Kata pendidikan dalam bahasa Arab lazim disebut tarbiyah. Untuk memahami apa tujuan pendidikan atau tarbiyah, maka harus mengetahui terlebih dahulu apa pengertian dan hakikat tarbiyah. Islam itu sendiri diimani dan diamalkan oleh pemeluknya melalui proses tarbiyah.

Pertama, tarbiyah dari Allah yang besifat khusus, yaitu taufiq serta pemeliharaan Allah yang diberikan kepada para waliNya hingga mereka menjadi makin sempurna dalam keimanan dan terjaga dari penghalang-penghalang keimanan.

Allah adalah Rabbul-’Alamin, yang salah satu pengertiannya ialah, Allah pentarbiyah dan murabbi segenap makhluk dengan segala nikmat-Nya.[1]

Kedua, tarbiyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga dengan penyampaian-penyampaian yang jelas serta bimbingan-bimbingan beliau, seseorang menjadi semakin memahami akan Islam dan semakin bertanggung jawab mengamalkannya.

Begitulah, umat Islam generasi pertama menjadi umat pilihan karena merupakan hasil didikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang menjadi muslim yang baikpun melalui proses pendidikan.

Tarbiyah, menurut Syaikh Abdurrahman Albaaniy yang dinukil oleh Syaikh Ali Hasan bin ‘Ali bin Abdul Hamid al-Halabiy,[2] adalah sebagai berikut :

”Kata tarbiyah terpulang pada tiga asal kata, yaitu :

Pertama,

رَبَا – يَرْبُوْ

(Rabâ – Yarbû) yang artinya: tumbuh.

Kedua,

رَبِيَ – يَرْبَى

(Rabiya – Yarbâ) yang artinya: berkembang

Ketiga,

رَبَّ – يَرُبُّ

(Rabba – Yarubbu) yang artinya: memperbaiki, mengurusi, mengatur dan memelihara.

Dalam Lisân al-‘Arab, karya Ibn Manzhûr dikemukakan penjelasan berikut (tentang asal kata yang pertama):

رَبَا الشَّيْءَ  يَرْبُوْ  رَبْوًا  وَ رِبَاءً

Rabâsy-Syai’u Yarbû Rabwan wa Ribâ’an; artinya: sesuatu itu bertambah dan tumbuh.

Arbaituhu, artinya: aku menumbuhkannya.

Dalam al-Qur’an al-Kariim, Allah berfirman:

وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

Allah menumbuh suburkan (pahala) sedekah. (Qs. al-Baqarah/2:276).

Dari makna inilah diambil pengertian Riba yang haram. Allah berfirman:

وَمَآءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِيَرْبُوا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوا عِندَ اللهِ

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia tumbuh pada harta manusia, maka riba itu tidak tumbuh (bertambah) pada sisi Allah.

(Qs. ar-Rûm/30:39).[3]

Al-Ashma’iy berkata:

قَدْ رَبَوْتُ فِى بنى فُلاَنٍ أَرْبُوْ

Artinya: Aku tumbuh (terbentuk) di tengah keluarga Bani Fulan.

Sedangkan kalimat:

رَبَّيْتُ فُلاَنًا أُرَبِّيْهِ تَرْبِيَةً

Rabbaitu Fulânan – Urabbhi – Tarbiyatan, artinya:  Aku menumbuhkembangkan (mentarbiyah/mendidik) Fulan.[4]

Adapun tentang asal kata : Rabba – Yarubbu, maka dalam Lisân al’Arab, Ibnu Manzhûr mengatakan: Rabba Waladahu wash-Shabiyya – Yarubbuhu – Rabban. Wa Rabbabahu – Tarbîban wa Taribbatan; maknanya: memperbaiki, mengurus dan memelihara seorang anak.

Dalam hadits disebutkan:

هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا. رواه مسلم

Apakah engkau mempunyai suatu kesenangan padanya yang dapat engkau pelihara? [5]

Maksudnya, (apakah engkau mempunyai) suatu kesenangan darinya yang dapat engkau jaga, engkau pelihara dan engkau tumbuh kembangkan seperti halnya seseorang menjaga dan menumbuhkembangkan anaknya?[6]

Sementara itu dalam kitab Mufradât ar-Râghib al-Ashfahâniy dikemukakan penjelasan berikut: Ar-Rabbu berasal dari kata tarbiyah. Maknanya, membentuk sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai kesempurnaan. Jadi kata ar-Rabbu merupakan mashdar (kata dasar) yang dipinjam untuk digunakan sebagai fa’il (pelaku perbuatan).

Sedangkan dalam al-Qâmûs al-Muhîth karya Fairuz Abadi dijelaskan: Rabba al-Amra, artinya memperbaiki urusan. Rabba ash-Shabiyya, artinya memelihara seorang anak hingga dewasa.

Rabautu fî Hijrihi – Rabwan – wa Rubuwwan; demikian pula Rabaitu Ribâ`an wa Rubiyyan, artinya aku terbentuk pada asuhannya.

Dari beberapa makna di atas, ada makna yang mendekatkan kata tarbiyah menuju pengertian secara istilah, yaitu perkataan Imam al-Baidhâwiy dalam Kitab Tafsir-nya yang bernama Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl:

Ar-Rabbu asalnya bemakna tarbiyah. Yaitu menjadikan sesuatu sampai pada kesempurnaannya sedikit demi sedikit. Kemudian Allah l disifati dengan kata Rabb ini untuk menunjukkan mubalaghah (sangat sempurna dalam meningkatkan makhluk-Nya menjadi sempurna, Pen.).

Sebelumnya juga telah dijelaskan perkataan ar-Râghib al-Ashfahâniy, bahwa ar-Rabb asalnya dari kata tarbiyah, yang maknanya, membentuk sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai kesempurnaan.

Dengan demikian, dari makna tarbiyah dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Murabbi/pendidik sebenarnya secara mutlak adalah Allah Subhanahu wata’ala , karena Dia-lah al-Khaliq. Pencipta fitrah dan Penganugerah berbagai bakat manusia. Dia pula yang yang telah menyediakan jalan bagi tumbuh, berkembang dan bekerjanya fitrah serta bakat-bakat manusia secara bertahap. Dia-lah yang telah menetapkan syari’at agar fitrah-fitrah itu tumbuh semakin sempurna, bagus dan menjadi berbahagia.

2. Maka tarbiyah/pendidikan harus dilakukan sejalan dengan cahaya syari’at Ilahi dan selaras dengan hukum-hukum syari’at Ilahi,

3. Tarbiyah juga harus dijalankan secara terencana dan bertahap dimana tahap yang satu berpijak pada tahap yang lain, dan tahap yang sebelumnya menjadi dasar bagi persiapan tahap berikutnya.

4. Aktifitas seorang murabbi/pendidik harus mengikuti fitrah yang ditetapkan Allah, dan harus mengikuti syari’at serta hukum-hukum Allah”. Demikian secara ringkas apa yang dinukil oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabiy dari Syaikh ‘Abdur-Rahman al-Albaniy dalam bukunya Madkhal Ila at-Tarbiyah fî Dhau`i al-Islam; hlm. 7-13.

Jadi makna dan hakikat tarbiyah secara istilah ialah: “Kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan cara-cara dan sarana-sarana yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam untuk maksud memelihara serta membentuk seseorang menjadi pemimpin di muka bumi dengan kepemimpinan yang di atur berdasarkan peribadatan hanya kepada Allah saja secara sempurna. Sudah barang tentu kegiatan ini harus dilakukan berbarengan dengan upaya terus menerus menjaga manhaj ilmiah secara teliti agar secara mengakar dapat memahami persoalan-persoalan bid’ah (untuk dihindari), kemudian selalu memperhatikan tata cara penerapannya, apakah sudah terhindar dari bid’ah atau belum?” [7]

Sementara itu Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan:

“Asas-asas tarbiyah dalam masyarakat Islam berdiri dalam rangka mewujudkan aqidah yang benar, perasaan-perasaan yang mulia dan adab-adab yang tinggi. Hal ini tercermin pada hubungan antara anak didik dengan Rabb-nya, dengan pendidiknya, dengan kawannya, dengan kantor lembaga pendidikannya dan kemudian dengan lingkungan keluarganya”.[8]

Dari sini, dapat diketahui bahwa hakikat tarbiyah yang benar bertumpu pada tiga hal penting:

Pertama, tarbiyah harus memusatkan perhatiannya  untuk membangkitkan aqidah tauhid serta membersihkan kehidupan umat dari berbagai bid’ah dan penyimpangan sebagai pendahuluan agar ummat kelak mampu memikul Islam kembali.

Kedua, parameter tarbiyah yang benar ialah bila tarbiyah tersebut berdiri pada landasan Al-Qur`ân dan Sunnah, terjalin dengan praktik keseharian para Salaf, serta terbangun kembali semangat generasi umat untuk menggali Al-Qur`ân dan Sunnah hingga mampu memahami dan mengambil istinbath hukum. Tentu saja dengan mengambil petunjuk secara utuh pada pemahaman Salafush-Shalih dan terus berkonsultasi dengan para Ulama Rabbani yang benar-benar menguasai Al-Qur`ân dan Sunnah.

Ketiga, tarbiyah tidak dapat dipisahkan dari upaya terus menerus dalam memberi pengarahan kepada masyarakat secara umum. Sebab hakikat tarbiyah serta hasilnya selalu berkaitan erat dengan kehidupan keseharian masyarakat, baik yang menyangkut keyakinan, norma, tadisi, hubungan sosial, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain.” [9]

Kesimpulannya, jika makna dan hakikat tarbiyah sudah jelas, maka tujuan tarbiyahpun menjadi jelas, yaitu membentuk umat, baik secara individu maupun secara bersama-sama menjadi umat yang bertanggung jawab memenuhi hak-hak Allah, memenuhi hak-hak makhluk sesuai dengan ketentuan Allah, menjauhi segala macam bid’ah, khurafat, kemaksiatan serta penyimpangan-penyimpangan lain, sehingga berbahagialah hidupnya, tidak saja di dunia, tetapi yang lebih penting di akhirat. Intinya menjadi umat yang beribadah hanya kepada Allah saja, sesuai dengan tujuan diciptakannya jin dan manusia. Umat yang lebih mementingkan kehidupan akhirat daripada dunia. Umat yang selalu memikirkan bagaimana selamat dan sukses di akhirat. Meskipun dunia tidak dilupakannya, tetapi tidak menjadi tergantung padanya.

Alangkah indahnya jika tarbiyah serta pendidikan, baik formal maupun non formal, berorientasi pada ibadah hanya kepada Allah saja, dengan senantiasa berpedoman pada petunjuk-petunjuk yang berladaskan Al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahaman para salafush-shalih serta senantiasa berkonsultasi dengan para Ulama Rabbani. Sebab para Ulama Rabbani adalah pendidik umat sesungguhnya sesudah nabinya.

Karena itulah, berkaitan dengan hadits :

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ. رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وغيرهم

Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.[10]

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan :

Di dalamnya terdapat sesuatu yang harus diperhatikan oleh para ulama, yaitu hendaknya mereka mendidik umat seperti halnya seorang ayah mendidik anaknya. Maka hendaknya para ulama mendidik umat secara bertahap dan meningkat dari ilmu yang kecil-kecil hingga yang besar-besar. Hendaknya mereka membawa umat secara bertahap menurut kemampuan, seperti yang dilakukan seorang ayah terhadap anaknya ketika menyuapkan makanan.[11]

Wallahu A’lam.

Maraji’:

1. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti’nâfi al-Hayâti al-Islamiyati, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Dâr at-Tauhid, Riyadh, KSA, Cetakan II, 1414 H (sebagai rujukan utama).
2. Lisân al-‘Arab, Tashîh: Amin Muhammad ‘Abdul-Wahab dan Muhammad ash-Shâdiq al-‘Abyadi, Dâr Ihyâ` at-Turâts al-‘Arabi dan Mu’assasah at-Târîkh al-‘Arabi, Beirut, Libanon, Cetakan III, Tahun 1419 H/1999 M.
3. Majalah As-Sunnah, Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M.
4. Miftâh Dâr as-Sa’âdah wa Mansyûr Walâyati Ahli al-‘Ilmi wa al-Irâdah, karya Ibnu al-Qayyim, Taqdîm: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Muraja’ah: Syaikh Bakr Abu Zaid, Dâr Ibnu al-Qayyim, Riyadh & Dâr Ibnu ‘Affân, Kairo, Cetakan I, Tahun 1425 H/2004 M.
5. Nidâ` Ila al-Murabbîn wa al-Murabbiyât, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, tanpa tahun, dari Silsilah at-Taujîhiyyât no. 17.
6. Shahîh Muslim Syarh Nawawi. Tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha, Dâr al-Ma’rifah, Cetakan III, Tahun 1417 H/1996 M.
7. Shahîh Sunan Abi Dawud, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Cetakan II dari cetakan terbaru, 1421 H/2000 M.
8. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Cetakan I dari cetakan terbaru, 1420 H/2000 M.
9. Shahîh Sunan Ibni Majah, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Cetakan I dari cetakan terbaru, 1417 H/1997 M.
10. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannn, Syaikh Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’di.

Penulis: Al-Ustadz Ahmas Faiz Asifudin, Lc.

Artikel: www.ustadzfaiz.com

[1] Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannân Syaikh Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’diy, Tafsir Surat al-Fâtihah. Lihat pula yang senada dengan itu di Majalah As-Sunnah, edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M, rubrik ‘Aqidah, hlm. 37, kolom 2.

[2] At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî isti’naafi al-Hayâti al-Islamiyati, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, hlm. 95-99.

[3] Lisân al-‘Arab, mâddah rabâ, Tashîh: Amin Muhammad ‘Abdul-Wahab dan Muhammad ash-Shâdiq al-‘Abyadiy, V/126.

[4] Lisân al-‘Arab, mâddah rabâ, V/128.

[5] Shahîh Muslim Syarh Nawawi, Tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha, Kitab al-Adab wal Birri wash-Shilah, Bab: Fadhlu al-Hubbi Fillâh, no. 6495 – XVI/340.

[6] Lisân al-‘Arab, mâddah rabâ, V/96.

[7] At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti’nâfi al-Hayâti al-Islamiyati, hlm. 100. Dinukil oleh penulis serta ditambah dengan yang ada pada foot note dengan bahasa bebas.

[8] Nidâ` Ila al-Murabbîn wa al-Murabbiyât, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, tanpa tahun – dari Silsilah at-Taujîhiyyât, no. 17. hlm. 9 di bawah sub judul Muhimmah al-Murabbi an-Nâjih.

[9] Disimpulkan dengan bahasa bebas dari at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti’nâfi al-Hayâti al-Islamiyati, hlm. 101.

[10] Hadits shahîh. Lihat Shahîh Sunan Abi Dawud (II/407), Kitab al-‘Ilmi, no. 3641, Shahîh Sunan at-Tirmidzi (III/71), Kitab al-‘Ilmi, no. 2682, dan Shahîh Sunan Ibni Majah (I/92), Muqadimah, no. 183.

[11] Miftâh Dâr as-Sa’âdah wa Mansyûr Walâyati Ahli al-‘Ilmi wa al-Irâdah, Ibnu al-Qayyim, Taqdîm : Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Muraja’ah: Syaikh Bakr Abu Zaid, I/262.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers