(Untuk menunggu tulisan baru, berjudul Sesama Pembela Kekafiran; Azra “Untung” Dawam “Buntung”)
  • Barangkali saja tulisan tentang Azra itu kurang mengenakkan “sang jawara” yang lebih senior dalam membela Ahmadiyah yakni Prof Dawam Rahardjo. Oleh karena itu, akan kami tulis insya Allah judulnya Sesama Pembela Kekafiran; Azra “Untung” Dawam “Buntung” . Tulisan itu nanti bukan untuk mengusulkan agar Pak Dawam mendapatkan hadiah dari orang kafir sebagaimana Azra, namun hanya untuk menyambung adanya berita saja.
Sebelum muncul tulisan yang direncanakan itu, kini mari kita nikmati saja dulu tentang “perjuangan” Sang Profesor yang senior dalam membela kesesatan. Inilah tulisan seutuhnya.
***

Langkah-langkah “Perjuangan” Seorang Profesor Pendukung Kesesatan


Seorang profesor yang sudah cukup tua tampak turun gunung. Itu pertanda suasana agak gawat. Kalau beliau tidak turun tangan maka akan dianggap tidak mau cawe-cawe (berpartisipasi). Maka dia keluarkanlah jurus-jurusnya, baik lewat televisi maupun majalah, untuk membela “”cucunya”” (Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL/ Jaringan Islam Liberal) yang akan dipites[1] orang gara-gara tulisannya (di koran Katolik, Kompas, 18 November 2002berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”) yang lancang dan mengusik kebenaran Islam.
Sang Profesor berupaya keras untuk meyakinkan khalayak ramai bahwa ‘”cucunya”‘ tidak bersalah, hanya beda pendapat belaka, dan itu sah-sah saja. Untuk membela “cucunya” itu dia tuding orang yang mau memites “cucunya” itu sebagai kelompok Islam radikal, garis keras, ekstrem, fundamentalis, militan, bahkan dia ambil pula istilah dari orang walan tardho yaitu skripturalis yang artinya injili.
Dia katakan, kelompok Islam fundamentalis itu ingin melaksanakan “hukum Tuhan”[2], termasuk hukum potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, atau qishash bagi pembunuh. Sementara itu cucu dia yang tergabung dalam Islam Liberal berani menafikan hukum Tuhan itu. Maka akan dipites orang. Tentu saja Sang Profesor perlu turun gunung membelanya.

Dalam hal bela membela, Sang Profesor ini memang sudah banyak pengalamannya.
1. Ketika Pak Munawir Sjadzali (Menteri Agama 1983-1993) melontarkan gagasan reaktualisasi ajaran Islam dengan mengemukakan bahwa hukum waris Islam tidak adil,dan Pak Munawir berpidato di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta bahwa ada beberapa ayat Al-Qur’an yang kini tidak relevan lagi; maka Sang Profesor membela Pak Munawir. Sang Profesor berpidato di hadapan 200-an ahli syari’at di Kaliurang Jogjakarta. Lalu dengan ilmu sebatas kemampuannya, Sang Profesor ingin membela gagasan Pak Munawir. Kata Sang Profesor, kalau bagian warisan itu lelaki dua kali lipat bagian perempuan, maka bagaimana cara membaginya? Maka meledaklah tertawa para hadirin yang kebanyakan tenaga ahli syari’ah di Pengadilan-Pengadilan Agama berbagai kota yang sudah biasa memberi fatwa waris. Mereka sepontan menertawakan Sang Profesor yang tampak terlalu tidak menguasai materi pembahasan ini. Saat itu pula mendadak sontak Sang Profesor ini turun dari podium, langsung balik klepat[3] ke Jakarta bersama seorang pendampingnya. Bagaikan orang yangnglurug (datang dengan menantang bertanding) tiba-tiba jatuh tersungkur, maka bangkit langsung mlayu nggendring (lari tunggang langgang). Kalau dikaitkan dengan tarikh/ sejarah, mungkin seperti kasus jagoan jahiliyah di Pasar Ukadz di wilayah Makkah menantang khalayak, tahu-tahu dijotos Umar bin Khotthob langsung nggledak (jatuh tersungkur). Jotosan para ahli syari’at di Kali Urang Jogjakarta itu cukup hanya dengan tertawa bersama, lantas podium pun goyang hingga Sang Profesor yang berdiri di podium itu tidak kerasan lagi, langsung turun dan lari.
2. Di kesempatan lain lagi, Sang Profesor ketiban sampur (berperan) untuk menjadi pembicara dalam acara syukuran atas lulusnya Azyumardi Azra dari Universitas Columbia, Amerika. (Azyumardi Azra kemudian jadi Rektor UIN/ Universitas Islam Negeri Jakarta, dahulu bernama IAIN/ Institut Agama Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, terakhir dia sebagai direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN –Universitas Islam Negeri Jakarta, gantian dengan Qamaruddin Hidayat yang kemudian jadi rektor UIN Jakarta). Syukuran doktor ini diisi oleh Sang Profesor dengan mengemukakan pembelaan terhadap Nurcholish Madjid dalam pembicaraan tentang pembaharuan Islam di Indonesia. Sang Profesor mengatakan, Nurcholish Madjid tidak mengatakan Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar) seperti yang diberitakan selama ini. Nurcholish Madjid tidak ada makalahnya yang seperti itu. Itu hanya bikin-bikinan seorang wartawan saja. Itu sudah saya tanyakan kepada Pak EBA (Endang Basri Ananda), kata Sang Profesor. Ternyata setelah itu, Sang Profesor jadi kelabakan. Tidak enak kepada Pak EBA, hadirin yang sudah diceramahi yang tentu saja sudah bubar ke tempat masing-masing, dan lebih tidak enak lagi kepada wartawan yang dituduh membikin-bikin berita bohong itu. Masih pula Sang Profesor harus minta copian makalah Nurcholish Madjid kepada wartawan yang telah dituduhnya secara terbuka itu. Namun rupanya nasib Sang Profesor masih beruntung, ketika meminta makalah yang dia anggap tidak pernah ada itu kepada wartawan yang telah ia tuduh itu rupanya benar-benar diberi copian makalah Nurcholish Madjid. Isinya memang ada terjemahan lafal syahadat, menjadi Tiada tuhan selain TuhanAnehnya, Sang Profesor tidak mencabut perkataannya, dan tidak minta maaf kepada wartawan yang dituduhnya. (Wartawan yang dituduhnya itu adalah Hartono Ahmad Jaiz).
3. Sang Profesor dikenal punya anak buah wanita muda, Wardah Hafidz, tokoh feminisme alumni Barat. Suatu ketika ada polemik yang diarahkan kepada wanita muda itu, dan nama Sang Profesor dibawa-bawa. Saat itu ungkapan lawan berpolemik, Ustadz Abu Ridho, tampaknya menohok pula. Sehingga Sang Profesor yang dikenal selaku “pembela” justru kena tohokan.Tokoh feminisme asuhan Sang Profesor itupun kini terkena badai gara-gara ucapannya di TV-7,Ramadhan 1423H/ 2002M. Wardah Hafidz dalam wawancara TV-7 itu mengatakan: “Saya sudah tidak lagi melakukan ritual konvensional (shalat, pen), tetapi dengan cara saya sendiri. Kemiskinan tidak hanya bisa diselesaikan dengan cara seperti itu. Saya punya cara sendiri. Dengan cara meningkatkan kepedulian untuk mencari solusi kemiskinan.”, ujar Wardah. Di kesempatan lain, Wardah Hafidz sendiri mengaku dinasihati ibunya: “Sampai Ibu mengingatkan, shalatlah kamu. Kalau kamu nanti masuk neraka, Ibu tidak bisa menolong kamu,” ujar Wardah mengutip kalimat ibunya. “Bu, saya telah dewasa, berilah saya hak. Biarlah itu hak dan tanggung jawab saya,” katanya. (Jurnal Islam, 10-16 Januari 2003, halaman 16). Apakah “kampanye” untuk meninggalkan shalat ini akan dibela juga oleh Sang Profesor karena merupakan rekanannya, wallahu a’lam. Yang jelas, kasus itu menuai kecaman pula dari ulama dan masyarakat. Karena Allah SWT telah menegaskan:

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ(42). قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ(43)

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, (QS Al-Muddatstsir: 42 dan 43).
4. Kasus lain yang tak kalah serunya, yakni Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) yang menulis di Kompas 18 Nopember 2002 berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, isinya menafikan hukum Tuhan. Kasus Ulil yang oleh FUUI (Forum Ulama Umat Islam) dari Bandung disebut sebagai penghinaan agama itu dibela pula oleh Sang Profesor lewat televisi dan majalah. Ketika membela Ulil Abshar di Metro TV, Sang Profesor dipertanyakan oleh KH Athian Ali Da’i dari Bandung yang diwawancarai lewat telepon, apa maksud Sang Profesor mengatakan bahwa Al-Quran adalah filsafat? Sang Profesor tidak menjawabnya.
5. Satu lagi yang dibela oleh Sang Profesor, yaitu Ahmadiyah, aliran yang menganggap Mirza Ghulam Ahmad (India) sebagai nabi mereka. Sang Profesor kerangkak-rangkak (berpayah-payah pergi) ke London sebagai “duta’ orang Ahmadiyah Indonesia tetapi mengatas namakan Muhammadiyah bersama Habib Hirzin –yang dulunya pemuda Muhammadiyah lalu ke PKB partainya NU—mengundang penerus nabi palsu yaitu Tahir Ahmad yang dianggap Khalifah ke-4 tingkat dunia bagi Ahmadiyah untuk datang ke Jakarta/ Indonesia. Lalu Sang Profesor pun menjemput penerus nabi palsu itu ke Bandara Cengkareng Jakarta dan mengalungi bunga terhadap penerus nabi palsu tersebut. Kehadiran penerus nabi palsu dari London ke Indonesia tahun 2000 masa pemerintahan Gu Dur itu oleh Sang Profesor bisa dimuluskan jalan berbagai upacaranya. Sampai-sampai penerus nabi palsu itu dipertemukan dengan Presiden Gus Dur dan ketua MPR Amien Rais. Dalam catatan perjalanan Tahir Ahmad penerus nabi palsu yang disebarkan lewat majalah khususnya di London, dipujilah perjuangan Sang Profesor yang sangat mengagumkan bagi mereka atas lancarnya seluruh jalannya acara. Namun tidak lama setelah pujian kepada Sang Profesor itu beredar di kalangan Ahmadiyah, tiba-tiba hasilnya sangat mengejutkan. Dengan “perjuangan” Sang Profesor itu, kini hasilnya, banyak rumah-rumah orang Ahmadiyah di berbagai tempat di Indonesia dihancurkan massa, karena orang-orang Ahmadiyah dikomandoi penerus nabi palsunya telah sesumbar, Indonesia akan dijadikan negeri Ahmadiyah terbesar di dunia. Sesumbar itu disambut oleh umat Islam dengan perlawanan, di antaranya terjadilah penghancuran rumah-rumah para pengikut nabi palsu yang makin nglunjak itu. “Nah, lhu!” kata orang Betawi/ Jakarta.
Sekarang Sang Profesor menghadapi banyak sekali masalah. Yang dibela itu ada yang sudah struk berlama-lama di usia tuanya dan tidak jadi petinggi negara lagi. Ada yang dianggap kafir dan murtad karena “mengkampanyekan” untuk tidak shalat, ada yang menafikan hukum Tuhan, ada yang disebut sebagai gatoloco (faham menafsirkan Islam seenak perutnya), ada yang menjadi pengikut nabi palsu namun sesumbar untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri terbesar pengikut nabi palsu, hingga rumah-rumah orang-orang sesat yang sesumbar itu dihancurkan massa, dan ada yang diancam mati alias mau dipites orang.
Sang Profesor mestinya tanggap. Ketika berbicara di depan ahlinya, sedang dirinya tidak ahli, lalu ditertawakan, betapa malu dan sakit hati. Lebih-lebih ketika mempertanggung jawabkan pembelaannya di akherat kelak, kepada Allah SWT yang hukum-Nya mau ditegakkan oleh hamba-Nya, tahu-tahu Sang Profesor itu adalah pembela dari para penentang hukum-Nya, maka betapa klimpungannya di hadapan Allah SWT kelak. Tidak sekadar klimpungan seperti menghadapi orang yang dituduh tanpa bukti, lalu malah Sang Profesor minta bukti (makalah) kepada wartawan yang dituduhnya seperti tersebut di atas, lalu diberi bukti yang justru menghantam Sang Profesor sendiri.
Sebelum umur Sang Profesor habis untuk hal-hal yang merugikan umat dan diri sendiri, lebih baik kembali kepada hukum Allah, dan bertaubat dari pembelaan-pembelaan yang menjerumuskan diri dan umat. Inilah sekadar kronologi “perjuangan” Profesor Dawam Rahardjo, bekas rektor Universitas Islam 45 di Bekasi Jawa Barat, Ketua III T Indonesia, dan unsur pimpinan dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Indonesia (belakangan kabarnya dia dipecat dari Muhammadiyah). Selayaknya beliau bertaubat sebelum habis masa edarnya di dunia ini.
Saat Ahmadiyah gonjang-ganjing dia bungkam
Saat ramai-ramainya kasus Ahmadiyah –16 April 2008– dinyatakan oleh Bakor Pakem Kejaksaan Agung bahwa Ahmadiyah menyimpang dari pokok-pokok agama Islam dan direkomendasikan untuk menghentikan kegiatannya, Dawam Rahardjo tidak terdengar suara pembelaannya.
Kenapa?
Kabarnya, Dawam selama setahun belakangan ini sakit-sakitan, hingga sering berobat kepada dukun Lia Eden di dalam penjara –yang selama ini senantiasa Dawam bela–.
Lia Eden semula bernama Lia Aminuddin, wanita dukun, perangkai bunga kering, tokoh murtad. Kenapa murtad? Karena dia mengaku mendapat wahyu, menjadi isteri Malaikat Jibril, tidak percaya akherat, mengaku dirinya unsure Tuhan bersama Jibril, dan menghalalkan daging babi, maka divonis penjara 2 tahun. Perempuan ini senantiasa Dawam bela kesesatannya, maka tak segan-segan Dawam ketika mengidap sakit selama setahun belakangan sering berobat ke Lia Eden di dalam penjara, kabarnya.
Terakhir, kabarnya Dawam menderita sakit ginjal dan harus dioperasi. Makanya tidak terdengar pembelaannya terhadap aliran sesat Ahmadiyah. Padahal biasanya, dia di barisan paling depan untuk membela kesesatan lebih-lebih Ahmadiyah. Mungkin gonjang-ganjing Ahmadiyah kali ini justru menambah derita bagi Dawam. Sudah upayanya selama ini seakan muspra tak bermakna, sekarang pas waktunya harus berteriak justru tak mampu berteriak. Barangkali saja kasus ini menambah-nambah deritanya, apalagi kalau sakitnya harus dibawa-bawa ke negeri orang.
Ini mengingatkan kisah pendahulunya, Nurcholish Madjid. yang meninggal dunia di rumah sakit Pondok Indah Jakarta, Senin 29 Agustus 2005 jam 14.10. Nurcholish sebelumnya, 13 bulan sebelum meninggalnya, hatinya dicangkok (diganti) dengan hati orang Cina di Tiongkok, kemudian dirawat di Singapura selama sekitar 7 bulan. Dua hari menjelang meninggalnya Nurcholish Madjid, Koran Indopos (Sabtu, 27 Agustus 2005) memberitakan, Nadia binti Nurcholish Madjid, dan Akbar Tanjung teman Nurcholish mengatakan bahwa wajah Nurcholish Madjid tampak lebih hitam. “Dibandingkan sebelumnya (wajahnya) kelihatan lebih hitam,” ujar Akbar.
Dawam membela Nurcholish Madjid sampai setelah matinya
Dawam Rahardjo juga membela Nurcholish Madjid sejadi-jadinya. Sehari setelah meninggalnya Nurcholish Madjid, tulisan Dawam di halaman depan harian Media Indonesia 30 Agustus 2005 terpampang judul SANG PEMBARU. Dawam menegaskan, “agar terjadi penyegaran pemikiran, Cak Nur mengusulkan dilakukannya liberalisasi dan sekulerisasi.” Juga menurut Dawam, lahir gagasan Nurcholish Madjid mengenai pluralisme agama. Dawam tidak malu-malu menjunjung Nurcholish Madjid dengan sekulerisasinya, liberalisasi, dan pluralisme agama yang diusung Nurcholish Madjid. Padahal itu semua telah diharamkan oleh Fatwa MUI dalam Munas ke-7 di Jakarta 26-29 Juli 2005, karena paham itu menurut Fatwa MUI bertentangan dengan Islam.
Di antara pembela Nurcholish Madjid adalah Luthfi Assyaukanie yang bekerja di Paramadina Mulia yang rektornya adalah Nurchlish Madjid, setelah itu diganti oleh Anies Baswedan, sedang yang tampil membela Ahmadiyah saat gonjang-ganjing adalah Yudhi Latief dari Paramadina.
Luthfi membela Nurcholish di antaranya kami kutipkan tulisannya sebagai berikut:
Penyakit “mensetankan orang” juga menghinggapi sebagian kaum terpelajar Muslim di Indonesia, yang merasa terkejut dan tak aman karena berhadapan dengan dunia di sekelilingnya yang dianggap mengancam. Dalam sebuah artikel pendek, saya menemukan seorang pelajar Muslim (yang sebetulnya tidak bodoh, karena terbukti telah menggondol gelar PhD), yang membuat tulisan sangat provokatif, berjudul “Diabolisme Intelektual” (Intelektual Pemuja Iblis).
Dalam tulisan itu, ia mengerahkan seluruh energi amarahnya untuk mensetankan siapa saja yang dianggapnya sesat. Dengan memilih potongan-potongan ayat Al-Qur’an (yang pasti diseleksi dengan tidak jujur), dia menganggap para tokoh pembaru Islam seperti Nurcholish Madjid, sebagai setan dan iblis. Tak sampai di sini, dia juga mensetankan beberapa ulama besar Islam seperti Suhrawardi dan Hamzah Fansuri, karena dianggap sebagai orang-orang yang menyimpang dari ajaran Islam.(Demonisasi Oleh Luthfi Assyaukanie Editorial JIL, 20/06/2005).

Cendekiawan Iblis

Luthfi menulis seperti itu gara-gara ada tulisan yang menyoroti tentang adanya cendekiawan Iblis. Cuplikannya sebagai berikut:
Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur’an sebagai berikut.
Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir’aun berikut hulu-balangnya, zulman wa ‘uluwwan, meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).
Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah Islamnya. Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga al-‘inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w. 537 H/1142 M), al-‘Aqa’id, dalam Majmu, min Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba’ah al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19).
Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147): “Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas)”. Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an atau hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan lain sebagainya.
Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur’an maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis. Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha’).
Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur’an (7:146): “Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya.”
Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.
Sebaliknya, yang haq digunting dan di-‘preteli’ sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh. Contohnya seperti yang dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi l-ma’tsur dari ayat-ayat tersebut. Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada.
Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur’an 3:71, “Ya ahla l-kitab lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta’lamun?” Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zahirnya Muslim.
Karena watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan (syaytan), kemungkinan dari bahasa Ibrani ‘syatan’, yang artinya lawan atau musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur’an memang ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata manusia (12:5, 17:53 dan 35:6). Selain pembangkang (‘asiyy), setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid). Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan (yudillu) orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi (yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan (istahwa) dan menguasai (istah’wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta’uzz), menyeru (yad’u) dan menjebak (yaftin), menciptakan imej positif untuk kebatilan (zayyana lahum a’malahum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan iming-iming (ya’iduhum wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat (dalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik dan kebencian (yuqi’u l-‘adawah wa l-baghda’), menganjurkan perbuatan maksiat dan amoral (ya’mur bi l-fahsya’ wa l-munkar) serta menyuruh orang supaya kafir (qala li l-insani-kfur).
Nah, trik-trik inilah yang juga dipraktekan oleh antek-antek dan konco-konconya dari kalangan cendekiawan dan ilmuwan. Mereka disebut awliya’ al-syaytan (4:76), ikhwan al-syaytan (3:175), hizb al-syaytan (58:19) dan junudu Iblis (26:94). Mereka menikam agama dan mempropagandakan pemikiran liar atas nama hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi, demokrasi, pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran. Semua ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru atau pertama kali terjadi, seperti segera diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah pemikiran Islam. Semuanya merupakan repetisi dan reproduksi belaka. History repeats itself, kata pepatah bule. Hanya pelakonnya yang beda, namun karakter dan perannya sama saja. Ada Fir’aun dan ada Musa as. Muncul Suhrawardi al-Maqtul, tetapi ada Ibn Taymiyyah. Lalu lahir Hamzah Fansuri, namun datang ar-Raniri, dan seterusnya. Al-Qur’an pun telah mensinyalir: “Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka” (22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa “sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik” (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab. Wallahu a’lam.
(Syamsuddin Arif, Diabolisme Intelektual, Kamis, 30 Juni 2005, hidayatullah.com, penulis adalah peneliti INSISTS, kini menempuh program doktor keduanya di Universitas Frankfurt, Jerman).

Pembela Nurcholish dibantah

Luthfi yang dari Paramadina rupanya disahut Adian Husaini dari INSIST, cuplikannya sebagai berikut:
Tulisan “Diabolisme Intelektual” sangat bagus, jelas, jernih, dan punya sikap. yang salah katakan salah. Perlu disebut bagian mana dari tulisan itu yang salah. Iblis tidak malu-malu dan bersikap fair menyatakan dirinya sebagai Iblis dan terus terang berjanji akan menyesatkan manusia. Yang repot jika pengikut Iblis justru mengaku sebagai penyeru kebenaran dan kemaslahatan. Tapi, al-Quran sudah mengingatkan dan memberi ciri-ciri yang gamblang makhluk jenis ini yang disebut sebagai “munafik”. Jadi, tidak usah ragu-ragu melakukan demonisasi, meskipun juga harus hati-hati. Saran saya, agar tidak rumit, yang Iblis, ngakulah Iblis, yang memang setan, katakan setan, siapa yang kafir, ngakulah kafir. Tidak usah ragu-ragu, masing-masing sudah ada tempatnya. Yang paling ditakutkan oleh Rasulullah saw adalah “kullu munafiqin ‘aliimul lisaan.” (insistnet@yahoogroups.com, adian husaini <ADIANH@Y…)
Sebenarnya Syamsuddin Arif tidak menulis secara eksplisit nama Nurcholish Madjid. Tetapi justru Luthfi yang menulis nama itu. Adian Husaini pun hanya menyarankan agar mereka mengaku saja, karena iblis juga mengaku akan menyesatkan orang.
Polemik ini cukup sengit di saat Nurcholish Madjid sedang sakit, yang dua bulan kemudian dia meninggal dunia di rumah sakit Pondok Indah Jakarta, Senin 29 Agustus 2005 jam 14.10. Nurcholish sebelumnya, 13 bulan sebelum meninggalnya, hatinya dicangkok (diganti) dengan hati orang Cina di Tiongkok, kemudian dirawat di Singapura selama sekitar 7 bulan. (lihat laporan Abu Qori dalam Mengenang Nurcholish Madjid, di Media Dakwah).
Hendaknya bertaubat
Sepak terjang Proffessor Dawam Rahardjo (dan kawan-kawannya yang masih hidup) yang selama ini mengusung dan membela aneka kesesatan hendaknya ditaubati. Mumpung masih hidup, sebelum menyusul tokoh yang dibela dan sudah meninggal di antaranya Nurcholish Madjid dan Ahmad Wahib (penyebar kesesatan pluralisme agama dalam buku catatannya yang kemudian disunting Djohan Effendi dan Ismet Natsir dan diterbitkan dengan judul Catatan Harian Ahmad Wahib Pergolakan Pemikiran Islam oleh LP3ES Jakarta pimpinan Dawam Rahardjo 1981 dan dinyatakan oleh KH Hasan Basri dari MUI bahwa Ahmad Wahib dengan tulisannya itu murtad).
Imbauan Allah dalam firman-Nya berikut ini perlu disimak:

قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ(53).

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Az-Zumar: 53).
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لاَ تُنْصَرُونَ(54).
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). (QS Az-Zumar: 54).
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُونَ(55).
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.” (QS Az-Zumar/ 39: 55).

أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ(56).

“Supaya jangan ada orang yang mengatakan: “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah).” (QS Az-Zumar/ 39: 56).# (Hartono Ahmad Jaiz).[4]
Added on 5 May 2008/ nahimunkar.com

[1] Istilah Jawa dan Betawi/ Jakarta yang artinya dibunuh dengan cara menekan kepala pakai jempol tangan dan jari telunjuk. Yang biasa dipites adalah binatang-binatang kecil seperti belalang, jangkrik dan lain-lain, yaitu dimatikan dengan cara kepalanya ditekan pakai jempol tangan dan jari telunjuk.
[2] rupanya Sang Profesor sudah ragu-ragu tentang hukum Tuhan, sehingga perlu diberi tanda kutip, karena “cucunya”, Ulil Abshar Abdalla pengomando JIL, tidak mempercayai adanya hukum Tuhan.
[3] secara cepat
[4] Makalah ini disebarluas di Daurah Mahasiswa se Jawa Timur tentang Kewaspadaan Ummat, di Surabaya, 15/3 2003; juga di Tabligh Akbar tentang Sesatnya JIL (Jaringan Islam Liberal) di Masjid Al-Istiqomah Bandung, 16/3 2003; dan dimuat di Majalah Media Dakwah, April 2003. Yang dimuat sekarang ini ditambahi dengan data-data terutama yang baru.
(nahimunkar.com)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers