ماَ عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl: 96)
Adalah Hatim bin al-Asham, berguru kepada Syaqiq al-Balkhi selama 33 tahun. Sang guru bertanya, “Pelajaran apa yang kamu dapatkan setelah sekian lama berguru kepadaku?” Hatim menjawab, “Ada delapan pelajaran yang saya dapatkan.” Sang guru berkata, “inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un, umurku habis untuk mendidikmu, tapi kamu hanya mendapatkan delapan pelajaran?” Hatim menjawab, “Memang hanya delapan hal yang kudapatkan, saya tidak ingin berdusta kepada guru.” Syaqiiq berkata, “Baiklah, utarakan kepadaku pengetahuan apa yang kamu dapatkan!”
Sejenak, mari alam pikir kita masuk dalam situasi perbincangan dua ulama besar itu.

Yang Sirna dan Yang Kekal Selamanya
Selama 33 tahun, hanya mendapatkan delapan pelajaran. Tentulah yang didapatkan Hatim tersebut ilmu-ilmu inti yang disimpulkan dan diperas dari lautan ilmu yang ia pelajari dari gurunya. Bukan sekedar apa yang dia hafal atau dia dengar tanpa penghayatan dan perenungan. Satu dari delapan pelajaran yang beliau dapatkan itu adalah,
“Saya perhatikan perilaku manusia, dan saya amati setiap orang yang memiliki barang berharga, ia menjaganya agar tidak hilang. Kemudian saya membaca firman Allah Ta’ala,
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ
”Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah kekal” (QS. Surat an-Nahl: 96)
Maka ketika aku memiliki sesuatu yang berharga, aku titipkan kepada Allah, agar Dia menjaganya untukku.”
Sungguh merupakan pengamatan yang jeli, kesimpulan yang jitu dan sekaligus sikap yang cerdas. Rata-rata manusia, ketika memiliki barang berharga semisal emas, ia akan menjaganya dengan ketat. Barang dimasukkan kotak lalu dikunci, kotak masuk laci, lacinya dikunci. Laci berada dalam lemari, lemarinya dikunci. Lemari berada di kamar, kamarnya juga dikunci. Kamar berada di dalam rumah, dan rumahnya juga dikunci. Rumahpun dipagari, dan pagarnya dikunci. Begitulah cara manusia menjaga barang berharga agar tidak lenyap dari genggaman.
Tapi apakah dengan cara seperti itu, barang miliknya akan tetap abadi? Jawabannya, “Tidak.” Lambat laun pasti ia akan kehilangan olehnya. Kalaupun tidak dicuri, mungkin akan dikeluarkan karena terdesak kebutuhan, atau paling tidak saat ia meninggal akan berpisah dengan barang kesayangannya.
Hatim memilih cara yang paling ampuh, agar sesuatu yang berharga miliknya bisa langgeng, tidak akan berpindah tangan ataupun hilang. Yakni dengan menitipkannya kepada Allah. Karena beliau yakin akan firman-Nya, “wa maa ‘indallahi baaqin”, dan apa yang di sisi Allah itulah yang kekal.
Benar, apa yang kita persembahkan keada Allah itulah yang kekal. Itulah yang menjadi simpanan kita, dan kelak akan kita panen tanpa ada masa kadaluarsa, dan dengan stok yang tak dibatasi takarannya. Sedangkan apa yang kita pakai di dunia ini akan usang, yang kita makan menjadi kotoran, begitupun dengan jatah waktu dan umur yang kita sandang akan berakhir. Berbeda dengan sesuatu yang dititipkan kepada Allah.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, “Yakni, pahala untuk kalian di jannah akan kekal, tidak akan terputus, tak akan sirna, selalu kekal dan tiada akan berpindah tangan atau lenyap.”
Ini  mengingatkan kita sebuah riwayat, ketika Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu ‘anha ditanya oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tentang kambing yang disembelih, beliau menjawab, “Sudah habis disedekahkan, yang tersisa hanyalah sebelah bahunya saja.” Lalu Nabi bersabda, “Masih utuh, kecuali sebelah bahunya.” (HR Muslim)

Jangan Berikan Untuk Allah Hanya Sebatas Sisa
Apa yang bisa dititipkan kepada Allah, tentu bukan sebatas harta. Karena kita memiliki banyak karunia yang berharga. Masa muda misalnya, adalah sesuatu yang paling berharga dari umur. Selayaknya masa muda dipersembahkan untuk Allah, mengisinya dengan hal-hal yang bernilai pahala dan ketaatan kepada Allah.
Waktu juga merupakan perbendaharaan yang berharga. Begitupun dengan kesehatan, akal, tenaga maupun harta benda. Tidak selayaknya kita memberikan untuk Allah, hanya sisa-sisa dari apa yang kita miliki. Sisa harta yang tidak kita sukai, sisa waktu setelah  jenuh dengan aktivitas duniawi, sisa pikiran untuk mempelajari syariatnya dan memperjuangkannya, sisa tenaga, maupun sisa umur dan menunggu usia tua untuk mengabdi kepada-Nya.
Lagi pula, apa yang kelak kita dapatkan di akhirat, sesuai dengan apa yang kita ‘titipkan’ dan persembahkan kepada Allah. Tidak akan ada nikmat di akhirat, melainkan kenikmatan yang kita usahakan dengan amal shalih kita di dunia. Tak ada pula hunian yang nyaman di akhirat, kecuali jika kita membangunnya sejak di dunia. Seperti dikatakan sebagian ulama, “laa daara lil mar’i ba’dal mauti yaskunuhaa, illal latii kaana qablal mauti yabniiha, tiada rumah bagi seseorang setelah matinya, selain rumah yang ia bangun sebelum matinya.”
Sebagai tambahan ilustrasi, ada kisah menarik yang bisa diambil hikmahnya. Ada seorang tukang bangunan yang telah bertahun-tahun lamanya bekerja ikut seorang pemborong. Iapun bermaksud mengajukan pensiun karena ingin menghabiskan sisa umurnya bersama keluarganya. Si Pemborong berkata, “Saya kabulkan permohonan pensiun Anda, tapi dengan satu syarat; kamu bangun dahulu satu rumah terakhir sebelum Anda pensiun.” Si tukang bangunan menyetujui dan segera  membangunnya. Karena kejar tayang, iapun mengerjakannya asal-asalan, serba cepat dan asal jadi.
Selesai sudah bangunan terakhir yg ia buat. Ia serahkan kunci rumah kepada sang Pemborong. Sang Pemborong pun tersenyum dan berkata, “Rumah ini adalah hadiah untukmu, karena kamu telah lama bekerja bersamaku.” Terkejutlah tukang bangunan itu, dan ada rasa sesal di hati, kenapa rumah yang akhirnya hendak ia tempati itu dikerjakannya secara asal-asalan.
Faedah dari kisah ini, bahwa ibadah yang kita kerjakan di dunia ini, tak lain adalah ‘rumah’ yang sedang kita bangun untuk kita tempati nanti setelah pensiun dari kehidupan dunia. Selayaknya kita bangun dengan perencanan yang baik, dengan kualitas ‘bahan’ yang baik dan penuh kesungguhan dalam pengerjaan. Jangan sampai kelak kita menyesal kerena kita menempati rumah buruk yang kita bangun sendiri ketika di dunia. Wallahul muwaffiq.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers