Untuk menjaga perasaan hendaklah menasehati dengan cara rahasia, tapi
adakalanya juga menasehati orang lain bisa dilakukan di hadapan orang
banyak. Salah seorang khatib dan imam masjid di kota Al-Khubar, Saudi
Arabia dalam salah satu khutbah Jum’atnya mengatakan:
“Ummat Islam, mereka itu memiliki kehormatan dan harga diri, oleh
karena itu haruslah kita menjaga hak-hak dan kehormatan mereka, haruslah
kita memelihara perasaan mereka, tetapi kadang-kadang sesuatu nasehat
yang akan engkau sampaikan kepada orang lain apabila engkau tunda, maka
akan terlambat, maka harus sekarang juga engkau menasehatinya sebelum
terlambat. Contohnya, sebagaimana terdapat dalam Shahih Muslim (Juz 6
hal. 142-143 no. 58 (875), dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwasanya ia
berkata: Sulaik Al Ghathafani datang (ke masjid) hari Jum’at dan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk di atas mimbar maka
Sulaik langsung duduk tanpa shalat terlebih dahulu, maka Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya. “Apakah engkau telah
melaksanakan shalat dua rakaat?” Ia berkata, “Belum,” maka beliau
memerintahkan kepadanya, “Bangunlah dan shalatlah dua rakaat!”
Ini bukanlah sedang memburuk-burukkan atau menyiarkan kesalahan orang
tersebut, karena saat itu adalah waktu yang tepat untuk menasehatinya,
apabila dibiarkan, maka akan terlewatkan, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan setiap muslim yang masuk ke dalam masjid agar shalat dua rakaat terlebih dahulu sebelum ia duduk.
Perintah tersebut mengharuskan untuk dilaksanakan pada saat itu juga
tidak bisa ditunda sampai selesai shalat Jum’at. Akan tetapi apabila
memungkinkan bagimu untuk menunda nasehat sampai selesainya majelis,
lalu engkau menasehati seseorang di hadapan orang lain di majelis
tersebut, maka hal itu tidak benar.”
Pernah terjadi di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam seorang yang makan menggunakan tangan kirinya, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
menegurnya, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang tersebut menjawab,
“Saya tidak dapat,” maka beliau mendo’akan keburukan untuknya dengan
mengatakan, “Semoga engkau tidak dapat,” maka langsung saja tangan orang
tersebut lumpuh sehingga tidak dapat memasukkan makanan ke dalam
mulutnya. Orang tersebut tidak mau mentaati perintah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam karena sombong. (lihat kisah ini dalam Shahih Muslim no. 2021)
Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan tentang fiqh hadits di atas, di
antaranya: “Boleh menasehati seseorang di hadapan orang banyak apabila
di dalamnya terdapat kebaikan bagi semuanya.” (Bahjatun Naadzirin, juz I
hal. 240)
Apabila terhadap teman, kita harus memiliki adab yang baik dalam
menegur kesalahannya, maka lebih-lebih lagi apabila kita hendak menegur
kesalahan seorang guru. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
rahimahullah berkata : “Apabila seorang penuntut ilmu mendapatkan
gurunya berbuat kesalahan maka janganlah menyebutkan kesalahan tersebut
dengan terus terang, tetapi betulkanlah kesalahan dia dengan cara
bertanya dan bersikap sebagai seorang siswa terhadap gurunya, dan
berbuat demikianlah dengan cara berulang-ulang sampai terang bagi sang
guru mana yang benar, karena kebanyakan manusia apabila engkau tegur
secara lansung kesalahannya, kecil sekali kemungkinannya untuk rujuk,
berat bagi dia untuk mengakui kesalahannya, kecuali orang yang dapat
menguasai dirinya dan menghiasinya dengan akhlak yang terpuji, maka dia
tidak tersinggung apabila pendapat dia dikritik, dan kesalahannya
ditegur secara langsung, dan tipe orang seperti ini jarang sekali, hanya
dengan taufiq Allah-lah kemudian dengan melatih jiwa untuk menekan
gengsi, barulah orang tersebut akan mempunyai jiwa besar dengan mengakui
kesalahannya dan rujuk kepada kebenaran.” (Al Mu’in ‘ala Tahshili
Aadaabil ‘Ilmi wa Akhlaakil Muta’allimiin, hal. 33-34)
Dalam halaman lain, beliau berkata: Apabila sang guru berbuat
kesalahan dalam suatu hal, maka hendaklah seorang penuntut ilmu
menegurnya dengan penuh lemah lembut sambil memperhatikan situasi dan
kondisi, janganlah mengatakan kepadanya, “Engkau telah berbuat salah!”
atau “Sesungguhnya yang benar bukan seperti yang engkau katakan!”,
tetapi hendaklah menegurnya dengan kata-kata yang sopan, menjadikan
seorang guru sadar akan kesalahannya tanpa ada rasa gusar di hatinya,
karena cara seperti ini merupakan keharusan dalam bersikap terhadap
seorang guru, juga cara seperti ini lebih mengena untuk sampai kepada
kebenaran, karena sesungguhnya kritikan yang disertai dengan adab yang
buruk membuat hati orang yang dikritik menjadi gusar sehingga akan
menghalanginya untuk dapat menangkap pemahaman yang benar dan
menghalanginya untuk mengetahui maksud baik orang yang menegurnya.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya oleh seseorang :
“Apakah yang harus saya lakukan terhadap salah seorang guru ketika ia
salah dalam pendapatnya, khususnya dalam mata pelajaran dien Al Islam
dan saya tahu dengan pasti jawaban yang benar?” Maka Syaikh menjawab:
“Ini pertanyaan yang penting di mana kita dapatkan bahwa sebagian dari
para guru tidak mau dikoreksi oleh siapa pun, meskipun ia berbuat
kesalahan yang banyak. Sikap yang demikian tidaklah benar, karena setiap
manusia tidak lepas dari kesalahan, dan manusia apabila berbuat
kesalahan lalu ditegur, maka itu merupakan nikmat Allah yang Ia berikan
kepadanya, supaya manusia tidak tertipu disebabkan kesalahannya. Akan
tetapi bagi siswa haruslah mempunyai kecerdikan, janganlah menegurnya di
hadapan siswa-siswa yang lain, karena hal ini menyalahi adab, tetapi
tundalah sampai selesai pelajaran (secara empat mata), apabila sang guru
tadi menerimanya, maka ia harus menyampaikan ralatnya di hadapan para
siswa pada pelajaran berikutnya, dan apabila tidak menerimanya, maka si
siswa harus menyampaikan koreksiannya di hadapan siswa-siswa yang lain
pada pelajaran berikutnya, sambil mengatakan misalnya bahwa ustadz
pernah menyampaikan begini dan begitu, dan ini adalah tidak benar.”
(Kitabul ‘Ilmi, hal. 160-161)
Sebagian orang –semoga Allah memberi mereka petunjuk- mengira bahwa
nasehat yang disampaikan kepada mereka adalah bentuk kelancangan dan
kekurangajaran. Terlepas dari keras atau lembut cara menasehatinya, maka
tidak selayaknya seorang yang munshif (bersikap adil dan objektif)
mencampakkan kebenaran gara-gara kebenaran tersebut datang dengan cara
yang tidak berkenan atau kurang pas dalam pandangannya. Ya, itu sah-sah
saja seorang menilai bahwa cara orang lain dalam menasihatinya tidak pas
atau tidak beradab. Namun, bukan itu yang kita bicarakan! Yang kita
maksud adalah kesadaran hati pada diri orang yang mendapatkan teguran
agar kembali kepada Allah, dan menyadari kekeliruannya –jika itu sebuah
kekeliruan- tanpa menyimpan dendam. Bukankah Allah memerintahkan kita
untuk memberikan maaf dan berlapang dada dalam menyikapi kekurangan
saudara kita? Bukankah kita pun senang jika kita diperlakukan demikian?
Maka alangkah tidak bijaknya kita ketika kita menyadari bahwa
hujjah-hujjah yang kita miliki ternyata tidak cukup kuat untuk
mempertahankan sikap kita yang keliru atau kurang bijak, kemudian dalam
kondisi seperti itu pun kita masih menuntut orang lain secara berlebihan
untuk bersikap bijak dan sopan dalam menegur kita. Sementara kita
dengan begitu leluasa memuntahkan sejuta alasan untuk menjatuhkan orang
yang berbeda pendapat dengan kita. Di sisi lain kita tidak memberikan
kesempatan baginya untuk melontarkan kritik kepada kita. [ ]
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer