Para ulama dari berbagai madzhab telah menyebutkan di dalam kitab-kitab fikihnya beberapa hal yag dapat membatalkan puasa yang dapat kita simpulkan dalam beberapa kaidah di antaranya:
1. Al Jima’ (الجماع) atau bersetubuh (hubungan intim antara suami dan istri), yaitu memasukkan dzakar (penis) ke dalam farji (kemaluan) wanita. Ini adalah pembatal yang paling besar, serta pelakunya waib membayar kafarat. Hal ini didasari oleh sebuah hadits yang menceritakan seorang laki-laki menyetubuhi istrinya ketika berpuasa kemudian diperintahkan membayar kafarat (HR. Bukhari 11/56, Muslim 1111).
2. Ikhrajul Mani (إخراج المني) atau mengeluarkan air mani (sperma) dengan sengaja, seperti onani dan semisalnya, sebagaimana dalam hadits qudsi Allah berfirman:
يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Dia (orang yang berpuasa) meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Aku.” (HR. Bukhari kitab shaum: 3)
3. Al Aklu wa asy Syurbu Amdan (الأكل و الشرب) atau makan dan minum dengan sengaja, yaitu memasukkan sesuatu ke dalam rongga [2]-nya melalui mulut atau hidung. Adapun makan dan minum termasuk pembatal puasa, maka didasari firma-Nya (yang artinya):
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…” (QS. al Baqarah [2] : 187).
Dan adapun memasukkan sesuatu ke dalam rongganya lewat hidung termasuk juga membatalkan puasa, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang berwudhu menghirup air dalam-dalam ke hidungnya. Sabda beliau:
وَ بَالِغْ فِي الإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Hiruplah air dalam-dalam ke hidung kecuali kalau engkau berpuasa” (HR. Tirmidzi: 27, Abu Dawud: 2366, Ibnu Majah: 407, dan dishahihkan oleh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil: 935)
4. Maa Kaana fii Ma’na al Akli wa asy Syurbi (ما كان في معني الأكل و الشرب) atau segala sesuatu yang semakna dengan makan dan minum, seperti menggunakan cairan infus yang berfungsi menggantikan makan dan minum, dan semisalnya; hal ini lantaran termasuk memasukkan sesuatu yang sama dengan makanan dan minuman ke dalam rongganya, walaupun tidak melalui mulut dan hidungnya.
5. Al Qai-u Amdan (القيء عمدا) atau muntah dengan sengaja. Adapun kalau tidak sengaja, tidak membtalkan puasanya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَ هُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ فَإِنْ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barangsiapa muntah secara tidak sengaja sedangkan dia berpuasa, maka tidak ada qadha baginya; dan barangsiapa menyengaja muntah, maka dia harus meng-qadha-nya.” (HR. Tirmidzi 3/79, Abu Dawud 2/310, Ibnu Majah 1/536, dan dishahihkan oleh al Albani dalam Misykatul Mashahih; 2007, dan lihat Silsilah Shahihah: 923).
Hadits di atas mengatakan bahwa orang yang muntah dengan sengaja harus meng-qadha puasa. Ini menunjukkan bahwa puasanya tidak sah, sehingga harus di-qadha (diganti).
6. Khuruju dammi al haidh wan nifas (خروج دم الحيض و النّفاس) atau keluarnya darah haid dan nifas, sebagaimana hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tatkala ditanya tentang masalah haid, beliau mengatakan:
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَالِكَ فَنُئْمَرُ بِقَضَاءِ الصَوْمِ وَ لَمْ نُئْمَرْ ِقَضَاءِ الصَلاَةِ
“Hal itu (haid) telah kami alami juga, maka kami diperintah meng-qadha puasa dan tidak meng-qadha shalat.” (HR. Bukhari 4/329 dan Muslim; 335).
Adapun nifas juga termasuk pembatal puasa. Hal ini didasari oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Abu Dawud: 311-312, Tirmidzi: 139, Ibnu Majah: 648, dan telah dishahihkan oleh al Albani.
Demikianlah kaidah pembatal-pembatal puasa sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam al Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai sabdanya. Adapun masalah-masalah baru yang tidak terdapat dalilnya secara khusus, maka para ulama meng-qiyas-kan (menggabungkan kepada dalil/kaidah di atas kemudian menarik hukumnya) disesuaikan dengan masalah tersebut.
[1] Sebagaimana dalam HR. Bukhari : 1897, Muslim 3/91, Tirmidzi: 3675, dan lainnya
[2] Terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang batasan dan definisi “rongga”. Madzhab Hanafi berkata termasuk “rongga” adalah dada, punggung, perut, dua lempeng kiri dan kanan,, dan antara kemaluan dengan dubur (Bada’i ash Shana’i 7/297). Madzhab Maliki mengatakan termasuk “rongga” adalah punggung dan perut Hasyiyah al Khurasyi 3/50. Madzhab Syafi’i mengatakan termasuk “rongga” ialah mencakup semua yang berongga seperti perut, bagian dalam hidung, bagian dalam tengkorak kepala, bagian dalam kemaluan dan tenggorokan bagian dalam (lihat al Ghurar al Bahiyah 2/213 dan asy Syarh al Kabir oleh a Rafi’ 3/192-193). Madzhab Hambali mengatakan “romgga” terbatas pada dua hal, yaitu perut dan bagian dalam tengkorak kepala (lihat al Kafi oleh Ibnu Qudamah 1/352. Adapun pendapat yang kuat dan sesuai dengan dalil adalah “apa saja yang dimasukkan melalui mulut dan hidung baik makanan atau minuman, maka membatalkan puasa; sedangkan apa saja yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia yang tidak melalui mulut dan hidung, maka asal hukumnya tidak membatalkan puasa kecuali apabila berfungsi sebagai makanan atau minuman.” (lihat penjelasannya pada bab berikut, yaitu “Alat-alat modern dan hukumnya untuk orang yang berpuasa”)
Artikel ini disadur dari majalah Al Furqon tahun 6 edisi spesial Ramadhan + Syawal.
Penulis: Ustadz Abu Ibrahim Muhammad Ali.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer