Mengapa Hati Membeku?

Muqaddimah

Banyak orang pada zaman sekarang lebih mengedepankan penampilan indah luarnya: tubuhnya, pakaiannya, mobilnya, rumahnya, dan sebagainya. Sebab itu, sering kita jumpai banyak orang apabila sakit maka mereka segara ke dokter, apabila mobilnya rusak maka segera dibawa ke bengkel. Namun, mengapa apabila hatinya sakit mereka tidak segera mengobatinya?! Mereka hanya memperhatikan penampilan luar, tetapi melalaikan keindahan penampilan hati dan batinnya, padahal keindahan hati jauh lebih penting, karena hal itulah tolok ukur kemuliaan di sisi Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kalian. (QS al-Hujurat [49]: 13)
Dan di dalam sebuah hadits riwayat al-Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
«إنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ».
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk kalian, tubuh atau harta kalian, tetapi Allah akan melihat kepada hati dan amal kalian.”
Oleh karenanya, hendaklah kita lebih memperhatikan kesucian hati kita, di samping juga memperhatikan kesucian badan, pakaian, atau lingkungan kita, karena sumber kebaikan dan keburukan amal perbuatan adalah pada hati. Jika hati baik maka seluruh jasad akan baik. Dan sebaliknya, jika hati rusak maka seluruh jasad rusak.

Sesungguhnya dalam tubuh manusia ada sekerat daging, jika ia baik maka baik seluruh tubuh dan jika dia rusak maka rusak seluruh tubuh. Ketahuilah ia adalah qalbu.”
Dahulu dikatakan: “Hati ibarat raja, sedangkan anggota tubuh lainnya ibarat prajuritnya yang sangat taat pada titah sang raja. Jika rajanya baik maka prajuritnya akan baik. Sebaliknya, jika rajanya rusak maka prajuritnya rusak.”1
Maka jernihkanlah hatimu, wahai saudaraku, dari noda-noda hati seperti penyakit riya‘, hasad, sombong, dan sebagainya. Jangan biarkan hatimu keras seperti batu. Lembutkanlah ia dengan selalu dzikir dan istighfar kepada Allah. Simaklah baik-baik firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَوْمَ لاَيَنفَعُ مَالٌ وَلاَبَنُونَ {88} إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ {89}
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS asy-Syu’ara‘ [26]: 88–89)
Adh-Dhahak berkata, “Yakni selamat dan bersih.” Al-Imam al-Qurthubi berkomentar, “Penafsiran ini bagus dan menghimpun semua pendapat yaitu bersih dari sifat-sifat yang tercela dan berhias dengan sifat-sifat yang indah.”2
Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa hati juga bisa sakit seperti layaknya badan, usang seperti layaknya pakaian, berdebu seperti layaknya cermin yang kotor, lapar seperti layaknya perut, dan berkarat seperti layaknya besi. Dan penyakit hati bermacam-macam sesuai dengan virus dan pengaruh yang menyerangnya sehingga hati bisa juga sampai pada taraf mati tatkala mengganti keimanan dengan kekufuran sehingga tak ubahnya seperti binatang.
Dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya adalah kerasnya hati seperti batu bahkan mungkin lebih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada kaum Yahudi:
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّن بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (QS al-Baqarah [2]: 74)

Tanda dan fenomena hati yang membeku

Hati yang membeku memiliki beberapa tanda yang bertingkat-tingkat bahayanya, di antaranya:

1. Malas menjalankan ketaatan

Tatkala dia shalat, misalnya, dia mengerjakan shalat sekadar rutinitas gerakan badan saja tanpa ada kekhusyukan di dalamnya, bahkan seakan-akan dia memikul beban di punggungnya yang ingin dia lepaskan secepatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyifatkan kaum munafik:
وَإِذَاقَامُوا إِلَى الصَّلاَةِ قَامُوا كُسَالَ
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. (QS an-Nisa‘ [4]: 142)
Oleh karenanya, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dalam setiap khutbah hajatnya, berlindung dari kejelekan jiwa yaitu malas menjalankan ketaatan dan dorongan untuk kemaksiatan.

2. Tidak tergerak dengan nasihat al-Qur‘an

Dia mendengar lantunan ayat-ayat al-Qur‘an yang berisi janji dan ancaman, namun hatinya tak tergerak sedikit pun, bahkan dia lalai dari membaca al-Qur‘an, bahkan mungkin merasa berat jika dibacakan al-Qur‘an, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَذَكِّرْ بِالْقُرْءَانِ مَن يَخَافُ وَعِيدٍ
Maka berikanlah peringatan dengan al-Qur‘an orang yang takut dengan ancaman-Ku. (QS Qaf [50]: 45)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {2} الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS al-Anfal [8]: 2)

3. Tidak tergerak dengan peristiwa alam dan kematian

Sering kali kita mendapati peristiwa-peristiwa dahsyat seperti tsunami, tanah longsor, jatuhnya pesawat, meletusnya gunung, banjir, dan sebagainya. Kita juga sering menyaksikan kematian dan mengunjungi kuburan. Akan tetapi, adakah hati kita tergerak dengan semua peristiwa tersebut? Ataukah tidak berpengaruh sedikit pun?
فَلَوْلاَ إِذَاجَآءَهُم بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِن قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. (QS al-An’am [6]: 43)

4. Mengutamakan dunia daripada akhirat

Dia selalu menyibukkan diri dengan kepentingan mengejar dunia, lalai dari akhirat.
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا {16} وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُُوَأَبْقَى {17}
Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS al-A’la [87]: 16–17)
إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ سَخَّابٍ فِي الأَسْوَاقِ جِيْفَةٍ بِالَّليْلِ حِمَارٍ بِالنَّهَارِ عَالِمٍ بِالدُّنْيَا جَاهِلٍ بِالآخِرَةِ
Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang keras, sombong, suka teriak di pasar, bangkai di malam hari, keledai di siang hari, pintar soal dunia tetapi bodoh tentang akhirat.” (HR Ibnu Hibban dan dishahihkan al-Albani di dalam Shahihul Jami’ 7/206)

5. Merasakan kegundahan dan tidak meraih ketenteraman hidup

Karena itu, dia selalu gelisah dan galau dalam hatinya sekalipun menampakkan keceriaan secara lahirnya, karena kebahagiaan yang sebenarnya hanyalah dengan keimanan dan amal shalih semata.
Ibnu Hazm berkata, “Saya berusaha meneliti suatu hal yang dicari oleh semua orang, ternyata saya tidak mendapati kecuali satu perkara, yaitu ketenangan dan hilangnya kegelisahan.”3 Akan tetapi, tahukah Anda kiat untuk menggapainya?! Ketenangan tidaklah diraih dengan melimpahnya harta, cantiknya wanita, tingginya pangkat dan takhta, atau hiburan-hiburan semu yang bersifat sementara! Namun ketenangan hanyalah dapat diraih dengan keimanan dan amal shalih. Bacalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Barang siapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS an-Nahl [16]: 97)
Ibrahim ibn Adham berkata, “Seandainya para raja dan anak-anak raja mengetahui kenikmatan hati kami, niscaya mereka akan menebas kami dengan pedang-pedang mereka!!”4

Mengapa hati membeku?

Ada beberapa sebab yang menjadikan kerasnya hati, di antaranya:

1. Cinta dunia

Cinta dunia dan lalai dari akhirat merupakan faktor utama kerasnya hati, karena seorang sudah terjangkiti penyakit cinta dunia dan terbuai dengan pesona dan gemerlapnya dunia, maka imannya akan lemah, berat untuk ibadah, lalai dari akhirat dan penghancur kelezatan, dan panjang angan-angan. Dan jika semua ini sudah terkumpul pada diri seseorang, maka kebinasaan adalah kepastian baginya.
Ibnul Qayyim berkata, “Semakin manusia cinta terhadap dunia maka semakin malas dari ketaatan dan amal untuk akhirat sesuai dengan kadarnya.”5
Oleh karenanya, Allah banyak menjelaskan di dalam al-Qur‘an tentang hinanya dunia dan celaan terhadap dunia, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (QS al-Hadid [57]: 20)
Maka setiap hamba yang ingin menyuburkan imannya hendaknya melawan nafsunya agar tidak tertipu dengan godaan dunia yang sangat banyak. Dan hal itu terwujudkan dengan dua hal:
Pertama: Memahami bahwa dunia ini finisnya adalah fana dan kehancuran.
Kedua: Menyongsong kehidupan akhirat yang penuh nikmat nan abadi.

2. Lalai

Lalai dari kematian dan akhirat seperti siksa kubur, buku catatan amal, melewati jembatan, dahsyatnya adzab neraka, dan sebagainya. Lalai dari peringatan Allah, lalai dari merenungi keajaiban makhluk Allah, dan sebagainya.
Ini penyakit akut lagi berbahaya jika telah mengakar dalam hati dan menyerang anggota badan maka akan menutup rapat pintu hidayah dan mengeraskan hati.
أُوْلاَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS an-Nahl [16]: 108)
Allah telah mengabarkan tentang orang-orang yang lalai bahwa hati mereka keras, tidak mengambil manfaat dari nasihat, sehingga membeku seperti batu. Mereka memiliki mata, telinga, namun tidak menggunakan untuk hal yang bermanfaat tetapi malah untuk perbuatan dosa dan maksiat.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّيَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّيُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لاَّيَسْمَعُونَ بِهَآ أُوْلَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS al-A’raf [7]: 179)

3. Teman jelek

Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda, “Seorang itu berdasarkan agama temannya, maka hendaknya dia melihat dengan siapakah dia berteman.”6
Islam melarang kita berteman dengan teman-teman yang rusak karena tabiat manusia itu meniru temannya. Teman yang jelek agama dan akhlaknya bisa berpengaruh jelek pada hati seseorang (yang berteman dengannya) sehingga terbiasa dengan perbuatan maksiat/dosa.
Maka hendaknya seseorang memilih teman-teman yang baik sehingga membuahkan kebaikan dan manfaat baginya serta pengaruh yang positif baginya dan sebaliknya hendaknya mewaspadai dari teman-teman yang rusak karena pengaruh mereka sangatlah besar. Betapa banyak orang baik menjadi rusak karena teman.
Termasuk dalam hal ini pada zaman kita, teman-teman di dunia maya juga. Maka hendaknya kaum muslimin menjaga dirinya dan rumahnya dari perusak-perusak iman. Hanya kepada Allah kita memohon agar Dia memantapkan iman kita dan menghindarkan kita semua dari perusak-perusaknya.

4. Noda dosa

Jika seorang telah terjatuh dalam dosa maka akan tergoda untuk melakukan dosa lainnya juga sehingga jika dia terbiasa dengan dosa maka akan menjadikannya kelam dan memiliki noda yang membandel sehingga kecanduan dan sulit meninggalkannya.
يقول النبي صلى الله عليه وآله وسلم (( إن العبد إذا أذنب ذنباً نكت في قلبه نكتة سوداء ، فإذا تاب ونزع واستغفر صُقل قلبه ، وإن زاد زادت حتى تعلوا قلبه ، فذلك الران الذي ذكره الله عز وجل ﴿ كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ ﴾
Sebab, dosa itu sangat meracuni hati dan merusaknya. Bukankah semua kerusakan di muka bumi ini serta segala kerusakan dalam ekonomi, politik, sosial melainkan karena akibat dosa?!!
رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ وَيُتْبِعُهَا الذُّلَّ إِدْمَانُهَا
وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ وَالْخَيْرُ لِلنَّفْسِ عِصْيَانهَا
Aku mendapati dosa itu mematikan hati
dan terus-menerus dalam dosa menjadikan hina
Meninggalkan dosa adalah hidupnya hati
namun jiwa ingin selalu berdosa. (al-Mujalasah wa Jawahirul Ilmi 2/30)
Dosa sangat berat untuk dipikul andai kita menyadarinya. Kalau Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam yang sedikit dosanya dan diampuni Allah saja, ditegaskan oleh Allah bahwa dosanya telah memberatkan punggungnya, lantas bagaimana dengan dosa kita semua?!

Obat kerasnya hati

Sesungguhnya kelembutan hati adalah nikmat yang agung sekali. Jika seorang memiliki hati yang lembut maka dia akan bersemangat untuk beramal kebajikan. Di antara yang dapat melembutkan kerasnya hati adalah:

1. Menuntut ilmu syar’i al-Qur‘an dan as-Sunnah

Sebab, barang siapa mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya hatinya akan lembut. Barang siapa tidak mengenal Rabb-nya, niscaya hatinya akan membeku. Hati yang keras hanya dimiliki oleh orang yang paling bodoh tentang Allah sehingga tidak menunaikan hak Allah berupa tauhid dan memurnikan ibadah hanya kepada-Nya sehingga amat mudah baginya untuk menerjang larangan Allah. Berbeda halnya jika dia mencermati keindahan syari’at Allah dan keajaiban makhluk-Nya, niscaya hatinya akan lembut.
Ilmu adalah kunci jitu untuk meraih kesucian hati. Sebab, kesucian hati diraih dengan melaksanakan ketaatan serta menjauhi larangan secara ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Dan hal itu tidak mungkin terwujudkan kecuali dengan ilmu. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ اْلدِّيْنِ».
Barang siapa Allah kehendaki kebaikan, maka Allah akan pahamkan ia dalam agamaNya.”
Maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menjadikan ilmu agama sebagai faktor semua kebaikan, karena dengan ilmu dia mampu beribadah kepada Allah secara benar.
Dan perlu diketahui bahwa ilmu yang hakiki adalah ilmu yang diamalkan. Apalah artinya jika kita belajar, ikut ta’lim dan menuntut ilmu jika kita tidak mengamalkannya. Ibnul Qayyim Rahimahullahuta’ala berkata:
كُلُّ عِلْمٍ وَعَمَلٍ لَا يَزِيْدُ الإِيمَانَ واليَقِيْنَ قُوَّةً فَمَدْخُوْلٌ، وَكُلُّ إِيمَانٍ لَا يَبْعَثُ عَلَى الْعَمَلِ فَمَدْخُوْلٌ
Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan keyakinan maka telah termasuki (terkontaminasi), dan setiap iman yang tidak mendorong untuk beramal maka telah termasuki (tercoreng).”7

2. Mengingat kematian dan alam akhirat

Hendaknya kita sering mengingat kematian dan alam akhirat berupa siksa akhirat, dahsyatnya kematian, menyaksikan jenazah, dan mempelajari hal-hal yang berkaitan tentang akhirat. Sebab, hal itu akan menyadarkan kita dari kelalaian kita selama ini sehingga hati kita akan menjadi lembut. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda mengingatkan kita semua:
«أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ».
Perbanyaklah oleh kalian mengingat penghancur kelezatan.”
Sa’id ibn Jubair berkata:
لوْ فَارَقَ ذِكْرُ الْمَوْتِ قَلْبِيْ لَخَشِيْتُ أَنْ يَفْسُدَ عَلَيَّ قَلْبِيْ
Seandainya mengingat kematian hilang dariku maka saya khawatir hatiku akan rusak.”
Kita harus menanamkan pada diri kita semua bahwa kita di dunia ini hanyalah mampir sebentar, kita semua akan kembali kepada Allah. Namun, bekal apa yang sudah kita persiapkan untuk menghadap Allah???
Allah Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan. (QS al-Anbiya‘ [21]: 35)
Apabila kita mengingat kampung akhirat dan kematian, maka kita akan mendapatkan tiga faedah:
  1. Semangat dalam ibadah, dan membaguskannya karena dia merasa bahwa amalnya masih sedikit dan banyak dosa, barangkali ini ibadah yang terakhir kali.
  2. Segera dalam taubat, dia tidak menunda-nunda (oh, nanti saja kalau sudah tua, sekarang mumpung masih muda senang-senang dulu, dosa-dosa sedikit tidak apa-apa). Subhanallah … siapa yang tahu kapan kita akan meninggal dunia?? Mungkin setahun lagi, sebulan lagi, seminggu lagi, satu jam atau satu menit lagi; kita tidak tahu, lantas kenapa perlu ditunda-tunda??
  3. Qana’ah dengan rezeki dari Allah. Apa yang telah Allah rezeki-kan kepada kita dari yang halal, marilah kita syukuri dan kita merasa cukup dengannya. Adapun apabila kita merasa tidak cukup dengan rezeki Allah, maka gaji per bulan seratus juta rupiah pun masih kurang; demikianlah sifat manusia.

Bagaimana cara mengingat kematian?

  1. Menghadiri majelis-majelis ta’lim yang mengingatkan akhirat. Hasan Bashri bertahun-tahun lamanya majelis kajiannya bukan membahas politik, melainkan kematian dan akhirat.
  2. Ziarah kubur dengan tadabbur.
  3. Menyaksikan jenazah dan mengurusinya.
  4. Mengkaji ayat-ayat al-Qur‘an dan hadits seputar alam akhirat berupa siksa kubur, dahsyatnya kematian, dll.8 Dahulu, Sufyan Tsauri apabila mengingat kematian maka kencing darah.

3. Ziarah kubur dengan penuh renungan

Kita merenung jika sekarang saudara kita yang dikubur di dalam tanah seorang diri tanpa harta dan anak-anak, dia menyadari bahwa kelak dia pun akan menyusul sepertinya. Inilah hikmah terbesar disyari’atkannya ziarah kubur sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam:
«إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ».
Sesungguhnya aku pernah melarang kamu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah, karena itu akan mengingatkan kamu terhadap hari akhirat.”9
فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ, فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Berziarahlah ke kubur, karena ziarah kubur mengingatkan kematian.”10
Oleh karenanya, dahulu, para salaf shalih jika ziarah kubur maka mereka khusyuk dan menangis karena merenungi kematian, bukan seperti kebanyakan kita sekarang. Hanya kepada Allah kita memohon ampunan. Maka dari itu, hendaknya siapa saja yang berziarah kubur selalu menghadirkan hatinya, khusyuk dan selalu ingat bahwa dirinya akan kembali kepada Rabb semesta alam.11
Al-Imam an-Nawawi berkata, “Dianjurkan agar seseorang saat berjalan mengantar jenazah menyibukkan diri dengan dzikrullah (dzikir/mengingat Allah) dan memikirkan kesudahan orang yang mati dan mengingat bahwa demikianlah akhir kehidupan dunia dan tempat kembali ahli dunia.
Jangan sekali-kali dia membicarakan sesuatu yang tidak ada faedahnya, karena waktu ini adalah waktu untuk berpikir dan berdzikir. Sangat jelek sekali senda gurau, percakapan yang sia-sia, dan sebagainya. Kalau hal itu tercela dalam setiap keadaan, lantas bagaimana dalam keadaan seperti ini?!
Ketahuilah bahwa pendapat yang benar dari petunjuk para salaf adalah diam ketika mengantar jenazah, tidak mengeraskan suara, baik dengan membaca al-Qur‘an, dzikir, maupun lainnya. Hikmahnya sangat jelas, karena hal itu sangat menenangkan hati dan memusatkan pikiran untuk memikirkan masalah jenazah yang sangat dituntut dalam keadaan ini.”12

4. Merenungi al-Qur‘an

Jika seorang mau merenungi al-Qur‘an dengan penuh menghadirkan hati, maka akan meneteskan air mata dan melembutkan hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَوْ أَنزَلْنَا هَذَا الْقُرْءَانَ عَلَى جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللهِ وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Kalau sekiranya Kami turunkan al-Qur‘an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir. (QS al-Hasyr [59]: 21)
Apakah hati manusia lebih keras daripada gunung?!!
Asy-Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata, “Ketahuilah bahwa kuatnya agama dan iman tidak mungkin diraih kecuali dengan banyak membaca al-Qur‘an atau mendengarkannya dengan penuh renungan dan dengan niat untuk mengamalkan perintahnya dan menjauhi larangannya.”13
Namun, perlu ditandaskan bahwa maksud membaca al-Qur‘an yang merupakan faktor penyubur iman di sini bukan hanya sekadar membaca saja, melainkan membacanya dan memahami makna kandungannya serta mengamalkan isinya. Oleh karenanya, Allah mengabarkan bahwa tujuan inti al-Qur‘an ini diturunkan adalah untuk dipelajari dan direnungkan bersama.
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS Shad [38]: 29)
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَآ
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur‘an ataukah hati mereka terkunci? (QS Muhammad [47]: 24)

5. Memperbanyak dzikir dan istighfar

Kerasnya hati adalah sebuah penyakit yang obatnya adalah dzikir kepada Allah sehingga akan meleleh seperti besi yang meleleh oleh api.
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS ar-Ra’du [13]: 28)
وقد قال رجل للحسن: يا أبا سعيد أشكو إليك قسوة قلبي . قال : أذِبه بالذكر
Seseorang mengadu kepada Hasan, “Wahai Abu Sa’id, aku mengadu kepadamu kerasnya hatiku.” Maka beliau menjawab, “Lunakkanlah dengan dzikir.”
يقول ابن القيم رحمه الله : (( صدأ القلب بأمرين : بالغفلة والذنب ، وجلاؤه بشيئين بالاستغفار والذكر …)).
Ibnul Qayyim berkata, “Kotornya hati karena dua hal: lalai dan dosa. Adapun menjernihkannya dengan dua hal juga, yaitu: istighfar dan dzikir.”
Ya, kita harus mengakui dosa-dosa kita yang banyak sekali. Kita sedikit amal, banyak dosa, tetapi kita sering mengkhayal bahwa kita penduduk surga, padahal Adam dikeluarkan dari surga hanya karena satu dosa!!
وَاللهِ لَوْ عَلِمُوْا قَبِيْحَ سَرِيْرَتِيْ
لأَبَى السَّلَامَ عَلَيَّ مَنْ يَلْقَانِيْ
وَلَأَعْرَضُوْا عَنِّيْ وَمَلُّوْا صُحْبَتِيْ
وَلَبُؤْتُ بَعْدَ كَرَامَةٍ بِهَوَانِ
لٰكِنْ سَتَرْتَ مَعَايِبِيْ وَمَثَالِبِيْ
وَحَلِمْتَ عَنْ سَقَطِيْ وَعَنْ طُغْيَانِيْ
فَلَكَ الْمَحَامِدُ وَالْمَدَائِحُ كُلُّهَا
بِخَوَاطِرِيْ وَجَوَارِحِيْ وَلِسَانِيْ
وَلَقَدْ مَنَنْتَ عَلَيَّ رَبِّ بِأَنْعُمِ
مَالِيْ بِشُكْرِ أَقَلِّهِنَّ يَدَانِ
Demi Allah, seandainya mereka mengetahui jeleknya hatiku
niscaya seorang yang bertemu denganku akan enggan salam padaku
Mereka akan berpaling dariku dan bosan berteman denganku
aku akan menjadi hina setelah mulia
Tetapi Engkau menutupi kecacatan dan kesalahanku
dan Engkau bersikap lembut dari dosa dan keangkuhanku
Bagi-Mu-lah segala pujian
dengan hati, badan dan lidahku
Sungguh, Engkau telah memberiku nikmat yang begitu banyak
tetapi aku kurang mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.14

6. Berteman dengan orang shalih

Karena mereka akan mengambil tanganmu tatkala engkau lemah dan mengingatkanmu tatkala engkau lupa, membimbingmu tatkala engkau tidak tahu, jika engkau kesusahan maka mereka akan membantumu, dan jika mereka berdo’a kepada Allah maka mereka tidak melupakanmu.
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلاَتَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلاَتُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS al-Kahfi [18]: 28)
Bahkan di dalam surat al-Kahfi Allah selalu menyebutkan anjing yang bersama para pemuda ashabul kahfi sebagai isyarat pentingnya berteman dengan orang-orang shalih. Hasan Bashri berkata, “Sahabat kami lebih baik bagi kami daripada keluarga kami, mereka mengingatkan kami tentang akhirat, sedangkan keluarga mengingatkan kami tentang dunia.”

7. Selalu melakukan introspeksi

Karena jika seorang tidak melakukan introspeksi/muhasabah dan mengevaluasi kesalahannya, bagaimana mungkin dia akan mengetahui letak penyakitnya. Kalau dia tidak tahu penyakitnya, bagaimana akan mengobatinya?
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan muhasabah (artinya):
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS al-Hasyr [59]: 18)
Seorang mukmin dia akan selalu mengoreksi dan mengevaluasi amalannya. Dia akan berusaha untuk tidak terjerumus ke dalam dosa dengan menjauhi segala sarana yang dapat merayunya seperti fitnah dunia, wanita dan teman yang jelek. Dan jika dia telah terjatuh ke dalam dosa, maka dia segera bertaubat dan selalu istighfar kepada Allah dengan tekad yang bulat untuk tidak mengulangi dosanya lagi.

8. Beramal shalih

Amal shalih adalah bekal utama yang bisa diandalkan untuk suatu hari yang tidak bermanfaat harta, jabatan, dan anak kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Barang siapa beramal shalih baik pria atau wanita dan dia beriman maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang bahagia. (QS an-Nahl [16]: 97)
Namun, perlu diketahui bahwa sebuah amal baru disebut shalih jika memenuhi dua syarat:
Pertama: Ikhlas mengharapkan pahala Allah.
Kedua: Ittiba’ yaitu meneladani Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bukan ibadah dengan perasaan dan hawa nafsu sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menggabung dua syarat ini:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS al-Mulk [67]: 2)
Fudhail ibn Iyadh berkata, “Yang paling baik adalah yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam.”
Amalan kebajikan tanpa ikhlas sia-sia seperti debu-debu yang beterbangan, dan amal kebajikan tanpa ittiba’ juga sia-sia hanya memberatkan seperti pengembara yang memenuhi tasnya dengan batu, memberatkan tanpa faedah yang berarti.
Maka bersemangatlah untuk beramal kebajikan dan jangan pernah meremehkannya sekecil apa pun karena kita tidak tahu amal manakah yang diterima di sisi Allah. Siapa tahu amal yang kita anggap remeh justru itu yang menjadikan faktor kita meraih ampunan Allah dan surga-Nya; seperti hadir di majelis ilmu, salam dan jabat tangan, membantu orang, menyingkirkan gangguan dari jalan, dan lain-lain.
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَ
Barang siapa yang melakukan amal kebajikan sekecil apa pun maka dia akan melihatnya. (QS az-Zalzalah [99]: 7)

9. Do’a

Maka seorang hamba, di dalam setiap detiknya selalu membutuhkan pertolongan Allah dan memohon kepada-Nya agar Allah menganugerahkan kepadanya kebeningan hati. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk berdo’a:
اللّٰهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا.
Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketaqwaan dan sucikanlah jiwa karena Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang menyucikannya.” (HR Muslim: 2722)
1Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab, 1/210.
2Al-Jami’ li Ahkamil Qur‘an 13/115
3Mudawatun Nufus, Ibnu Hazm, hlm. 76.
4Hilyatul Auliya‘, Abu Nu’aim, 7/370; az-Zuhd, al-Baihaqi, 2/81.
5Al-Fawa‘id hlm. 180
6HR Abu Dawud 13/179 — Aunul Ma’bud, at-Tirmidzi 4/589, Ahmad 2/203, al-Hakim 4/171, dan hadits ini hasan. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 2/634 oleh al-Albani.
7Al-Fawa‘id hlm. 86
8At-Tadzkirah, al-Qurthubi, 1/27.
9HR Ahmad: 1173. Dishahihkan oleh al-Albani di dalam ash-Shahihah 2/545.
10HR Muslim: 1621
11Syifa‘ ash-Shudur, Mar‘i al-Karmi, hlm.160.
12Al-Adzkar 1/423–424 (tahqiq Salim al-Hilali)
13Mukhtar Tafsir al-Manar 3/170
14Nuniyah al-Qahthani hlm. 9