Pertanyaan.
Assalammu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Perkenalkan ana Fulan. Saya dan istri mohon bimbingan Ustadz untuk masalah yang akan kami tanyakan ini.
Alhamdulillah, kami baru mengenal sunnah dan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan kami sekarang. Kami menikah pada tahun 2010. Istri saya berasal dari keluarga yang kedua orang tuanya bercerai. Ayah istri saya meninggalkan istri saya dan ibu mertua pada saat usia istri saya masih satu tahun. Ayah istri saya selingkuh, melakukan KDRT kepada Ibu mertua dan tidak pernah memberikan nafkah lahir dan batin. Menurut berita yang sampai ke saya, mereka benar-benar ditelantarkan. Ayah istri saya itu tidak pernah sekalipun mencari mereka dari dulu hingga sekarang. Selama bertahun-tahun istri dan ibu mertua saya tinggal berdua di Kota P , sedangkan ayahnya tinggal di salah satu kabupaten di Provinsi yang sama (kurang lebih 10 jam perjalanan darat). Tidak pernah sekalipun istri saya bertemu dengan ayahnya (kecuali setelah kami menikah dan
mengunjungi beliau di tempat tinggalnya).
Pada saat mau menikah, ibu mertua merasa keberatan jika yang menjadi wali nasab bagi istri saya adalah mantan suami yang telah menelantarkannya ataupun wali nasab dari garis  suaminya (paman dan yang lainnya). Mengingat beratnya penderitaan yang beliau alami. Istri saya pun menuruti keinginan ibu mertua karena sayang kepada ibu dan penderitaanyang juga dialami. Terlebih lagi ayah telah menikah kembali dan memiliki dua orang putri.
Akhirnya, istri dan ibu mertua mendatangi Kantor Kementerian Agama setempat untuk menanyakan solusinya. Agar bisa tetap menikah dan sah secara agama islam serta dengan wali yang diakui keabsahannya. Solusiyang didapat adalah boleh mengalihkan perwalian dari wali nasab ke wali yang lain asal ada surat kuasa dari wali nasab, yang ditandangani dan bermaterei dan disaksikan oleh dua orang saksi serta diketahui oleh pejabat setempat (terlampir).” Maka dimulailah proses mendapatkan izin dan tanda tangan ayah istri saya dengan dibantu oleh saudara teman ibu mertua yang tinggal di kota yang sama. Surat tersebut sudah berbentuk form, tinggal mengisi. Surat itu di dapat dari KUA kota tersebut. Setelah dua minggu surat kuasa (pernyataan ikrar wakil wali) sudah didapat dan ditandatangani oleh ayah istri saya, tanpa tekanan apapun dan secara sukarela.  Beliau memberi izin atas pernikahan kami. Melalui surat itu, wali nikah untuk istri saya dialihkan kepada seorang kerabat ibu mertua (saudara satu buyut dengan ibu mertua, yang tinggal di kota yang sama dengan kami), usianya sekitar 70 tahun. Kami memanggilnya om H.
Setelah surat kuasa itu didapat, maka dilanjutkan dengan proses kelengkapan administrasi penunjang lain dan akhirnya sampailah padahari akad nikah.
Pada saat akan ijab kabul, om H minta P3N menggantikannya sebagai wali nikah, dengan alasan redaksi ijab kabul yang panjang dan dikhawatirkan om H akan lupa (jika dihapal) atau terbata-bata dan tidaklancar; terputus-putus pengucapannya (jika di baca, mengingat usia dan penglihatan yang sudah mulai berkurang). Perbuatan tersebut pada saat itu, disetujui oleh para saksi dan hadirin yang hadir dan tidak ada yang mengingkari. Akad nikah pun  dilaksanakan dan akhirnya kami pun resmi menjadi suami istri. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, Allâh Azza wa Jalla membukakan pintu hidayah bagi kami berdua untuk mengenal sunnah. Kami mengingat lagi proses akad nikah kami tersebut dan timbul pertanyaan:
  1. Apakah pengalihan wali nikah melalui surat kuasa kepada kerabat ibu istri saya dan bukan ke wali nasab dari garis ayah istri saya adalah sah?
  2. Jika sah, apakah proses akad nikah kami sah ketika P3N mengambil alih sebagai wali nikah istri dengan alasan-alasan yang telah disebutkan?
  3. Jikta tidak sah, apa yang harus kami lakukan ustadz?
Kami mengharapakan jawaban yang lengkap dari ustadz agar kami terlepas dari was-was dan keraguan akan  keabsahan akad nikah ana dan istri.
Jazâkumullâhu khairan, semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kemudahan bagi antum untuk membantu persoalan kami ini.
Hamba Allah.

Jawaban.
Alhamdulillah, kami turut senang dan bahagia mendengar semangat saudara dan keluarga dalam mempraktikkan sunnah dalam kehidupan sehari-hari, terutama di zaman yang penuh dengan fitnah. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa menjadikan kita termasuk orang-orang yang terus berpegang teguh dengan agama-Nya sampai akhirnya mewafatkan kita dalam Islam dan di atas sunnah.
Menikahnya seorang wanita dengan wali yang bukan walinya adalah sebuah dosa dan kejahatan. Sebab keberadaan wali yang syar’i itu merupakan syarat mutlak sahnya sebuah akad perniakahan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapapun wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batil.” [HR. Ahmad dan Abu Daud]
Pada asalnya, wali yang paling berhak dalam pernikahan adalah sang bapak. Namun, hak perwalian bapak dalam pernikahan putrinya boleh digantikan, dengan sebab-sebab sebagai berikut:
  1. Tidak memenuhi lima syarat wali dalam pernikahan, yaitu: Islam, laki-laki, berakal, baligh, dan merdeka. Misalnya: Jika bapak tersebut orang kafir atau hilang akal atau budak.
  2. Adhl (menghalangi). Yaitu, bapak menghalangi pernikahan putrinya. Padahal, putrinya sudah menyetujui dan calon pengantin laki-laki sekufu (sebanding) di dalam agama dan akhlak. Yakni, sama-sama beragama Islam, berakidah ahlus sunah dan berakhlak mulia.
  3. Bapak bersafar (berada di luar kota), sedangkan menunggu kedatangannya menyusahkan calon pengantin yang sudah setuju. Dengan demikian, hak perwalian dapat berpindah kepada wali berikutnya.
  4. Bapak mewakilkannya kepada orang lain. (lihat Majalah As-Sunnah, Edisi 5, Tahun IX, 1426 H/2005 M, hlm 5 – 6).
Maksud dari mewakilkan perwalian kepada orang lain dijelaskan dalam kitab al-Fiqhu al-Muyassar, 5/18 adalah seorang yang menyerahkan semua yang boleh ia kerjakan dari semua yang boleh digantikan orang lain supaya orang yang menerima mandate tersebut mengerjakannya ketika orang yang menyerahkannya masih hidupnya.
Termasuk diantara perkara yang boleh diwakilkan adalah perwalian dalam pernikahan. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Artinya sebuah akad pernikahan sah jika dilakukan dengan wali asli sebagaimana juga sah jika dijalankan dengan wali wakil, sebab aktifitas wakil sama dengan aktifitas yang diwakilinya.
Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan Fatwa (al-Lajnah ad-Dâimah Lil Buhûts Ilmiyah wal Ifta) di Saudi Arabia berfatwa tentang kebolehan perwakilan dalam pernikahan dalam fatwa no. 4883 dan 1007.
Terkait dengan permasalahan yang saudara tanyakan yaitu terjadi perwakilan atau menguasakan perwalian kepada orang lain yang dipercaya oleh sang bapak seperti yang saudara sampaikan. Wakil tersebutpun diperbolehkan untuk menunjuk atau menguasakan orang lain untuk menjalankan tugas yang diembannya dari wali tersebut. Sehingga pernikahan saudara sah walaupun dengan penghulu atau P3N.
Semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers