Syaikh Ali Mustafa Thantawi –rahimahullah– mengatakan: “Diantara kebiasaanku adalah aku tidak akan berkendaraan bila aku mampu berjalan kaki. Aku tidak akan berjalan dibawah tempat yang teduh bila aku mampu berjalan di bawah panas terik. Tidak peduli terik Lebanon dibulan Oktober atau teriknya India dibulan Juni.
Saat itu matahari begitu cerah dan panas, aku melepas dasiku dan memasukkannya kedalam kantong bajuku. Tiba-tiba seorang kawan berpapasan denganku, dia adalah kawan yang sangat aku hormati. Namun yang aku tidak suka darinya adalah sikapnya yang lebih keras memegang tradisi ketimbang agamanya. Belum selesai mengucap salam, dia langsung menatapku dengan tatapan yang tidak mengenakkan dan berkata, “Bagaimana bisa anda melakukan ini?”.

Akupun kaget dan berujar, “Apa yang sudah kulakukan? Apakah aku telah melakukan bid’ah dalam Islam? Atau telah menolong pelaku bid’ah? Atau telah melakukan suatu kejahatan.? Jelaskan padaku… Katakan padaku , kabar apa yang sampai kepadamu tentang diriku? Mungkin saja orang yang menyampaikan kabar itu fasik atau pembohong”.
Dia menjawab, “Tak ada seorangpun yang mengabariku tentangmu. Tapi aku melihat dengan mata kepalaku sendiri” (sambil memberi isyarat padaku).
“Apa itu?” tanyaku penasaran.
Temanku menjawab, “Dasi, bagaimana mungkin engkau berjalan tanpa mengenakan dasi. Itu tidak pantas bagi seorang konsultan sepertimu. Apa kata orang nanti?”.
Aku tidak meneruskan percakapan itu. Aku duduk sejenak dan berfikir, kalau begitu selama ini kita mengerjakan segala sesuatu untuk manusia?
Kita mencekik diri kita dengan mengikatkan dasi ke leher, kemudian rela menahan rasa gerah karena panasnya matahari dimusim panas demi manusia?
Wanita menggunakan sepatu hak tinggi, padahal berjalan menggunakan hak tinggi lebih sulit ketimbang berjalan di atas tali. Bagi pria yang tidak percaya silahkan berjalan diatas jari kaki sepanjang 100 langkah. Padahal tidak ada gunanya memakai sepatu seperti itu, tidak ada keindahan disana. Tapi itulah yang diinginkan manusia.
Seorang pemuda menyisir rambutnya dengan sangat modis selama setengah jam. Sepanjang hari ia menjaga agar model rambutnya tidak dirusak oleh terpaan angin dan kejahilan tangan orang lain. Bahkan bila timbul rasa gatal di kepalanya, ia rela menahan rasa gatal tersebut sepanjang hari. Kenapa? Karena manusia! Semua kreasinya untuk manusia.
Wanita, sifat baiknya untuk manusia. Ia menyambut kedatangan sahabatnya dengan wajah yang berseri-seri. Bibirnya mengukir senyuman, sikapnya sangat santun. Namun ia bersikap kasar terhadap suaminya, menatapnya dengan tatapan sinis dan berbicara dengan bahasa yang kasar. Begitu pula para suami.
Bila keluar rumah ia bersolek, memakai minyak wangi dan mengenakan pakaian yang paling indah untuk orang asing. Namun saat bertemu sang suami, ia membiarkan rambutnya acak-acakan, wajahnya muram, bahkan dari pakaiannya sering tercium bau bawang putih dan bawang merah. Begitu juga para suami.
Meja makan tertata rapi diruang makan untuk orang lain. Bila tamu datang piring-piring ditata rapi, agar semakin indah, tak lupa dilengkapi hiasan bunga. Namun setelah tamu pergi, tempat makannya pindah ke dapur.
Terkadang kita rela berletih dan berpeluh untuk meraih simpati manusia. Semua yang kita lakukan untuk manusia.
Bila ingin menikahkan putri kita, kita jarang memikirkan kemaslahatannya dan juga kemaslahatan calon suaminya. Kita tidak berfikir untuk kebahagiaan mereka. Yang kita pikirkan adalah bagaimana kemeriahan resepsinya nanti? Semua demi mencari ridho manusia.
Kita tidak bertanya (kecuali sedikit) tentang akhlak dan sifat calon mempelai pria. Kita hanya bertanya soal mahar yang akan dibayarnya, agar kita bisa menceritakan pada orang lain bahwa “Mahar putriku 10.000 lira”. Juga soal perlengkapan pesta agar orang berkata, “Masyaallah perlengkapannya begitu mewah” dan soal bagaimana (kemegahan) resepsi perkawinan. Kita berlomba untuk membuat syaithan ridho dengan pemborosan harta pada hal-hal seperti itu.
Baju pengantin yang dipakai selama satu malam harganya paling kurang 200 lira, kadang bisa mencapai 2000 lira. Kotak cendera mata harganya paling sedikit 1 lira, kadang hingga 20 lira.
Untuk apa semua itu. .?
Untuk kepentingan resepsi. ? Demi Allah tidak.
Untuk meraih pahala dan surga. ? Demi Allah tidak.
Untuk mencari harta. ? Demi Allah tidak.
Kalau begitu lantas untuk apa.?
Ya, Untuk manusia!
Padahal orang-orang itu tidak akan ridho padamu, karena sebesar apapun uang yang engkau belanjakan untuk pernikahan, maka diantara manusia ada yang bisa mengeluarkan biaya yang lebih besar darimu. Mereka tetap akan berkomentar, “Pesta macam apa ini. ? Cendra mata apa ini. ? Punya fulan harganya lebih mahal dari ini, resepsi fulan jauh lebih meriah dari resepsi ini”.
Begitu juga dengan kedukaan, lebih mirip pesta. Semua berlomba dalam pemborosan harta. Andai mereka mencukupkan diri pada kemaslahatan mempelai dan keluarga yang berduka. Tapi tidak, setiap pernikahan dan kedukaan menelan biaya yang mampu menutupi musibah 30 keluarga.
Manusia…
Semua demi manusia..,
Wahai manusia… Kapan kita bisa hidup untuk diri kita sendiri?
Kapan kita mau bertindak menurut batasan syariat dan akal sehat kita?
***
(Diringkas dari kitab Ma’a An-Nas karya Syaikh Ali Thantawi. hal 51-56)
Madinah 02-01-1437 H
Penulis: Aan Chandra Thalib Lc.
Artikel Muslim.or.id


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers