Nama Allah Ta’ala yang maha indah ini disebutkan dalam firman-Nya,

{قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ}

Katakanlah: “Rabb kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui” (QS Sabaa’:26).
Juga diisyaratkan dalam firman-Nya:

{وَسِعَ رَبُّنَا كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ}

Pengetahuan Rabb kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya” (QS al-A’raaf:89).
Berdasarkan ayat di atas, para ulama menetapkan nama al-Fattaah sebagai salah satu dari nama-nama Allah Ta’ala yang maha indah, seperti Imam Ibnul Atsir[1], Ibnu Qayyim al-Jauziyyah[2], Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di[3], Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin[4], dan lain-lain.
Makna al-Fattaah secara bahasa
Ibnu Faris menjelaskan bahwa asal kata yang benar dari nama ini menunjukkan makna lawan dari menutup, kemudian dari asal makna ini diambil makna-makna yang lain dari kata ini, seperti menghukumi (memutuskan), kemenangan dan kesuksesan[5].


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
read more
Sejarah mencatat orang Cina-lah yang menemukan serbuk mesiu dan penggunaannya pada roket. Roket ala Cina ini sekedar batang bambu diisi sendawa, belerang, dan arang. Mereka menggunakannya pada festival keagamaan. Beberapa abad kemudian, mereka menggunakan roket ini dalam militer untuk menakuti orang Mongol yang kadang menyerang.
Walau dicatat sebagai penemu serbuk mesiu dan roket pertama kali, orang Cina belum bisa menemukan komposisi campuran serbuk mesiu yang pas. Hasilnya ,roket mereka nggak meledak sesuai yang mereka inginkan. Mereka juga belum menemukan teknologi pemurnian potassium nitrat, hal yang penting bagi pengembangan roket.
Sumbangsih Hassan Ar-Rammah
Orang Islam-lah yang kemudian menyempurnakannya. Tersebutlah, di Suriah pada abad XIII, seorang ilmuwan militer bernama Hassan Ar-Rammah (wafat 1295 M). Ia menulis sebuah kitab tentang teknologi militer, yaitu Al-Furusiyyah wa Al-Manasib Al-Harbiyyah, yang diduga ditulis antara 1270-1280 M. Kitab ini diduga bukan hasil karya Ar-Rammah seorang, ia mengambilnya dari nenek moyangnya dan orang lain – sebagaimana diindikasikan di mukadimahnya. Di kemudian hari, kitab ini begitu terkenal di Barat.
Kitab inilah yang pertama kali menerangkan tata cara pemurnian potassium nitrat dan menerangkan resep-resep untuk bikin serbuk mesiu dengan komposisi yang benar sehingga menghasilkan ledakan. Orang Cina, Huo Long Ching, baru menemukan komposisi bahan peledak yang tepat pada 1412.
Kitab Hassan Ar-Rammah tersebut berisi 107 resep serbuk mesiu. Ada 22 resep untuk pembuatan roket. Komposisi serbuk mesiu dari 17 roket dianalisis, dan ditemukan bahwa nilai rata-rata potassium nitrat adalah 75%.
Komposisi ideal untuk bahan peledak sebagaimana dikatakan sejarawan modern adalah 75% potassium nitrat, 10% belerang, dan 15% karbon. Rata-rata komposisi di kitab Ar-Rammah tersebut adalah 75% potassium nitrat,9.06% belerang, dan 15.94% karbon. Komposisi yang sangat mendekati komposisi ideal bahan peledak modern.
Analisis komposisi bahan peledak di militer Islam pada abad XIII dan XIV juga serupa dengan resep Ar-Rammah. Termasuk yang digunakan pada perang mengusir Tartar di Ain Jalut pada 1260 M.
Formula ini tidak pernah diketahui orang Cina dan Eropa sampai satu abad kemudian.
Meriam dan Torpedo
Dugaan penemuan bahan peledak sebelum penulisan kitab Ar-Rammah tersebut memang berdasar. Ar-Razi, Al-Hamdani, dan manuskrip dari abad ke-10 telah menerangkan potassium nitrat. Ibnu Al-Bitar menulisnya pada 1240 M. Manuskrip Suriah pada abad ke-10 menuliskan beberapa resep serbuk mesiu.
Bukti penggunaan serbuk peledak selama Perang Salib di Fustat, Mesir pada 1168 M ditemukan dalam bentuk sisa residu potassium nitrat. Residu seperti ini juga ditemukan dalam saat pengepungan Dumyat dan pertempuran Al-Manshurah pada 1249 M.
Pada perang muslimin mengusir Tartar yang bersejarah di Ain Jalut, 1260 M, bahkan telah digunakan meriam. Sebuah manuskrip dari 1320 M mendeskripsikan meriam portable tersebut. Ini adalah meriam portable pertama. Deskripsi ini secara dasar, sama dengan yang ada pada senapan masa kini.
Kitab Ar-Rammah juga menerangkan senjata yang belum pernah ada pada bangsa lain pada saat itu, senjata yang menjadi cikal bakal torpedo.
J.R. Partington dalam A History of Greek Fire and Gunpowder menulis, “Hassan Ar-Rammah menerangkan beberapa jenis panah api dan menggambarkan suatu senjata yang diduga sebagai sebuah torpedo. Ia dinamai ‘telur yang bergerak sendiri lalu meledak’. Ilustrasi dan teks yang ada pada kitab itu menggambarkan bahwa ‘torpedo’ ini dibuat agar berjalan di atas permukaan air. Dua buah ‘wajan’ besi saling dilekatkan dan dikaitkan dengan pelat, sebelumnya diisi dengan nafta, logam, dan serbuk campuran (sepertinya berisi sendawa), dan ‘telur’ itu disangga dengan dua batang (sepertinya untuk kemudi) dan didorong oleh sebuah roket besar.”
Sayang, catatan penggunaan senjata ‘baru’ ini tidak ditemukan.
Barat Tahu dari Arab
Saat orang Eropa masih menggunakan senjata tajam, orang Islam sudah menggunakan senjata api.
Muslim Spanyol menggunakan meriam untuk mempertahankan Seville (pada 1248 M), Granada (1319 M), Baza /Albacete (1324 M), Huescar dan Martos (1325 M), Alicante (1331 M), dan Algeziras (1342-1344 M). Partington berkata, “Sejarah artileri di Spanyol erat kaitannya dengan meriam orang Arab.”
Ia menambahkan, “Orang Arab-lah yang mengenalkan senjata api ke Spanyol, kemudian ke Italia, lalu ke Prancis, dan akhirnya Jerman.”
Buku latin, Liber Ignium, tulisan Marcus Graceus, sebenarnya merupakan terjemahan dari sebuah kitab Arab yang memberikan resep pembuatan serbuk mesiu.
Orang Eropa yang membawa resep rahasia bahan peledak dan meriam dari orang Muslim ke Inggris adalah Earls of Derby and Salisbury, yang ikut dalam pengepungan Al-Jazira pada 1342-1344 M.
Frank H. Winter, dalam The Genesis of the Rocket in China and its spread to the East and West, berkata, “Orang Arab dalam banyak peristiwa, tampaknya merupakan orang yang pertama kali mewarisi (bahkan mungkin menemukan) rahasia roket. Dan lewat kitab-kitab Arab-lah –daripada naskah Mongol- orang-orang Eropa mengenal roket.” (irvsya) Dari berbagai sumber
——————-
Diketik ulang dengan judul yang sama dari Majalah Elfata Edisi 07 Volume 08 Tahun 2008 halaman 58-59


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Pertanyaan:
Bagaimana menggabungkan dua hadits yang kelihatannya bertentangan berikut ini. Yang pertama, Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang buang air kecil sambil berdiri. Yang kedua, dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil sambil berdiri.

Jawaban:
Semua riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil sambil berdiri ada yang shahih, baik yang diriwayatkan oleh Aisyah maupun dari sahabat yang lain.
Disebutkan dalam Sunan Ibnu Majah dari hadits Umar, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
لاَ تَبُلْ قَائِمًا
“Jangan engkau kencing berdiri.”
Derajat hadits ini sangat lemah.
Adapun hadits Aisyah, yang disebut-sebut dalam pertanyaan tadi, sama sekali tidak berisi larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kencing sambil berdiri. Hadits tersebut hanya menyatakan bahwa Aisyah belum pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil berdiri.
Aisyah berkata,
مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ بَالَ قَائِمًا فَلاَ تُصَدِّقُوهُ
“Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian membenarkannya (mempercayainya).”
Apa yang dikatakan oleh Aisyah tentu saja berdasarkan atas apa yang beliau lihat dan alami langsung bersama Nabi (tentu saja Aisyah tidak bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepanjang waktu –ed.)
Disebutkan dalam Shahihain dari hadits Hudzaifah bahwa ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah lapangan tempat pembuangan sampah, beliau singgah kemudian buang air kecil sambil berdiri.
Dalam kasus-kasus seperti ini ulama fikih berkata, “Sikap yang diambil ketika berhadapan dengan dua nash yang bertentangan adalah mendahulukan (memilih) nash yang menyatakan adanya perbuatan, karena ia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh pihak yang menolak.”
Jadi, bagaimana hukum kencing sambil berdiri? Tidak ada aturan dalam syariat tentang mana yang lebih utama, kencing sambil berdiri atau duduk. Yang harus diperhatikan oleh orang yang buang hajat hanyalah bagaimana caranya agar dia tidak terkena cipratan kencingnya. Jadi, tidak ada ketentuan syar’i, apakah berdiri atau duduk. Yang penting adalah seperti apa yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
اِسْتَنْزِهُوْا مِنَ الْبَوْلِ
“Bersihkanlah diri kalian dari air kencing.”
Maksudnya, lakukanlah tata cara yang bisa menghindarkan kalian dari terkena cipratan kencing. Kita pun belum mengetahui adakah sahabat yang meriwayatkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri (selain hadits Hudzaifah tadi, -pent.). Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa beliau tidak pernah buang air kecil (sambil berdiri, -pent.) kecuali pada kejadian tersebut.
Alasannya, bukanlah suatu kelaziman bagi seorang sahabat untuk mengikuti beliau ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil. Kami berpegang dengan hadits Hudzaifah bahwa beliau pernah buang air kecil sambil berdiri, tetapi kami tidak menafikan bahwa beliau pun mungkin pernah buang air kecil dengan cara lain.
Sumber: Fatwa-fatwa Syekh Nashiruddin Al-Albani, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Media Hidayah, 1425 H — 2004 M.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)

Pertanyaan:
Bolehkah menyembelih atas nama orang yang sudah meninggal, baik ia berwasiat ataupun tidak? Serta apakah ibadah-ibadah lain, seperti shalat, puasa, dan membaca Al-Quran bisa dipersembahkan untuknya?

Jawaban:
Jika seseorang meninggal lalu berwasiat agar (orang yang ditinggalkan) menyembelih atau beribadah atas namanya, maka wasiat ini wajib dilaksanakan karena hal ini merupakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan syariat-Nya.
Adapun jika ia tidak berwasiat, maka harus dilihat siapa yang melaksanakan penyembelihan dan sedekah tersebut. Jika orang itu adalah anaknya maka hal ini dibolehkan dan amalannya diterima, karena anak merupakan hasil usaha orang tuanya, dan masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَاسَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ
“Jika seorang anak Adam meninggal dunia, terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.”
Maka orang yang sudah meninggal tidak berhak lagi atas amal shalih kecuali jika salah satu dari ketiga perkara di atas masih ada. Tidak diragukan lagi bahwa jika seorang anak beribadah dan beramal shalih setelah kematian ayahnya maka amalan anak ini masih merupakan bagian dari keumuman ayat tadi, serta keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَطْيَبُ الْكَسْبِ كَسْبُ الرَّجُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ؛ وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ
“Sebaik-baik usaha adalah usaha seorang dari tangannya sendiri, dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah termasuk usaha kalian.”
Jadi, amal shalih yang dilakukan oleh seorang anak berada dalam lembaran (amal) shalih kedua orang tuanya, terutama apabila sang anak memang meniatkan amalnya itu untuk kedua orang tuanya. Adapun selain anak, maka tidak ada ikatan yang membolehkan seseorang mengirim pahalanya kepada orang yang sudah meninggal.
Sumber: Fatwa-Fatwa Syekh Nashiruddin Al-Albani, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Media Hidayah, 1425 H — 2004 M.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Doa


Doa memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Di samping itu, doa merupakan ibadah yang sangat dicintai oleh Allah. Dan doa merupakan bukti ketergantungan seorang hamba kepada Rabbnya dalam meraih segala perkara yang bermanfaat dan menolak segala perkara yang membawa mudharat bagi mereka. Doa merupakan bukti kecondongan seorang hamba kepada Allah, bahwasannya tiada daya dan upaya melainkan dengan bantuan Allah.

Perbanyaklah Doa

Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa dirinya tidak selayaknya banyak meminta kepada Allah, dia mengang­gap hal itu sebagai suatu aib, menilainya sebagai sikap kurang bersyukur kapada Allah atau bertentangan dengan sifat qana’ah. Akhirnya ia tidak meminta kepada Allah Ta’ala kecuali dalam perkara-perkara yang dia anggap penting atau mendesak. Sedang dalam masalah-masalah yang sepele ia enggan memintanya kepada Allah. Ini jelas sebuah kekeliruan dan suatu kejahilan. Karena doa adalah suatu ibadah dan Allah marah jika seorang hamba enggan meminta kepada-Nya. Dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya doa adalah ibadah.” [Hadits riwayat Ahmad (lV/267) dan Abu Dawud (1479) dan At-Tirmidzi (2969) dan dishahihkan olehnya, dan Ibnu Majah (3828) dan Al-Hakim (1/491) dan dishahihkannya, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi, dan Ibnu Hibban (887h/II/124) dalam Kitab Al-Ihsan. Dan Al-Baihaqi dalam Asy­-Syu'ab (1105) dan Ibnu Abi Syaibah (29167h/VI/21) dan Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (105) dan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya (Nomor 1 3038/11) dari Nu'man bin Basyir. Silakan lihat Shahih al-Jami' (3407)]
Kemudian beliau membaca ayat:
“Dan Rabbmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk api Neraka dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)
Doa ini akan memberikan manfaat atas seizin Allah Ta’ala, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Doa itu bermanfaat bagi apa-apa yang sudah terjadi ataupun yang belum terjadi, hendaklah kalian banyak­banyak berdoa wahai hamba-hamba Allah.” [Hadits riwayat At-Tirmidzi (3048) dan AI-Hakim (1/493) dari Ibnu Umar. Shahih al-Jami' (3409)]
Seorang muslim selayaknya banyak berdoa setiap waktu, karena doa merupakan ibadah yang memiliki kedudukan sangat mulia di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak ada yang lebih mulia di sisi Allah Ta’ala daripada doa.” [Hadits riwayat Ahmad (11/362) dan At-Tirmidzi (3370) dan dihasankannya, dan Al-Hakim (1/390) dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dan yang lainnya dari Abu Hurairah. Silahkan lihat Shahih aJ-Jami' (S392).]

Doa Tidak Pernah Membawa Kerugian

Orang yang meninggalkan doa adalah orang yang paling merugi. Sebaliknya seorang yang berdoa tidak akan pernah merugi atas doa yang ia panjatkan, selama ia tidak berdoa untuk suatu dosa atau memutuskan tali silaturrahim. Karena doa yang ia panjatkan pasti disambut oleh Allah, bisa dengan mewujudkan apa yang ia minta di dunia, atau mencegah keburukan atas dirinya yang setara dengan apa yang ia minta, atau menyimpannya sebagai pahala yang lebih baik baginya di akhirat kelak. Dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada seorang yang berdoa dengan suatu doa kecuali Allah akan mengabulkan apa yang ia minta, atau Allah menahan keburukan atas dirinya yang semisal dengan apa yang ia minta, selama ia tidak berdoa untuk suatu per­buatan dosa atau untuk memutuskan tali silaturrahim.” [Hadits riwayat At-Tirmidzi dan Ahmad. Dan dishahihkan oleh AI-AI bani dalam Shahih aJ-Jami' (S678).]
Oleh karena itu, janganlah seorang hamba merasa keberatan meminta kepada Rabbnya dalam urusan-urusan dunianya, meskipun urusan yang sepele, terlebih lagi dalam urusan akhirat. Karena permintaan itu merupakan bukti keter­gantungan yang sangat kepada Allah dan kebutuhannya kepada Allah Ta’ala dalarn semua urusan. Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan:
“Sesungguhnya barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan marah kepadanya.” [Hadits riwayat At-Tirmidzi (3373) dan Ibnu Majah (3727) dari Abu Hurairah.
Silakan lihat dalam Shahih At-Tirmidzi (2686).]

Oleh karena itu, dahulu para salaf senantiasa berdoa kepada Allah sampai-sampai ada di antara mereka yang ber­doa agar rasa garam bisa terasa pada makanannya.
- shalihah.com -

Sumber: Panduan Amal Sehari Semalam, Penulis Abu Ihsan al-Atsary dan Ummu Ihsan Choiriyah, Pustaka Darul Ilmi hal 99-102



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Pertanyaan:
Sebagian ahli hadits di dalam kitab-kitab mereka membolehkan mengamalkan hadits dhaif yang derajat kelemahannya ringan. Bagaimana pendapat Anda dalam perkara ini?

Jawaban:
Pertama, tidak didapati satu dalil pun yang membolehkan kita mengamalkan hadits dhaif (lemah) walaupun derajat kelemahannya ringan.
Kedua, pendapat tentang bolehnya mengamalkan hadits dhaif mengakibatkan munculnya suatu bid’ah. Maka setiap amalan atau doa yang tidak berdasarkan hadits yang shahih menurut ulama hadits, amalan tersebut adalah bid’ah. Setiap ketetapan hukum tidak boleh berdasarkan hadits dhaif, tetapi harus berdasarkan hadits shahih. Hadits dhaif hanya bisa dipakai untuk satu hal, yaitu fadha’ilul a’mal (keutamaan-keutamaan amal).
Pendapat yang mengatakan bahwa hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadha’ilul a’mal ini pun merupakan suatu pendapat yang bertolak belakang antara awal dan akhirnya. Mari kita lihat, ketika kita mengamalkan hadits-hadits dhaif dalam fadha’ilul a’mal, apakah amalan kita itu berdasarkan hadits-hadits dhaif tersebut? Atau berdasarkan hadits lain?
Kalau jawabannya berdasarkan hadits dhaif, berarti kita menetapkan suatu hukum berdsarkan hadits dhaif. Padahal menetapkan suatu hukum berdasarkan hadits-hadits dhaif ditentang oleh orang yang membolehkan mengamalkan hadits dhaif dalam fadha’ilul a’mal. Sedangkan jika jawabannya “berdasarkan hadits yang shahih” maka buat apa kita membawa hadits-hadits yang dhaif tadi? Sebab ada atau tidaknya hadits-hadits yang dhaif adalah sama saja, sama sekali tidak ada pengaruhnya. Amal itu hanya akan berdasarkan kepada hadits yang shahih.
Oleh karena itu, kalimat “hadits dhaif diamalkan dalam fadha’ilul a’mal” tidak memberi faidah sedikit pun, karena kritik ilmiah dalam hadits menerangkan bahwa kalimat ini secara mutlak tidak mungkin untuk dapat dianut selamanya.
Sumber: Fatwa-fatwa Syekh Nashiruddin Al-Albani, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Media Hidayah, 1425 H — 2004 M.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Pertanyaan:
Sebagian keju yang diproduksi oleh negara-negara Kristen mencantumkan bahwa bahan dasar dari keju ini diambil dari lambung sapi. Apakah keju ini menjadi haram jika diduga kuat bahwa sapi tersebut tidak disembelih dengan cara Islam, karena mengikuti hukum bahan dasarnya (lambung dari sapi yang tidak disembelih dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat)?

Jawaban:
Tidak, karena para sahabat pernah mengalami hal yang sama, yaitu ketika memakan keju yang diimpor dari negeri Persia.
Tentu saja, hukum asal dari bahan dasar yang diambil dari lambung sapi yang tidak disembelih dengan cara Islami ini adalah najis dan haram, dan di sini tidak ada bedanya apakah hewan tersebut disembelih dengan cara Islam kemudian menjadi halal dengan hewan yang disembelih tidak dengan cara Islam kemudian menjadi haram.
Apa yang dicontohkan oleh para sahabat yang memakan keju impor dari negara Persia merupakan contoh kasus dalam fikih yang jarang dibahas orang.
Perhatikan! Bahan dasar yang hukumnya najis ini, dalam proses pembuatan keju dimasukkan atau dicampur ke dalam susu yang jumlahnya sangat besar. Bayangkan air hujan yang thahir (suci) yang turun dari langit, lalu ditampung dalam bejana yang sangat besar kemudian tercemari sedikit najis. Bolehkah kita meminum dan bersuci dari air hujan ini? Jawabannya: tentu saja boleh, karena najis yang jumlahnya sedikit itu tidak sanggup mengotori air hujan yang jumlahnya sangat banyak tersebut, sehingga sifat air hujan tersebut tetap suci dan menyucikan seperti sifatnya semula. Maka demikian pula dengan susu tersebut, ia suci dan boleh diminum.
Seandainya susu yang telah dicampur dengan bahan dasar tadi berubah menjadi keju, maka dalam hal ini saya sama sekali tidak dapat memberikan suatu pendapat. Akan tetapi, jika ada sebagian ahli kimia yang meneliti bahwa bahan dasar yang hukumnya najis tadi setelah menjadi keju akan berubah menjadi senyawa lain, maka masalah ini menjadi lebih mudah (ia menjadi halal –pent.).
Namun, jika setelah diteliti ternyata bahan dasar tadi tidak berubah ke materi lain, tetap seperti itu, hanya saja substansinya amat kecil jika dibandingkan dengan jumlah susu yang telah berubah menjadi keju, maka jawabnya adalah sebagaimana yang baru saja disebutkan (ia menjadi halal –pent.).
Perubahan materi sangat berpotensi merubah hukum-hukum syar’i, dan perubahan materi termasuk sesuatu yang bisa menyucikan benda-benda yang najis dalam syariat Islam.
Khamar diharamkan karena memabukkan, tapi jika khamar tersebut mengalami perubahan dan menjadi cuka, maka cuka tersebut tidak lagi memabukkan dan hukumnya pun menjadi halal. Jadi, cuka ini boleh diminum karena tidak memabukkan dan tidak pula najis.
Sumber: Fatwa-fatwa Syekh Nashiruddin Al-Albani, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Media Hidayah, 1425 H — 2004 M.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,
Ustadz yang dirahmati Allah, saya mohon solusi. Saya seorang akhwat yang baru saja menikah dengan seorang ikhwan, belum ada 4 bulan. Kami menikah lewat proses ta’aruf singkat. Namun sebelumnya kami sama-sama punya masa lalu yang kelam, yang ternyata berakibat pada ketidaknyamanan dalam rumah tangga yang sedang kami bangun. Saya tahu bagaimana masa lalu suami saya, dulu dia pernah menjalin hubungan dekat dengan seorang akhwat sekitar 2 tahun lebih, hingga dia mengakhiri hubungannya karena ta’aruf dengan saya. Namun, saya tidak tahu detail masa lalunya dan saya memang tidak ingin tahu. Saya pikir itu semua sudah berlalu dan dilupakan. Tapi, sepertinya suami saya masih terbebani dengan masa lalunya itu Ustadz. Sebenarnya, di sisi lain, saya juga punya masa lalu yang lebih kelam dari suami. Saya pernah berbuat dosa besar dengan pacar saya, namun saya sudah benar-benar insyaf dan berubah.

Alhamdulillah sejak itu, rasanya Allah bukakan pintu-pintu kebaikan untuk saya, termasuk lewat pernikahan ini. Hampir setiap usai shalat, saya sering menangis menyesali dosa-dosa masa lalu saya. Dan saya tidak pernah bercerita masa lalu kelam saya pada suami. Saya lebih memilih diam daripada berbohong, meski sebenarnya saya seorang yang extrovert. Sedangkan suami tipe introvert, sehingga setiap masalah dia pendam sendiri. Saya sedih karena suami masih merasa terbebani dengan masa lalunya. Sehingga dia belum bisa menjalankan peran seorang suami dengan semestinya. Dia kurang perhatian dengan saya dan belum bisa mencintai saya sepenuhnya. Dia merasa telah menzhalimi saya. Lantas apakah saya juga termasuk menzhalimi suami, karena saya menutupi aib masa lalu saya?Di usia pernikahan kami yang masih sangat muda ini, saya mengharapkan kebahagiaan, namun malah ketidakharmonisan yang terjadi. Komunikasi juga tidak lancar. Dan sekarang, kami sedang tinggal berjauhan karena suami punya urusan di luar kota. Apa yang harus kami lakukan agar hubungan kami bisa harmonis? Apakah saya harus bercerita juga tentang masa lalu kelam saya? Saya mohon doa dan solusinya segera Ustadz. Syukran, jazakumullah. Wassalamu ‘alaikum.
Hamba Allah
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Saudariku yang saya hormati, di antara hikmah dari penciptaan manusia di muka bumi ini -selain untuk beribadah hanya kepada Allah saja tanpa mempersekutukannya dengan sesuatu apapun- adalah untuk saling mengenal di antara mereka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Wahai sekalian manusia sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” ( al-Hujurat : 13 ).
Berdasarkan ayat ini, ta’aruf (saling mengenal) di antara manusia sangatlah dianjurkan oleh Allah, hal ini memiliki faidah yang sangat banyak, di antaranya untuk menjalin persaudaraan di antara mereka dan dengannya mereka dapat saling tolong-menolong dalam kehidupan sosial bermasyarakat, dan lain-lain. Dan tujuan dari ta’aruf di sini bukanlah untuk hal-hal yang sifatnya negatif, sehingga bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran syariat -seperti yang dilakukan oleh sebagian pemuda sekarang-.
Adapun jika ta’aruf ini dilakukan oleh dua insan dan keduanya telah memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengikat tali pernikahan serta sudah siap untuk menerima kehadiran orang baru dalam kehidupannya, -tidak hanya kesiapan lahirnya saja akan tetapi juga kesiapan batin untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangan masing-masing demi terwujudnya sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah- maka hal ini lebih dianjurkan lagi. Allah – ta’ala – berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (ar-Ruum : 21).
Sedangkan proses untuk mengetahui karakter dan pribadi pasangan masing-masing secara detail dan lebih dalam lagi, itu dibutuhkan waktu yang cukup lama, tidak hanya sehari dua hari atau sepekan dua pekan, akan tetapi dibutuhkan waktu bertahun-tahun dengan cara tinggal bersamanya selama itu. Jadi, kalau pun seseorang sudah mempunyai hubungan dengan lawan jenisnya selama beberapa tahun tanpa ikatan pernikahan (pacaran), -dan ini merupakan sebuah kemaksiatan yang selayaknya dihindari oleh setiap muslim- maka tidak ada jaminan bagi keduanya untuk mendapatkan kebahagiaan yang mereka idam-idamkan setelah pernikahan mereka berlangsung.
Betapa banyak kita lihat di luar sana orang-orang yang mempunyai hubungan dengan lawan jenisnya tanpa ikatan pernikahan (pacaran) dalam waktu yang lama, akan tetapi pada akhirnya banyak juga di antara mereka yang gagal dalam membina rumah tangga setelah melangsungkan pernikahan itu, wal ‘iyaadzu billah… Sebaliknya, tidak sedikit di antara mereka yang melakukan ta’aruf singkat walaupun sehari atau dua hari saja, kemudian disusul dengan pernikahan antara keduanya, nyatanya pernikahan mereka langgeng sampai akhir hayat. Jadi, dalam usia pernikahan Ukhtiyang baru 4 bulan ini, masih dibutuhkan banyak kesabaran dalam mempelajari dan memahami karakter pasangan, di antaranya dengan memperbanyak komunikasi dengannya, meluangkan waktu untuk berdua baik di dalam rumah maupun di luar rumah -walaupun hanya jalan-jalan dan rekreasi ringan-.
Saudariku, setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan di masa lalunya, yang mana kesalahannya ini menjadi lembaran hitam yang pernah mewarnai hidupnya. Namun beruntunglah orang-orang yang mau bertaubat, karena ampunan Allah sangatlah luas hingga meliputi seluruh hambanya yang mau bertaubat kepada-Nya dan mau memperbaiki ke salahan dimasa lalunya. Alhamdulillah, Ukhti telah menyadari dan menyesali kesalahan yang dulu pernah terjadi, semoga Allah melimpahkan segenap ampunan kepada Ukhti dan memberikan taufik untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan itu.
Kalaupun suami Ukhti masih merasa terbebani dengan masa lalunya, yakinkanlah dengan tutur kata yang lembut, sikap yang santun dan penuh perhatian kepadanya bahwa Ukhti sudah bisa menerima masa lalunya itu. Semoga dengan begitu, dapat merangsang tumbuhnya rasa cinta dari hati sang suami, sehingga dia bisa lebih perhatian lagi kepada Ukhti. Kalau sudah demikian, maka akan lebih mudah baginya untuk menjalankan perannya sebagai suami yang ideal bagi keluarganya. Untuk itu, saya anjurkan kepada kalian berdua agar tidak mengungkit-ungkit masa lalu kalian dan berusahalah untuk menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing demi untuk membina hubungan yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Kemudian, saya anjurkan untuk tidak mencari-cari kesalahan pasangan, terutama di saat munculnya konflik dalam rumah tangga (terlebih lagi dalam keadaan emosi). Bicarakanlah setiap permasalahan dengan kepala dingin dan bermusyawarahlah dengan cara yang baik, sehingga tercapai sebuah solusi yang cemerlang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan bijak. Kalaupun cara itu belum berhaasil, maka berziarahlah kepada salah seorang ustadz guna meminta saran dan nasihat dari beliau untuk mencari solusi yang lebih baik.
Adapun lembaran hitam yang pernah mewarnai kehidupan Ukhti sebelum menikah, tidak perlu diceritakan (dan ini bukan merupakan bentuk kezhaliman). Begitu pula sebaliknya, Ukhti tidak perlu menanyakan atau menyinggung kembali sisi gelap yang pernah dilalui oleh sang suami, karena hal itu bisa memicu keretakan hubungan rumah tangga kalian berdua. Lebih baik, pilihlah materi-materi pembicaraan yang sifatnya santai seperti : bercanda ringan, atau yang bisa mendatangkan maslahat di hari esok.
Komunikasi yang baik antara pasutri adalah salah satu kunci kebahagiaan dan keharmonisan dalam membina rumah tangga. Didukung lagi dengan adanya kejujuran, pengertian, keterbukaan, dan mau bermusyawarah dalam setiap permasalahan yang perlu dimusyawarahkan -walaupun membicarakan hal-hal yang kecil sekalipun- serta adanya sikap lapang dada dalam menerima nasihat, saran, dan kritik dari pasangan. Adapun jarak yang berjauhan sekarang ini, seharusnya tidak menghalangi komunikasi dan saling memberikan perhatian antara kalian berdua, terlebih lagi didukung dengan adanya alat komunikasi yang sangat canggih di zaman ini, di antaranya melalui telepon, HP, internet, dll. Saya sarankan kepada Ukhti agar sebisa mungkin tetap menjaga komunikasi yang baik dengan suami dan berikanlah perhatian yang lebih kepadanya, apalagi dalam kondisi-kondisi seperti sekarang ini agar sang suami tidak merasa jenuh dan kesepian.
Mulailah memperbaiki hubungan dengannya sedini mungkin, walaupun harus diawali dengan komunikasi jarak jauh. Dan kalaupun ada berita tentang kepulangannya dari luar kota, persiapkan diri untuk menyambutnya dengan berdandan dan berbusana sebagus mungkin. Selain itu, siapkan peralatan dan kebutuhannya setelah safar dan berikan pelayanan kepadanya sebaik mungkin, misalnya menyediakan air hangat untuk mandi juga menyiapkan makanan dan minuman yang disukai. Dan yang lebih penting dari itu, tetap jagalah komunikasi yang baik dengannya di sela-sela pelayanan Ukhti kepadanya, agar komunikasi yang sudah mulai dirajut dengan baik sebelumnya akan bertambah erat.
Kemudian saya ingatkan sekali lagi, janganlah Ukhti membuka lembaran-lembaran hitam yang pernah Ukhti alami atau mengungkit-ungkit kembali masa lalu yang kelam tersebut -apalagi masa lalu sang suami-. Kuburlah hal itu dalam-dalam, semoga taubat Ukhti dan suami nanti bisa menghapus dosa dan kesalahan kalian berdua di masa lampau, dan semoga Allah selalu menurunkan rahmat dan hidayah-Nya kepada keluarga Ukhti serta mengumpulkan kita semua di dalam surga-Nya. Amiin…Wallahu a’lam bisshawab. (Ustadz Abu Abdil Aziz As-Solowy)
Rubrik Konsultasi Keluarga, Majalah Nikah Sakinah, Vol. 9, No. 10, Januari 2011


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA
ahmadiyah
Telah menjadi keyakinan yang asasi dalam Islam, bahwa Muhammad bin Abdillah adalah nabi sekaligus rasul terakhir. Maka sebagai bagian dari prinsip keimanan, tak ada tawar-menawar dalam perkara ini. Tidak ada pula kemungkinan bagi datangnya “kebenaran baru”, sebagaimana diistilahkan para pembela ajaran nabi palsu.
Merupakan aqidah yang paten, keyakinan yang kokoh melebihi kekokohan gunung-gunung yang tinggi menjulang, bahwa kenabian dan kerasulan telah ditutup dengan kenabian dan kerasulan Nabi kita Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muthalib Al-Hasyimi (dari Bani Hasyim) Al-Qurasyi (dari Quraisy) Al-Arabi (dari bangsa Arab), sehingga dialah Nabi dan Rasul terakhir.
Keyakinan demikian merupakan penegasan dari atas tujuh langit, dari Allah Rabb semesta alam, Yang menguasai kerajaan langit dan bumi serta dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)
Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan:
“Ini merupakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terbesar atas umat ini, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka. Sehingga mereka tidak lagi membutuhkan agama selain agama mereka. Tidak butuh pula kepada nabi selain Nabi mereka. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai penutup para Nabi serta Allah Subhanahu wa Ta’ala utus dia kepada manusia dan jin.

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
(خَاتَمَ النَّبِيِّينَ) artinya adalah penutup para Nabi. Demikian disebutkan oleh para mufassir -baik dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah maupun selainnya- seperti ditegaskan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya, Al-Qurthubi, Al-Baghawi, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Al-Khazin, An-Nasafi, Fakhruddin Ar-Razi, Az-Zamakhsyari, dan kalangan ahli tafsir selain mereka rahimahumullah. Tidak ada yang menyelisihi mereka kecuali orang-orang belakangan, dan yang tidak memahami bahasa Arab yang dengan bahasa ini Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan Al-Qur`an.
Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan:
“Ayat ini merupakan penegasan bahwa tiada nabi setelahnya. Dan bila tiada Nabi setelahnya, tentu lebih-lebih tiada rasul (setelahnya)… Dengan itulah datang keterangan berupa hadits-hadits yang mutawatir dari rasul.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 3/501)
Ya, Nabi kita yang mulia yang tidak berbicara dari hawa nafsunya melainkan dari wahyu yang diwahyukan kepadanya. Dialah ash-shadiqul mashduq, yang jujur lagi dibenarkan. Beliau telah menegaskan dalam hadits yang cukup banyak jumlahnya, bahkan sampai derajat mutawatir –sebagaimana penegasan Ibnu Katsir rahimahullahu di atas– bahwa kerasulan dan kenabian telah ditutup dengan kenabian dan kerasulan beliau. Sehingga beliaulah Nabi dan Rasul yang terakhir, tiada nabi dan rasul setelahnya.
Berikut ini sebagian hadits tersebut:
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِابْنِ مَرْيَمَ، الْأَنْبِيَاءُ أَوْلادُ عَلَّاتٍ وَلَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ نَبِيٌّ. قَالَ: فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَثَلِي وَمَثَلُ الْأَنْبِيَاءِ كَمَثَلِ قَصْرٍ أُحْسِنَ بُنْيَانُهُ وَتُرِكَ مِنْهُ مَوْضِعُ لَبِنَةٍ فَطَافَ بِهِ نُظَّارٌ فَتَعَجَّبُوا مِنْ حُسْنِ بُنْيَانِهِ إِِلاَّ مَوْضِعَ تِلْكَ اللَّبِنَةِ لاَ يَعِيبُونَ غَيْرَهَا فَكُنْتُ أَنَا مَوْضِعَ تِلْكَ اللَّبِنَةِ خُتِمَ بِيَ الرُّسُلُ

“Aku adalah orang yang paling dekat dengan Ibnu Maryam. Para Nabi itu adalah anak-anak seibu, dan tidak ada nabi antara aku dan dia.” Kemudian Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan aku dengan para Nabi yang lain adalah bagaikan sebuah istana yang bangunannya diperindah lalu dibiarkan dari bangunan itu satu tempat untuk satu batu bata. Maka orang-orang yang memandangnya berkeliling sehingga merekapun terheran -heran dengan keindahan bangunannya, kecuali satu tempat batu bata tersebut. Mereka tidak mencacat selainnya. Maka akulah yang menduduki tempat batu bata tersebut, ditutup denganku para Rasul.” (HR. Ibnu Hibban, bab Dzikru Tamtsilil Mushthafa ma’al Anbiya` bil Qashril Mabni, 14/361)
Dalam lafadz Al-Bukhari dan Muslim (وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ) “Dan aku adalah penutup para Nabi.” (HR. Al-Bukhari Kitabul Manaqib, Bab Khataminnabiyyin; Muslim Kitabul Fadha`il, Bab Dzikru Kaunihi Khatamannabiyyin)
2. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ…

“Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi wafat maka diganti oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada Nabi setelahku, yang ada adalah para khalifah dan mereka semakin banyak….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Anbiya`, Bab Ma Dzukira ‘an Bani Isra`il, no. 3268; Muslim Kitabul Imarah Bab Wujubul Wafa` bi Bai’atil Khulafa` Al-Awwal fal Awwal)
3. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدِ انْقَطَعَتْ فَلَا رَسُولَ بَعْدِي وَلَا نَبِيَّ

“Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus sehingga tidak ada Rasul sepeninggalku dan tidak ada Nabi.” (HR. At-Tirmidzi 4/533 no. 2272, beliau berkata: “Hasan Shahih,” Kitab Ar-Ru`ya, Bab Dzahabatin Nubuwwah wa Baqiyat Al-Mubasyirat; Ahmad 3/267, Al-Hakim 4/433, beliau mengatakan: “Sanadnya shahih menurut syarat Muslim.”)
4. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فُضِّلْتُ عَلىَ الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ؛ أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْـخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ

“Aku diberi kelebihan atas para nabi dengan enam perkara, aku diberi jawami’ al-kalim (perkataan yang ringkas namun padat), aku diberi kemenangan dengan rasa takut dalam diri musuh, dihalalkan untukku rampasan perang, dijadikannya tanah untukku sebagai alat bersuci dan tempat shalat, serta aku diutus kepada makhluk seluruhnya, dan para nabi ditutup denganku.” (Shahih, HR. Muslim Kitabul Masajid wa Mawadhi’ Ash-Shalah)
Demikian beberapa hadits dari Nabi kita Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan masih terdapat banyak lagi hadits yang lain.
Para sahabat Nabi, orang-orang yang ridha terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Subhanahu wa Ta’ala-pun ridha terhadap mereka, juga bersepakat bahwa kenabian dan kerasulan telah ditutup dengan kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mereka serentak memerangi Musailamah Al-Kadzdzab dan nabi-nabi palsu yang lain di masa mereka.
Sehingga para ulama pun berjalan di atas jalur ini. Jalur keselamatan yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya, dan yang para sahabat beliau berjalan mengikutinya.
Berikut adalah beberapa kutipan pernyataan dari ulama tersebut:
# Seseorang mengaku nabi di masa Al-Imam Abu Hanifah rahimahullahu (wafat 150 H) dan mengatakan, ‘Beri aku waktu sehingga aku akan mendatangkan tanda-tandanya.” Maka Al-Imam Abu Hanifah rahimahullahu berkata: “Barangsiapa meminta tanda dari orang itu maka dia telah kafir, berdasarkan sabda Nabi: ‘Tiada Nabi setelahku’.”
# Ath-Thahawi rahimahullahu (wafat 321 H) berkata dalam bukunya Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah: “Dan bahwa beliau (Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah penutup para Nabi, imam orang-orang yang bertaqwa, pemimpin para Rasul, kekasih Rabbul alamin. Dan seluruh pengakuan kenabian setelahnya adalah kesesatan dan hawa nafsu.”
# Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullahu (wafat 456 H) berkata: “Sesungguhnya wahyu telah terputus semenjak wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai bukti akan hal itu adalah bahwa wahyu tidak diberikan kecuali kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40) [Al-Muhalla, 1/26]
# Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengakui adanya kenabian pada seseorang bersamaan dengan Nabi kita atau setelahnya, semacam kelompok ‘Isawiyyah dari kalangan Yahudi yang menganggap bahwa kerasulan Muhammad hanya kepada orang Arab, atau seperti kelompok Al-Khurramiyyah yang beranggapan bahwa para rasul itu terus berkesinambungan, maka mereka semuanya itu adalah kafir, tidak memercayai Nabi (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ia adalah penutup para Nabi dan tiada Nabi setelahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dan bahwa ia diutus kepada manusia seluruhnya. Umat pun bersepakat (ijma’) bahwa pernyataan ini dipahami apa adanya, dan apa yang terpahami darinya itulah yang dimaukan, tanpa perlu diselewengkan atau di-takhshish. Maka tidak diragukan akan kafirnya mereka secara pasti, dengan kekafiran yang disepakati dan berdasarkan dalil.” (Asy-Syifa`)
# Ulama-ulama besar di India pada abad 12 H menuangkan dalam fatwa mereka: “Bila seseorang tidak mengetahui bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai akhir para Nabi maka dia bukan seorang muslim. Seandainya dia mengatakan ‘Aku adalah rasul Allah’ atau dengan bahasa Persia (yang artinya) ‘Aku adalah Nabi’, dan ia maksudkan ‘Aku datang dengan kerasulan’ maka dia kafir.” (Al-Fatawa Al-Alamkiriyyah, 2/263)
Penyelewengan Ahmadiyah terhadap Makna Ayat
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang shahih bahkan mutawatir demikian tegas dan secara pasti menunjukkan bahwa tiada Nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun demikian, orang-orang Ahmadiyah tetap berusaha menakwilkan, menyelewengkan dari makna aslinya, agar dapat menemukan celah bagi mereka untuk melegitimasi aqidah sesat mereka, sehingga dengan mudah dapat mengelabui masyarakat awam. Di antara bentuk penyelewengan makna ayat adalah:
1. Mereka mengartikan (خَاتَمَ النَّبِيِّينَ) yang berarti penutup atau akhir para Nabi dengan makna (أَفْضَلُ النَّبِيِّينَ) yang paling utama dari para Nabi.
2. Atau mengartikannya dengan mahar para Nabi.
3. Kata (النَّبِيِّينَ) yang berarti para Nabi yakni seluruhnya, mereka artikan dengan sebagian para Nabi.
Dengan penyelewengan makna ayat tersebut, tentu ayat tersebut bukan lagi merupakan nash yang tidak menerima tawar-menawar dalam hal berakhirnya kenabian dan kerasulan dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Untuk itu sangat perlu dilakukan pencerahan, agar manipulasi makna ayat tersebut terkuak, sehingga ayat tetap diartikan dengan makna yang sesungguhnya.
Adapun penyelewengan yang pertama, yaitu pengartian (خَاتَمُ النَّبِيِّينَ) dengan arti yang paling utama dari para nabi. Perlu diketahui bahwa pengartian tersebut sama sekali tidak didukung oleh bahasa Arab yang Al-Qur`an turun dengannya. Di mana tidak satupun para pakar bahasa Arab dan para ahli tafsir yang mengartikannya semacam pengartian mereka. Sebagai contoh:
# Dalam Majma’ Biharil Anwar, penulisnya Muhammad bin Thahir Al-Hindi mengatakan: Al-Khatim (dengan kasrah huruf ta’) dan Al-Khatam (dengan fathah huruf ta’) keduanya adalah termasuk Nama Nabi (Muhammad bin Abdillah). Yang dengan fathah berarti isim (artinya, yang terakhir dari para Nabi). Adapun yang dengan kasrah berarti isim fa’il (artinya, yang mengakhiri para nabi).
# Az-Zabidi dalam kamus Tajul ‘Arus mengatakan: “Di antara nama-nama Nabi adalah Al-Khatim dan Al-Khatam, artinya yang menutup kenabian dengan kedatangannya.”
# Ibnu Faris mengatakan: “(Kata kerja) Kha-ta-ma, artinya mencapai akhir sesuatu. Dan Nabi itu (disebut) Khatimul anbiya, karena beliau adalah akhir para Nabi.”
Penjelasan semakna disebutkan juga oleh ahli bahasa yang lain, semisal Raghib Al-Ashfahani, Al-Jauhari, Abul Baqa’, dan Al-Fairuzabadi.
Seorang ulama Pakistan terkemuka, Prof. Ihsan Ilahi Zhahir mengatakan setelah menukilkan ucapan para ahli bahasa tersebut: “Inilah yang dikatakan para imam dalam bahasa Arab, orang-orang yang ahli di bidangnya. Kami nukilkan dari kamus-kamus yang terpenting dalam bahasa Arab, dan masing-masing menyebutkan bahwa makna khatam adalah akhir. Sehingga saya tidak mengerti bagaimana orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab sedikitpun menganggap bahwa makna Khatam bukanlah akhir, namun maknanya adalah yang paling utama. Kemudian dengan makna (penutup) ini juga para imam tafsir menafsirkannya.”
Lalu beliau mengutip tafsir mereka, yang telah kami sebut nama-nama sebagian mereka pada halaman yang telah lewat.
Di samping penafsiran ala Ahmadiyah tersebut tidak sejalan dengan bahasa Arab, tentu juga tidak sesuai dengan kandungan ayat Al-Qur`an yang lain serta tidak sesuai dengan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mutawatir, serta menyelisihi ijma’ para sahabat dan para imam setelah mereka.
Adapun penyelewengan yang kedua, di mana Khatam diartikan mahar, mahar para nabi. Menurut mereka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi mahar kepada orang-orang, yang dengan mahar itu seseorang bisa menjadi nabi.
Tentang hal ini Asy-Syaikh Prof. Ihsan Ilahi Zhahir mengatakan: “Tidak lain ini adalah omongan rendahan, (pengartian yang) tidak dikenali oleh orang Arab… Tidak pernah didengar oleh bangsa Arab dan tidak didapati dalam bahasa-bahasa mereka, bahkan sampaipun dalam bahasa-bahasa lain.”
Adapun penyelewengan yang ketiga, yakni ‘para nabi’ diartikan oleh mereka dengan ‘sebagian para nabi’ sehingga arti ayat tersebut menjadi ‘penutup sebagian dari para nabi’, yakni nabi yang memiliki syariat tersendiri (ash-habusy-syari’ah). Yang mereka maukan adalah Nabi yang tidak memiliki syariat tersendiri, namun menginduk kepada Nabi yang sebelumnya (Nabiyyun Muttabi’). Kesempatan munculnya Nabi yang seperti ini belum ditutup, bahkan masih terbuka.
Menanggapi syubhat ini, Asy-Syaikh Prof. Ihsan Ilahi Zhahir mengatakan: “Ucapan mereka bahwa yang dimaksud dengan kata ‘para Nabi’ (dalam ayat) adalah para Nabi yang memiliki syariat tersendiri, adalah ucapan yang batil, tidak berdasarkan dalil. Karena (pada ayat tersebut) Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membedakan antara para Nabi yang membawa syariat tersendiri dengan yang tidak membawa syariat tersendiri. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya mengatakan ‘Nabiyyin’ artinya ‘para Nabi’ dengan bentuk kata yang umum dan mutlak. Dan yang dikenal dalam ilmu ushul bahwa sebuah kata dalam bentuk yang umum maka berlaku sesuai keumumannya, dan yang dalam bentuk mutlak maka berlaku sesuai kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkan atau mengikatnya. Dan dalam hal ini tidak terdapat suatu indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam ayat adalah nabi-nabi tertentu. Berbeda dengan nash-nash shahih yang justru menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah kenabian secara umum, sebagaimana yang telah lewat.
Andaipun ayat dipahami menurut versi mereka yakni dalam tafsir yang menyeleweng, yakni ‘penutup nabi-nabi yang membawa syariat tersendiri’, pada kenyataannya mereka tetap menyalahinya. Karena Mirza Ghulam Ahmad mengaku bahwa dirinya adalah Shahibusy-syari’ah, pemilik syariat tersendiri sebagaimana dalam buku Arba’in karya Ghulam no. 4 hal. 7.” (dinukil dari Al-Qadiyaniyyah wa ‘Aqa`iduha, hal. 337)
Walaupun di saat yang lain ia juga mengaku bahwa dirinya hanya menginduk kepada syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat pembahasan: Sekilas Tentang Sejarah Munculnya Ahmadiyah)
Ya, begitulah. Plin-plan, bahkan dusta. Karena kenyataannya ajaran yang Mirza Ghulam Ahmad bawa sangat bertolak belakang dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal yang semacam ini menjadi ciri khas nabi palsu. Wallahu a’lam.
http://bimbinganislami.wordpress.com/


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII)

Eksistensi seorang penguasa memiliki urgensi tersendiri. Masyarakat (rakyat) berhajat pada sosok yang memiliki kemampuan dalam mengkoordinasikan laju roda kehidupannya. Dari masyarakat (mujtama’) yang sederhana sampai tingkat yang luas, tidak bisa berjalan tanpa adanya pimpinan.
Penguasa menjadi tumpuan dan titian rakyatnya dalam menciptakan rasa aman dan kesejahteraan sosial. Itu semua akan terwujud ketika pemegang pemerintahan adalah orang yang adil, punya skill manajerial yang handal, dan juga kebijakan yang cerdas. Sehingga tujuan utamanya, adalah bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat yang dipimpinnya.
Namun yang sering terjadi adalah fenomena yang memprihatinkan. Ketika penguasa (rejim) yang memerintah berbuat semana-mena terhadap rakyatnya. Rakyat bak lelaki yang menepuk sebelah tangan ketika pinangan ditolak pihak wanita. Mata menerawang kosong, hati kecewa, harapan tinggal mimpi.
Ketika kezhaliman penguasa membabi buta, kekacauan menyebar dengan cepat. Perampokan, pencurian, penjarahan, pemerkosaan menjadi menu halaman media massa.
Dilain pihak penguasa sibuk dengan kepentingan pribadinya. Mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam upaya memadamkan rival-rival politiknya. Rakyat menjerit, apa salah kami, rintihnya! Kenapa pimpinan kami begitu kejam terhadap rakyat? Mengapa? Mengapa mereka cuek dengan konflik-konflik dan krisis-krisis yang memcekik rakyat?
Marilah kita renungkan firman Allâh Ta'ala :
(Qs. al-An’âm/6 : 129)
"Dan demikianlah,
Kami jadikan penguasa zhalim bagi sebagian yang lain,
karena apa yang mereka usahakan."
(Qs. al-An’âm/6 : 129)

Pada ayat di atas, Allâh Ta'ala mengabarkan bahwa Dia membalas orang-orang yang berbuat kezhaliman (aniaya) dengan cara menempatkan sosok yang zhalim menjadi pimpinan mereka.
Qatâdah rahimahullâh berkata,
”Allâh Ta'ala menempatkan manusia berdasar amalannya. Pezina dipuji orang yang berzina dimanapun berada. Demikian juga orang kafir menjadi wali bagi jenisnya. (Makna ayat: Allâh Ta'ala membalas orang zhalim dengan menempatkan orang zhalim atas mereka, melenyapkan mereka dengan golongannya, membalas mereka dengan orang-orang sejenisnya sebagai balasan kezhaliman dan kebengisan yang mereka lakukan).
Kezhaliman yang dilakukan masyarakat kita terlalu beragam (termasuk kita). Kezhaliman terhadap Allâh Ta'ala dengan berbuat syirik, menyepelekan keputusan Rasul-Nya dalam menganalisa inti permasalahan. Zhalim terhadap tetangga (manusia), binatang dan alam semesta. Terlalu banyak untuk dibilang satu per satu.
Karena itu, perlu kita perbaiki diri ini dulu. Jangan cepat mengkambing-hitamkan orang lain. Tuduh diri kita dulu. Introspeksi dengan teliti, pasti akan didapati ternyata kita jauh dari ajaran Islam, dekat dengan kezhaliman.
Kiranya kita perlu mendengarkan nasihat dari seorang ulama abad VIII yang bernama Imam Ibnu Abil Izzi rahimahullâh:
“Kalau rakyat ingin lepas dari kelaliman penguasa yang zhalim,
hendaklah mereka melepaskan (diri) dari (tindakan) kezhaliman terlebih dahulu.”
(Syarah al-’Aqîdah ath-Thahâwiyyah hlm. 381)
sumber:http://majalah-assunnah.com


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Quantcast

Kajian Islam Tuban: “Bahayanya Pluralisme (penyatuan Agama)” oleh Ust. Ahmad Sabiq


Pamflet kajian
Denah Lokasi
sumber:http://maramissetiawan.wordpress.com/2011/02/24/kajian-islam-tuban-bahayanya-pluralisme-penyatuan-agama-oleh-ust-ahmad-sabiq/


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA
ahmadiyah
Firqah Ahmadiyah memiliki aqidah yang sangat bertolak belakang dengan aqidah kaum muslimin pada umumnya, sehingga mestinya mereka tidak boleh menamakan diri mereka dengan muslimin. Semestinya juga mereka tidak menamakan tempat ibadah mereka dengan masjid. Kami akan sebutkan beberapa contoh aqidah yang sangat menonjol pada mereka diantaranya:
1. Meyakini bahwa mereka memiliki sesembahan yang memiliki sifat-sifat manusia, seperti puasa, shalat, tidur, bangun, salah, benar, menulis, menandatangani, bahkan bersenggama dan melahirkan.
Seorang pemeluk Ahmadiyah bernama Yar Muhammad mengatakan: “Bahwa Al-Masih Al-Mau’ud (yakni Ghulam Ahmad) suatu saat pernah menerangkan tentang keadaannya: ‘Bahwa dia melihat dirinya seolah-olah seorang wanita, dan bahwa Allah memperlihatkan kepada dirinya kekuatan kejantanannya’.” (Dhahiyyatul Islam karya Yar Muhammad hal. 34)
Na’udzubillah (kita berlindung kepada Allah). Maha Suci sesembahan kaum muslimin dari sifat semacam itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Asy-Syura ayat 11:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidaklah serupa dengan-Nya sesuatupun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Yang mereka sifati itu adalah sesembahan mereka, bukan sesembahan muslimin.
2. Bahwa para Nabi dan para Rasul tetap diutus sampai hari kiamat, tidak tertutup dengan kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tentu hal ini menyelisihi Al-Qur`an, hadits yang mutawatir, dan ijma’ muslimin.
3. Bahwa Ghulam Ahmad adalah Nabi dan Rasul.
Hal ini telah terbukti kepalsuannya.
4. Bahwa Ghulam Ahmad lebih utama dari seluruh Nabi dan Rasul, termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
5. Bahwa wahyu turun kepada Ghulam Ahmad.
Wahyu hanyalah turun kepada Nabi yang sesungguhnya, dan itu telah terputus dengan Nabi Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat kembali penjelasan Ibnu Hazm rahimahullahu yang telah lewat.
6. Bahwa yang membawa wahyu kepadanya adalah malaikat Jibril ‘alaihissalam.
7. Bahwa dia memiliki agama yang terpisah dari seluruh agama, dan bahwa mereka memiliki syariat yang tersendiri. Umat mereka adalah umat yang baru, umat Ghulam Ahmad.
Atas dasar hal ini, semestinya mereka tidak menyandarkan diri mereka kepada Islam dan hendaknya dengan terang-terangan mereka memproklamirkan antipati mereka kepada Islam, serta tidak menyebut tempat ibadah mereka sebagai masjid.
8. Bahwa mereka memiliki kitab tersendiri yang kedudukannya menyerupai Al-Qur`an. Terdiri dari 20 juz, namanya adalah Al-Kitabul Mubin.
9. Bahwa Qadiyan seperti Makkah dan Madinah, bahkan lebih utama dari keduanya.
10. Bahwa haji mereka adalah dengan menghadiri muktamar tahunan di Qadiyan.
11. Menghapuskan syariat jihad fi sabilillah melawan orang-orang kafir.
Demi kelanggengan Tuhan mereka yang sesungguhnya yaitu para penjajah.
12. Menganggap kafir seluruh umat Islam, yakni selain mereka.
13. Mencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Isa ‘alaihissalam.
Di antara yang dia ucapkan tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Nabi (Muhammad) memiliki 3.000 mukjizat, namun mukjizatku melebihi 1.000.000 mukjizat.” (تحفة كولره:40 وتذكرة الشهادتين:41 karya Ghulam Ahmad)
Di antara ucapannya tentang Nabi Isa ‘alaihissalam adalah: “Sesungguhnya Isa adalah seorang pecandu khamr dan perilakunya jelek.” (حاشية ست بجن:172 karya Ghulam Ahmad)
Dia katakan juga: “Sesungguhnya Isa cenderung kepada para pelacur, karena nenek-neneknya dahulu adalah para pelacur.” (ضميمة انجام آثم، حاشية ص 7 karya Ghulam Ahmad)
Semua itu adalah tuduhan yang sama sekali tiada berbukti. Bahkan, siapa yang sesungguhnya pencandu khamr? Lihatlah kisah berikut ini. Ghulam menulis surat kepada salah seorang muridnya di Lahore agar mengirimkan kepadanya wine dan membelinya dari toko seseorang yang bernama Belowmer. Ketika Belowmer ditanya wine itu apa, ia menjawab: “Salah satu jenis yang sangat memabukkan dari jenis-jenis khamr yang diimpor dari Inggris dalam kemasan tertutup.” [1]
Persaksian semacam ini banyak dari pengikutnya, mereka sadari atau tidak. Majalah Ahmadiyah Al-Fadhl juga menyebutkan: “Sesungguhnya Al-Masih Al-Mau’ud Ghulam Ahmad adalah seorang nabi. Sehingga tidak mengapa baginya bila bercampur baur dengan wanita-wanita, menjamah mereka, memerintahkan mereka untuk memijit-mijit kedua tangan dan kakinya. Bahkan yang semacam ini menyebabkan pahala, rahmat, dan berkah.” (edisi 20 Maret 1928 M)
Adapun tentang Nabi ‘Isa ‘alaihissalam cukup bagi kaum muslimin firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ إِنَّمَا أَنَاْ رَسُوْلُ رَبِّكِ لأَهَبَ لَكِ غُلاَمًا زَكِيًّا
“Ia (Jibril) berkata (kepada Maryam): ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Rabbmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci’.” (Maryam: 19)
14. Mencela para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
15. Bahwa dia adalah Al-Masih Al-Mau’ud.
16. Bahwa dia adalah Al-Imam Mahdi.
Tentang dua hal terakhir, telah kami bantah dalam majalah Asy-Syari’ah edisi 33 tentang Imam Mahdi dan edisi 35 tentang Turunnya Nabi Isa.
Ahmadiyah Lahore
Sebagaimana diketahui, muncul perpecahan di tubuh Ahmadiyah, khususnya setelah kematian “Nabi” mereka Mirza Ghulam Ahmad. Muncul sebagai pecahan Ahmadiyah Qadiyan apa yang kemudian dikenal dengan Ahmadiyah Lahore.
Di Indonesia pun demikian. Ada yang mengikuti asalnya, sehingga di Indonesia ada yang disebut Jemaat Ahmadiyah Indonesia disingkat JAI yang berpusat di antaranya di Parung, Bogor, sebagai wujud dari Ahmadiyah Qadiyan. Ada juga Gerakan Ahmadiyah Indonesia disingkat GAI yang berpusat di Yogyakarta sebagai wujud dari Ahmadiyah Lahore. Sengaja kami membahas secara khusus Ahmadiyah Lahore ini walaupun dengan ringkas, karena gerakan ini menampakkan penampilan yang lebih ‘bersahabat’ dengan umumnya muslimin, yaitu dengan menampilkan bahwa mereka tidak meyakini Ghulam Ahmad sebagai Nabi, namun sekadar pembaru.
Untuk diketahui, pimpinan Ahmadiyah Lahore ini adalah Muhammad Ali. Dia belajar ilmu-ilmu sains dan memperoleh gelar magister, namun tidak mendapatkan pekerjaan. Akhirnya ia direkrut untuk menjadi pendamping Nabi palsu Ghulam Ahmad, sehingga dapat memperkokoh kenabiannya dengan adanya potensi menyebarkan kesesatan mereka di kalangan terpelajar. Untuk itu ia digaji oleh penjajah Inggris dengan gaji yang sangat tinggi ketika itu, lebih dari 200 Rupee. Padahal para petinggi negara saja kala itu gajinya tidak lebih dari 50 Rupee.
Mulailah ia bekerja dengan menjabat sebagai pemimpin redaksi salah satu majalah bulanan Ahmadiyah. Sepeninggal Ghulam Ahmad ia menjadi musyrif (direktur) majalah tersebut dan diserahkan kepadanya tugas penerjemahan makna Al-Qur`an ke bahasa Inggris, yang tentu disisipkan padanya penyelewengan-penyelewengan ala Ahmadiyah. Awalnya terjemahan ini dipimpin oleh khalifah Ghulam yang pertama yaitu Nuruddin. Disebutkan dalam majalah mereka Al-Fadhl, 2 Juni 1931 M, “Sesungguhnya hadhrat khalifah yang pertama bagi Al-Masih Al-Mau’ud (Ghulam Ahmad) dahulu mendiktekan penerjemahan makna-makna Al-Qur’an kepada Ustadz Muhammad Ali. Beliau (Muhammad Ali) mengemban pekerjaan tersebut dan mengambil gaji sebesar 200 Rupee perbulan.”
Dengan berjalannya waktu dan perkenalan yang semakin mendalam, terjadilah ketidakcocokan antara dia dengan Ghulam Ahmad, karena apa yang dia ketahui bahwa Ghulam Ahmad menumpuk harta umat untuk kepentingan pribadi dan tidak mengikutsertakannya dalam kekayaan tersebut. Sehingga Ghulam mengatakan: “Mereka menuduh kita makan harta haram. Apa hubungan mereka dengan harta ini? [2] Seandainya kita berpisah dengan mereka, mereka tidak akan mendapatkan harta walaupun satu qirsy.” [3]
Sepeninggal Ghulam Ahmad serta perebutan warisan berupa harta pemberian dari Inggris dan perolehan dari pengikutnya, penjajah Inggris hendak menciptakan trik baru untuk menjaring komunitas muslimin dalam jaring kesesatan. Mereka melihat jurus yang lalu kurang ampuh. Terlebih dengan tersingkapnya kenabian palsu Ghulam Ahmad oleh para ulama Islam, sehingga kaum muslimin pun waspada dari segala penipuannya. Penjajah Inggris pun khawatir bila usahanya lenyap bersama kelompok yang murtad ini. Sehingga mereka menunjuk pembantu kecilnya, Muhammad Ali, yang memimpin kelompok yang beroposisi dengan pewaris tahta Ghulam Ahmad demi kepentingan penjajah untuk membuat jamaah baru dan memproklamirkan bahwa Ghulam Ahmad tidak menyerukan kenabian dirinya, bahkan ia hanya menyerukan bahwa dirinya adalah pembaru agama Islam. Tujuan proklamasi ini adalah untuk menjerat muslimin yang belum terjerat dalam jaring Ghulam Ahmad karena menyadari kepalsuannya, agar dapat masuk dalam jaringnya secara perlahan. Atau paling tidaknya akan menjauh dari agama Islam dan ajaran-ajarannya, termasuk berjihad melawan penjajah.
Demikian proses kelahiran kelompok ini, yang pada hakikatnya bukan karena perbedaan aqidah dengan Ahmadiyah Qadiyan sebagaimana kesan yang terpublikasi. Semua itu terbukti dengan pernyataan-pernyataan yang termuat dalam surat kabar Ahmadiyah Lahore. Di antaranya: “Kami adalah pelayan-pelayan pertama untuk hadhrat Al-Masih Al-Mau’ud (Ghulam Ahmad). Dan kami beriman bahwa beliau adalah Rasulullah yang jujur yang benar, dan bahwa ia diutus untuk membimbing orang-orang di zaman ini serta memberikan hidayah kepada mereka, sebagaimana kami beriman bahwa tiada keselamatan kecuali dengan mengikutinya.” [4]
Bahkan Muhammad Ali sendiri menuliskan: “Kami meyakini bahwa Ghulam Ahmad adalah Al-Masih Al-Mau’ud dan Mahdi yang dijanjikan. Dia adalah Rasulullah dan Nabi-Nya. Allah tempatkan dia pada sebuah tempat dan kedudukan, sebagaimana ia terangkan sendiri (yakni lebih utama dari seluruh para Rasul, ed.), sebagaimana kami mengimani bahwa tiada keselamatan bagi yang tidak beriman.” [5]
Adapun ucapannya: “Sesungguhnya kami tidak meyakini bahwa Ghulam Ahmad itu Nabi Allah dan Rasul-Nya, bahkan kami meyakininya sebagai mujaddid (pembaru) dan muslih,” [6] maka Asy-Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir berkomentar: “Tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak sesuai dengan pernyataan-pernyataannya yang lalu dan yang sesungguhnya.”
Kesimpulannya bahwa Ahmadiyah Lahore menampakkan keyakinan bahwa Ghulam Ahmad hanya sebatas pembaru. Namun pada hakikatnya sama dengan Ahmadiyah Qadiyan dalam hal keyakinan, walaupun para pengikutnya mungkin ada yang mengetahui hakikat ini dan ada yang tidak.
Yang jelas, keyakinan Ahmadiyah bahwa Ghulam Ahmad adalah pembaru pun sangat keliru dan salah parah. Karena tanpa tedeng aling-aling dengan tegas, yang bersangkutan Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagi Nabi dan Rasul. Ini merupakan kekafiran. Ditambah lagi berbagai penyimpangan yang ada, seperti yang telah dijelaskan.
Nah, apakah orang semacam ini pantas disebut sebagai pembaru agama Islam? Atau justru pembaru ajaran Musailamah Al-Kadzdzab dan yang mengikuti jalannya? Sadarlah wahai ulul albab.
Footnote:
[1] Keterangan dari Nur Ahmad Al-Qadiyani dalam majalah Al-Fadhl, 20 Agustus 1946 M, dinukil dari makalah Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, Al-Mutanabbi Al-Qadiyani wa Ihanatuhu Ash-Shahabah hal. 300.
[2] Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir mengomentari: Bagaimana mereka tidak ada hubungan, sementara mereka berserikat dalam memperkokoh kenabian?!
[3] Surat putra Ghulam kepada Nuruddin, terdapat dalam Haqiqat Al-Ikhtilaf karya Muhammad Ali, Aisar Al-Qadyaniyyah Fi Laahur, hal. 50.
[4] صلح بيغام surat kabar Ahmadiyah Lahore edisi 7 September 1913 M.
[5] Review of Religions juz 3 no. 11 hal. 411.
[6] Review of Religions juz 9 no. 7 hal. 248.
Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=677
http://bimbinganislami.wordpress.com/


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Penulis: Redaksi Asy-Syariah

Dengan alasan melindungi keragaman, beberapa pihak berupaya melakukan pembiaran terhadap tumbuh dan berkembangnya Ahmadiyah saat isu terkait aliran itu memuncak beberapa waktu silam. Setiap manusia, dalih mereka, mempunyai hak untuk meyakini ajaran yang dianutnya, bahkan setiap orang punya hak untuk tidak beragama sekalipun. Dengan cara pandang ini, para tokoh pembela (yang sayangnya sebagian dari mereka disebut tokoh Islam) hendak menyatakan bahwa hak hidup hanya dimiliki oleh kalangan sesat serta kaum atheis.
Entah lupa atau pura-pura lupa (atau bisa jadi memang bodoh), para pembela Ahmadiyah seakan menafikan hak umat Islam untuk hidup tanpa diganggu berbagai ajaran yang merusak, sesat serta menyesatkan. Lebih-lebih aliran seperti Ahmadiyah dan juga Salamullah, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Baha’iyah, dll, semuanya mengatasnamakan Islam, menggunakan simbol Islam serta mendakwahkan agamanya kepada umat Islam. Lantas bagaimana bisa kita bicara “hak” sementara apa yang disebut “hak” itu justru merupakan pelanggaran hak (baca: penistaan) pihak lain?
Arah dari tuntutan nyeleneh yang didesakkan para pengusung pluralisme itu sesungguhnya bisa ditebak, umat Islam diajak untuk meragukan finalitas kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahwa ayat atau hadits yang menyebut bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi masih perlu ditafsir ulang. Karena, menurut kalangan Islam Liberal, klaim tentang nabi terakhir bisa dilakukan siapa saja.
Betapa lancangnya omongan semacam itu. Kalau logika seperti ini kita amini, maka kita pun akan membenarkan bahwa “siapa tahu” Allah Subhanahu wa Ta’ala pun, selain mengutus Mirza Ghulam Ahmad, juga benar-benar mengutus Mirza Hussein (pengikutnya menyebut dia Baha’ullah), Lia Aminudin, Ahmad Mushaddeq, Ahmad Sayuti (“nabi” palsu asal Bandung), Rusmiyati (“nabi” asal Madiun), Djanewar (“nabi” kepala sekolah asal Jambi) dan “nabi-nabi” lainnya.
Kalau kita hanya bicara kemungkinan dan tanpa dalil, mengapa tidak mengatakan “siapa tahu” para nabi palsu yang disebut di atas tak lebih dari orang-orang yang mengalami delusi atau waham kebesaran (delusion of grandiosty), gangguan jiwa yang ditandai dengan pengakuan sebagai nabi, malaikat, Imam Mahdi, atau tokoh-tokoh yang dianggap berpengaruh?
Mirza Ghulam Ahmad dengan Ahmadiyah-nya mungkin sudah besar dan tersebar di berbagai belahan dunia, sehingga sudah demikian kabur antara paham dan waham. Namun bayangkan jika “Ahmadiyah” itu masih berupa tunas atau bibit sekelas ajarannya Ahmad Sayuti, Rusmiyati, Djanewar, Lia Aminudin, dan yang agak besar sebangsa Ahmad Mushadeq? Tentu hanya orang-orang yang minim akal sehat saja yang meyakini atau (dengan berlagak moderat) membela ajaran mereka.
Namun bagaimanapun, fenomena bermunculannya nabi-nabi palsu itu telah menjadi keniscayaan. Sebagaimana ini telah disebut dalam hadits sendiri. “Tidak tegak hari kiamat hingga dimunculkan para dajjal dan pendusta yang berjumlah kurang lebih tiga puluh yang seluruhnya mengaku bahwa dia adalah utusan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 3413, Muslim no. 2923)
Makanya sebagai muslim, kita mesti menyikapi fenomena itu secara ilmiah (baca: dengan ilmu), bukan secara emosional, terlebih berujung pada tindak anarkis. Tindakan anarkis hanya justru menyuburkan pembelaan dan simpati, serta memperkokoh eksistensi mereka. -Meski tentu tak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang mengatasnamakan Islam kemudian melakukan aksi-aksi perusakan-.
Tegasnya, ilmu akan menjadi benteng yang kokoh untuk membendung ajaran mereka. Agar kita pun bisa berakal sehat, sehingga tidak mempan dibodohi oleh ajaran orang-orang yang tidak sehat. Dan juga jika berbenteng ilmu agama, tentu segala “pengakuan nabi” itu menjadi lelucon belaka. Namun jika kaum muslimin tidak berbekal ilmu, tentu hanya soal waktu bertumbuhnya agama baru dan nabi palsu!
Sumber : http://bimbinganislami.wordpress.com/


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
JAMA’AH TABLIGH
Jama’ah Tabligh termasuk ahlul bid’ah dan firqah sesat yang menyesatkan dari firqah shufiyyah. Firqah tabligh ini terbit dari India yang dilahirkan oleh seorang shufi tulen bernama Muhammad Ilyas. Kemudian firqah sesat ini mulai mengembangkan ajarannya dan masuk ke negeri-negeri Islam seperti Indonesia dan Malaysia dan lain-lain.
Firqah tabligh ini dibina atas dasar kejahilan di atas kejahilan yang dalam dan merata yang diawali oleh pendirinya, pengganti-penggantinya,Amir-amirnya, tokoh-tokohnya, syaikh (guru)-syaikhnya, murid-muridnya, istimewa pengikut-pengikutnya dari orang-oang awam. Kejahilan mereka terhadap Islam, mereka hanya melihat Islam dari satu bagian dan tidak secara keseluruhan sebagimana yang Allah perintahkan, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam (ajaran) Islam scara kaffah (keseluruhan).” (Al-Baqarah: 208).
Kerusakan aqidah mereka yang dipenuhi dengan kesyirikan yang berdiri di atas manhaj shufiyyah. Ibadah mereka yang dipenuhi dengan bid’ah yang sangat jauh dari Sunnah. Akhlak dan adab mereka yang dibuat-buat sangat jauh dari akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Mereka sangat fakir dan miskin dari ilmu karena mereka sangat menjauhi ilmu. Kebencian dan kedengkian mereka yang sangat dalam kepada imam-imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab dan lain-lain. Bahkan salah seorang amir dari firqah tabligh ini pernah berkata dengan sangat marah sekali, “Kalau seandaiya aku mempunyai kekuatan sedikit saja, pasti akan aku bakar kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim dan Ibnu Abdul Wahab. Dan aku tidak akan tinggalkan sedikitpun juga dari kitab-kitab mereka yang ada di permukaan bumi ini.” (Dari kitab al-Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama’atit Tabligh hal. 44-45 oleh Syaikh Hamud bin Abdulah bin Hamud at-Tuwaijiriy).
Alangkah besarnya kebencian dan permusuhan mereka terhadap pembela-pembela Sunnah.
BID’AH-BID’AH JAMA’AH TABLIGH
Di antara bid’ah-bi’ah Jama’ah Tabligh ialah “ushul sittah” (dasar yang enam) yaitu:
Pertama: Kalimat Thayyibah.
Yaitu dua kalimat syahadat: Asyhadu alla ilaaha illallah wa asy hadu ana muhammadar-rasulullah. Yang mereka maksudkan hanya terbatas pada tauhid rububiyyah, yaitu mengesakan Allah di dalam penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, pengaturan-Nya dan lain-lain yang masuk ke dalam tauhid rububiyyah.
Tauhid inilah yang mereka amalkan dan menjadi dasar di dalam dakwah mereka. Adapun tauhid uluhiyyah atau tauhid ubudiyyah (yaitu mengesakan Allah di dalam beribadah kepada-Nya) dan tauhid asma’ wassifat (mengesakan Allah di dalam nama dan sifat-Nya tanpa ta’wil) tidak ada pada mereka baik secara ilmu maupun amal dan dakwah. Oleh karena itu, mereka mmembatasi berhala, istimewa pada zaman ini, hanya lima macam berhala:
1. Berusaha mencari rezeki dengan menjalani sebab-sebabnya seperti berdagang atau membuka toko dan lain-lain dari jalan yang halal.
Inilah yang dikatakan berhala oleh Jama’ah Tabligh! Karena dia akan melalaikan manusia dari kewajiban agama kecuali kalau mereka khuruj (keluar di jalan Allah menurut istilah firqah Jama’ah Tabligh) bersama Jama’ah Tabligh!?
2. Berhala yang kedua yaitu: Keluarga dan teman.
Karena mereka ini pun melalaikan manusia dari mengakkan kewajiban kecuali kalau mereka khuruj bersama Jama’ah Tabligh!?
3. Berhala yang ketiga yaitu: Nafsu Ammaarah Bissuu’ (nafsu yang mmerintahkan berbuat kejahatan).
Karena menurut mereka nafsu ammaarah ini menghalangi menusia dari
berbuat kebaikan dan dari jalan Allah seperti khuruj bersama Jama’ah Tabligh.
Jama’ah Tabligh adalah ahlul bid’ah, jahil dan sesat bersama khuruj bid’ah mereka, maka merekalah yang lebih berhak mengkuti nafsu ammaarah. Adapun orang yang menyalahi Jama’ah Tabligh dan berpaling dari mereka serta memperingati manusia dari bid’ahnya firqah tabligh, maka diharapkan orang tersebut jiwanya thayyibah (baik) marena ia mengajak manusia kepada kebaikan dan melarang dari kejahatan dan pelakunya.
4. Berhala yang keempat: Hawa Nafsu.
Karena menurut Jama’ah Tabligh hawa nafsu ini akan menghalangi manusia dari kebaikan seperti khuruj bersama mereka.
Sesungguhnya Jama’ah Tabligh yang lebih berhak dikatakan sebagai pengikut-pengikut hawa nafsu kaena mereka termasuk ahlul bid’ah. Sedangkan ahlul bid’ah adalah orang yang mengikuti hawa nafsu oleh karena itu ulama kita menamakannya ahlul ahwaa’. Di antara bukti bahwa Jama’ah Tabligh pengikut hawa nafsu mereka membai’at manusia atas dasar beberapa tarekat shufiyyah sebagaimana akan datang penjelasannya.
Pengantar
Pada pembahasan yang lalu, kita telah mengemukakan sedikit penjelasan tentang apa dan bagaimana sebenarnya firqoh sesat Jama’ah Tabligh itu, dan sedikit penjelasan tentang bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh firqoh Jama’ah Tabligh (JT). Pada pembahasan kali ini, kita akan melanjutkan tulisan dari Fadhilatul Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafidzohullah menganai bid’ah-bid’ah dan kesesatan firqoh ini…selamat membaca…(admin)
5. Berhala yang kelima yaitu: Syaithon
Yang terakhir ini menurut firqoh tabligh sangat besar menghalangi manusia dari kebaikan seperti khuruj bersama Jama’ah Tabligh.
Pada hakikatnya Jama’ah Tablighlah yang dihalangi oleh syaithan dari kebenaran yang sangat besar yaitu mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dan diperintah untuk mengerjakan kejahatan yang besar yaitu bid’ah. Karena bid’ah lebih dicintai iblis dari maksiat dan sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan Jama’ah Tabligh tergolong ahlul bid’ah yang mengikuti sunnahnya shufiyyah.
Kedua: Shalat Lima Waktu, shalat Jum’at, shalat jama’ah di masjid, shalat yang khusyu’, shalat pada shaf yang pertama, memperbanyak shalat-shalat sunnah dan lain-lain.
Yang pada hakikatnya amal-amal di atas diwajibkan dan sangat disukai di dalam agama. Akan tetapi Jama’ah Tabligh telah melalaikan beberapa kewajiban untuk menegakkan amal-amal di atas di antaranya:
Ilmu
Mereka beramal dengan kebodohan tanpa ilmu kecuali ilmu fadhaa-il (keutamaan keutamaan amal) sebagaimana akan datang keterangannya pada dasar yang ketiga.
Mengikuti Sunnah
Mereka meninggalkan mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dengan berpegang kepada bid’ah, taqlid dan ta’ashshub madzhabiyyah.
Melalaikan mempelajari rukun-rukun, kewajiban-kewajiban dan hukum-hukum dari amal-amal di atas
Oleh karena itu, kita lihat mereka tidak mengerti cara shalat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Adapun masjid, maka mereka mangajak ke masjid-masjid tempat mereka berkumpul.
Ketiga: Ilmu.
Yang mereka maksudkan dengan ilmu ialah:
  1. Ilmu fadhaa-il yaitu tentang mempelajari keutamaan-keutamaan amal menurut mereka. Adapun ilmu tauhid dan ahkaam (hukum-hukum) dan masalah-masalah fiqhiyyah (fikih) dan ilmu berdasarkan dalil-dalil al-Kitab dan Sunnah, mereka sangat jauh sekali dan melarangnya bakhan memeranginya.
  2. Ilmu tentang rukun iman dan Islam. Akan tetapi mereka memelajarinya atas dasar tarekat-tarekat shufiyyah, khurafat-khurafat, hikayat-hikayat yang batil dan ta’ashshub madzhabiyyah.
Keempat: Memuliakan atau menghormati kaum Muslimin.
Menurut firqoh tabligh, setiap orang yang mengucapkan dua kalimat ”Laa ilaaha illallah muhammadar-rasulullah”, maka wajib bagi kita memuliakan dan menghormatinya meskipun orang tersebut telah mengerjakan sebesar-besar dosa besar seperti syirik. Menurut mereka: ”Kami tidak membenci pelaku maksiat akan tetapi yang kami benci adalah maksiatnya!!”
Di dalam dasar yang keempat ini, mereka sangat berlebihan menghormati atau memuliakan kaum muslimin dengan meninggalkan nahi munkar dan nasihat dan dengan cara yang dibuat-buat.
Kalima: Mengikhlaskan niat agar jauh dari riya’ dan sum’ah (memperdengarkan amal kebaikan).
Akan tetapi, mereka meninggalkan Sunnah dan mengikuti-mengikuti cara-cara ikhlas di dalam tashawwuf.
Keenam: Khuruj. Menurut Jama’ah Tabligh makna khuruj keluar di jalan Allah berdakwah yang merupakan jihad yang paling besar. Mereka membatasi dakwah hanya dengan khuruj berjama’ah bersama mereka selama tiga hari dan seterusnya. Khuruj ini mempunyai kedudukan dan keutamaan yang besar di dalam bid’ah mereka melebihi shalat, sedekah, puasa, dan haji dan lain-lain.
Keutamaan khuruj ini pernah saya dengar langsung dari salah seorang amir mereka di Pekanbaru pada tahun 1995 di Masjid Agung An-Nur selepas shalat maghrib. Ketika amir itu telah selesai dari ceramah bid’ahnya dan mengajak kaum muslimin mengerjakan bid’ah yang lain yaitu khuruj, saya tanyakan mana dalilnya dari Al-Kitab dan Sunnah tentang keutamaan khuruj yang saudara katakan tadi? Amir itu sangat terkejut dan mengingkari apa yang telah dia katakan di atas. Kemudian saya meminta kepada Jama’ah Tabligh yang hadir di masjid itu untuk menjadi saksi bahwa amir mereka betul-betul telah mengucapkannya. Besar harapan saya bahwa mereka akan membenarkan apa yang saya katakan dan menjadi saksi di dalam kebenaran bukan menjadi saksi palsu. Akan tetapi harapan saya hilang ketika mereka semuanya mengingkari saya dan membenarkan amir mereka. Tidak ada saksi bagi saya kecuali Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat kemudian seorang ikhwan kita yang duduk di samping saya. Lalu saya pun meninggalkan masjid sambil berkata bahwa mereka ini semuanya pembohong!
Aqidah dan amalan khuruj mereka berasal dari mimpinya pendiri Jama’ah Tabligh yaitu Muhammad Ilyas. Dia bermimpi menafsirkan ayat Al-Qur’an surat Ali Imaran ayat 110 yang artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.”
Berkata Muhammad Ilyas di dalam mimpinya itu ada yang mengatakan kepadanya tentang ayat di atas: ”Sesungguhnya engkau (diperintah) untuk keluar kepada manusia seperti para Nabi.”
Tidak syak lagi bagi ahli ilmu bahwa tafsir Muhammad Ilyas atas jalan mimpi mengikuti cara-cara shufiyyah adalah tafsir yang sangat batil dan rusak. Tafsir syaithaniyyah yang mewahyukan kepada Muhammad Ilyas yang akibatnya timbulnya bid’ah khuruj yang menyelisihi manhaj para Shahabat. Terang-terangan atau tersembunyi tafsir Muhammad Ilyas ini menujukkan bahwa dia mendapat wahyu dan diperintah oleh Allah seperti perintah Allah kepada Nabi dan Rasul. Yang pada hakikatnya, syaithanlah yang mewahyukan kepada dia dan kaum shufi yang lainnya demi membuat bid’ah besar.
Bid’ahnya Jama’ah Tabligh adalah mereka bermanhaj dengan manhaj shufi di dalam aqidah, dakwah, ibadah, akhlaq dan adab dan lain-lain. Baik orang-perorangnya, amir-amirnya dan guru-gurunya.
Bid’ahnya Jama’ah Tabligh, amir dan sebagian dari guru-guru mereka dibai’at atas empat macam tarekat shufiyyah yaitu:
  1. Naqsyabandiyyah
  2. Qaadiriyyah
  3. Jisytiyyah
  4. Sahruwiyyah
Demikianlan amir tertinggi mereka membai’at pengikut-pengikutnya atas dasar empat tarekat di atas.
Mereka sangat berpegang dan memuliakan kitab mereka: Tablighi Nishaab (Kitab Tablighi Nishaab dinamakan juga kitab Fadlaa-il a’maal) oleh Muahmmad Zakaria Kandahlawiy secara manhaj maupun dakwah. Kitab Tablighi Nishaab ini dipenuhi dengan berbagai macam bid’ah, syirik, tashawwuf, khurafat, hadits-hadits dha’if dan maudlu’. Di antara bid’ah syirkiyyat (syirik-ed) yang terdapat di dalam kitab ini ialah memohon syafa’at kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Dan beliau pernah mengeluarkan tangannya dari kubur beliau untuk menyalami Ahmad Ar-Rifaa’iy (ketua shufi dari tarekat Ar-Rifaa’iyyah). Demikian juga dengan kitab Hayaatush Shahabah oleh Muhammad Yusuf Kandahlawiy. Kitab ini pun dipenuhi dengan khurafat-khurafat dan cerita-cerita bohong serta hadits-hadits dla’if dan maudlu’. Kedua kitab di atas yang sangat diagungkan dan dimuliakan oleh Jama’ah Tabligh adalah masuk ke dalam kitab-kitab bid’ah dan syirik serta sesat.
Bid’ahnya Jama’ah Tabligh, bahwa mereka telah membatasi Islam pada sebagian ibadah. Yang sebagian ini pun mereka penuhi dan mencampur-adukkan dengan berbagai macam bid’ah dan syirkiyyat. Mereka berpaling dari syari’at-syari’at Islam yang lain seperti tauhid, hukum, dan jihad dan lain-lain.
Mereka meninggalkan ilmu dan ahli ilmu. Mereka memperingati pengikut-pengikut mereka dari menuntut ilmu dan duduk di majelis para Ulama kecuali orang yang mendukung mereka. Dengan demikian meratalah dan tersebarlah kejahilan-kejahilan yang dalam di antara mereka dan hilangnya ilmu dari mereka. Oleh karena itu yang menjadi timbangan mereka di dalam memutuskan segala urusan ialah dengan jalan: Istihsan (menganggap baik sesuatu perbuatan tanpa dalil), perasaan, mimpi-mimpi dan karamah-karamah (yang pada hakikatnya wahyu dan bantuan dari syaithan).
Mereka mengajak manusia ke jalan Allah dan masuk ke dalam agama Allah tanpa ilmu sama sekali dan tanpa bashirah (hujjah dan dalil). Inilah dari sebesar-besar sebab yang membawa mereka menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus ke dalam lembah kesasatan bid’ah dan syirik. Bagaimana mungkin mereka mengajak manusia kepada sesuatu yang mereka tidak paham dan tidak mengetahuinya!? Lihatlah! Mereka
mengajak kepada Islam dan mengikuti perintah Allah dan Sunnah rasul-Nya padahal mereka tidak mengetahui dan memahaminya!? Sebenarnya merekalah yang lebih berhak dan sangat berhajat kepada Islam dan seluruh ajarannya dengan cara belajar dan mehaminya dari Ulama bukan mengajar atau berdakwah kepada manusia!
Di antara bid’ah besar Jama’ah Tabligh ialah bahwa mereka selalu berdalil dengan hadits-hadits dha’if, sangat dha’if, maudlu’/ palsu dan hadits-hadits yang tidak ada asal-usulnya sama sekali (laa ashlaa lahu).
Di antara bid’ah besar Jama’ah Tabligh ialah bahwa mereka telah membuat kelompok (firqah) yang menyendiri dan memisahkan diri dari kaum muslimin. Mereka tidak mengajak kaum muslimin kecuali kepada firqah-nya baik secara manhaj, ilmu dan dakwah. Adanya imam tertinggi dan amir-amir dan bai’at yang ditegakkan di dalam firqah tabligh ini. Mereka mengajak kaum muslimin ke masjid-masjid dan markas-markas mereka untuk ijtima’ (berkumpul) umumnya sepekan sekali.
Di antara bid’ah besar jama’ah tabligh ialah berkumpulnya ratusan ribu jama’ah di Bangladesh pada setiap tahunnya. Di antara ijtima’ bid’iyyah ini keluarlah berbagai macam bid’ah i’tiqad dan amaliyyah yang begitu banyak dikerjakan oleh jama’ah tabligh. Sehingga sebagian dari mereka mengatakan berkumpulnya mereka di Dakka ibu kota Bangladesh pada setiap tahunnya lebih utama dari berkumpulnya jama’ah haji di Makkah. Mereka meyakini bahwa bahwa berdo’a pada akhir ijtima’ di atas mustajab. Mereka meyakini bahwa akad nikah pada hari itu diberkati. Oleh karena itu sebagian dari mereka mengundurkan akad nikahnya sampai hari ijtima’ tahunan di Bangladesh untuk memperolah barakahnya.
sampai hari ijtima’ tahunan di Bangladesh untuk memperolah barakahnya.
Di antara bid’ah besar jama’ah tabligh ialah bahwa mereka mewajibkan taqlid dan bermanhaj dengan manhaj tashawwuf sebagaimana telah ditegaskan oleh salah seorang imam mereka yaitu Muhammad Zakaria pengarang kitab Tablighi Nishaab atau kitab Fadlaa-illul a’maal, ”…kami menganggap pada zaman ini taqlid itu wajib sebagaimana kami menganggap tashawwuf syar’i itu sedekat-sedekat jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Maka orang yang menyalahi kami dalam dua perkara di atas (taqlid dan tashawwuf) maka dia telah berlepas diri dari jama’ah kami…” (Jamaa’atut Tablligh, Aqaa-iduha, Ta’ri-fuha hal. 69 dan 70 oleh ustad Abi Usamah Sayyid Thaaliburrahman). Ini menunjukkan bahwa jama’ah tabligh dibina atas dasar taqlid dan tashawwuf.
Di antara bid’ah besar jama’ah tabligh ialah berdusta atas nama Allah salah seorang ima mereka yang bernama Muhammad Zakaria pengarang kitab Fadlaa-ilul a’maal dengan tegas mengatakan: Bahwa Allah telah menguatkan madzhab hanafi dan Jama’ah Tabligh!!! (Jamaa’atut Tabligh, Aqaa-iduha, ta’rifuha hal. 91 oleh ustadz Abi Usamah Sayyid Thaaliburrahman).
Subhanallah! Sungguh ini satu dusta besar yang telah dibuat oleh Muhammad Zakaria atas nama Allah. Apakah Allah telah mewahyukan kepadanya setelah terputusnya wahyu bahwa Allah yang telah menguatkan madzhab Hanafi dan Jama’ah tabligh!? Tidak syak lagi bagi ornag yang beriman bahwa Muhammad Zakaria telah mendapat wahyu dari syaithan.
Di antara bid’ah besar Jama’ah tabligh ialah berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Berkata Muhammad Zakaria, ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah membagi waktu menjadi tiga bagian: Sepertiga di dalam rumahnya bersama keluarganya, sepertiga mengirim jama’ah untuk tabligh dan sepertiga beliau menyendiri.” (Jamaa’atut Tabligh, Aqaa-iduha, Ta’rifuha hal. 92 dan 93 oleh Ustadz Abi Usamah Sayyid Thaaliburrahman). Subhanallah! Orang ini tidak punya rasa malu berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam untuk menguatkan Jama’ah tablighnya yang sesat dan menyesatkan.
Di antara bid’ah besar Jama’ah Tabligh ialah bahwa ketentuan dan ketetapan berdirinya Jama’ah Tabligh berdasarkan wahyu dari Allah yang Allah masukkan ke dalam hati pendiri jama’ah tabligh yaitu Muhammad Ilyas. (Jamaa’atut Tabligh, Aqaa-iduha, ta’rifuha hal 98 dan 99 oleh Ustadz Abi Usamah sayyid Thaaliburrahman). Oleh karena itu tidak boleh ada perubahan sedikitpun juga meskipun Ulama Ahlus Sunnah telah memperingatkan mereka akan kesesatan mereka.
-Selesai-
((Disalin dari buku Sudahkah Anda Mengenal Jama’ah Tabligh? Karya Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hal. 28-55, cetakan Darul Qalam-Jakarta))
Disalin kembali dari: Salafiyunpad.wordpress.com

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers