Para pengikut yang setia mendampingi Abdullah bin Zubair makin sedikit, dan ia mengkhawatirkan keselamatan mereka. Tetapi mereka ini tidak mau meninggalkannya sendirian sebagaimana teman-temannya walau nyawa harus menjadi taruhannya. Abdullah bin Zubair menemui ibunya, Asma’ binti Abu Bakar, yang telah berusia hampir 100 tahun dan telah buta matanya. Dia datang untuk mendiskusikan masalah yang dihadapinya.
Abdullah bin Zubair menceritakan kepada ibunya situasi yang sedang dihadapinya. Termasuk berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada pasukan yang dipimpinnya. Jumlahnya memang sangat sedikit. Mendengar penuturan putranya tersebut, Asma’ jadi teringat dengan “ramalan” Nabi shalallahu ‘alaihi wassalamsaat melahirkannya. Inilah masa yang digambarkan oleh Rasulullah untuk putranya, dan ternyata ia ditakdirkan untuk menyaksikan kejadian tragis tersebut.
Sebagai seorang ibu yang berhati tegar dan sangat teguh memegang kebenaran, Asma’ berkata, “Demi Allah, wahai anakku, engkau lebih tahu tentang dirimu. Jika engkau berada di jalan kebenaran, dan  engkau menyeru kepada kebenaran tersebut, teruskanlah langkahmu, sahabat-sahabatmu telah banyak yang gugur demi kebenaran tersebut. Janganlah engkau mau dipermainkan oleh budak-budak Bani Umayyah. Tetapi jika sebaliknya, engkau hanya menginginkan dunia, engkau adalah seburuk-buruknya orang yang mencelakakan dirimu sendiri dan juga orang-orang yang berjihad bersamamu.”
Tentu saja Abdullah bin Zubair bukan tipe yang kedua, yang hanya mementingkan kepentingan duniawiah. Ketika ia menyatakan kekhawatirannya bahwa Hajjaj akan menyalib dan menyayat-nyayat tubuhnya setelah kematiannya, dengan tegas ibu yang perkasa ini berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya kambing itu sama sekali tidak merasakan sakitnya dikuliti setelah ia disembelih. Teruskanlah langkahmu, dan mintalah petolongan kepada Allah!”
Abdullah bin Zubair menjadi lega. Karena yang dikhawatirkan sesungguhnya adalah perasaan ibunya. Sesaat kemudian Asma’ berkata lagi kepada putranya,“Aku memohon kepada Allah, semoga ketabahan hatiku ini menjadi kebaikan bagimu, baik engkau yang mendahului aku menghadap Allah, atau aku yang mendahuluimu.”
Asma’ berdoa, “Ya Allah, semoga ibadahnya sepanjang malam, dan puasanya sepanjang siang, serta baktinya kepada dua orang tuanya, Engkau menerimanya disertai dengan cucuran Rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala sesuatu  tentang dirinya kepada kekuasaan-Mu, dan aku rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah, berilah aku pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Zubair ini, pahalanya orang-orang yang sabar dan bersyukur.”
Bersama ucapan dan doa yang dipanjatkan ibunya ini, langkah dan hati Abdullah bin Zubair terasa lepas. Tidak ada  lagi ganjalan apapun pada dirinya untuk memperoleh kesyahidan yang didambakannya.  Mereka berpelukan, Asma’ mengetahui bahwa anaknya masih memakai baju besi, Asma’ memerintahkan untuk melepaskannya, sambil berkata, “Apa-apaan ini Abdullah? Orang yang memakai ini, hanyalah mereka yang tidak menginginkan apa yang sebenarnya engkau inginkan!”
Abdullah bin Zubair pun melepaskan baju besi yang dipakaianya. Setelah mengucapkan salam perpisahan dengan ibunya, ia bersama sisa pasukannya yang tidak  seberapa terjun menghadapi pasukan Hajjaj. Seperti yang telah diperkirakan, mereka menemui syahidnya di Tanah Haram Makkah, dan Hajjaj menyalib serta menyayat tubuhnya. Asma’ dengan tegar berdiri di tempat penyaliban putranya, sambil terus mendoakan ampunan bagi dirinya. Beliau sendiri yang memandikan dan mengakafani putranya yang syahid.
Subhanallah…
Kisah Asma’ binti Abu Bakar ini seharusnya sanggup membakar semangat semua Ibu di seluruh dunia yang mengharapkan keluarganya  bertemu Allah dalam kemuliaan.
Ada beberapa hal yang dapat diambil pelajaran dari kisah di atas:
1. Seorang Ibu harus tahu visi keluarga Muslim sesungguhnya: Jannah.
2. Seorang Ibu harus yakin dan mampu membuktikan keyakinannya bahwa anak yang dibesarkan dan dididiknya adalah anak sholih.
3. Seorang Ibu harus kuat memotivasi anaknya untuk berjalan di jalan yang benar walaupun anaknya akan tersakiti secara fisik.
4. Seorang Ibu harus “tega” mengajarkan anaknya menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, walaupun untuk itu anaknya harus berbeda dengan anak-anak sebayanya.
5. Seorang Ibu mendampingi dengan doa di tiap desahan nafasnya bagi kemuliaan anak-anaknya.
Bila ibu tidak tega mengajarkan anak hafalan, dengan alasan kasihan masa kecilnya dihabiskan untuk serius bukan untuk bermain; yakinkah anak kita akan menjadi anak yang menyematkan Quran dalam dadanya di setiap waktu hidupnya?
Jika tidak tega mengajarkan anak sholat lima waktu dengan alasan belum wajib baginya dan khawatir membangunkannya terlalu pagi; Maka yakinkah anak kita akan menjalankan dan menjaga sholatnya hingga maut menjemputnya?
Bila tidak tega mengajarkan anak berpuasa dengan alasan masih kecil, khawatir kurang gizi dan alasan lainnya; Yakinkah anak kita nantinya akan menjaga puasanya semulia puasa Abdullah bin Zubair?
Terakhir,
Mari kita sama-sama belajar menempatkan kasih sayang dan ketidak-tegaan kita pada tempatnya.
Kasih sayang dan tidak tega kita terhadap anak-anak kita, kita visikan untuk hidup setelah matinya. bukan pada dunia yang sementara ini.
Percayalah, anak-anak kita lahir dalam keadaan fitrah, mudah diarahkan untuk beribadah pada Rabb-nya. Yang justru mereka kuatirkan adalah bila mereka akan membuat Ibu mereka bersedih hati. Maka Ibu, kuatlah demi surga anakmu…
Selamatkan anak-anak kita dari api neraka dan semoga Allah ridho Jannah sebagai tempat kita semua berkumpul nantinya. [ ]


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers