Wahai saudaraku,  Anda pasti menganggap buruk seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya.  Karena ia tidak tahu berterima kasih atas jasa-jasa orang tuanya selama ini kepadanya.  Karena ia telah melupakan jasa-jasa orang tuanya yang tidak akan pernah dapat terbalaskan.  Karena ia bagaikan orang yang membalas air susu dengan air tuba.  Karena ia telah berani melawan orang yang seharusnya ia taati.  Karena ia telah meremehkan orang yang seharusnya ia hargai.  Karena seakan-akan ia telah mengejek orang tuanya sendiri.  Karena…karena…karena…dan banyak lagi alasan lainnya yang dapat Anda kemukakan.
Namun sadarkah Anda wahai saudaraku seiman,  bahwa ada yang lebih buruk daripada seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya,  yakni seorang hamba yang durhaka kepada Allah Ta’ala yang telah menciptanya.  Mengapa?  Karena ia tidak berterima kasih atas berbagai nikmat karunia Allah yang selama ini dianugerahkan kepadanya.
Ia memiliki tangan,  kaki,  organ-organ tubuh lainnya yang sempurna.  Ia memiliki anak,  istri,  rumah,  kendaraan,  pekerjaan,  teman dekat dan harta kekayaan.  Ia bebas menghirup udara,  menginjak bumi,  dan berkarya dalam ruang dan waktu yang telah Allah berikan secara gratis.  Semua kenikmatan itu tidak akan pernah dapat dihitung dan dihinggakan.

Sanggupkah Seorang hamba menghitung tarikan nafas yang telah ia lakukan dari sejak lahir hingga saat ini?  Ingatlah bahwa tidak ada satu tarikan nafas pun,  kecuali Allah-lah yang mengendalikan dan mengaturnya.  Dan sanggupkah seorang hamba menghitung detak jantung yang senantiasa berdenyut sejak dari dalam kandungan?  Disadari atu tidak,  maka tidaklah jantung itu berdetak,  kecuali Allah-lah yang mengendalikan dan mengaturnya.  Lalu mengapa ia tidak tahu berterimakasih kepada Allah?  Padahal dalam sehari semalam,  Allah menganugerahkan nikmat kepada kita tanpa henti,  walaupun kita sedang terlelap tidur.  Pantaskah kalau ia sering enggan untuk berterimakasih?  Sedikit saja… dengan bersimpuh di hadapan-Nya hanya 5 menit atau lebih, sebanyak 5 kali sehari semalam.
Sungguh,  jika kepada orang tua saja kita tidak akan dapat membalas budi dengan sempurna,  maka apalagi kepada Allah Ta’ala,  di mana pemberian,  perhatian,  bimbingan dan kasih sayangnya melebihi orang tua kita.  Bahkan ketika orang tua kita dapat menyayangi kita sepenuh hati mereka berdua,  maka hal itu pun tidak lepas dari kasih sayang Allah yang telah menanamkan rasa cinta dalam hati keduanya untuk dapat menyayangi kita.  Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu,  ia berkata: “Di antara tawanan yang datang kepada Nabi shallallaahu alaihi wa sallam ada seorang wanita yang sedang menyusui.  Tiba-  tiba ia mendapatkan seorang bayi laki-laki di antara para tawanan.  Ia mengambilnya,  merangkulnya di perutnya dan menyusuinya.  Maka Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda kepada kami: “Apakah kalian berpendapat bahwa wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?” kami menjawab: “Tidak,  ia mampu untuk tidak melakukannya. Maka Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: “Allah lebih sayang kepada para hamba-Nya daripada ibu kepada anaknya.” (Muttafaqun ‘ alaihi)
Andaikan mereka yang meninggalkan shalat menyadari dan merenungi hal ini,  maka sudah sepatutnya ia merasa malu, takut, dan berharap akan ampunan-Nya.
Dan ingatlah pula,  wahai saudaraku seiman,  bahwa shalat yang kita lakukan dalam rangka bersyukur kepada-Nya bukanlah untuk Allah Ta’ala,  karena Dia adalah al-Qayyuum (Yang Maha Berdiri sendiri),  tidak memerlukan apa pun dari makhluk-Nya.  Justru makhluklah yang senantiasa memerlukan-Nya,  dan senantiasa memerlukan-Nya setiap saat.  Allah al-Ghaniyy,  Mahakaya,  tidak memerlukan shalat,  penghargaan dan terimakasih dari makhluknya.  Seandainya seluruh makhluk melakukan ketaatan kepada-Nya,  maka hal itu tida akan menambahkan kemuliaan-Nya.  Begitu pula seandainya seluruh makhluk mendurhakainya maka hal itu tidak akan mengurangi kemuliaan-Nya.  Kitalah yang butuh untuk berterimakasih kepada ‘Azza wa Jalla,  untuk keselamatan dan kesejahteraan kita.
Janganlah seorang hamba membalas kasih sayang Allah dan rahmat-Nya dengan bermaksiat kepada-Nya.  Jika ia tidak berani melawan orang tua yang sudah seharusnya ditaati,  maka apalagi kepada Allah Ta’ala.  Tidaklah layak baginya untuk menentang-Nya.  Jika ia tidak berani meremehkan orang tuanya yang sudah seharusnya ia hargai, maka apalagi kepada Allah Ta’ala, yang paling layak untuk ditaati,  dipatuhi dan dicintai.  Dan jika ia tidak berani mengejek orang tuanya sendiri,  maka terlebih lagi kepada Allah Ta’ala.  Jika ia menyepelekan perintah-perintah-Nya,  menganggapnya tidak harus diutamakan,  maka ia sebenarnya telah melecehkan syari’at-Nya.
Orang yang berakal sehat pasti akan malu kepada Allah Ta’ala apabila ia meninggalkan shalat.  Semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah Ta’ala.  Bahkan diri kita pun adalah milik-Nya.  Kita tidak memiliki apa pun di alam semesta ini,  walau seberat atom.  Maka sudah seharusnya kita berendah hati di hadapan Allah Ta’ala,  Pemilik segala sesuatu.  Seharusnya kita malu jika masih menyombongkan diri dengan menolak perintah-Nya,  sementara kita tidak memiliki apa pun untuk disombongkan
Renungkan bagaimana Allah subhaanahu wata’alaa tidak merasa bosan untuk memberi rizki kepada seluruh makhluk-Nya,  bahkan terhadap orang-orang kafir yang menentang-Nya. Sedangkan kita,  cepat sekali merasa bosan beribadah kepada Nya.  Untuk urusan dunia,  ada seorang petugas yang kuat berdiri selama 4 jam di depan pintu gerbang salah satu mal di ibu kota.  hanya untuk mengucapkan selamat datang dan mempersilakan para pengunjung mall tersebut.  Tapi,  jika ia diperintahkan untuk berdiri dalam satu kali shalat selama 4 jam,  belumlah tentu ia mampu.  Mengapa motivasi duniawi lebih diminati?  Padahal Akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.  Lagi pula Allah Ta’ala tidak memerintahkan kita “sekejam”  itu,  yakni untuk shalat selama 4 jam dalam satu kali berdiri.  Sungguh malu,  kalau ada seorang hamba yang menganggap Rabbnya begitu kejam kepadanya.  Apabila kita masih bebal dan tidak punya malu,  maka tadabburi dan renungkanlah firman-firman-Nya,  terutama dalam awal-awal QS.  An Nahl.  Allah Ta’ala menyebutkan nikmat-nikmat Nya kepada manusia.  Bacalah dan resapilah hingga ayat 18.  Pada ayat yang terakhir ini Allah Ta’ala menegaskan bahwa apabila kita menghitung hitung nikmat-Nya,  maka kita tidak akan sanggup menghinggakannya.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah,  niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha pengampun,  Maha penyayang. “(QS.  An-Nahl:  18)
Tadabburi pula QS.  Ar-Rahmaan,  betapa banyak kenikmatan-kenikmatan dari-Nya yang agung dan mulia.  Dan berulang-ulang Allah Ta’ala berfirman dalam surat tersebut (yang artinya).
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS.  Ar-Rahman:  16,  dan ayat yang lainnya).
Wahai saudara seiman,  Kalau nikmat Allah tidak terhitung dan terus bertambah,  maka yang terus menerus bertambah dari kita adalah dosa-dosa.  Seandainya Allah tidak mengampuni dan menyayangi kita,  niscaya kita menjadi orang yang rugi.  Siapakah di antara kita yang tidak memiliki dosa?
**
Diambil dari buku Akibat Orang yang Meninggalkan Shalat, Abu MUhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah, Pustaka Ibnu Umar


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers