Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan:
Saya seorang pemuda yang mengkhawatirkan diri terjatuh ke dalam fitnah. Saya sangat menginginkan untuk menikah. Saya memiliki penghasilan sendiri, uang tidak menjadi masalah karena orangtuakupun termasuk orang yang berkecukupan. Berkali-kali aku memberitahu keluargaku bahwa aku ingin menikah. Namun mereka selalu saja menjawab, “Menikah itu membutuhkan pertanggungjawaban dan amanah. Orang yang menjadikanmu bisa sabar sampai saat ini juga menjadikanmu bisa bersabar menyelesaikan kuliahmu di universitas sehingga engkau ntinya menjadi pegawai mapan.
Fadhilatusy Syaikh, saya mengharapkan pendapat Anda tentang permasalahanku ini serta jawaban nasehat untuk orangtuaku. Apa yang Anda nasehatkan kepadaku?
Perlu saya tegaskan,  saya siap menikah, mampu menafkahi istriku nanti dan menyediakan tempat tinggal yang layak. Akan tetapi tidak ada yang tersisa dari permasalahan ini kecuali persetujuan orangtuaku.
Jawaban:

Aku katakan,  bertawakkallah kepada Allah. Berusahalah mencari istri di waktu malam (waktu dimana keluarga berkumpul). Janganlah engkau turuti orangtuamu (dalam hal ini).
Perkara ini sejatinya memiliki dua akar masalah:
1. Perintah orangtua untuk menunda nikah.
2. Perintah Nabimu agar bersegera menikah.
Lalu perintah mana yang harus engkau utamakan? Ya tentu perintah Nabi shallallahu’alaihi wasallam.
Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
يا معشر الشباب! من استطاع منكم الباءة فليتزوج
Wahai sekalian para pemuda,  jika salah seorang diantara kalian mampu menikah maka menikahlah!
Adapun laki-laki penanya termasuk orang yang mampu menikah sebagaimana gambaran dalam pertanyaan. Dia memmiliki harta,  rumah dan semua yang dibutuhkan. Maka hendaknya dia segera menikah.
Jika tidak cukup satu isti maka dua istri. Jika tidak cukup dua istri maka tiga istri. Jika tidak cukup tiga istri maka empat istri. Dan jika tidak cukup empat istri hendaknya dia membeli seorang budak perempuan. Dan dia juga boleh membeli budak-budak perempauan lain yang ia sukai.
Ringkasnya,  aku katakan janganlah engkau turuti dua orangtuamu. Menikahlah dengan meminta pertolongan Allah.
Adapun soal orangtuamu maka aku khawatir dia termasuk orang yang menghalang-halangi anaknya untuk menikah.
Aku katakan kepada orangtua tersebut, “Jika seorang anak ingin menikah dan dia seorang laki-laki yang fakir sementara Anda orangtua yang kaya. Maka wajib bagimu menikahkannya dengan hartamu. Lalu bagaimana lagi dengan anak yang mampu membiayai pernikahannya sendiri? (tentu lebih utama diberi ijin menikah).”
Aku katakan kepada orangtua semacam ini,  “Bertakwalah kepada Allah. Jika Anda berada pada posisi anakmu sekarang lalu ada orang yang menghalangimu menikah. Bukankah engkau juga merasa keberatan dan kecewa? Jawabannya,  Tentu demi Allah.”
Maka takutlah kepada Allah. Hendaknya ia memudahkan urusan anaknya.
Demikian juga soal anak perempuan. Sebagian orang menghalangi anak perempuannya untuk menikah dengan dalih bahwa ia belum selesai sekolah.
Maka patut dikatakan padanya,  “Kapanpun seorang laki-laki sekufu datang melamar maka nikahkanlah anak perempuanmu dengannya dan janganlah engkau menunggu selesai sekolah.”
Sejatinya wanita itu hanya dituntut untuk mengurus rumah. Adapun masalah belajar dan memperluas ilmu adalah bidangnya laki-laki.
Dan wanita diperintahkan untuk mengurus semua urusan rumah.
Firman Allah Ta’ala kepada wanita tersuci di generasi terbaik umat ini (yaitu istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam),
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al Ahzab: 33)
Perhatikanlah negeri yang penduduk wanitanya mensejajarkan diri dengan laki-laki (dengan slogan emansipasi wanita). Apa yang terjadi? Muncul berbagai kerusakan,  bencana, musibah dan dampak buruk lain yang tidak diketahui seorangpun kecuali  Allah.
Akan tetapi jika seorang laki-laki berupaya pada bidang yang menjadi kewajibannya yang telah diatur Allah untuknya baik secara qadari dan syar’i,  demikian juga wanita bekerja pada bidang yang menjadi kkwajibannya,  sungguh akan tercipta kelompok masyarakat sempurna dan terwujud kedamaian.
Seorang suami pulang ke rumah lalu ia dapati semua yang ada dirumahnya tertata rapih. Kemudian ia pergi ke pasar lalu ia dapati bahwa dirinyalah yang harus bekerja dan berusaha mencari nafkah.
Kewajiban wanita mengurus rumah dan kewajiban laki-laki bekerja di luar. Masing-masing berusaha saling melengkapi satu dengan yang lain.
Seorang istri melengkapi kebutuhan suaminya,  istirahat dan semua keperluan di rumah. Seorang suami melengkapi istrinya dengan nafkah yang ia berikan kepada keluarga.
Kalau seandainya kita semua berjalan diatas tuntunan syariat tentang masalah ini tentu akan terwujud kebaikan yang banyak.
Jika seorang laki-laki sekufu datang melamar,  nikahkanlah dan mintalah pertolongn Allah. Janganlah engkau membatalkan pernikahan anak perempuanmu. Karena jika sekali membatalkan pernikahan anak perempuan maka laki-laki lain akan menyerah (enggan melamar) . Pada akhirnya anak-anak perempuan tadi tetap melajang. (Silsilah Al Liqa Asy Syahri 65)
.***
Sumber: Tathbiiq Fatawa Ibnu Utsaimin Lianduruwid
Simak versi audio berikut:
http://zadgroup.net/bnothemen/upload/ftawamp3/mm_065_09.mp3


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers