MENYATUKAN HARI RAYA

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro



Perselisihan dalam menentukan hari raya, baik hari raya Idul Fithri maupun hari raya Idul Adha menjadi sebuah fenomena yang seringkali terjadi di kalangan kaum muslimin seakan-akan makna “al-id” yang seharusnya sesuatu yang berulang dengan penuh kegembiraan dan keceriaan, berubah menjadi sebuah permasalahan yang berulang-ulang tiap tahunnya dengan perselisihan dan pertengkaran.

Sebagai seorang muslim, tidak ada jalan lain kecuali beramal di atas bashirah dan ilmu yang akan menerangi jalan untuknya menuju keridhaan Allah. Maka dalam pembahasan masalah ini, penulis berusaha untuk memberikan pemahaman tentang sebab terjadinya perselisihan, dan kita yang tepat dalam bersikap, sehingga kita terlepas dari jeratan pertikaian dan termasuk orang yang berpegang teguh dengan tali Allah. Semoga Allah memberi taufiq kebenaran kepada penulis, sehingga dijauhkan dari kesalahan dalam penulisan dan pemahaman.

MENGAPA BERSELISIH DALAM MENENTUKAN HARI RAYA?
Perselisihan ini, tidak hanya terjadi di kalangan para ulama sebelumnya dalam permasalahan ijtihad, akan tetapi diperparah lagi dengan masuknya orang-orang yang tidak mengetahui agama (munafik) atau orang yang cenderung mengikuti akalnya sendiri [1], masuk ke dalam kancah permasalahan ini sehingga semakin memperkeruh masalah.

Perselisihan yang terjadi dalam menentukan ke dua hari raya ini, dapat kita bagi dalam beberapa permasalahan.

Pertama : Adanya silang pendapat dalam cara menentukan hari raya, dengan hisab ataukah ru’yah hilal.

Kedua : Adanya perbedaan pendapat yang menyangkut mathla’ hilal pada setiap negeri atau tidak. Dalam arti, jika misalnya terlihat hilal di Arab Saudi, wajibkah semua umat Islam untuk berpuasa atau berbuka? Ataukah setiap negeri berhukum dengan mathla’ nya sendiri-sendiri?

Ketiga : Mensikapi keputusan pemerintah dalam menentukan jatuhnya hari raya. Sebagian yang tidak sependapat dengan pemerintah mengambil tindakan yang dianggapnya benar. Dan sebagian lagi, dalam melihat ru’yah hilal, berkiblat kepada negara lain, dan begitu seterusnya sehingga terjadilan kekacauan dan perselisihan di mana-mana.

RU’YAH ATAU HISAB?
Ada dua catatan penting menanggapi permasalahan di atas.
Pertama : Menggunakan hisab untuk membuat sebuah hukum dalam syari’at dan meninggalkan ru’yah hilal, ditakutkan terkena ancaman dari ayat Allah, yaitu orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kebenaran, dan juga jatuh ke dalam takwil Rasulullah bahwa umat Islam akan mengikuti perjalanan umat terdahulu (tasyabbuh), baik secara disengaja ataupun tidak.

Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah rahimahullah berkata : “Telah sampai kepada saya, bahwa syari’at sebelum kita juga mengaitkan hukum dengan hilal. Kemudian terjadi perubahan karena ulah tangan-tangan jahil dari para pengikut syari’at itu sendiri, sebagaimana telah diperbuat oleh Yahudi dalam bertemunya dua bujur, serta menjadikan sebagian hari raya mereka dengan menggunakan tahun Masehi, sesuai dengan kejadian yang dialami Al-Masih. Begitu juga dengan kaum Shabi’ah, Majusi dan dari kalangan kaum musyrikin lainnya dalam penggunaan ishtillah (penanggalan). Adapun yang dibawa oleh syari’at kita merupakan hal yang paling baik, apik, jelas tepat dan jauh dari pertentangan” [2]

Kedua : Pembahasan penentuan hari raya dengan menggunakan ru’yah sudah bersifat final, setelah adanya ijma’ selama tiga abad berurut-turut. Sehingga tidak ada jalan untuk berijtihad setelah terjadinya ijma’, sebagaimana yang telah diterangkan dalam ushul syari’ah.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata : “Sebagaimana telah kita ketahui dari agama Islam, bahwa menggunakan hisab untuk menentukan sesuatu dengan cara melihat hilal, seperti ; puasa, haji, iddah, ila’ atau lainnya, yang menyangkut permasahan hukum dengan hilal, tidaklah dibenarkan. Nash-nash dari Nabi tentang hal ini sangatlah banyak. Dan kaum muslimin telah ijma’ (sepakat) dengan permasalah tersebut. Sama sekali tidak diketahui adanya perselisihan lama atau perselisihan baru, kecuali setelah abad ketiga, yakni oleh sebagian mutaakhirin dari kalangan ahli fiqih gadungan yang belum matang [3]. Yaitu dengan pernyataan “Jika hilal terhalangi awan, maka ahli hisab diperbolehkan menggunakan hisab untuk dirinya sendiri. Jika hisab (tersebut) menunjukkan ru’yah, maka dia boleh berpuasa. Jika tidak menunjukkan hilal, maka tidak boleh”. Pendapat ini telah didahului oleh ijma yang mengingkarinya, meskipun hanya berlaku untuk cuaca mendung dan dikhususkan untuk orang yang mengetahui ilmu hisab itu sendiri. Akan tetapi, mengikuti hisab ketika cuaca cerah, atau menggantungkan hukum untuk kalangan umum dengan hisab, maka tidak seorang muslimpun pernah mengatakannya”. [4]

Ketika Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta Arab Saudi, ditanya tentang hal serupa, mereka menjawab : “Sesungguhnya Allah mengetahui yang telah dan yang akan terjadi tentang perkembangan ilmu falak dan ilmu pengetahuan lainnya. Sekalipun begitu, Allah berfirman.

“Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan tersebut, maka hendaklah berpusa” [Al-Baqarah ; 185]

Dan Rasul-Nya menerangkan lebih jelas dengan sabdanya.

صوموا لرو يته وأفطروا لرو يته

“Berpuasalah kalian dengan melihat hilal, dan berbukalah dengan melihatnya” [5]

Maka beliau mengaitkan mulainya puasa bulan Ramadhan dan berakhirnya Ramadhan, yaitu dengan melihat hilal dan tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang. Sekalipun beliau mengetahui bahwa ilmu falak akan berkembang dengan hisab bintang dan menentukan perjalannya.

Oleh karena itu, kaum muslimin wajib kembali kepada syari’at Allah melalui lisan Nabi-Nya, dengan menggunakan ru’yah hilal dalam berpuasa dan berhari raya. Dan ini merupakan ijma dari ahli ilmu. Barangsiapa yang menyelisihinya dan menggunakan hisab bintang-bintang, maka pendapatnya aneh dan tidak dapat digunakan” [Tertanda. Ketua : Abdul Aziz, Wakil Ketua Abdur Razzaq Afifi. Anggota Abdullah bin Qu’ud] [6]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo –Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo - Solo]
________
Footnote
[1]. Lihat Majmu Fatawa (25/128-130)
[2]. Majmu Fatawa (25/135)
[3]. Sebagian pendapat ini kepada Ibnu Syuraih, Mutharif bin Abdullah dan Ibnu Qutaibah. Nisbat kepada Ibnu Syuraih dan Abdullah ini tidak benar. Adapun Ibnu Qutaibah, pendapatnya dalam masalah ini tidak perlu ditanggapi. Lihat Nailul Authar (4/502) Dar Ash-Shumai’i, Tharhut Tatsrib, Al-Iraqi (2/2-112).
[4]. Majmu Fatawa (25/132-133)
[5]. HR Muslim, Kitab Shiyam, Bab Wujub Shaumi Ramadan Li Ru’yatil Hilal, Syarh Muslim (3/134-135)
[6]. Fatawa Ramadhan (1/118-19)



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
FATWA-FATWA SEPUTAR BERHARI RAYA DENGAN PEMERINTAH


Oleh
Ustadz Armen Halim Naro


FATWA SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya : Tentang sebagian penduduk sebuah kota melihat hilal Dzul Hijjah. Tetapi tidak diakui oleh pemerintah kota. Apakah mereka berpuasa yang zhahirnya tanggal 9 (Dzul Hijjah), padahal yang sebenarnya 10 (Dzul Hijjah)?

Syaikhul Islam menjawab :Benar. Mereka harus berpuasa pada (tanggal) 9 yang secara zhahir diketahui mereka, sekalipun hakikatnya pada (hari tersebut) adalah 10 (Dzul Hijjah), jika memang ru’yah mereka benar. Sesungguhnya di dalam Sunnah (disebutkan) dari Abu Hurairah, dari Nabi, Beliau bersabda.

صومكم يوم تصومون وفطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون

“Artinya : Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih [1] [Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkannya]

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata : Rasulullah telah bersabda, “(Idul) Fitri, (yaitu) ketika semua manusia berbuka. Dan Idul Adha, (yaitu) ketika semua orang menyembelih” [Diriwayatkan oleh Tirmidzi]

Dan perbuatan ini yang berlaku di semua kalangan imam kaum muslimin [2]

Dalam permasalahan puasa, Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : Saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negeri berpuasa dengan pemerintahnya, tidak berpecah belah, sebagian berpuasa dengan negaranya dan sebagian (lainnya) berpuasa dengan negara lain –baik puasanya tersebut mendahului yang lainnya atau terlambat- karena akan memperluas perselisihan di masyarakat, sebagaimana yang terjadi di disebagian negara Arab. Wallahull Musta’an. [3]

FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZ RAHIMAHULLAH
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya dari Asia Tenggara. Tahun Hijriah kami terlambat satu hari dibandingkan dengan Kerajaan Arab Saudi. Dan kami para mahasiswa- akan bersafar pada bulan Ramadhan tahun ini. Rasulullah bersabda : “Puasalah kalian dengan melihatnya (hilal, -pen) dan berbukalah kalian dengan melihatnya ….” Sampai akhir hadits. Kami telah memulai puasa di Kerajaan Arab Saudi, kemudian akan bersafar ke negara kami pada bulan Ramadhan. Dan di penghujung Ramadhan, puasa kami menjadi 31 hari. Pertanyaan kami, bagaimana hukum puasa kami dan berapa hari kami harus berpuasa ?

Beliau (Syaikh) menjawab : Jika anda berpuasa di Saudi atau di tempat lainnya, kemudian sisanya berpuasa di negara anda, maka berbukalah bersama mereka (yaitu berhari raya bersama mereka, pen), sekalipun berlebih dari tiga puluh hari. (Ini) sesuai dengan sabda Rasulullah.

صومكم يوم تصومون وفطركم يوم تفطرون

“Artinya : Puasa adalah hari semua kalian berpuasa. Dan berbuka adalah ketika semua kalian berbuka”

Akan tetapi jika tidak sampai 29 hari, maka hendaklah disempurnakan, karena bulan tidak akan kurang dari 29 hari. Wallahu Waliyyut Taufiq [4]

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika telah pasti masuk bulan Ramadhan di salah satu negara Islam, seperti Kerajaan Arab Saudi, dan selanjutnya negara tersebut mengumumkannya, akan tetapi di negara yang saya tempati belum diumumkan masuknya bulan Ramadhan, bagaimanakah hukumnya ? Apakah kami berpuasa cukup dengan terlihatnya di Saudi ? Atau kami berbuka dan berpuasa dengan mereka (negara saya, red), ketika mereka mengumumkan masuknya bulan Ramadhan ? Begitu juga denan permasalahan masuknya bulan Syawal, yaitu hari ‘Ied. Bagaimana hukumnya jika dua negara berselisih. Semoga Allah membalas dengan sebaik balasan dari kami dan dari kaum muslimin.

Beliau (Syaikh) menjawab : Setiap muslim, hendaklah berpuasa bersama dengan negara tempat ia tinggal, dan berbuka dengannya, sesuai sabda Nabi.

“Artinya : Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”
Wa Billahi Taufiq [5]

FATWA SYAIKH SHALIH AL-FAUZAN HAFIZHAHULLAH
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Jika telah pasti masuknya bulan Ramadhan di suatu negara Islam, seperti kerajaan Arab Saudi, sedangkan di negara lain belum diumumkan tentang masuknya, bagaimana hukumnya? Apakah kami berpuasa dengan kerajaan ? Bagaimana permasalahan ini. Jika terjadi perbedaan pada dua negara?

Beliau (Syaikh) menjawab : Setiap muslim berpuasa dan berbuka bersama dengan kaum muslimin yang ada di negaranya. Hendaklah kaum muslimin memperhatikan ru’yah hilal di negara tempat mereka tinggal di sana, dan agar tidak berpuasa dengan ru’yah negara yang jauh dari negara mereka, karena mathla’ berbeda-beda. Jika misalkan sebagian muslimin berada di negara yang bukan Islam dan di sekitar mereka tidak ada yang memperhatikan ru’yah hilal –maka dalam hal ini- tidak mengapa mereka berpuasa dengan kerajaan Arab Saudi.[6]

FATWA LAJNAH DA’IMAH LIL BUHUTS ILMIAH WAL IFTWA ARAB SAUDI
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bagaimana pendapat Islam tentang perselisihan hari raya kaum muslimin, yaitu Idul Fithri dan Iedul Adha ? Perlu diketahui, hal ini dapat menyebabkan berpuasa pada hari yang diharamkan berpuasa, yaitu hari raya Iedul Fithri atau berbuka pada hari diwajibkan berpuasa? Kami mengharapkan jawaban tuntas tentang permasalahan yang penting ini, yang dapat kami jadikan alasan di hadapan Allah. Jika terjadi perselisihan, kemungkinan bisa dua hari, (atau) kemungkinan tiga hari. Seandainya Islam menolak perselisihan, bagaimana jalan yang benar untuk menyatukan hari raya kaum Muslimin ?

Dijawab : Para ulama sepakat bahwa Mathla’ Hilal berbeda-beda. Dan hal itu diketahui dengan panca indera dan akal. Akan tetapi mereka berselisih dalam memberlakukan atau tidaknya dalam memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya. Ada dua pendapat :

Pertama : Diantara imam fiqih berpendapat, bahwa berbedanya Mathla berlaku dalam menentukan permulaan puasa dan penghabisannya.

Kedua : Diantara mereka tidak memberlakukannya, dan setiap kelompok berdalil dengan Kitab, Sunnah serta Qias. Dan kadang-kadang, kedua kelompok berdalil dengan satu nash, karena ada persamaan dalam beristidlal (berdalil), seperti firman Allah Ta’ala. “Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan, maka berpuasalah” (al-Baqarah : 185). FirmanNya. “Mereka bertanya tentang hilal. Katakanlah : Sesungguhnya ia adalah penentu waktu bagi manusia” (al-Baqarah : 189). Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berpuasalah kalian dengan melihatnya, dan berbukalah dengan melihatnya”

Itu semua karena perbedaan mereka dalam memahami nash dalam mengambil istidlal dengannya.

Kesimpulannya.
Permasalahan yang ditanyakan masuk ke dalam wilayah ijtihad. Oleh karenanya, para ulama -baik yang terdahulu maupun yang sekarang- telah berselisih. Dan tidak mengapa, bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal pada malam ketiga puluh untuk mengambil hilal yang bukan mathla mereka, jika kiranya mereka benar-benar telah melihatnya.

Jika sesama mereka berselisih juga, maka hendaklah mereka mengambil keputusan pemerintah negaranya –jika seandainya pemerintah mereka Muslim-. Karena, keputusannya dengan mengambil salah satu dari dua pendapat, akan mengangkat perselisihan. Dalam hal ini umat wajib mengamalkannya. Dan jika pemerintahannya tidak muslim, maka mereka mengambil pendapat Majlis Islamic Center yanga ada di Negara mereka, untuk menjaga persatuan dalam berpuasa Ramadhan dan shalat ‘Ied.

Semoga Allah memberi taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi, keluarga dan para sahabatnya.

Tertanda : Wakil Ketua : Abdur Razzaq Afifi. Anngota ; Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Mani. [7]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M, Dikutip Dari Fatwa-Fatwa Seputar Hari Raya Dengan Pemerintah, Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah, Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km 8, Selokaton Gondangrejo - Solo]
_______
Footnote
[1]. HR Tirmidzi, Bab Ma Ja-a Annal Fithra Yauma Tafthurun, Sunan dengan Tuhfah (3/382, 383
[2]. Majmu Fatawa (25/202)
[3]. Tamamul Minnah, hal. 398
[4]. Fatawa Ramadhan 1/145
[5]. Fatawa Ramadhan 1/112
[6]. Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan 3/124
[7]. Fatawa Ramadhan 1/117



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
SALAH MEMAKNAI IDUL FITRI

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin


Bagi kalangan tertentu, bulan Ramadhân yang penuh berkah ini merupakan bulan beban. Ibadah-ibadah di bulan Ramadhân terutama ibadah puasa dianggap sebagai penghambat kesempatan. Meskipun dia tetap menunaikan ibadah puasa, namun tidak dengan sepenuh hati.

Sementara kalangan yang lain menganggap, ibadah puasa di bulan Ramadhân merupakan rutinitas yang menjanjikan dan berakhir menyenangkan. Sebab sesudah Ramadhân ada hari raya, Idul Fitri.

Para pedagang, sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhân tiba, mereka sudah bersiap melakukan stock barang sebagai persiapan dagang untuk meraup keuntungan melimpah di bulan suci ini. Bahkan banyak pedagang musiman yakni khusus bulan Ramadhân. Para karyawan, pegawai, pekerja, buruh dan lain-lain yang bekerja diluar kota pun punya harapan untuk cuti menjelang hari raya sampai dengan beberapa hari sesudah hari raya.

Sedikit orang yang benar-benar memanfaatkan bulan Ramadhân sebagai kesempatan emas meraup pahala dan menghapus dosa dengan cara-cara yang benar sesuai tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Begitu pula tentang hari raya. Sudah terbentuk opini di kalangan banyak kaum Muslimin bahwa Idul Fitri adalah saat bersenang-senang, seakan baru lepas dari beban puasa selama satu bulan penuh. Sebagian lagi berdalih menikmati keuntungan melimpah dari hasil dagang selama Ramadhân. Sebagian yang lain mengemukakan alasan-alasan lain sesuai dengan aktifitasnya selama Ramadhân. Yang jelas, menurut anggapan sementara sebagian kaum Muslimin, Idul Fitri adalah hari bersenang-senang sampai puas, seakan tanpa batas. Oleh karena itu, banyak kaum Muslimin yang menyusun agenda-agenda kegiatan, tanpa memperdulikan aturan syari'at. Agenda-agenda berisi maksiat, foya-foya, hiburan dan tontonan di pantai-pantai, goa-goa, taman-taman dan berbagai tempat menarik lainnya, bahkan tempat-tempat yang sepi. Laki-laki dan perempuan serta muda-mudi yang bukan mahram, bukan pula suami isteri, bercampur aduk menjadi satu. Banyak di antara mereka yang berpasang-pasangan berdua-duaan, bergandeng tangan dan seterusnya untuk melampiaskan kegembiraan dan menikmati kesenangan yang penuh dosa.

Tidak dipungkiri bahwa Idul Fitri adalah hari gembira bagi orang yang berpuasa pada bulan Ramadhân. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لِلصَّائِمِ فَرْحَتاَنِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

"Orang yang berpuasa akan memperoleh dua kegembiraan : manakala berbuka puasa, ia bergembira dengan buka puasanya, dan manakala berjumpa dengan Rabbnya, ia bergembira dengan (balasan) puasanya". [HR. Bukhari dan Muslim] [1]

Tetapi gembira yang dimaksudkan di sini adalah kegembiraan yang tidak keluar dari koridor syari'at.

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan makna gembira dalam hadits di atas dengan menukil perkataan para ulama, "Adapun kegembiraan orang yang berpuasa ketika berjumpa dengan Rabbnya, ialah karena ia melihat pahala puasanya dan karena ia teringat akan ni'mat taufîk yang dianugerahkan Allâh kepadanya hingga ia dapat berpuasa. Sedangkan kegembiraannya pada saat berbuka puasa adalah karena ia dapat dengan sempurna menyelesaikan ibadahnya, dapat dengan selamat terhindar dari hal-hal yang membatalkan puasanya dan memiliki harapan mendapat pahala dari Allâh". [2]

Di sisi lain al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalâni rahimahullah menukil pernyataan sebagian ulama tentang ma'na gembira tersebut sebagai berikut, "Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, 'ma'nanya, gembira dengan sebab rasa lapar dan dahaga telah hilang, karena sudah diperbolehkan berbuka puasa. Ini adalah kegembiraan yang wajar dan mudah dipahami."

Sementara sebagian ulama lain berpendapat, bahwa orang yang berpuasa gembira dengan buka puasanya karena kegiatan puasa serta ibadahnya telah berhasil dengan baik. Ia merasa diringankan serta mendapat pertolongan dari Allâh Azza wa Jalla untuk menunaikan puasa pada masa yang akan datang." Selanjutnya al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalâni rahimahullah menyimpulkan, "Aku katakan, 'Membawa pengertian gembira di sini kepada pengertian yang lebih umum dari makna yang telah disebut di atas, tidak mengapa. Setiap orang yang berpuasa, (ketika berbuka) akan bergembira sesuai dengan keadaan masing-masing, sebab keadaan orang terkait ibadah puasa berbeda-beda. Di antara mereka, ada yang kegembiraan mereka itu hukumnya mubah yaitu kegembiraan manusiawi yang wajar. Dan ada pula yang kegembiraan mereka itu disunnah, yaitu kegembiraan yang disebabkan oleh hal-hal yang sudah disebutkan diatas (seperti bergembira karena bisa menunaikan ibadah puasa mampu dengan baik atas pertolongan Allah-pent.)". [3]

Gembira pada saat berbuka puasa, bisa juga berarti merasa gembira saat berbuka puasa di setiap matahari tenggelam. Bisa pula berarti gembira manakala berbuka puasa di saat Idul Fitri. Wallahu A'lam. Yang jelas, secara manusiawi, orang yang berpuasa akan merasa lega dan bergembira pada saat berbuka puasa pada setiap maghrib di bulan Ramadhân, maupun pada saat hari Idul Fitri.

Akan tetapi kegembiraan itu hendaknya tidak membuatnya terlena sampai terjerumus kedalam prilaku maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla dan merusak ibadah yang telah dilakukannya selama bulan Ramadhân. Mestinya kegembiraan itu mendorong orang untuk bersyukur dan semakin bersemangat dalam beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta'ala.

Oleh sebab itu, Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam antara lain memberikan dorongan semangat untuk mengiringi puasa Ramadhân dengan puasa 6 hari di bulan Syawal. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كاَنَ كَصِياَمِ الدَّهْرِ.

"Siapa yang berpuasa Ramadhân, kemudian ia iringi puasa Ramadhân itu dengan puasa enam hari di bulan Syawal, niscaya (pahala) puasanya laksana puasa satu tahun". [HR. Muslim, Abu Dâwud, Tirmidzi dan Ibnu Mâjah].[4]

Berkenaan dengan hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, "Para ulama yang semadzhab dengan kami mengatakan, "Yang afdhal (lebih baik-red) ialah apabila puasa enam hari bulan Syawal dilakukan berturut-turut langsung sesudah hari raya (maksudnya, hari kedua-pen.). Namun jika puasa enam hari itu dilaksakan dengan terpisah-pisah atau ditunda sampai akhir Syawal, maka keutamaan berpuasa enam hari bulan Syawal itu tetap tercapai. Sebab itu masih bisa disebut "mengiringi puasa Ramadhân dengan puasa enam hari di bulan Syawal".[5]

Kenapa menunaikan ibadah puasa Ramadhân yang diiringi dengan puasa enam hari di bulan Syawal memiliki nilai seperti berpuasa satu tahun penuh ? Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, "Para Ulama mengatakan, 'Puasa-puasa ini bernilai seperti berpuasa satu tahun penuh, tidak lain karena setiap kebaikan akan dilipatkan menjadi sepuluh kali kebaikan. Puasa Ramadhân dilipatkan menjadi sepuluh bulan, sedangkan 6 hari bulan Syawal, dilipatkan menjadi dua bulan". [6]

Bagian terakhir dari perkataan Imam Nawawi rahimahullah di atas selaras dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ، كَأَنَّمَا تَمَامُ السَّنَةِ؛ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثاَلِهَا.

"Barangsiapa yang berpuasa enam hari sesudah hari Idul Fitri, maka seakan-akan puasanya itu sempurna satu tahun; Siapa yang melakukan satu kebaikan, maka ia akan memperoleh sepuluh kali lipat kebaikan itu". [HSR. Ibnu Majah].[7]

Alangkah indah dan beruntungnya seseorang jika kegiatan-kegiatan yang penuh dengan maksiat atau yang bepotensi maksiat itu diganti dengan kegiatan ibadah yang jelas dituntunkan dalam syari'at. Terlebih lagi, pasca Ramadhân. Janganlah merusak ibadah selama Ramadhân dengan hura-hura dan maksiat, apalagi bid'ah.

Dengan demikian, opini bahwa hari raya adalah hari bersenang-senang dan bergembira ria untuk melakukan berbagai perbuatan maksiat, foya-foya serta dosa-dosa adalah opini yang salah, harus diluruskan.

Wallahu al-Musta'aan wa 'Alaihi at-Tuklaan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 04-05/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Shahihul Bukhâri/Fathul Bâri, 4/118, no. 1904, Shahih Muslim, Syarhun Nawawi, Khalîl Ma'mun Syiha, Darul Ma'rifah, 8/272, no. 2700
[2]. Ibid. hlm. 273
[3]. Fathul Bâri, Syarh Shahîhil Bukhâri, 4/118
[4]. Shahih Muslim Syarhun Nawawi, op.cit. VIII/296-297, no. 2750, Shahîh Sunan Abi Dâwud, II/77, no. 2433, Shahîh Sunan at-Tirmidzi I/400-401, no. 759 dan Shahih Sunan Ibni Mâjah, II/77, no. 1403. Semua kitab Shahih Sunan ini adalah karya Syaikh al-Albâni t , penerbit Maktabah al-Ma'arif Lin Nasyr, Riyadh.
[5]. Shahih Muslim Syarhun Nawawi, op.cit. VIII/297
[6]. Ibid.
[7]. Shahîh Sunan Ibni Mâjah, II/77, no. 1402

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
HARI RAYA DAN MAKNANYA DALAM ISLAM

Oleh
Syaikh Muhammad Ibn Ibrahim Ad-Duwais


Hari raya adalah hari yang di dalamnya ditumpahkan segala rasa suka cita yang senantiasa dirayakan oleh umat-umat terdahulu hingga kita sekarang ini. Mereka mengungkapkan segala makna ‘ubudiah (peribadahan) kepada Sembahan-Sembahan mereka dengan berbagai macam acara yang menurut persangkaan mereka hal tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang dapat mendekatkan diri mereka dan memerintahkan kepada pemeluknya untuk menegakkan kembali fitrah mereka yang lurus dan kokoh mengakar pada jiwa-jiwa mereka. Namun di antara manusia lebih memilih perbuatan-perbuatan kosong yang tidak bermanfaat, baik ucapan ataupun perbuatan dan lebih condong kepada hawa nafsu mereka yang dipenuhi dengan keburukan dan kejelekkan, sehingga tidak lagi menghiraukan seruan fithrah mereka.

Islam melarang perbuatan-perbuatan (kosong yang tidak bermanfaat) seperti merayakan hari raya-hari rayanya orang-orang kafir ataupun ikut menyaksikannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

"Dan orang-orang yang tidak menyaksikan Az-Zur –perbuatan maksiat- dan apabila mereka melewati perbuatan yang sia-sia (main-main) mereka melewatinya dengan penuh kemuliaan". [al-Furqan:73]

Para Ulama’ seperti Mujahid, Ibnu Sirin, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah hari raya jahiliyah.

Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau mendapati penduduk Madinah merayakan dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah, maka beliau bersabda :

قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ بِهِمَا فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ يَوْمَيْنِ خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ

"Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya yang kalian bermain-main di dalamnya pada masa jahiliyah, dan Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian : “Hari raya kurban dan hari berbuka.". [HR Imam Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i]

Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu :

يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمَ

"Wahai Abu Bakar sesungguhnya bagi setiap kaum ada hari rayanya dan ini adalah hari raya kita".

Dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :

يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلاَمِ وَهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

"Hari Arafah, hari qurban dan hari-hari mina adalah hari raya kami, umat Islam dan hari-hari itu adalah hari makan dan minum". [HR. Abu Daud, Nasa’ i dan Tirmidzi]

Hal seperti ini memberikan rasa yang lain bagi seorang muslim bahwasanya dia berbeda dengan penganut agama lain, yang bathil dan sesat, sebab merekapun memiliki hari raya - hari raya yang khusus. Dan ketika seorang muslim merasa bangga dengan selain dari kedua hari raya yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hal ini akan menyebabkan hilangnya rasa benci kepada orang kafir di dalam hatinya, dan menghilangkan rasa untuk berlepas diri dari mereka dan dari perbuatan mereka. Padahal hal tersebut merupakan prinsip yang paling mendasar dari aqidah seorang muslim, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut". [HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya]

Dan saat itu pula rasa bangga dan cinta terhadap hari raya-hari raya kaum muslimin akan hilang sedikit demi sedikit dari hatinya, sehingga tidak tersisa sedikitpun.

Berkaitan dengan hal tersebut Syaikhul Islam rahimahullah berkata di dalam Fatawanya:
"Seorang hamba apabila menjadikan dari sebagian hajatnya bukan dari perkara-perkara yang disyariatkan maka akan memudarlah kecintaanya terhadap syariat dan keinginannya untuk mengambil manfaat dari syariat sesuai dengan penyimpanganya terhadap selain yang disyariatkan, berbeda dengan orang-orang yang mengarahkan kehendak dan keinginannya terhadap sesuatu yang disyariatkan maka dia lebih mengagungkan kecintaannya terhadap syariat dan lebih mengutamakan untuk mengambil manfaat dari apa yang disyariatkan sehingga semakin sempurnalah diinnya dan sempurnalah Islamnya. Oleh karenanya kamu dapati orang yang gemar mendengarkan musik dan lagu –qashidah- untuk kebaikan hatinya (katanya!) akan berkurang kecintaannya untuk mendengarkan Al-Qur’an". [Al-Fatawa].

Di dalam perayaan suatu hari raya, di dalamnya terkandung keyakinan-keyakinan dari agama-agama tertentu, maka tatkala seorang muslim ikut serta di dalam suatu perayaan atau pesta hari raya orang kafir, maka merupakan suatu kepastian dia akan terjerumus ke dalam kesesatan yang ada pada agama-agama mereka dan mungkin juga akan terjerumus ke dalam kesyirikan.

HARI RAYA -IED- MERUPAKAN MOMENTUM PERIBADAHAN
Kita tahu bahwasanya setiap umat memiliki hari-hari khusus sebagai hari raya mereka, yang mereka memfokuskan di dalamnya dengan berbagai macam keyakinan mereka dan ajaran-ajaran yang mereka dapat dengan turun-temurun. Bagi mereka, hari raya adalah merupakan suatu momentum ibadah, ketundukkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala atau perbuatan kefasikan atau kekejian, permainan dan lain sebagainya. Sebagaimana hal itu terjadi dan kita dapati pada hari raya-hari raya kaum Nashara, di antaranya adalah hari raya awal tahun (tahun baru), dan hari raya akhir tahun (natal).

Adapun Ied –hari raya- di dalam Islam memiliki makna tersendiri saat mulai datangnya Islam, semua jejak-jejak peribadahan dihapuskan yang sebelumnya begitu diagungkan oleh penganutnya dan tidak tersisa sedikitpun. Islam mengarahkannya hanya untuk pengagungan Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Islam menghadirkan dua hari raya yang dirayakan setelah dua ibadah yang sangat agung di dalam Islam:

Yang Pertama: ‘Iedul Fithri, hadir setelah selesainya kewajiban siyam Ramadlan, yang di dalamnya seorang muslim mencegah syahwatnya dan menahan keinginan-keinginan kemanusiaannya, mereka juga menghidupkan malam-malamnya dengan berdiri shalat di hadapan Allah Azza wa Jalla, sujud dan ruku’ dengan merendahkan dan menghinakan diri memenuhi seruan-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Yang di dalam sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan itu terdapat satu malam yang merupakan malam terbaik dalam setahun, yakni Lailatul Qadar (malam kemuliaan).

Yang Kedua: ‘Iedul Adha (hari berkurban), hari terakhir dari sepuluh hari pada bulan Dzulhijjah, yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan di dalam sabdanya:

مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلاَ الْجِهَادُ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ

"Tiada hari-hari yang amal-amal shalih lebih Allah cintai dari hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah)”. Beliau ditanya: “Tidak juga jihad di jalan Allah?” Beliau bersabda: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang pergi dengan diri dan hartanya kemudian tidak kembali sama sekali". [HR. Bukhari].

Di dalam riwayat lain disebutkan:

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ

"Tiada haripun yang lebih agung di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidaklah amal shalih lebih dicintaiNya di dalamnya daripada hari-hari yang sepuluh ini (sepuluh awal bulan Dzulhijjah) maka perbanyaklah tahlil, takbir, tahmid di dalamnya". [HR. Ahmad dan Thabrani]

Hari raya ‘Idul Adha datang kepada kaum muslimin setelah berlalu hari-hari yang dipenuhi dengan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, siyam, shadaqah dan ibadah lainnya, datang kepada mereka sedangkan kaum muslimin yang lainnya berada di tanah suci memenuhi panggilanNya.

IED (HARI RAYA) ADALAH HARI IBADAH
Kita tahu bahwasanya dua hari raya yang ada di dalam Islam dikaitkan oleh syariat dengan kaitan-kaitan yang disyariatkan, demikian pula disyariatkan di dalamnya ibadah-ibadah yang agung yang mengikatkan umat dengan agamanya. Seperti halnya di dalam ‘Idul Fithri, diwajibkan bagi kaum muslimin untuk berbuka dan diharamkan berpuasa pada hari itu.

Seorang muslim beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala pada hari tersebut dengan berbuka sebagaimana beribadah kepada-Nya dengan berpuasa pada hari–hari sebelumnya (bulan Ramadhan). Juga disyari’atkan didalamnya untuk bertakbir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala firmankan:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

"Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangan (puasa) dan bertakbir –mengagungkan- Allah atas apa yang telah Dia berikan kepadamu agar kalian menjadi orang-orang yang bersyukur". [al-Baqarah:185]

Pada hari raya ‘Idul Fithri Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan secara khusus dikeluarkannya zakat fithri yang diberikan kepada saudara sesama muslim yang kekurangan dan membutuhkan.

Sedangkan pada hari raya ‘Idhul Adha seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan menyembelih kurban, sebagai tanda peribadahannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan rasa syukur atas nikmat-nikmat-Nya, juga sebagai tanda meneladani Nabi Ibrahim Alaihissallam (khalilur rahman/ kekasih Allah) saat di mana dia diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menyembelih anaknya (Ismail Alaihissallam) dan beliau menyambutnya dengan penuh ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Begitu pula di samping ada pada dirinya rasa untuk mencontoh nabi Ibrahim Alaihissallam dengan menyembelih kurban bagi Allah Subhanahun wa Ta'ala, diapun siap siaga untuk menyerahkan lehernya di jalan Allah.

Tidakkah umat mengambil pelajaran dari hal-hal seperti ini? Tidakah umat mengambil teladan dari kisah-kisah para syuhada’ yang mempersembahkan leher-leher mereka begitu murahnya untuk membela kalimat Allah?

Maka, tatkala seorang muslim menyembelih hewan kurbannya, diapun akan menunggu perintah untuk menyerahkan lehernya di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala. sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:

Seandainya dengan leher-leher mereka Allah akan ridha

Maka merekapun akan menyerahkannya dengan taat dan menerima perintah
Sebagaimana mereka menyerahkannya saat jihad

Kepada musuh-musuh mereka sampai darah mengalir dari leher-leher mereka
Namun mereka enggan untuk menyerahkan leher-leher mereka

Dan yang demikian adalah kehinaan bagi seorang hamba dan bukan ketinggian.

HARI RAYA DAN TAKBIR
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia setelah ayat-ayat puasa:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

"Dan agar kalian sempurnakan bilangannya dan agar kalian bertakbir
–mengagungkan- kepadaAllah atas apa yang telah Allah berikan kepada kalian, dan agar kalian bersyukur". [al-Baqarah:185]

Kebiasaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada hari Iedul Fithri sambil bertakbir sampai ke musholla dan sampai selesai shalat, dan apabila shalat selesai, beliau menghentikan takbir.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya, beliau menjawab:
“Segala puji bagi Allah, pendapat yang paling baik tentang masalah takbir yang dipegang oleh jumhur (mayoritas) ulama Salaf dan Fuqaha dari kalangan sahabat dan para Imam adalah bertakbir mulai pagi hari Arafah (9 Dzulhijjah) sampai akhir dari hari-hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) setelah shalat, dan disyariatkan bagi tiap orang untuk menjaharkan (mengkeraskan suara) saat bertakbir ketika keluar untuk ‘Ied, dan hal ini berdasarkan kesepakatan para Imam yang empat. Dan adalah Ibnu ‘Umar apabila keluar –ke mushalla- pada hari raya ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha menjaharkan takbir sampai ke mushalla kemudian bertakbir sampai datangnya Imam". [Al-Fatawa]

Tatkala kita jumpai jalan-jalan penuh dengan orang-orang menuju mushalla (lapangan) sambil mengumandangkan takbir dengan suara yang nyaring, dengan menghidupkan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka pemandangan semacam ini akan membangkitkan ruh kekuatan dan kemulian bagi umat. Bagi orang yang menyaksikan akan merasakan bahwasanya umat terikat dengan diinnya dan tidak akan berpaling dan mengarahkan wajah kepada selain Allah. Allah adalah Maha Besar bagi mereka dibandingkan segala sesuatu yang diagungkan oleh seluruh manusia selain-Nya, dengan penuh kecintaan, pengharapan, takut dan pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.

PETUNJUK NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI HARI RAYA
Kebiasaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Ied pada dua hari raya –‘Iedul Fithri dan Iedul Adha- di mushalla (lapangan), yang letaknya di pintu kota Madinah bagian timur. Beliau memakai pakaian yang paling baik, beliau juga memiliki selendang yang beliau pakai saat dua hari raya dan hari jum’at. Dan sebelum pergi ke mushalla pada ‘Iedul Fithri, beliau makan beberapa biji kurma dan beliau memakannya dengan jumlah yang ganjil. Adapun pada ‘Iedul Adha beliau tidak makan sampai beliau kembali dari mushalla, dan belaiu makan dari sembelihan kurban.

Beliau mandi pada dua hari raya, ada hadits dari beliau tentang masalah ini, dan juga terdapat dua hadits yang dha’if dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu dari riwayat Jabarah Ibnu Mughlis dan hadits faqih Ibn Da’id dari riwayat Yusni Ibn Kharij As-Samthi. Namun juga ada riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu yang dikenal kuat mengikuti Sunnah, bahwa beliau mandi pada hari ‘Ied sebelum pergi ke lapangan.

Beliau membuka khuthbahnya dengan pujian kepada Allah, dan tidak terdapat riwayat yang shahih bahwa beliau membuka khutbahnya dengan takbir pada dua hari raya. Dan beliau memberi keringanan bagi orang yang menghadiri ‘Ied untuk duduk mendengarkan khutbah atau tidak mendengarkannya. Juga beliau memberikan keringanan bagi kaum muslimin, apabila hari ‘Ied bertepatan dengan hari Jum’at, maka cukup diadakan shalat Ied dan tidak diadakan shalat Jum’at.

Dan pada hari ‘Ied beliau mengambil jalan yang berbeda antara pergi dan pulangnya, ada yang mengatakan hikmahnya adalah untuk memberi salam kepada orang-orang yang melewati jalan tersebut. Ada juga yang mengatakan agar orang-orang yang melewati jalan-jalan tersebut mendapati berkahnya. Ada juga yang mengatakan untuk menunaikan kebutuhan dari orang-orang yang memiliki kebutuhan. Ada juga yang mengatakan untuk menampilkan syiar-syiar Islam ke segala penjuru yang beliau lalui. Ada juga yang mengatakan untuk menimbulkan kemarahan orang-orang munafiq tatkala melihat kemulian Islam dan para pemeluknya serta tegaknya syiar-syiar Islam. Ada juga yang mengatakan untuk memperbanyak persaksian dari tanah yang dilewati, karena orang-orang yang pergi ke masjid di antara langkah-langkahnya ada yang meninggikan derajat dan yang lain menghapuskan dosa-dosa sampai dia kembali ke rumahnya. Ada juga yang mengatakan -dan ini adalah pendapat yang paling shahih- bahwa yang beliau lakukan adalah untuk hikmah-hikmah yang telah disebutkan di atas dan hikmah-hikmah lain yang belum disebutkan. [Diambil dari Zadud Ma’ad dari berbagai tempat]

HARI RAYA DAN JAMA'AH
Pada hari ‘Ied disyariatkan shalat di awal siang dengan berjama’ah, baik kecil ataupun besar, tua ataupun muda, bahkan wanita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar orang-orang mengeluarkan wanita-wanita yang haidh dan gadis-gadis pingitan yang seyogyanya tidak diperkenankan untuk keluar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka keluar guna menyaksikan shalat dan untuk menyaksikan kebaikan dan do’anya kaum muslimin. Di dalam perirtiwa yang demikian terdapat makna jama’ah dan rasa pada diri umat bahwasanya mereka seperti satu tubuh, dan makna inilah yang dibutuhkan oleh umat.

Oleh karena itu syariat Islam datang untuk menegaskan hal tersebut dan menanamkannya di dalam jiwa kaum muslimin, dan Allah memberikan jaminannya bagi para hambaNya dengan dihilangkannya perpecahan dari mereka, yang hal itu merupakan aib jahiliyah dan Allah menjadikan mereka di dalam satu barisan, sebagaimana firmanNya:

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا

"Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian, tatkala kalian berada di dalam permusuhan, kemudian Allah jadilah kalian bersaudara dengan nikmatNya dan saat kalian berada di atas bibir jurang neraka kemudian Dia menyelamatkan kalian darinya". [Ali Imron:103]

Maka Allahlah yang melunakkan hati-hati yang terdapat padanya permusuhan, kemudian Dia menyatukan hati-hati tersebut, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm saat beliau berkhutbah pada perang Hunain setelah terjadi apa yang telah terjadi pada para sahabat:

أَلَمْ آتِكُمْ ضُلاَّلاً فَهَدَاكُمُ اللهُ بِي وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمُ اللهُ بِي وَمُتَفَرِّقِيْنَ فَجَمَعَكُمُ اللهُ بِي

"Bukankah aku datang ketika kalian dalam keadaan sesat kemudian Allah memberikan hidayahNya kepada kalian melalui aku, dan bukankah aku datang ketika kalian dalam keadaan miskin kemudian Allah jadikan kalian kaya dengan sebab aku, dan kalian berpecah belah kemudian Allah kumpulkan kalian lewat aku? [Lihat Zaadul Ma’ad]

Dari keterangan-keterangan di atas sebagian ahli ilmu berpendapat wajibnya shalat Ied dan wajibnya menghadirinya, sebagaimana dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Oleh karena itu kami rajihkan (kuatkan pendapat) bahwasanya shalat ‘Ied adalah wajib ‘ain, sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan yang lainnya, juga merupakan salah satu dari pendapat-pendapat Imam Syafi’i, dan salah satu pendapat dari dua pendapat Imam Ahmad. Adapun pendapat yang menyatakan tidak wajib adalah pendapat yang jauh, sebab shalat ‘Ied salah satu syiar Islam yang sangat agung, dan manusia berjama’ah untuk mendapatkannya melebihi shalat jum’at, juga disyari’atkan di dalamnya takbir. Adapun pendapat yang menyatakan fardhu kifayah tidaklah kuat. [Lihat Al-Fatawa]

Dan pendapat serupa juga dikatakan oleh Shidiq Hasan Khan rahimahullah, beliau berdalil: “Bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan shalat ‘Ied selama hidupnya dan tidak pernah meninggalkannya walaupun sekali, juga beliau memerintahkan manusia untuk keluar menunaikan ‘Ied, juga memerintahkan wanita-wanita muda dan para gadis pingitan serta wanita-wanita haid untuk keluar dan menyaksikan kebaikan dan do’anya kaum muslimin,” kemudian beliau berkata: “Semua itu menunjukkan akan wajibnya.” [Lihat Raudhatun Nadiyah]

Beliaupun berdalil atas wajibnya shalat ‘Ied dengan perkataan: "Bahwa shalat ‘Ied menggugurkan shalat juma’at jika bertepatan dengan hari jum’at".

Di sini bukan tempatnya untuk membahas hukum fiqih, akan tetapi banyak nash yang menguatkan untuk berjama’ah pada hari yang mulia tersebut. Di dalam shalat berjama’ah itu juga terkandung makna, bahwasanya umat ini adalah umat yang satu dan satu jama’ah yang besar. Mulai mereka berkumpul untuk shalat lima waktu, kemudian bertambah besar saat mereka berkumpul untuk mengadakan shalat jum’at, kemudian lebih besar lagi dan paling besar saat mereka berkumpul dari berbagai penjuru dunia di tempat yang sama dalam rangka memenuhi panggilan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Dan yang lebih menunjukkan makna jama’ah dan rasa satu tubuh adalah saat zakat fithri dikeluarkan oleh seorang muslim untuk menutupi kebutuhaan orang-orang yang membutuhkannya, atau untuk membahagiakan orang-orang yang tidak bahagia dengan datangnya ‘Ied. Sehingga merekapun dapat merasakan bahwa orang-orang yang membutuhkan makanan pada hari tersebut juga membutuhkannya di hari-hari yang lain, dan mereka yang membutuhkan pakaian pada hari tersebut juga membutuhkannya di hari-hari yang lain.

Begitu pula pada hari ‘Iedul Adha, saat seorang muslim menyembelih hewan kurbannya, diapun tidak melupakan saudara-saudaranya yang membutuhkan, dia bersedekah, mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan membagi-bagikan daging kurbannya itu kepada orang-orang yang membutuhkannya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ

"Dan makanlah kalian dari sembelihan tersebut dan berilah orang-orang fakir yang membutuhkan". [Al-Hajj:8]

Hal itupun mengingatkan mereka bahwasanya orang-orang yang membutuhkan daging pada hari tersebut juga membutuhkannya pada hari-hari yang lain.

HARI RAYA DAN TAUHID
Sebagaimana di dalam ‘Ied terkandung makna jama’ah dan makna peribadahan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, di dalamnya juga terkandung makna tauhid, hal itu tidaklah asing dan aneh, sebab tauhid adalah jalan bagi kehidupan manusia, maka saat tauhid seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala lurus maka lurus pulalah kehidupannya, kepribadian dan akhlaknya. Dan saat hancurnya dasar dan fondasi ini maka akan hancur pula seluruh kehidupannya.

Pada Hari ‘Iedul Adha seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah hewan kurbannya sebagai tanda rasa syukur atas nikmat-nikmat yang telah dia rasakan. Tidak sebagaimana orang-orang yang menyembelih hewan di hadapan bangkai-bangkai yang telah luluh lantak, tulang-tulang yang dimakan oleh masa atau karena mengikuti perintah para tukang sihir dan orang-orang yang dianggap pintar, yang hal itu merupakan perbuatan yang sangat kotor dan praktek kesyirikan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لاَشَرِيكَ لَهُ وَبِذّلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

"Sesungguhnya shalatku, penyembelihanku, hidup dan matiku hanyalah bagi Allah Pemilik Alam semesta". [Al-An’am:162]

Juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ اْلأَرْضِ

"Allah melaknat orang yang menyembelih sembelihan untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang yang melindungi pelaku bid’ah, Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah". [HR. Muslim].

Tatkala seorang muslim menyembelih hewan kurbannya dia akan ingat bahwasanya orang-orang musyrik telah meremehkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan tidak ada rasa pengagungan terhadap Allah pada diri-diri mereka, mereka menghancurkan tauhid dan menghidupkan syirik dengan menyembelih sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah, bukankah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

"Maka shalatlah kepada Rabbmu dan sembelihlah kurban bagi-Nya". [Al-Kautras:2]

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لاَشَرِيكَ لَهُ وَبِذّلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

"Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah bagi Allah Rabb semesta alam yang tidak ada sekutu bagiNya dan untuk yang demikianlah aku diperintahkan dan aku bagian dari orang muslim". [Al-An’am:162]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling gigih dalam melindungi dan menjaga tauhid dari umatnya, bahkan tatkala seorang meminta idzin kepada beliau untuk menyembelih seekor unta –karena nadzar kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala – maka beliaupun bertanya kepadanya: apakah di sana –di tempat tersebut- dirayakan hari raya jahiliyah atau terdapat berhala di antara berhala-berhala mereka? Kemudian ketika dia menjawab: tidak, maka beliaupun mengidzinkan nadzar tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunannya dan dibahas secara panjang lebar oleh Syaikh Abdurrahman Ali Syaikh di dalam Fathul Majid bab tentang Dabs.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tahu bahwasanya sahabatnya tidaklah mengadakan penyembelihan dan kurban melainkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala saja, akan tetapi beliau ingin membersihkan kaum muslimin dari segala macam sarana yang menghantarkan kaum muslimin kepada perbuatan-perbuatan syirik. Maka tidaklah boleh seseorang mengadakan penyembelihan bagi Allah di tempat yang dipakai untuk menyembelih sembelihan yang diperuntukkan bagi selain Allah. Dan tidaklah Allah Subhanahu wa Ta'ala disembah/diibadahi di tempat yang digunakan untuk beribadah kepada selain Allah.

Maka makna-makna inilah yang dirasakan oleh setiap muslim sambil bertakbir menuju ke mushallahnya.

HARI RAYA HARI BERHIAS
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menamakan hari ‘Ied di dalam Kitab-Nya dengan yaum Az-Zinah –hari berhias-

قَالَ مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّينَةِ وَأَن يُحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى

"Dia berkata hari yang dijanjikan bagi kalian adalah hari berhias –‘Ied- dan agar manusia berkumpul pada waktu dhuha". [Thaha: 59]

Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memakai perhiasannya pada hari ‘Ied.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Umar Radhiyallahu 'anhu bahwasanya ‘Umar Ibn Al-Khathab Radhiyallahu 'anhu melihat jubah dari sutra, kemudian dia membelinya untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hadiah baginya, kemudian Umar berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallm : “Hendaklah anda berhias dengan ini untuk hari ‘Id dan menyambut tamu utusan.” Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ini adalah baju bagi orang yang tidak memiliki bagian (di akhirat). [Lihat Zaadul Ma’ad].

Dari hadits ini nampak bagi kita bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu berhias untuk hari ‘Ied dan menyambut tamu utusan, para sahabat menginginkan agar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memakai pakaian terbaiknya di hari-hari khusus bagi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian penolakan beliau itu bukan penolakan untuk berhias, namun penolakan tersebut untuk mengambil perhiasan yang dilarang dan mengambil pakaian yang diharamkan. Karena tidaklah laki-laki memakai sutra kecuali tidak akan memiliki bagian di akhirat kelak.

Dan kebiasaan Ibnu ‘Umar memakai pakaian terbaiknya saat tiba dua hari raya. [Diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibn Hajar Al-‘Asqalani di dalam Al-Fath].

Perhiasan adalah tanda yang paling menonjol yang membedakan hari raya dengan hari-hari lainnya, namun kaum muslimin sekarang pada umumnya memahami dengan pengertian yang lain. Di antara mereka ada yang berhias dengan mencukur jenggotnya, padahal hal ini merupakan penyerupaan dengan pelaku-pelaku kesyirikan dan menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagian mereka juga yang mengulurkan pakaianya –baik sarung atau celana dan yang lainnya- melebihi dua mata kaki, hiasan semacam ini tidak semestinya bagi seorang muslim, bahkan seharusnya seorang muslim melihat bahwa yang demikian justru mengotori perhiasan, sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ n ثَلاَثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

"Tiga golongan yang Allah tidak mengajak bicara mereka pada hari kiamat, tidak akan melihat mereka, dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih”. Abu Dzar bertanya: “Betapa kecewa dan meruginya mereka, siapa mereka wahai Rasulullah? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Al-musbil (orang yang mengulurkan pakaiannya di bawah mata kaki), Al-Mannan (orang yang mengungkit-ngungkit pemberian), dan orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu". [HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi, lihat At-Targhib wat Tarhib oleh Al-Mundziri].

Kita juga lihat para wanita mereka menampakkan lekuk-lekuk, hal ini merupakan penyimpangan yang sangat besar, baik dilihat dari sisi syariat maupun fitrah yang lurus, padahal Allah telah memerintahkan adalah agar para wanita mempercantik diri dan berhias dengan hijabnya dan kesuciannya yang merupakan pakaian yang telah Allah khususkan bagi mereka dan juga Allah perintahkan mereka agar menutupi diri mereka dengan hijab tersebut.

Seorang muslim haqiqi haruslah menolak untuk berhias dengan segala apa yang telah Allah haramkan, dan tatkala dia melihat pakaian tersebut atau orang yang memakainya maka dia melihatnya dengan penilaian hal tersebut adalah aib, tidak sesuai dengan fitrah, bahkan bertentangan dengan apa yang telah diperintahkan. Maka pakaian dan perhiasan yang sempurna pada hari ‘Ied adalah yang menghiasi seseorang dengan peribadahan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

PAKAIAN TAQWA ADALAH YANG PALING BAIK
Tatkala seorang muslim memperhatikan dirinya dan melihat ke cermin dan melihat dirinya sudah berhias secara dhahir dan memeperhatikan segala apa yang merusak penampilannya secara dhahir, dan dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri apakah dirinya sudah tampan ? Tetapi bagaimanakah dengan penampilannya secara batin? Bagaimana dengan perhiasan taqwa dan iman? Apakah setelah dia memperbaiki penampilan dhahir juga memperbaiki penampilan batin?

Apabila badan sudah memakai perhiasannya, apakah hatinya juga akan dipakaikan perhiasan? Kemudian akan muncul lagi pertanyaan-pertanyaan lain pada dirinya. Apa yang akan dilakukan apabila kotoran menimpa pakaiannya? Bukankah dirinya akan bersegera untuk menghilangkan dan membersihkannya? Dan bagaimana dengan dosa-dosa yang telah mengotori hatinya? Berapa banyak perbuatan dan dosa-dosa yang telah mengotori hatinya? Berapa banyak perbuatan dosa yang sudah mencemari kesucian dan kemurniannya? Apakah dia ridha dengan kotoran-kotoran (dosa-dosa) tersebut dan bangga dengannya?.

Seseorang bersedia untuk menyerahkan uangnya untuk membersihkan kotoran-kotoran dari pakaiannya demi penampilan yang sempurna, namun bagaimana bisa terjadi seseorang tidak ridha dengan kotoran-kotoran dhahir, tetapi dia ridha dengan kotoran-kotoran bathin? Bahkan lebih dari itu. Dia malah berusaha dan mencari kotoran-kotoran bathin! Laa haula walaa quwwata illa billah.

Orang-orang semacam ini tatkala menyadari keadaannya, hendaklah bersegera untuk menghapuskannya dan membersihkannya dengan taubat nasuha dan mengangkat dua tangannya memohon ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ketika seseorang berkata: “Aku telah menyempurnakan perhiasan dhahir dan akan berusaha untuk menyempirnakan perhiasaan bathin, kemudian dia membaca”:

يَابَنِى ءَادَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ ءَايَاتِ اللهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

"Wahai anak Adam sesungguhnya telah Kami turunkan bagi kalian pakaian yang dapat kalian pergunakan untuk menutupi aurat kalian dan pakaian taqwa adalah lebih baik, yang demikian merupakan bagian dari ayat-ayat Allah agar mereka mau berfikir". [Al-A’raf:36]

Demikianlah penjelasan sekilas tentang makna hari raya di dalam Islam, semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Amiin

[Ditulis ulang oleh: Abu ‘Abdillah T. Abdul Ghanie Naasih Salim, dari kaset yang berjudul: Al-‘Ied Wa Ma’naahu fil Islam yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Ibn Ibrahim Ad-Duwais, dengan perubahan di beberapa tempat].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
ORANG YANG BERBAHAGIA DI HARI RAYA

Oleh
Syaikh Dr Shalih Fauzan bin Abdullah al-Fauzan


Wahai kaum Muslimin, mari kita bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan bersyukur atas semua anugerah-Nya dengan menyempurnakan puasa Ramadhan. Mari kita berdoa agar Allah Azza wa Jalla menerima semua ibadah yang telah kita upayakan berupa puasa dan qiyâmul lail agar Allah Azza wa Jalla mengampuni semua dosa kita lakukan. Ketahuilah, sesungguhnya hari ini adalah hari ied. Seluruh kaum Muslimin bergembira dengan anugerah yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada mereka berupa penyempurnaan puasa Ramadhan dan pelaksanaan qiyâmul lail. Bergembira karena Allah Azza wa Jalla telah menjadikan mereka mampu menggunakan setiap karunia-Nya dalam ketaatan-ketaatan dan amal-amal ibadah.

Hari ini adalah hari bersyukur dan dzikir, hari makan dan berbuka. Berpuasa pada hari ini hukumnya haram karena berpaling dari perjamuan Allah Azza wa Jalla dan dianggap menyelisihi perintah-Nya; dan Allah Azza wa Jalla mensyariatkan berbuka pada hari ini. Sesungguhnya tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kota Madinah, mereka memiliki dua hari raya yang mereka gunakan untuk bermainmain, kemudian beliaub bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah memberikan ganti kepada kalian dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari Iedul Fitri dan Iedul Adha”.

Allah Azza wa Jalla telah mengganti dua hari raya yang mereka gunakan untuk bermain dan bersenda gurau dengan dua hari raya untuk berdzikir, bersyukur, meraih ampunan dan maaf.

Kaum Muslimin memiliki tiga hari raya yang dilakukan setelah menyempurnakan salah satu dari ibadah-ibadah yang agung dalam Islam.

Pertama : Hari raya yang berulang setiap pekan, yaitu hari Jum‘at. Allah Azza wa Jalla menjadikannya Ied setiap pekannya dan mensyariatkan shalat Jum’at yang agung bagi kaum Muslimin. Shalat tersebut diawali dua khutbah yang mencakup pujian kepada Allah Azza wa Jalla dan persaksian akan keesaan Allah Azza wa Jalla dan Nabi-Nya, selain untuk memberi nasehat dan peringatan. Di samping itu hari Jum’at juga merupakan hari disempurnakannya penciptaan manusia; hari itu Adam diciptakan, dimasukkan surga, dikeluarkan dari surga; hari terjadinya kiamat serta kebinasaan dunia ini.

Kedua : Iedul Fitri yang penuh berkah, datang setelah menyempurnakan puasa wajib selama Ramadhan yang Allah Azza wa Jalla jadikan sebagai rukun keempat dari rukun-rukun Islam. Mereka berhak mendapatkan ampunan dan keselamatan dari api neraka. Mereka berkumpul pada hari itu dengan penuh rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla, bertasbih dan bertakbir atas hidayah Allah Azza wa Jalla.

Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya di antara ibadah yang paling agung yang disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla pada hari ini adalah shalat Iedul Fitri. Dalil wajibnya adalah al-Qur‘ân dan Sunnah serta ijma‘ kaum Muslimin.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ

Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat nama rabbnya, lalu dia shalat. [al-‘Ala/87:14-15]

Sebagian Ulama mengatakan, tazakka artinya mengeluarkan sadaqah fitri. Dan shalla artinya mengerjakan shalat ied. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum Muslimin agar pergi keluar rumah untuk shalat, dan para wanita juga keluar dari rumah-rumah mereka untuk mengerjakan shalat ied dan menyaksikan ibadah kaum Muslimin.

Hendaknya shalat ied itu dilaksanakan di lapangan luas, yang dekat perumahan penduduk; sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengerjakan shalat tersebut di luar daerah. Dan tidak ada satu nukilan pun yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat ied di masjid jika tidak ada udzur (kondisi darurat). Ini merupakan syiar Islam yang paling agung. Maka, tidak layak bagi seorang Muslim bermalas-malasan untuk mendatanginya serta mengucilkan diri dari jama‘ah kaum Muslimin.

Dan yang ketiga: hari besar Islam yang Allah Azza wa Jalla syariatkan adalah Iedul Adha. Dan hari raya ini merupakan yang terbesar dan paling afdhal.

Allah Azza wa Jalla mensyariatkannya setelah menyempurnakan ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima. Tidak ada dalam Islam hari raya selain ketiga hari raya di atas. Tidak ada hari raya maulid nabi ulang tahun atau selainnya. Karena hal itu adalah bid‘ah atau tasyabbuh dengan orang-orang kafir dan musyrik. Berapa banyak kaum Muslimin mendapatkan kemenangan yang agung dan mereka tidak membuat hal yang baru dengan membuat hari raya yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Wahai hamba Allah Azza wa Jalla, sesungguhnya hari raya tidak dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla untuk bersenda gurau dan bermain-main. Akan tetapi dijadikan untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, mengerjakan ketaatan-ketaatan dan memperbanyak istighfâr kepada Allah Azza wa Jalla, tunduk kepada-Nya, bersyukur atas sempurnanya mengerjakan ibadah puasa dan qiyâmul lail serta mendekatkan diri dengan bersedekah dan menegakkan shalat.

Ketahuilah, orang yang berbahagia itu bukanlah orang yang bisa berjumpa dengan hari raya, memperindah lahiriyahnya dengan pakaian yang baru, memenuhi isi perut dengan berbagai macam makanan dan mengumbar lisannya dengan bersenda-gurau. Akan tetapi, orang itu dikatakan bahagia apabila Allah Azza wa Jalla menerima puasa dan shalatnya dan Allah Azza wa Jalla menghapus semua dosa-dosanya.

Untuk itu, janganlah kita tertipu dengan kehidupan dunia. Dan jangan pula tertipu dengan gemerlap berbagai perhiasan yang kita lihat hari. Sesungguhnya perhiasan yang hakiki adalah takwa. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Hai anak Adam, Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa. Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.[Qs al-A‘râf/7:26]

Kaum Muslimin Rahimakumullah –semoga Allah Azza wa Jalla menerima semua amal ibadah yang telah kita lakukan pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan sebelumnya.

Perhatikanlah bangsa-bangsa yang ada di sekelilingmu dan kehidupan mereka yang berada di dalam kebodohon, kesesatan, agama-agama yang bathil, madzhab-madzhab yang menyimpang, kelompok-kelompok yang saling berseteru dan golongan-golongan yang menyimpang. Sungguh, Maha Benar Allah Azza wa Jalla tatkala berfirman:

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوا ۖ وَّإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[al-Baqarah/2:137]

Ini adalah sunatullâh bagi hambanya. Jika mereka meninggalkan kebenaran, mereka akan ditimpa dengan kebatilan. Hal ini tidaklah diketahui kecuali oleh orang yang hidup dalam kenikmatan Allah Azza wa Jalla. Maka kebalikan akan menampakkan lawannya, dan dengan kebalikan itulah segala sesuatu menjadi jelas/terang. Sesungguhnya tidaklah seseorang mengetahui mahalnya kesehatan kecuali ketika dalam keadaan sakit. Dan tidak ada yang mengetahui pentingnya cahaya kecuali orang yang berada dalam kegelapan.

Ketahuilah –wahai kaum Muslimin sesungguhnya Islam bukanlah hanya nama dan nasab saja tanpa beriltizâm kepada hukumhukumnya, menegakkan kewajiban-kewajibannya dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bertolak belakang dengannya dan hal-hal yang menguranginya. Akan tetapi Islam itu memiliki rukun-rukun, syariat-syariat dan sunah-sunah. Ini mencakup ibadah seorang hamba kepada al-Khaliq dan mencakup ihsân (berbuat baik) kepada makhluk. Seorang Muslim adalah orang yang mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi hal-hal yang haram. Orang Muslim adalah orang yang saudara-saudaranya selamat dari lisan dan tangan pada darah, harta dan kehormatan mereka. Maka, janganlah membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah Azza wa jalla kecuali dengan cara yang benar. Janganlah kita menyakiti kaum Muslimin dengan berbagai macam perbuatan.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.[al-Ahzâb/33:58]

Wahai kaum Muslimin, mari kita tundukkan pandangan-pandangan kita. karena itu adalah panah iblis yang ditanam dalam hati manusia agar jatuh ke dalam kekejian. Janganlah kita melakukan isbâl pada pakaian dan sarung kita, karena semua yang melewati mata kaki berada di neraka. Marilah kita bertawadlu‘, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menyukai orang-orang yang sombong. Biasakanlah para wanita memakai hijâb dan jilbab serta jauh dari bercampur dengan laki-laki, menyendiri bersama sopir dan pembantu. Sesungguhnya tidak boleh seorang lelaki yang sendirian dengan seorang wanita yang tidak halal baginya kecuali setan menjadi teman ketiganya.

Janganlah kita menipu dalam jual beli dan seluruh perbuatan. Sesungguhnya menipu adalah perbuatan zhalim dan kezhaliman adalah kegelapan pada hari kiamat. Barang siapa berbuat curang kepada kaum Muslimin, maka ia bukan dari kelompok mereka. Hal itu sebagaimana terdapat dalam hadits Rasulullah, “Janganlah kalian berbuat zhalim dalam pertengkaran dan bermudah-mudah dalam sumpah dan persaksian-persaksian”.

Allah Azza wa Jalla berfirman.

إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَٰئِكَ لَا خَلَاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpahsumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. bagi mereka azab yang pedih”. [Ali Imrân/3:77]

Janganlah kita sogok-menyogok dan makan riba. Sesungguhnya keduanya termasuk dosa besar. Keduanya termasuk pekerjaan yang keji yang mengakibatkan kemurkaan Allah Azza wa Jalla dan laknatnya. Ia termasuk haram dan suatu kebinasaan serta menghancurkan masyarakat.

Marilah kita bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullâh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah perkara-perkara yang baru (bid’ah). Marilah kita mengikuti jamaah kaum Muslimin karena tangan Allah Azza wa Jalla di atas jamaah. Barang siapa yang menyendiri, maka dia menyendiri di neraka.

Referensi : Al-Khuthab Al-Minbariyah, Dr. Shâlih Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzân, jilid 2 hlm. 367- 372. Judul artikel (di hari raya tambahan dari admin)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
ETIKA MAKAN (DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN & AS-SUNNAH)


Menyoal etika makan, dapat dipastikan banyak dari kaum muslimin belum mempraktekkannya. Bukti konkrit, kerap kali kita saksikan di berbagai lokasi dan kesempatan. Misal, seorang muslim makan sambil berjalan, atau makan dengan tangan kirinya tanpa ada beban kekeliruan. Beragam jamuan makan ala barat, semisal standing party banyak digandrungi orang. Banyak faktor yang menjadi latar belakang. Ketidaktahuan, mungkin satu sebab diantaranya. Ironisnya, mereka yang telah mengetahui etika Islam justru meremehkan dan menganggapnya bukanlah satu hal urgent dan mendasar. Celaka lagi bila mereka meninggalkannya karena tertarik etika barat, dengan asumsi etika mereka lebih beradab dan lebih moderen. Wal ‘iyadzu billah.

Padahal, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama, salah satu pembatal keislaman seseorang, ialah apabila ia meyakini ada petunjuk yang lebih baik dan lebih sempurna dari petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Seyogyanya setiap muslim senantiasa berupaya mengejewantahkan nilai-nilai islami, termasuk adab makan ini. Karena adab-adab tersebut merupakan bagian dari risalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berikut ini kami kemukakan point-point yang berkaitan dengan adab makan:

• Membaca basmalah, demi mengharap keberkahan dan mencegah syaithan ikut makan bersama kita.

Abu Hafs Umar bin Abi Salamah Radhiyallahu 'anhu menuturkan,

كُنْتُ غُلَامًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ

Ketika aku berada dalam bimbingan Rasulullah, pernah suatu kali tanganku bergerak di atas piring ke segala arah, hingga Rasulullah pun berkata kepadaku,”Wahai anak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah dari apa yang dekat denganmu.” Maka demikianlah cara makanku sejak saat itu. [1]

Dari Ummul mu’minin A’isyah Radhiyallahu 'anha ia berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

Jika salah seorang kalian makan, maka sebutlah nama Allah. Jika ia lupa untuk menyebutnya di awal, hendaklah ia membaca : بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ (dengan menyebut nama Allah pada awal dan akhirnya). [2]

Berkenaan dengan hadits di atas, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali mengemukakan, tasmiyyah ialah membaca lafadz bismillah. Adapun pendapat yang mengatakan tasmiyyah dengan membaca bismillahir rahman nir rahim, merupakan pendapat yang tidak memiliki hujjah. Demikian juga pendapat yang mengatakan tasmiyyah dibaca pada setiap suapan, adalah pendapat yang batil. Karena tasmiyyah ini hanya dibaca pada awal makan.[3]

Adapun doa yang disunnahkan setelah selesai makan, ialah sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits berikut.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَعَ مَائِدَتَهُ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًافِيهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مُوَدَّعٍ وَلَا مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبَّنَا

Dari Abu Umamah, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika Beliau selesai makan Beliau berdoa,“Segala puji bagi Allah (aku memujinya) dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah, yang senantiasa dibutuhkan, diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan, ya Rabb kami.[4]

عَنْ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَكَلَ طَعَامًا ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ

Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa makan kemudian ia berdoa,’Segala puji bagi Allah Yang telah memberi makanan ini kepadaku dan memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku,’ niscaya diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.[5]

• Wajib makan dengan tangan kanan, berdasarkan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

عن سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ بِيَمِينِكَ قَالَ لَا أَسْتَطِيعُ قَالَ لَا اسْتَطَعْتَ مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ

Dari Salamah bin Al Akwa’, bahwa pernah seorang laki-laki makan dengan tangan kirinya di sisi Rasulullah, maka Beliau berkata,”Makanlah dengan tangan kananmu.” Laki-laki itu menjawab,”Aku tidak bisa.” Beliau pun berkata,”Engkau tidak bisa, tidak ada yang mencegahmu melakukannya melainkan kesombonganmu.” Akhirnya ia benar-benar tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya.

Ucapan Rasulullah pada hadits di atas (لَا اسْتَطَعْتَ ) merupakan doa Beliau atas laki-laki tadi, karena kesombongannya enggan mengukuti sunnah.[6]

• Disunnahkan makan dengan tiga jari dan menjilatinya selesai makan serta mengambil suapan yang jatuh

عَنْ كَعْب قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ فَإِذَا فَرَغَ لَعِقَهَا

Dari Ka’ab bin Malik ia berkata,”Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam makan dengan tiga jarinya dan setelah selesai Beliau menjilatinya.” [7]

عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى وَلْيَأْكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ وَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ

Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,”Jika jatuh suapan salah seorang diantara kalian, hendaklah ia mengambilnya. Kemudian membersihkan kotoron yang mungkin menempel dan memakannya. Janganlah ia tinggalkan suapan itu untuk syaithan, dan janganlah ia mengusap tangannya dengan sapu tangan sampai ia menjilatinya. Karena ia tidak tahu, di bagian mana berkah dari makannya.” [8]

• Tidak boleh makan dengan bersandar

عَنْ أبي جُحَيْفَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا آكُلُ مُتَّكِئًا

Dari Abu Juhaifah, ia berkata, Rasulullah bersabda,”Tidaklah aku makan dengan bersandar.” [9]

• Tidak boleh mencela makanan halal

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

Dari Abi Hurairah, ia berkata,”Nabi tidak pernah mencela makanan sedikitpun. Jika Beliau suka, Beliau memakannya. Dan bila tidak suka, Beliau meninggalkannya.” [10]

• Disunnahkan untuk bercakap-cakap ketika makan dan memuji makanan meskipun sedikit.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ

Dari Jabir bin Abdillah, bahwasanya Nabi bertanya kepada keluarganya tentang lauk. Mereka menjawab,”Kita tidak memiliki lauk, kecuali cuka.” Maka Beliaupun minta untuk dibawakan. Kemudian Beliau makan dengan cuka tadi dan berkata,”Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.” [11]

• Mendahulukan orang tua ketika makan

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ كُنَّا إِذَا حَضَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا لَمْ نَضَعْ أَيْدِيَنَا حَتَّى يَبْدَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعَ يَدَهُ

Dari Hudzaifah ia berkata,” Jika kami menghadiri jamuan makan bersama Rasulullah, tidaklah kami menjulurkan tangan kami ke makanan sampai Rasulullah n memulainya” [12]

• Kita boleh makan dengan sendiri ataupun dengan berjamaah, berdasarkan firmanNya Subhanahu wa Ta'ala :

لَّيْسَ عَلَى اْلأَعْمَى حَرَجٌ وَلاَعَلَى اْلأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَعَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلاَعَلَى أَنفُسِكُمْ أَن تَأْكُلُوا مِن بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ ءَابَآئِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالاَتِكُمْ أَوْ مَامَلَكْتُم مَّفَاتِيحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُم بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلأَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu.Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkati lagi baik.Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. [An-Nuur/24:61]

Namun ada anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk makan berjamaah seperti yang diriwayatkan dalam satu hadits, para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,” Wahai Rasulullah sesungguhnya kami sudah makan namun mengapakah kami tidak merasa kenyang? Beliau berkata,” Mungkin kalian makan dengan terpisah” Mereka menjawab,”Ya” Maka beliau pun bersabda,

فَجْتَمِعُوا على طَعَامٍكُم واذّْكُرُوا اسْمَ اللهِ يُبَرِكْ لَكُمْ

“Berkumpullah kalian ketika makan serta sebutlah nama Allah niscaya Allah akan memberikan keberkahan kepada kalian “[13]

• Jika diundang dalam jamuan makan, selayaknya kita memperhatikan adab-adab berikut:

1. Wajib memenuhi undangan sekalipun sedang berpuasa. Bagi yang berpuasa sunnah ia boleh berbuka dan tidak wajib mengqadhanya, berdasarkan hadis Nabi berikut:

الصَائِمُ المُتَطَوعُ أَمِرُ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ صَامَ وَ إِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“Orang berpuasa sunnah adalah amir bagi dirinya sendiri, jika mau ia boleh berpuasa dan jika mau ia boleh berbuka” [14]

2. Disunnahkan untuk mendoakan yang mengundang.
Abdullah bin Bisr mengisahkan, ayahnya pernah membuat makanan untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu mengundang beliau. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun datang. Selesai makan beliau berdoa:

اللهم بَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُم واغْفِرْ لَهُمْ وارْحَمْهُم

“Ya Allah berikanlah mereka keberkahan pada apa yang Kau rizqikan kepada mereka, ampunillah mereka serta sayangilah mereka” [15]

Kemudian sabda beliau yang lain:

أَكَلَ طَعَامَكُم الأبْرَار و صَلَّتْ عَلَيْكُم الملائكةُ و أَفْطَرَ عِنْدَكُم الصَائِمُون

“Semoga orang-orang baik memakan makanan kalian, para malaikat mendoakan kalian dan orang-orang yang berpuasa berbuka di rumah kalian” [16]

3. Tidak wajib menghadiri undangan yang di dalamnya terdapat maksiat.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله و اليَوْمِ الآخِرِ قَلاَ يَقْعُدَنَّ على مَائِدَةٍ تُدَارُ عَلَيْهَا بِالخَمْرِ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah ia sekali-kali duduk di meja hidangan yang di situ dihidangkan minuman keras” [17]

4. Disunnahkan untuk memulai makan dari tepi wadah dan bukan dari tengah
Dari Abdullah bin Bisr ia berkata,”Nabi memiliki mangkuk besar yang dinamai Al Gharra’ yang diangkat oleh empat orang lelaki, tatkala para sahabat selesai shalat duha, mangkuk tersebut dihidangkan penuh berisi kuah dan roti, para sahabat berkerumun mengelilinginya. Ketika jumlah sahabat yang datang semakin banyak, Nabi duduk berlutut dengan menduduki punggung telapak kaki beliau. Seorang lelaki badui bertanya,”Duduk macam apakah ini? Rasulullah menjawab,”Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai hamba yang mulia dan tidaklah Ia menjadikanku seorang yang sombong lagi durhaka”Kemudian beliau bersabda,”Makanlah dari sisi-sisinya dan tinggalkanah puncaknya niscaya Allah memberikan berkah pada makanan ini [18]

5. Tidak boleh bagi orang yang tidak diundang untuk ikut makn kecuali dengan seizin tuan rumah.
Abu Mas’ud Al Badri bercerita,”Seorang laki-laki mengundang Nabi ke rumahnya untuk mencicipi makanan buatannya. Lalu ada seorang lelaki yang mengikuti beliau. Ketika sampai beliau berkata,”Lelaki ini mengikuti saya, engkau boleh mengizinkannya masuk atau jika tidak ia akan pulang” Pemilik rumah menjawab,”Saya mengizinkannya wahai Rasulullah” [19]

6. Tidak seyogyanya bagi tuan rumah mengkhususkan hanya mengundang orang-orang kaya dan terpandang saja tanpa menyertakan orang-orang miskin. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

شَرُّ الطَّعَامُ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى إِلَيْهِ الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِينُ فَمَنْ لَمْ يَأْتِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang diundang untuk menghadirinya hanya golongan kaya saja sedangkan orang-orang miskin dilarang” [20]

Wallahu a’lamu bish shawab
(Nur Hasanah)

Maraji :
- Riyadhus Shalihin tahqiq Abdul aziz Rabaah dan Ahmad Yusuf Ad-Daqaaq
- Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin
- Adabuz Zifaaf
- Hishnul Muslim

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. HR Al Bukhari (Al Fath 9/521) dan Muslim (2202)
[2]. Hadits shahih dengan beberapa syawahidnya. Dikeluarkan oleh Abu Dawud, 3767; At Tirmidzi, 1858; An Nasai dalam Amalul Yaum wal Lailah, 281; Ahmad, 6/207-208; Ad Darimi, 2/ 94; Al Baihaqi, 7/276 dan Al Hakim, 4/108.HR Al Bukhari (Al Fath 9/521) dan Muslim (2202)
[3]. Bahjatun Nazhirin hal. 50 fiqhul hadits point 1 dan 2.
[4]. HR Al Bukhari, Al Fath 9/580.
[5]. HR Abu Dawud, 4043; At Tirmidzi, 3458; Ibnu Majah, 3285; Ahmad, 3/3439; dan Ibnu Sunni, 469.
[6]. Bahjatun Nazhirin hal. 239.
[7]. HR Muslim, 2032,132.
[8]. HR Muslim, 2033,134.
[9]. HR Al Bukhari, Al Fath, 9/540.
[10]. HR Muttafaqun ‘alaihi.
[11]. HR Muslim, 2052.
[12]. H.R Muslim (2017)
[13]. Hadits hasan lighairihi dengan beberapa syawahidnya, diriwayatkan oleh Abu Daud (3764), Ibnu Majah (3286), Ahmad ( 3/501) dan selain mereka dari jalan Al Walid bin Muslim ia berkata,” Telah menceritakan kepadaku kepadaku Wahsy bin Harb dari bapaknya dari kakeknya secara marfu’.Lihat Majma’ Az Zawaid (5/20-21) dan At Targhib wat Tarhib (3/133-134)
[14]. H.R An Nasai dalam Al Kubra (64/2), Al Hakim (1/439), Al Baihaqi (4/276) dari jalan Samak bin Harb dari Abu Shalih dari Umu Hani’ dengan marfu’
[15]. H.R Muslim (3/1615)
[16]. H.R Ahmad 93/138), Abu ali Ash Shafar dalam haditsnya (11/1), Ath Thahawi dalam Al Musykil (1/ 498-499), Al Baihaqi ( 7/287), ibnu Asakir (7/59-60) dan sanad mereka shahih
[17]. H.R Ahmad dari Umar, At Tirmidzi, di hasankan oleh Al Hakim dan ia juga mensahihkannya dari Jabir dan disepakatioleh Adz Dzahabi, At Thabrani dari Ibnu Abbas.
[18]. H.R Abu Daud (3773), Ibnu Majah (3263 & 3275) dengan sanad shahih
[19]. Muttafaqun alaihi
[20]. H.R Muslim (4/154) dan Al Baihaqi (7/262) dari hadits Abu Hurairah



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM MASALAH DIEN DAN IMAN


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Prinsip Ahlus Sunnah tentang iman adalah sebagai berikut: [1]
1. Iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan anggota badan.

2. Amal perbuatan - dengan seluruh jenisnya yang meliputi amalan hati dan anggota badanadalah bagian dari hakekat iman. Ahlus Sunnah tidak mengecualikan amalan sekecil apa pun, apalagi amalan-amalan besar dan agung.

3. Pemahaman yang menyatakan bahwa “iman adalah pembenaran dengan hati saja”, bukan pemahaman Ahlussunnah! Begitu juga pemahaman yang menyatakan bahwa “iman itu pembenaran dengan pengucapan lisan saja” tanpa amalan anggota badan!” Barangsiapa berpendapat demikian, maka ia telah sesat dan menyesatkan. Pemahaman seperti ini adalah paham sesat aliran Murji’ah.

4. Iman memiliki cabang-cabang serta tingkatantingkatan. Sebagian di antaranya jika ditinggalkan, maka bisa menyebabkan kekufuran; sebagian yang lain jika ditinggalkan akan menimbulkan dosa –kecil atau besar-, tapi tidak sampai kederajat kufur; dan sebagian yang lain jika ditinggalkan akan menyebabkan hilangnya kesempatan memperoleh pahala dan menyia-nyiakan ganjaran.

5. Iman akan bertambah dengan sebab perbuatan taat sehingga bisa mencapai derajat sempurna. Dan iman dapat berkurang karena perbuatan maksiat. Jika terus berkurang bisa menyebabkan iman menjadi sirna, tidak tersisa sedikit pun.

6. Yang benar dalam masalah iman dan amal, serta hubungan antara keduanya (dalam masalah pengurangan atau peningkatan iman, ada atau sirnanya) yaitu yang terdapat dalam perkataan Syaikhul Islam. Perkataan beliau rahimahullah : “Dasar keimanan itu ada dalam hati, yakni ucapan dan amalan hati yang berupa pengakuan, pembenaran, cinta dan kepatuhan. Iman yang berada dalam hati ini akan terlihat buktinya (konsekuensinya) dalam amalan anggota badan. Jika konsekuensi iman ini tidak dikerjakan, (maka ini menunjukkan imannya tidak ada atau lemah). Oleh karena itu perbuatan fisik itu merupakan konsekuensi dan tuntutan keimanan hati. Perbuatan fisik adalah salah satu bagian dari iman muthlaq (Iman yang sempurna). Keimanan yang berada dalam hati adalah dasar (pokok)nya dari amalan lahiriyah anggota badan.” [2]

7. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan Ahlul Qiblat (kaum Muslimin) secara mutlak dengan sebab perbuatan maksiat dan dosa besar yang mereka lakukan selama hati mereka tidak menghalalkan perbuatan maksiat tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Khawarij. Bahkan persaudaraan iman mereka tetap terpelihara, meskipun berbuat maksiat. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.”[al-Hujurât: 9] [3]

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (wafat th. 321 H) rahimahullah berkata, “Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat lantaran dosa-dosa yang dilakukan, selama dia tidak menghalalkan perbuatan dosa tersebut.” Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz rahimahullah menjelaskan perkataan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas, “Perkataan beliau, ‘Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat lantaran dosa yang mereka kerjakan selama mereka tidak menghalalkannya.’ Maksud beliau rahimahullah adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang Muslim yang bertauhid serta beriman kepada Allah dan hari Akhir. Seseorang tidak boleh divonis kafir hanya dikarenakan berbuat dosa, misalnya berzina, minum khamr, riba, durhaka kepada kedua orang tua, dan sejenisnya, selama pelakunya tidak menganggap perbuatan dosa itu halal. Namun apabila pelakunya telah menganggap perbuatan dosa itu halal, maka dia telah kafir. Karena dengan demikian berarti dia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta keluar dari agama. Apabila dia tidak menganggap perbuatan dosanya halal, (menurut pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah) maka dia tidak bisa divonis kafir. Dia dianggap seorang mukmin yang lemah imannya. Untuk orang ini, diberlakukan hukuman pelaku kemaksiatan yaitu dinyatakan sebagai orang fasiq dan ditegakkan hukuman hadd padanya, sebagaimana diatur dalam syari’at yang suci. Inilah pernyataan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berbeda dengan pemahaman golongan Khawarij, Mu’tazilah, dan pengikut jalan mereka yang batil.

Kaum Khawarij menganggap pelaku dosa besar telah kafir sedang Mu’tazilah (tidak mengkafirkannya), namun menempatkannya pada “manzilatun bainal manzilatain” yaitu berada di antara dua tempat, yakni antara Islam dan Kafir di dunia. Namun mengenai akibat mereka di akhirat, pendapat Mu’tazilah sama dengan pendapat Khawarij, yaitu menganggap pelaku dosa besar akan kekal di Neraka. Pernyataan kedua firqah tersebut adalah batil menurut penilaian al-Qur-an, as-Sunnah, dan ijma’ salaful ummah. Pernyataan kedua firqah tersebut telah meracuni sebagian manusia disebabkan ilmu mereka yang dangkal. Padahal pernyataan kedua firqah tersebut terlihat jelas kesesatannya dalam pandangan ahlul haq sebagaimana yang telah kami jelaskan, wabillâhit taufîq. [4]

8. Ahlus Sunnah tidak menganggap bahwa orang Islam yang fasiq dalam agama ini tidak memiliki iman sama sekali dan Ahlussunnah tidak menghukuminya kekal dalam Neraka, sebagaimana yang dikatakan oleh Khawarij dan Mu’tazilah. Orang Islam yang berbuat dosa besar dan maksiat hanya disebut imannya tidak sempurna.

Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Tidaklah seseorang melakukan perbuatan zina, sementara saat itu ia sedang dalam keadaan beriman; Tidaklah seorang itu pencuri, sementara saat itu ia sedang dalam keadaan beriman; Tidaklah seorang itu minum khamr sementara saat itu ia sedang dalam keadaan beriman; Tidaklah seseorang menjarah sesuatu yang berharga yang disaksikan oleh manusia, dan ketika itu ia dalam keadaan beriman.” [5]

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim (II/41) ketika menjelaskan hadits di atas, beliau rahimahullah mengatakan : “Hadits ini termasuk hadits yang diikhtilafkan (perselisihkan) maknanya. Dan pendapat yang paling shahih yang dikatakan oleh para peneliti tentang maknanya adalah seseorang tidak akan melakukan perbuatan dosa dan maksiat ketika imannya dalam keadaan sempurna. Dan ini termasuk lafazh-lafazh yang dipergunakan untuk menafikan sesuatu, akan tetapi yang diinginkan adalah menafikan kesempurnaan sesuatu itu. Dan kami menafsirkan seperti yang disebutkan di atas berdasarkan hadits Abu Dzar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang mengucapkan ‘La ilaaha Illallah’, ia akan masuk Surga, meskipun ia berzina dan mencuri.’”

Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

((مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ : لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذّلِكَ إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ)) قُلْتُ : وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ؟ قَالَ : ((وَإِنْ زَنَى وَإِنْ وَإِنْ سَرَقَ)) قُلْتُ : وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ؟ قَالَ : ((وَإِنْ زَنَى وَإِنْ وَإِنْ سَرَقَ)) ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ فِي الرَّابِعَةِ : ((عَلَى رَغْمِ أَنْفِ أَبِيْ ذَرٍّ))

“Tidaklah ada seorang hamba yang mengucapkan, “Laa ilaaha illallaah kemudian ia meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, melainkan ia pasti masuk surga.” Aku (Abu Dzar) berkata, “Meskipun ia berzina dan mencuri?” Beliau menjawab, “Meskipun ia berzina dan mencuri.” Aku bertanya lagi, “Meskipun ia berzina dan mencuri?” Beliau menjawab, “Meskipun ia berzina dan mencuri.” Beliau mengucapkannya tiga kali, kemudian di kali keempat beliau bersabda, “Meskipun Abu Dzar tidak suka.” [6]

Penafian iman dalam hadits di atas (hadits pada point 8-red) tidak berarti juga menafikan Islam. Karena iman itu lebih khusus daripada Islam. Allah berfirman yang artinya:

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ

“Orang-orang Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka): ‘Kamu belum beriman,’tetapi katakanlah: ‘Kami telah tunduk (patuh), karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.......’”[al-Hujurât/49:14]. [7]

Maka, kesimpulannya, setiap Mukmin itu adalah Muslim, akan tetapi tidak setiap Muslim itu adalah Mukmin. [8]

Ahlus Sunnah mengatakan: “Orang yang berbuat fasiq itu berkurang imannya, atau beriman dengan imannya, dan fasiq dengan sebab dosa besarnya. Dia tidak dianggap beriman dengan keimanan yang sempurna (iman secara mutlak) dan juga tidak dianggap tidak beriman sama sekali (secara mutlak).”

Dalil-dalil dari ayat al-Qur ’ân al-Karîm tentang iman itu bisa bertambah terdapat dalam surat Ali ‘Imrân/3:173, al-Anfâl/8:2, at-Taubah/9:124, al-Ahzâb/33:22, al-Fath/48:4 dan al-Muddatstsir/74:31.

Para ulama Ahlus Sunnah berdalil dengan ayat-ayat di atas tentang bahwasanya iman itu bisa bertambah dan berkurang. Imam Sufyân bin ‘Uyainah rahimahullah pernah ditanya: “Apakah iman bisa bertambah dan berkurang?” Beliau menjawab: “Tidakkah kalian membaca ayat al-Qur’ân?”

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“(Yaitu orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya) yang dikatakan kepada mereka : ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.’ Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah-lah sebaik-baik pelindung.’” [Ali ‘Imrân/3:173]

Dan firman Allah Azza wa Jalla :

نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenar-benarnya . Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.”[al-Kahfi/18:13]

Kemudian Sufyân rahimahullah ditanya lagi: “Apa dalil bahwa iman itu bisa berkurang?” Beliau menjawab : “Tidak ada sesuatu yang bisa bertambah melainkan ia juga bisa berkurang.” [9]

Hal ini juga sesuai dengan apa yang dilakukan Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahîhnya yang memuat bab “Ziyâdatul Iimân wa Nuqshânuhu (Bertambah dan Berkurangnya Iman).”[10]

Di antara dalil tentang pertambahan dan pengurangan iman adalah firman Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hambahamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” [Fâthir/35: 32]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa Allah Azza wa Jalla membagi kaum Mukminin menjadi tiga tingkatan, yaitu:

Pertama: Tingkatan orang yang bergegas mengerjakan kebaikan (سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ ). Yaitu yang melaksanakan yang wajib-wajib dan sering melakukan amalan sunnah, meninggalkan yang haram dan yang makruh. Merekalah almuqarrabun (orangorang yang didekatkan) kepada Allah Azza wa Jalla.

Kedua: Tingkatan sedang (مُّقْتَصِدٌ ). Mereka adalah orang-orang yang hanya melaksanakan hal-hal yang diwajibkan atas mereka dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan buat mereka.

Ketiga: Tingkatan orang-orang yang menzhalimi dirinya (ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ ). Mereka adalah orang-orang yang lancang melakukan sebagian masalah yang diharamkan dan melalaikan sebagian perkara yang diwajibkan atas mereka, sementara pokok iman masih tetap ada dalam diri mereka. [11]

Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَ سِتُوْنَ ِثُعْبِةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَا طَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ

Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Laa ilaaha illallaah,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.” [12]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat at-Tanbîhât al-Lathîfah (hal. 84-89), Mujmal Masâ-il Iimân wal Kufri al-‘Ilmiyyah fii Ushûlil ‘Aqîdah as-Salafiyyah (hal. 21-27, cet. II, 1424 H) dan Mujmal Ushûl Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqîdah (hal. 18-19), dan kitab-kitab lainnya.
[2]. Lihat Majmû’ Fatâwâ (VII/644) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[3]. Allah menyebutkan kata ‘saudara’ (sesama Mukmin), meskipun ia khilaf telah membunuh seorang Mukmin, padahal ini merupakan dosa besar. Lihat Qs. al-Baqarah/2:178 dan an-Nisaa’/4:92.
[4]. Al-‘Aqiidah ath-Thahawiyah bi Hasyiah Syaikh Muhammad bin Maani’ (hal. 52).
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 2475, 5578), Muslim (no. 57), Abu Dawud (no. 4689), dan at-Tirmidzi (no. 2625), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[6]. HR. Muslim (no. 94 (154)). Maksudnya, “Meskipun Abu Dzar tidak suka dengan perbuatan dosa besar tersebut.” [Syarh Shahiih Muslim (II/96)]
[7]. Syarah ‘Aqidah al-Waasithiyah karya Khalil Hirras (hal. 236)
[8]. Syarah Shahih Muslim (I/145).
[9]. Lihat asy-Syarî’ah, Imaam al-Ajurri (II/604-605, no. 239-240) dan al-Ibânah, Imam Ibnu Baththah al-Ukbari (no. 1142).
[10]. Lihat Fat-hul Bâri (I/103).
[11]. Lihat at-Tanbîhatul Lathîfah (hal. 86) dan Taisîr Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân (hlm. 738), cet. I-Maktabah al-Ma’ârif, th. 1420 H.
[12]. HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abu Dâwud (no. 4676), an-Nasî’i (VIII/110) dan Ibnu
Mâjah (no. 57), dari Sahabat Abu Hurairah t . Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers