukan dalam hal ini bahwa wanita sama dengan lelaki, karena asalnya demikian sebagaimana hal ini diketahui dari sabda Nabi r :
“Hanyalah wanita itu saudara kandungnya lelaki.”
Hadits ini shahih, di-takhrij dalam Al-Misykat (441), Shahih Abi Dawud (234), dan selain keduanya. (Adh-Dha’ifah, 12/754-755)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata tentang permasalahan jumlah kain kafan untuk wanita: “Hukum asal dalam perkara syar’iyyah laki-laki sama dengan wanita, kecuali bila ada dalil yang menunjukkan perbedaan10. Maka bila ada dalil yang menyatakan pengkhususan dalam hukum (misalnya khusus untuk laki-laki, pent.) niscaya hukum tersebut berlaku khusus tidak berlaku bagi yang lain. Namun bila tidak ada dalil, maka laki-laki dan wanita itu sama.” (Asy-Syarhul Mumti’, 2/520-521)
Al-’Allamah Shiddiq Hasan Khan t berkata: “Memperbanyak kafan dan berlebih-lebihan dalam harganya bukanlah perkara yang terpuji, karena seandainya tidak ada keterangan dari syariat bahwa mayat itu harus dikafani, niscaya perbuatan tersebut termasuk membuang-buang harta, karena kafan itu tidak memberikan manfaat kepada si mayat dan tidak pula kembali kemanfaatannya kepada orang yang hidup.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah dengan Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/436)
Namun dalam hal ini, banyak ahlul ilmi yang menyenangi agar seorang wanita dikafani dengan lima lembar kafan, tidak lebih, bila memang dibutuhkan untuk lebih menutupi tubuhnya, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Mundzir t: “Mayoritas ahlul ilmi yang kami hafal dari mereka berpandangan wanita dikafani dengan lima kain kafan. Hal ini disenangi karena wanita semasa hidupnya harus ekstra dalam menutup tubuhnya daripada lelaki karena auratnya yang lebih dari lelaki.” Lima kain ini berupa kain yang disarungkan ke bagian aurat dan sekitarnya, dira’ (baju) dipakaikan ke tubuhnya, kerudung, dan dua kain yang diselimutkan ke seluruh tubuhnya sebagaimana mayat lelaki. (Al-Mughni, 2/173)
Jumlah Kafan Anak Kecil
Adapun anak kecil cukup dikafani dalam selembar kain, namun tidak apa-apa bila dikafani dalam tiga lembar kain. Demikian dikatakan oleh Ishaq bin Rahuyah, Sa’id ibnul Musayyab, Ats-Tsauri, Ashabur Ra`yi, dan selain mereka (Al-Mughni 2/171).
Bila yang meninggal itu adalah anak perempuan yang belum haid/ baligh maka kata Al-Hasan Al-Bashri t, ia dikafani dengan satu kain kafan ataupun tiga lembar kafan. Dikisahkan oleh Ayyub bahwa putri Anas bin Sirin meninggal dunia dalam usia mendekati haid. Maka Ibnu Sirin memerintahkan mereka untuk mengafaninya dengan satu kerudung dan dua kain yang diselimutkan ke seluruh tubuhnya. (Al-Mushannaf , Ibnu Abi Syaibah, 3/263-264)
3. Salah satu dari kafan itu berupa kain bergaris-garis bila memang mudah didapatkan, karena Nabi r bersabda:
“Bila salah seorang dari kalian meninggal sementara dia mendapati sesuatu (kelapangan) maka hendaklah ia dikafani dalam kain yang bergaris-garis.”11
4. Kafan tersebut diberi wewangian berupa bukhur (dupa yang wangi) sebanyak tiga kali, dengan dalil sabda Nabi r:
“Apabila kalian mewangi-wangikan mayat maka wangikanlah sebanyak tiga kali.”12
(Penjelasan tentang perkara yang disunnahkan dalam kafan ini bisa dilihat di Al-Majmu’, 5/155-156, Al-Mughni 2/169, Al-Muhalla 3/339-341, Nailul Authar 4/49-51 dll)

Cara Mengafani Mayat

Setelah kafan diberi wangi-wangian sehingga aroma semerbaknya menempel pada kain, kafan yang paling bagus dan paling lebar/ lapang dibentangkan kemudian diberi hanuth13. Menyusul kain kedua diletakkan di atas kain pertama lalu diberi hanuth dan kapur barus. Demikian pula kain ketiga yang akan bersentuhan langsung dengan tubuh mayat. Setelahnya mayat diangkat dalam keadaan tertutup kain dan diletakkan di atas kain kafan yang paling atas (dari tiga lapis kain yang telah disusun) dalam keadaan terlentang, di mana kain kafan yang tersisa pada bagian kepalanya lebih panjang daripada pada bagian kedua kakinya. Kemudian disiapkan kapas yang diberi hanuth dan kapur barus lalu dimasukkan di antara dua belahan pantat si mayat dengan cara yang lembut untuk menahan keluarnya sesuatu dari duburnya yang beraroma tidak sedap, lalu diikat di atasnya dengan kain perca yang dibelah ujungnya seperti celana pendek.
Diambil lagi kapas yang diberi hanuth dan kapur barus lalu diletakkan di atas mulut si mayat, dua lubang hidung, dua mata, dua telinga, anggota-anggota sujudnya yaitu dahi dan hidung, telapak tangan, dua lutut dan dua telapak kaki, dan seluruh lubang yang ada di anggota tubuhnya, termasuk lukanya yang berlubang bila ada untuk mencegah darah/ nanah yang mungkin keluar hingga mengotori kafan. Rambut dan jenggot si mayat diberi kapur barus pula. Kemudian bagian kain kafan yang tersisa di sisi kiri si mayat ditekuk/ dilipat ke sisi kanan tubuh mayat, lalu kain yang di sisi kanan ditekuk ke sisi kiri tubuh mayat sehingga mayat benar-benar terbungkus/ diselimuti dalam kafannya, atau sebaliknya sisi kanan kafan terlebih dulu ditekuk baru sisi kiri. Hal yang sama juga dilakukan pada lembar kafan yang kedua dan ketiga.
Terakhir, kain yang tersisa di bagian kepala mayat dikumpulkan, lalu ditekuk ke bagian atas wajah mayat agar kain pada bagian wajah tidak tersingkap karena tiupan angin misalnya. Sedangkan kain yang tersisa pada bagian kaki ditekuk ke bagian atas kedua kaki mayat. Dan bisa diikat bila khawatir kafannya terbuka/ terbongkar namun bila hendak dimasukkan ke kuburannya, ikatan tersebut dibuka. (Al-Hawil Kabir 3/21-23, Al-Majmu’ 5/157- 161, Al-Mughni 2/169, Asy-Syarhul Mumti’ 2/517- 519)

1  HR. An-Nasa’i no. 1824 kitab Al-Janaiz, bab Katsratu Dzikril Maut, Tirmidzi no. 2307 kitab Az-Zuhud ‘an Rasulillah r, bab Ma Ja’a fi Dzikril Maut, dan selain keduanya. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata tentang hadits ini dalam Shahih Sunan Nasa’i dan Shahih Sunan Tirmidzi: “Hasan shahih”.
2 HR. Al-Bukhari no. 1265 dalam Shahih-nya, kitab Al-Janaiz, bab Al-Kafan fi Tsaubaini dan Muslim no. 1206, kitab Al-Hajj, bab Ma Yuf’alu bil Muhrim idza Maata.
3 Nama kain yang dinisbahkan (disandarkan) kepada sebuah tempat/ kota di Yaman yang bernama Suhul atau kain putih bersih dari katun (Al-Hawil Kabir 3/21, Syarhus Sunnah 5/313, Al-Majmu 5/152, Tharhu At-Tatsrib fi Syarhi At-Taqrib 3/914, Fathul Bari 3/174)
4 Yang dikafani dengan namirahnya karena hanya harta itu yang ia tinggalkan.
5 Demikian pendapat ‘Atha`, Az-Zuhri, ‘Amr bin Dinar, dan Qatadah. Ibrahim An-Nakha’i t berkata: “Yang lebih dahulu disisihkan dari harta si mayat (sebelum dibagikan kepada ahli warisnya, pent.) adalah keperluan kafannya, kemudian keperluan untuk membayar hutangnya, kemudian penunaian wasiatnya.” Sufyan Ats-Tsauri t berkata: “Ongkos penggalian kubur dan biaya memandikan mayat sama dengan hukum kafan, diambil dari pokok harta si mayat.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya, kitab Al-Janaiz, bab Al-Kafanu min jami’il mal, Fathul Bari 3/174-175)
6 Lihat haditsnya dalam Shahih Al-Bukhari no. 1276 kitab Al-Janaiz, bab Idza lam Yajid kafanan illa ma yuwari ra’sahu au qadamaihi ghaththa ra`sahu dan Muslim no. 940, kitab Al-Janaiz, bab Fi kafanil mayyit.
7 HR. Muslim no. 943, bab Fi tahsini kafanil mayyit
8 HR. Abu Dawud no. 4061, At-Tirmidzi no. 2810 dan ia berkata: Hadits hasan shahih. Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jami’ush Shahih (2/249) berkata: “Hadits ini hasan di atas syarat Muslim.”
9 HR. Al-Bukhari no. 1264 bab Ats-Tsiyabul bidh lil kafani dan Muslim no. 941 bab Fi kafanil mayyit, sedangkan lafadz yang ada dalam kurung dari riwayat Al-Imam Ahmad.
10 Sementara dalil yang menunjukkan perbedaan jumlah kafan wanita dengan laki-laki lemah seperti diterangkan di atas.
11 HR. Abu Dawud no. 3150, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud. Beliau berkata dalam Ahkamul Janaiz ketika membahas hadits ini: “Ini sanad yang shahih menurutku, demikian pula menurut Al-Mizzi t. Adapun Al-Hafidz dalam At-Talkhis berkata: “Isnadnya hasan”. Hadits ini memiliki jalan lain yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad t dari Abu Az-Zubair dari Jabir dengan lafadz:
“Siapa yang mendapatkan kelapangan, maka hendaklah ia dikafani dengan kain yang bergaris-garis.”
12 HR. Ahmad 3/331, Al-Hakim berkata: Shahih di atas syarat Muslim. Adz-Dzahabi t menyepakati Al-Hakim. Kata Asy-Syaikh Al-Albani t: “Keberadaan hadits ini memang seperti yang dinyatakan keduanya. Al-Imam An-Nawawi t juga menshahihkannya dalam Al-Majmu’ 5/196.” (Ahkamul Janaiz hal. 84)
13 Sejenis wangi-wangian yang biasa diberikan kepada mayat secara khusus. (Al-Majmu’ 5/157)
Sumber :  http://www.asysyariah.com/sakinah/wanita-dalam-sorotan/1117-mengafani-jenazah-wanita-dalam-sorotan-edisi-19.html

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers