Bekerja kantoran dengan gaji 100 juta rupiah per bulan, siapa yang tak mau? Tapi resikonya adalah kesibukan yang padat hingga mengakibatkan pulang larut malam karena harus rapat ini dan itu. Kebersamaan dengan keluarga pun jadi terbengkalai, apalagi kebersamaan dengan-Nya. Sebagai muslim, shalat 5 waktu tak pernah lewat. Tapi menjaga agar bisa selalu tepat waktu dan shalat berjamaah di masjid, itu yang susah. Laki-laki ini merasa bahwa ada yang kurang benar dalam hidupnya. Hingga di satu titik, dia melepaskan apa yang selama ini dikiranya membuatnya bahagia.

Sebutlah namanya Pak X. Ya...ia lepaskan pekerjaan dengan jabatan bergaji 100 juta rupiah per bulan itu. Berat tapi harus ia lakukan. Demi sesuatu yang menurutnya jauh lebih pantas untuk diperjuangkan. Ia tak rela shalat jamaahnya di masjid hilang karena rapat ini dan itu. Ia tak rela waktunya lebih banyak berkutat mengurusi urusan duniawi meskipun imbalannya 100 juta. Ia merasa belum melakukan apa pun untuk akhiratnya.
Ia pun memulai bisnis dari rumah di titik nol. Dengan keyakinan yang teguh dan sungguh, ia tahu bahwa rezekinya tak akan lari kemana. Tingkat tawakal yang dalam, ikhtiyar yang mengikuti aturanNya, dan ketetapan Allah atas rezekinya, mampu mengantarkan nilai rupiah yang sama untuk waktu yang singkat.
Laki-laki ini bekerja menjual jasa, menjadi perantara bagi penjual dan pembeli, ngobrol ini dan itu dalam lingkup yang syar’i, dan akhirnya deal. Waktu yang dibutuhkan hanya sekitar setengah jam. Rupiah yang didapat setara dengan waktu yang dibutuhkan untuk bekerja kantoran satu bulan pada pekerjaan sebelumnya. 1 juta rupiah!
...Pemberi rezeki itu Allah saja. Ketika pekerjaan itu melalaikan kita dari melaksanakan kewajiban dengan baik, saat itulah kita patut berpikir...
Kisah nyata lain berbeda versi tapi dengan hikmah yang sama saya dapat dari salah satu teman baik yang saya kenal. Ia menolak bekerja kantoran meskipun kemapanan fulus bakal ia dapat. Ia memilih menjadi pedagang kecil-kecilan yang mandiri. Pertimbangannya sederhana, ia ingin ketika ada sahabat atau kerabat yang membutuhkan kehadirannya, ia bisa langsung berangkat. Tak perlu harus izin kesana-kemari atas nama birokrasi. Dan untuk satu alasan yang sama dengan kisah sebelumnya: ia ingin bisa selalu shalat jamaah tepat waktu di masjid.
Dari kedua kisah nyata di atas, saya bercermin. Sejauh apa rasa tawakal dan pasrah saya akan rezeki dariNya? Masih banyak kekhawatiran menggelayuti hati. Bila aku lepas pekerjaan ini, bagaimana nasibku esok? Padahal jelas bahwa pemberi rezeki itu bukan si bos, bukan pula kantor tertentu. Pemberi rezeki itu Allah saja. Ketika pekerjaan itu melalaikan kita dari melaksanakan kewajiban dengan baik, saat itulah kita patut berpikir. Pantaskah ini dipertahankan?
Keikhlasan kita melepaskan apa yang ada dalam genggaman karena Allah, tentu akan digantiNya dengan sesuatu yang setara atau bahkan lebih baik. Masalahnya, seberapa mantap hati dan iman kita yakin akan hal tersebut? Karena keyakinan inilah yang akan ‘mengundang’ datangnya kebaikan-kebaikan yang menyertai saat kita ikhlas melepaskan yang kita cintai.
Apa, belum bisa? Anda tak sendiri. Mari kita menata iman dan hati untuk bisa ikhlas melepas duniawi. Toh itu semua hanya salah satu cara Allah menguji, prioritas mana yang kita tautkan di hati sehingga enggan melepasnya pergi. Wallahu alam. [riafariana/voa-islam.com]


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers