1. Pembaiatan Yazid dan penolakan al-Husain radhiyallahu ‘anhu untuk membai’atnya serta keluarnya al-Husain dari Makkah menuju Kufah.
Yazid di bai’at menjadi khalifah pada tahun 60 H. Umurnya ketika itu 34 tahun. Namun al-Husain dan ‘Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma belum membai’atnya, padahal keduanya berada di Madinah. Ketika keduanya diminta membai’at Yazid, Abdullah bin az-Zubair berkata pada para utusan Yazid, “Aku akan pikirkan malam ini, kemudian aku akan beritahukan pendapatku.” Mereka berkata, “Baiklah kalau begitu.” Ketika malam sudah tiba beliau keluar dari Madinah menuju Makkah. Beliau tidak membai’at Yazid.
Ketika al-Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dihadapkan (kepada utusan) dan dikatakan kepadanya, “Lakukan bai’at”, dia menjawab, “Aku tidak akan membai’at secara sembunyi-sembunyi tapi aku akan membaiat secara terang-terangan di depan orang-orang.” Mereka berkata, “Baiklah kalau begitu.” Ketika malam telah tiba dia pun keluar dari Madinah untuk menyusul ‘Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu ‘anhu.
a. Penduduk Irak mengirimkan surat kepada al-Husain radhiyallahu ‘anhu
Berita tentang al-Husain bin ‘Ali yang tidak membai’at Yazid bin Mu’awiyah rupanya telah terdengar oleh penduduk irak. Mereka tidak menyukai Yazid bin Mu’awiyah, bahkan mereka tidak menyukai Muawiyah. Mereka hanya menginginkan Ali dan anak-anaknya. Kemudian mereka mengirimkan surat-surat kepada al-Husain. Di dalam surat-surat itu mereka semua mengatakan, “Kami telah membai’atmu, kami tidak sudi orang selainmu, Kami tidak membai’at Yazid tetapi hanya membai’atmu.” Surat-surat semakin banyak berdatangan kepada al-Husain hingga mencapai lebih dari 500 pucuk surat. Semuanya datang dari penduduk Kufah. Mengajaknya untuk datang ke tempat mereka.

b. Al-Husain mengirim Muslim bin Aqil
Al-Husain mengirimkan sepupunya, Muslim bin ‘Aqil bin Abu Thalib untuk mempelajari dan mengetahui lebih jauh keadaan yang sebenarnya di sana, serta melihatnya lebih dekat. Setelah tiba di Kufah, Muslim bin Aqil mencari informasi sampai dia mengetahui bahwa masyarakat memang menolak Yazid bin Muawiyah. Mereka hanya menginginkan al-Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma. Muslim tinggal di rumah Hani bin ‘Urwah. Lantas orang-orang datang berbondong-bondong untuk memba’at Muslim bin ‘Aqil atas nama al-Husain bin ‘Ali.
An-Nu’man bin Basyir ketika itu menjadi gubernur Yazid bin Mu’awiyah untuk daerah Kufah. Saat mendengar berita bahwa Muslim bin ‘Aqil berada di Kufah dan penduduk mendatanginya kemudian membai’atnya atas nama al-Husain, an-Nu’man bersikap seakan-akan tidak tahu dan tidak terlalu peduli dengan masalah ini. Namun beberapa orang bawahan an-Nu’man datang menemui Yazid di Syam dan mengabarinya tentang apa yang terjadi. Mereka menceritakan bahwa Muslim telah di bai’at oleh orang-orang sementara an-Nu’man bin Basyir tidak terlalu memperhatikan masalah ini.
c. Pengangkatan ‘Ubaidullah bin Ziyad menjadi gubernur Kufah
Mendengar laporang para bawahan an-Nu’man, Yazid memerintahkan supaya an-Nu’man di copot dari jabatannya, dan mengirim Ubaidullah bin Ziyad sebagai penggantinya menjadi gubernur Kufah. Ketika itu Ubaidullah adalah gubernur Bashrah. Ubaidullah diserahi mandat untuk menangani Kufah dan Bashrah sekaligus.
Ubaidullah tiba di Kufah pada malam hari dengan memakai cadar. Ketika dia lewat di depan orang-orang, dia memberi salam kepada mereka, dan mereka pun menjawab serta mengatakan, “Wa’alaikumussalam wahai putra anak perempuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Mereka menyangka bahwa itu adalah al-Husain radhiyallahu ‘anhu yang telah tiba pada malam hari secara sembunyi-sembunyi sambil mengenakan cadar.
Melihat hal tersebut, Ubaidullah sadar bahwa masalah ini memang sudah serius. Masyakarat sedang menunggu kedatangan al-Husain bin Ali. Seketika itu juga dia masuk ke istana dan mengirimkan bekas budaknya yang bernama Ma’qil untuk mempelajari lebih jauh keadaan yang tengah terjadi, dan mencari tahu siapa otak yang mengatur masalah ini.
Ma’qil kemudian pergi dengan menyamar sebagai seorang yang datang dari Himsh dengan membawa 3.000 dinar untuk membantu al-Husain radhiyallahu ‘anhu. Dia bertanya kepada orang-orang dan akhirnya dia ditunjukkan rumah Hani’ bin Urwah. Dia pun masuk dan bertemu dengan Muslim bin ‘Aqil kemudian membai’at dan memberikan dana sebesar 3.000 dinar. Sejak itu dia rutin datang ke sana selama beberapa hari, sampai dia tahu keadaan mereka. Setelah itu ia kembali ke tempat Ubaidullah bin Ziyad untuk member informasi yang dia dapat.
d. Keluarnya al-Husain menuju Kufah
Setelah keadaan kondusif dan banyak orang yang sudah memba’at Muslim bin ‘Aqil, Muslim mengirimkan surat kepada al-Husain supaya dia datang ke Kufah karena segala sesuatunya sudah siap. Maka al-Husain bin Ali pun keluar dari Makkah pada hari Tarwiyah.
Sementara itu Ubaidullah sudah mengetahui apa yang dilakukan oleh Muslim bin Aqil. Ia lantas berkata, Bawa Hani bin Urwah ke hadapanku.” Tidak lama kemudian Hani bin Urwah pun didatangkan ke hadapannya Ia kemudian bertanya kepadanya, “Di mana Muslim bin Aqil?” Hani menjawab, “Aku tidak tahu.”
Ubaidullah kemudian memanggil Ma’qil bekas budaknya, menyuruhnya masuk dan bertanya kepada Hani’, “Kenalkah engkau dengan orang ini?” Hani’ menjawab, “Ya”, ia pun terkejut dan baru tahu ternyata itu hanyalah siasat ‘Ubaidullah bin Ziyad semata. ‘Ubaidullah kemudian bertanya lagi kepadanya, “Di mana Muslim bin ‘Aqil?” Dia menjawab, “Demi Allah seandainya dia berada di bawah telapak kakiku ini niscaya aku tidak akan pernah mengangkatnya (Maksudnya, Hani’ akan tetap melindunginya), Ubaidullah lantas memukulnya dan memerintahkannya supaya dia dipenjara.
e. Pengkhianatan orang-orang Kufah terhadap Muslim bin ‘Aqil
Kabar dipenjaranya Hani’ akhirnya terdengar oleh Muslim bin ‘Aqil. Ia kemudian keluar bersama empat ribu orang prajurit dan mengepung istana Ubaidullah. Para penduduk Kufah juga ikut serta dalam pengepungan itu. Ketika itu Ubaidullah sudah bersama dengan para tokoh masyarakat. Ia berkata kepada mereka, “Perintahkan orang-orang untuk menginggalkan Muslim bin ‘Aqil.” Tidak hanya itu, ia juga menjanjikan imbalan-imbalan kepada mereka dan menakut-nakuti mereka dengan datangnya tentara Syam.
Maka mulailah para pemuka masyarakat memerintahkan supaya Muslim bin ‘Aqil ditinggalkan. Para ibu berdatangan dan meminta agar anaknya kembali, seseorang datang minta saudaranya pulang, pemimpin suku datang dan melarang orang-orang (mendekati Muslim bin Aqil) sampai yang tersisa dari empat ribu itu hanya tiga puluh orang saja!
Bahkan ketika menjelang malam yang tersisa hanya Muslim bin Aqil saja. Mereka semua telah pergi. Muslim ditinggalkan sendiri, berjalan menyusuri jalanan Kufah, tidak tahu ke mana tujuannya. Ia kemudian mengetuk pintu rumah seseorang perempuan dari Kindah dan berkata padanya, “Tolong, aku minta air.” Perempuan itu merasa tidak mengenalnya lalu dia pun bertanya, “Siapa anda?” dia menjawab, “Muslim bin ‘Aqil”. Lalu dia pun menceritakan apa yang telah terjadi tentang orang-orang yang telah meninggalkannya, sementara al-Husain akan segera datang. Akhirnya perempuan itu memasukkannya ke sebuah rumah di sampingnya, serta membawakan air dan makanan.
Akan tetapi anak dari perempuan itu bergegas mengabari Ubaidullah bin Ziyad tentang keberadaan Muslim bin ‘Aqil. Maka ‘Ubaidullah mengirim 70 orang untuk mengepungnya. Muslim melawan mereka tapi akhirnya ia menyerah ketika mereka menjamin keamanan untuk dirinya. Ia kemudian digelanggang ke istana gubernur, tempat ‘Ubaidullah bin Ziyad berada. Setelah Muslim masuk, Ubaidullah bertanya, “Apa yang menyebabkan dirimu melakukan kudeta ini?” Muslim menjawab, “Karena kami telah memberikan bai’at kami kepada al-Husain bin ‘Ali, ‘Ubaidullah berkata, “Bukankah kalian telah membai’at Yazid?” Ubaidulah juga berkata, “Aku akan membunuhmu.” Muslim berkata, “Izinkan aku berwasiat.” Ubaidullah berkata, “Silakan anda berwasiat.”
Muslim menoleh, kemudian melihat “Umar bin Sa’ad bin Abu Waqqash lantas berkata kepadanya, “Engkau orang yang paling dekat hubungan keluarganya denganku, kesinilah, aku ingin berwasiat kepadamu”. Muslim kemudian membawanya ke samping rumah dan berpesan kepadanya supaya mengrimkan seseorang untuk menemui al-Husain radhiyallahu ‘anhu dan memintanya agar kembali ke Madinah. Umar pun mengirimkan seseorang untuk mengabari al-Husain bawa masalah ini sudah selesai, dan penduduk Kufah telah menipunya.
Muslim mengucapkan kalimat yang popular, “Bawalah keluargamu pulang, dan janganlah engkau tertipu dengan penduduk Kufah, karena penduduk Kufah telah membohongimu dan juga membohongiku. Sementara pendapat seorang pembohong tidak bisa diterima.”
Muslim bin ‘Aqil terbunuh pada Hari Arafah. Sementara al-Husain keluar dari Makkah pada hari Tarwiyah, sehari sebelum terbunuhnya Muslim bin Aqil.
f. Desakan para sahabat agar Husain tidak ke Kufah
Para sahabat banyak yang berusaha melarang al-Husain bin Ali dating ke Kufah, diantaranya. Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin al-Ash, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin a-Zubair, dan saudara kandung al-Husain sendiri, Muhammad bin al-Hanafiyah. Ketika mereka mengetahui bahwa al-Husain ingin pergi ke Kufah mereka segera mencegahnya.
Berikut aalah perkataan-perkataan sebagian dari para Sahabat tersebut:
Pertama, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu
Ketika al-Husain hendak keluar, Abdullah bin Abbas berkata, “Seandainya bukan karena khawatir orang-orang tidak menghinaku dan menghinamu niscaya aku akan pegan erat-erat kepalamu supaya engkau tidak bisa pergi.”
Kedua, Abdullah bin Umar
Asy-Sya’bi menuturkan bahwasanya Ibnu Umar tengah berada di Makkah ketika mendengar berita perginya al-Husain ke Irak. Kemudian dia menyusulnya dengan menempuh perjalanan selama tiga hari. Setelah bertemu, ia bertanya, “Engkau mau kemana?” al-Husain menjawah, “Ke Irak.” Ia mengatakan itu seraya mengeluarkan surat-surat yang dikirim dari Irak, yang menyebutkan dukungan penduduk Irak terhadap dirinya. Ia berkata, “Ini surat-surat dan bai’at mereka.” (Padahal mereka telah menipu al-Husain)
Ibnu Umar berkata, “Engkau jangan pergi ke tempat mereka.” Namun al-Husain enggan kembali dan tetap bersikukuh melanjutkan perjalanan. Maka Ibnu Umar berkata, “Aku ingi memberitahumu sebuah hadits, suatu ketika Jibril dating kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk memilih antara dunia atau akhirat. Maka beliau memilih akhirat dan eggan terhadap dunia. Engkau ini adalah darah daging beliau. Demi Allah janganlah seorang pun dari kalian memegang jabatan kepemimpinan lagi. Tidaklah Allah memalingkan jabatan kepemimpinan itu dari kalian kecuali Dia menginginkan yang terbaik bagi kalian.” Tetapi al-Husain tetap enggan mengurungkan niatnya. Melihat hal itu Ibnu Umar kemudian memeluknya seraya menangis dan berkata, “Semoga Allah melindungimu dari pembunuhan.”
Ketiga, Abdullah bin az-Zubair
Ia bertanya kepada al-Husain, “Engkau mau pergi ke mana?” apakah engkau ingin pergi ke tempat kaum yang telah membunuh ayah dan saudaramu? Janganah engkau pergi.” Akan tetapi al-Husain enggan kembali dan tetap pergi.
Keempat, Abu Sa’id al-Khudri
Ia berkata, “Wahai Abu Abdullah, aku ingin menasihatimu dan aku benar-benar menyayangi kalian. Aku sudah mendengar kabar bahwa sekelompok pengikutnya di Kufah telah menyuratimu dan mengajakmu untuk pergi ke tempat mereka. Padahal aku telah mendegar ayahmu berkata tentang mereka, “Demi Allah aku telah bosan dan marah kepada mereka. Mereka pun telah bosan dan marah padaku. Mereka sama sekali tidak pernah menepati janji. Siapa saja yang mendapat dukungan mereka, maka dia telah mendapatkan anak panah yang tumpul. Demi Allah mereka sama sekali tidak mempunyai niat dan tekad untuk membela suatu urusan. Mereka juga sama sekali tidak mempunyai kesabaran dalam peperangan.”
Selain sahabt ada juga orang yang menasihat al-Husain untuk tidak pergi. Diantaranya adalah sang penyair Farazdak. Ketika al-Husain keluar dan bertemu Farazdak, al-Husain berkata padanya, “Engkau dari mana?” Farazdak berkata, “Dari Irak.” Al-Husain berkata, “Bagaimana keadaan penduduk Irak?” Farazdak menjawab, “Hati-hati, mereka memihakmu tetapi pedang-pedang mereka memihak bani Umayyah.” Tetapi meski begitu ia tetap bersikeras untuk keluar dan berkata, “Hanya Allah tempat meminta pertolongan.”
g. Al-Husain sampai di Qadisiyah
Kabar tentang penangkapan Muslim bin Aqil sampai kepada al-Husain melalui utusan yang dikirim oleh Umar bin Sa’ad. Setelah itu al-Husain berniat untuk kembali. Maka, ia meminta pendapat anak-anak Muslim bin Aqil. Mereka pun berkata, “Tidak, demi Allah, kami tidak akan kembali sampai kami menuntut balas atas kematian ayah kami.” Al-Husain pun setuju dengan pendapat mereka.
Setelah Ubaidullah mengetahui kabar kepergian al-Husain ke Kufah dia memerintahkan al-Hurr bin Yazid at-Tamimi untuk bergerak dari Kufah disertai seribu pasukan pertama untuk menyongsong kedatangan al-Husain di tengah jalan. Akhirnya dia pun bertemu al-Husain di sebuah tempat dekat Qadisiyah.
Al-Hurr berkata kepada al-Husain, “Andai ingin kemana wahai putara dari anak perempuan Rasulullah? Al-Husain menjawab, “Aku inign ke Irak.”
Al-Hurr berujar, “Aku perintahkan anda untuk kembali supaya Allah tidak menurunkan fitnah kepada diriku dengan sebab Anda. Pulanglah ke tempat asalmu atau Anda pergi ke Syam, tempat Yazid berada. Jangan datang ke Kufah.”
Al-Husain enggan menuruti perintah itu. Ia tetap berjalan menuju ke Irak. Al-Hurr bin Yazid kemudian menghadang dan melarangnya.
Al-Husain berkata, “Celaka engkau! Menjauhlah engkau dariku.”
Al-Hur bin Yazid menjawab, “Demi Allah, seandainya perkataan tadikeluar dari orang Arab selainmu, niscaya aku akan menghukumnya dan juga ibunya. Tapi aku tidak dapat melakukan hal itu terhadap dirimu, karena ibumu adalah pemimpin kaum wanita di surga.”
2. Terbunuhnya al-Husain
a. al-Husain tiba di Karbala
al-Husain berhenti di sebuah tempat bernama Karbala. Ia beratanya, “Apa nama tempat ini?.” Orang-orang menjawab, “Karbala” Ia pun berkata, “Itu menunjukkan karbun (kesedihan) dan balaa (ujian).”
Setelah tentara Umar bin Saad tiba dengan jumlah empat ribu orang, ia berbicara kepada al-Husain dan mengajaknya pergi menuju Irak tempat Ubaidullah berada. Namun al-Husain enggan menurutinya.
Ketika al-Husain melihat bahwa keadaan semakin genting, ia pun berkata kepada Umar bin Sa’ad, “Aku memberimu tiga opsi, pilihlah mana yang engkau inginkan.” Umar bertanya, “Apa saja opsi itu?” al-Husain berkata, “Engkau biarkan aku pulang atau aku pergi ke tempat Yazid di Syam agar aku menaruh tanganku di atas tangannya (membaiatnya).”
Umar bin Sa’ad berkata, “Baiklah tapi engkau sebaiknya mengirim seseorang kepada Yazid dan aku akan mengirim seseorang kepada Ubaidullah bin Ziyad. Kita tungu apa hasilnya.” Al-Husain tidak mengirim utusan kepada Yazid sementara Umar mengirim utusan kepada Ubaidullah bin Ziyad.
Ketika utusan telah sampai di hadapan Ubaidullah bin Ziyad dan mengabarinya bahwa al-Husain berkata, “Aku memberimu tiga opsi pilihan,” Maka Ubaidullah pun tidak keberatan dengan pilihan mana saja yang akan diambil oleh al-Husain. Namun ketika itu ada seorang yang bernama Syamr bin Dzul Jausyan bersama Ubaidullah bin Ziyad. Dia temasuk orang yang dekat dengan Ubaidullah. Syamr berkata, TIdak demi Allah, sebaiknya anda saja yang putuskan dan dia harus menerima keputusanmu.” Ubaidullah tertarik dengan pendapatnya, lalu berkata, “Baiklah, dia harus menerima keputusanku.”
Ubaidullah lantas mengirimkan Syamr bin Dzul Jausyan dan berkata kepadanya, “Pergilah (Temui Umar bin Sa’ad) sampai al-Husain bersedia menerima keputusanku. Jika Umar bin Saad menerima hal ini, aka biarkan dia tetap sebagai panglima. Tapi jika dia menolak maka engkaulah penggantinya.”
Sebelumnya, Ubaidullah mempersiapkan pasaukan Umar bin Saad yang berjumlah empat ribu orang untuk berangkat ke Rayy dan berakata kepadanya, “Selesaikan masalah al-Husain lebih dahulu, setelah itu barulah perdi ke Rayy.” Dia juga menjanjikannya akan diangkat sebagai gubernur wilayah itu.
Maka, Syamr bin Dzul Jauzyan pun pergi. Kabar bahwa al-Husain harus rela tunduk pada keputusan Ubaidullah terdengar oleh al-Husain. Ia lantas berkata, “Demi Allah, ak tidak pernah tunduk kepada keputusan Ubaidullah selama-lamanya.”
b. Al-Husain mengingatkan tentara kufah agar takut kepada Allah
Ketika itu jumlah orang yang ikut bersama al-Husain adalah 72 penunggang kuda. Sedangkan jumlah tentara Kufah adalah 5.000 orang. Ketika kedua pasukan sudah berhadapan, al-Husain berkata kepada tentanra Ubaidullah, “Berpikir dan instrospesilah diri kalian! Pantaskah kalian memerangi orang sepertiku? Aku ini adalah cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari putrinya, dan hanya akulah cucu Rasulullah yang masih hidup di muka bumi ini.
Rasulullah pernah bersabda tentang diriku dan saudaraku:
“Dua orang ini (al-Hasan dan al-Husain) adalah pemimpin para pemuda penduduk Surga.”
Al-Husain mulai mengajak mereka untuk meninggalkan Ubaidullah bin Ziyad dan bergabung bersamanya. Maka tiga puluh orang diantara mereka pun bergabung bersama al-Husain, termasuk al-Hurr bin Yazid at-Tamimi, penglima garda depan pasukan Ubaidullah bin Ziyad. Melihat hal itu ada orang yang berkata kepada al-Hurr bin Yazid, “Engkau datang ke sini bersama kami sebagai panglima garda depan, akan tetapi sekarang engkau malah bergabung dengan (pasukan) al-Husain.”
Al-Hurr menanggapi, “Celakalah kalian, demi Allah, aku sedang memberi pilihan kepada diriku antara surga dan neraka. Dan demi Allah, aku hanya akan memilih Surga sekalipun tubuhnya di potong-potong lalu di bakar.”
Ketika itu hari kamis. Al-Husain melaksanakan shalat zhuhur dan ashar, dan dia menjadi imam bagi dua kelompok pasukan itu, yaitu pasukan Ubaidullah bin Ziyad dan pengikutnya. Sebelumnya al-Husain berkata kepada mereka, “Kalian mengangkat imam kalian, kami juga demikian.” Mereka menjawab, “Tidak, kami ingin menjadi makmum shalat di belakangmu.” Maka mereka pun mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar diimami oleh al-Husain.”
Ketika waktu Maghrib hampir tiba, mereka memajukan kuda-kuda mereka menuju ke arah al-Husain yang selalu membawa pedangnya. Ketika ia –yang baru tertidur sejenak- melihat mereka bergerak ia bertanya kepada para pengikutnya, “Apa-apaan ini” Para pengikut al-Husain berkata, “Mereka telah mendekat.” Al-Husain berkata, “Pergilah ke tempat mereka dan ajaklah mereka berbicara, kemudian tanyakan pada mereka, apa yang mereka inginkan.”
Maka pergilah 20 orang penunggang kuda di antara mereka, termasuk al-Abbas bin Ali bin Abu Thali, saudara al-Husain (dari ibu yang lain). Mereka pun mengajak pasukan Ubaidullah berbicara dan bertanya kepada mereka. Pasukan itu pun menjawab, “Al-Husain harus tunduk pada keputusan Ubaidullah bin Ziyad atau berperang!.”
Mereka menjawab, “Tunggu dulu sampai kami beritahu abu Abdullah (al-Husain).” Mereka lalu bergegas menuju ke tempat al-Husain dan memberitahunya. Al-Husain berkata, “Katakanlah kepada mereka, ‘Berilah kami waktu malam ini, besok kami kabari kalian, aku ingin shalat menghadap Rabbku karena aku suka mengerjakan shalat untuk Rabbku.” Maka al-Husain menghabiskan malam itu untuk mengerjakan shalat dan meminta ampunan kepada Allah serta berdoa kepada-Nya diikuti oleh para pengikut setianya.
c. Perang Thaf (Tahun 61 H)
Pada pagi hari jumat, berkobarlah peperangan antara dua pasukan tersebut. Karena al-Husain menolak untuk menyerah kepada Ubaidullah bin Ziyad. Perang ini terjadi antara dua pasukan yang tidak seimbang. Maka para pengikut al-Husain memangdang bahwa percuma saja menghadapi pasukan sebanyak ini. Maka, satu-satunya keinginan mereka adalah mati membela al-Husain bin Ali. Mereka pun tewas satu persatu di hadapan al-Husain, sampai semuanya tewas, tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali al-Husain dan anaknya yang sedang sakit, Ali bin Al-Husain.
Hanya tinggal al-Husain sendirian, sepanjang siang tidak ada seorang pun yang berani mendekat ke arahnya, karena mereka takut mendapat petaka bila membunuhnya. Situasi ini terus berlangsung sampai kemudian Syam bin Dzul Jausyan datang kemudian berseru, “Celakalah kalian, semoga ibu-ibu kalian kehilangan kalian! Kepung dan bunuh dia!”. Mereka pun maju dan mengerubungi al-Husain bin Ali. Al-Husain berjuang di tengah-tengah mereka dengan pedangnya. Sehingga berhasil membunuh siapa saja yang bisa di bunuh. Hari itu ia seperti binatang buas dalam keberanian. Namun keberanian saja tak cukup mumpuni untuk mengalahkan kuantitas yang banyak.
Syamr berseru, “Celakalah kalian, apa yang kalian tunggu? Ayo maju!” mereka pun maju hingga al-Husain terbunuh. Orang yang secara langsung menewaskan al-Husain adalah Sinan bin Anas an-Nakhai. Dialah yang memotong kepada al-Husain.  Ada yang mengatakan, yang membunuh secara langsung adalah Syamr –semoga Allah membinasakan mereka-.
Setelah al-Husain terbunuh, kepalanya di bawa ke hadapan Ubaidullah di Kufah. Sesampainya di sana Ubaidullah menggosok-gosok kepada al-Husain dengan sebatang kayu serta memasukkannya ke mulutnya, dan berkata, “Alangkah bagus giginya” Anas bin Malik berkata, “Demi Allah aku akan mendoakan keburukan untukmu! Sungguh, aku melihat sendiri Rasulullah mencium mulut (al-Husain) tempat engkau memasukkan kayumu itu!”
Ibrahim an-Nakhai berkata, “Seandainya aku termasuk orang-orang yang ikut dalam pembunuhan al-Husain, kemudian aku dimasukkan ke dalam surga, niscaya aku akan sangat malu lewat di hadapan Rasulullah dan wajahku dilihat oleh beliau.”
d. Mereka yang ikut terbunuh bersama al-Husain
Anak-anak Ali bin Abu Thalib yang ikut terbunuh bersama al-Husain adalah Ja’far, al-Abas, Abu Bakar, Muhammad dan Utsman. Anak-anak al-Husain yang ikut terbunuh adalah Abdullah dan Ali Al-Akbar, bukan Ali Zainal Abidin. Sementara yang terbunuh dari anak-anak al-Hasan adalah Abdullah al-Qasim dan Abu Bakar. Dari anak-anak Aqil adalah Aun dan Muhammad.
Total semuanya ada 18 orang. Semuanya dari keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka terbunuh dalam perang yang tidak seimbang.
Sikap Terhadap Pembunuhan Husain
Tidak diragukan lagi bahwasanya peristiwa pembunuhan al-Husain merupakan musibah besar yang menimpa umat islam. Karena tidak ada lagi cucu laki-laki dari anak perempuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup selain beliau. Kini ia telah terbunuh secara teraniaya dan sebagaimana yang juga menimpa para keluarganya. Peristiwa terbunuhnya al-Husain ini bagi dunia islam merupakan sebuah musibah. Namun bagi al-Husain sendiri ini adalah mati syahid, kemuliaan, pengankatan derajat dan kedekatan kepada Allah. Sebab Allah telah memilihnya pindah ke akhirat menuju Surga-Nya sebagai pengganti dari dunia yang keruh ini.
Kita juga mengatakan, alangkah baiknya jika ia tidak pergi ke Kufah. Oleh karena itulah para pembesar Sahabat melarangnya pergi ke sana pada saat itu, Dengan perginya al-Husain, orang-orang zalim dan keji itu mendapat kesempatan menyakiti cucu Rasulullah sampai mereka membunuhnya dalam keadaan teraniaya dan syahid. Peristiwa terbunuhnya al-Husain melahirkan kerusakan yang tidak terjadi seandainya ia tetap di Madinah. Akan tetapi ini adalah takdir dari Allah ta’ala. Apa yang Allah takdirkan pasti terjadi walaupun manusia tidak menghendakinya.
Peristiwa terbunuhnya al-Husain tidak lebih dahsyat daripada terbunuhnya para Nabi. Kepala Nabi Yahya bin Zakaria dijarikan bayaran kepada seorang pelacur dan Nabi Zakaria juga dibunuh. Demikian juga dengan Umar, Utsman dan Ali. Mereka semua lebih utama dibandingkan dengan al-Husain radhiyallahu anhu. Oleh karena itu seseorang tidak boleh menampar-nampar wajahnya atau merobek-robek pakaiannya dan lain-lainnya jika mengingat al-Husain. Karena Rasulullah bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُوْدَ وَشَقَّ الْجُيُوْبَ
“Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya dan merobek-robek pakaiannya (Ketika ada yang meninggal dunia).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Beliau juga bersabda,
أَنَا بَرِيءٌ مِنَ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَةِ
“Aku berlepas diri dari as-Shaliqah, al-Haliqah dan asy-Syaqqah.” (HR. Bukhari)
Ash-Shaliqah artinya orang yang menjerit-jerit, al-Haliqah artinya yang mencukur rambutnya, asy-Syaqah artinya orang yang merobek-robek pakaiannya (yang dilakukan untuk menyesali kematian seseorang).
Beliau juga bersabda,
إِنَّ النَّائِحَةَ إِذَا لَمْ تَتُبْ فَإِنَّهَا تَلْبَسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ دِرْعًا مِنْ جَرَبٍ وَسِرْبَالاً مِنْ قَطِرَانٍ
“Sungguh jika orang yang meratapi mayit tidak bertaubat maka pada hari kiamat nanti dia akan memakai baju dari kudis dan pakaian dari ter yang panas.” (HR. Muslim)
Kewajiban seorang muslim saat tertimpa musibah seperti ini adalah mengatakan apa yang difirmankan oleh Allah.
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali) (QS. Al-Baqarah: 156)
Di ambil dari kitab Hiqbah Minat Tarikh Tulisan Syaikh DR. Utsman bin Muhammad al-Khamis, edisi terjemah Bahasa Indonesia Judul Inilah Faktanya, Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Hingga Terbunuhnya al Husain, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
WanitaSalihah.Com


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers