“Kematian itu pasti datang dan akan terjadi pada setiap makhluk yang bernyawa, setiap makhluk pasti akan mati, maka bersiaplah akan mati..... adakah disini yang berani menjamin bahwa ia masih dapat hidup 10 menit kedepan?! Jika ada maju kedepan dan katakan dengan lantang..!”
Seperti itulah suasana pesantren sabtu-ahad yang diadakan oleh salah satu sekolah tingkat atas di bilangan Bekasi. Ustadz yang berceramah mencoba memberikan shock therapy bagi para pemuda agar kembali memikirkan orientasi dari kehidupan dunia yang sedang dijalani. Identik dengan masa muda maka salah satu jargon seringkali terbaca dengan istilah ‘balita hura-hura, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga’. Seperti itulah jargon yang kadangkala berdengung seru untuk mempelajari dan menelaahnya kembali apa hal dibalik seruan tersebut. Dan yang sangat tak masuk akal adalah ucapan ‘mati masuk surga’ seakan-akan mereka yang berkata demikian telah mendapatkan janji surga dan melihat surga telah berada di genggaman tangannya. Padahal para sahabat sebagai orang-orang yang terbaik dan telah mendapatkan janji surga masih tetap melaksanakan amal ibadah dalam kesehariannya. Bahkan hal ini juga terjadi pada diri Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam yang senantiasa mensyukuri nikmat dari Allah azza wa jalla.
Berbicara soal kematian, benar sekali tanpa disadari kawan setiap kali ada salah satu kaum muslimin meninggal di tengah-tengah kita, yang pertama kali dan kita repotkan untuk diuraikan adalah soal “wafatnya jam berapa”, “kenapa”, “karena apa”, bahkan tak jarang jika semua cerita telah runtut didengar ditelinga maka sebuah ucapan “kasihan yaa dia..” atau “wah padahal kemarin segar bugar lho”.
Itulah fenomena dan realita yang ada. Seseorang lebih senang untuk mencari tahu lebih dalam tentang sebab kematian seseorang tersebut dan lebih menarik didengar bila menceritakannya kembali terhadap orang-orang disekitarnya. Bukannya berkaca bahwa ia pasti akan menyusulnya sehingga ia dapat mempersiapkan perbekalan yang terbaik bagi dirinya. Sebagaimana yang Allah firmankan:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr : 18).
Sungguh keadaan demikian sudah menjadi barang yang langka, terlebih ketika mengetahui bahwa amalannya masih dirasa kurang dan mereka masih memiliki kesempatan untuk memperbaikinya. Tapi itu semua menjadi mustahil di saat jenazah telah dikuburkan, para peziarah telah pulang ke rumah masing-masing, mereka kembali larut dalam aktivitas yang melenakan seperti sedia kala. Apa yang diucapkan soal sebab wafat ataupun ucapan kasihan tersebut tidak kembali pada diri pribadi.
Padahal Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam senantiasa berwasiat agar mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya persiapan untuk menempuh perjalanan yang sangat panjang. Suatu saat Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersama para sahabat pergi mengantarkan jenazah. Selepasnya beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam duduk di tepi kubur dan para shahabat pun duduk di sekelilingnya. Beliau menyapu kepalanya dan menancap-nancapkan tanah dengan tongkat pendek yang berada ditangannya. Kemudia beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam mengangkat kepalanya dan terlihat air matanya mengalir melalui jenggotnya, lalu bersabda: “Wahai manusia, demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari & Muslim).
Kematian adalah suatu hitungan waktu yang pasti dan sangat dekat bagi setiap muslimin. Ia (kematian) datang tidak mengenal situasi dan keadaan seseorang karena setiap ajal telah ditentukan waktunya, tidaklah ia muda ataupun tua, tidak pula ia yang kaya maupun miskin, pria maupun wanita, kematian akan datang pasti. Oleh karena itu alangkah sangat berbahagianya jika seseorang telah mengisi hari-hari dalam hidupnya dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya dan agamanya.
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuan hidupnya, maka Allah akan menjadikan kekayaan di dalam hatinya. Dan Allah akan mengumpulkan kekuatannya, dan dunia akan datang sendiri padanya. Namun barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya, maka Allah akan menjadikan kefakiran ada di depan matanya, dan mencerai beraikan kekuatannya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah di takdirkan kepadanya.” (HR. Tirmidzi).
Mulai sekarang hendaklah kita bersama untuk mempersiapkan dan menyongsong kematian dengan keadaan sebaik-baiknya. Terbiasa mengerjakan amal kebaikan diatas landasan keikhlasan dan kebenaran itu merupakan sebuah keharusan agar jangan sampai ada amalan yang kita bawa nanti bagaikan debu berterbangan dikarenakan tidak dikerjakan sesuai dengan landasan yang benar dalam beribadah.
Ingat dan pahamilah, bahwa senantiasa masih ada waktu untuk membenahi amalan-amalan kita demi mempersiapkan hari akhir yang dijanjikan pasti kedatangannya. Perbaikilah dan isilah keseharian dengan amalan-amalan yang terbaik dan benar. Semoga Allah mencabut nyawa kita dalam keadaan sedang memberikan manfaat dan amalan yang memberatkan sebagaimana lazimnya kebiasaan yang dilakukan.
Dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba-Nya, maka Dia akan menjadikannya sebagai orang yang rajin beramal.”
Para sahabat pun bertanya “Bagaimana maksudnya?.” Maka Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Allah memberikan taufik kepadanya untuk beramal shalih sebelum wafatnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dari akhirnya.“ (HR. Bukhari)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer