Bila sejak kecil yang kita tahu asmaul husna (nama-nama Allah yang
indah) hanya berjumlah 99 (sembilan puluh sembilan), dalam tulisan ini
kita berkesempatan memperluas cakrawala.
Benarkah asmaul husna hanya berjumlah 99?
Beda pendapat di kalangan ulama
Ibnul Qayyim menjelaskan dalam Syifa’ Al-‘Alil, hlm. 472,
bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa hadits “Sesungguhnya Allah memiliki
99 nama …” tidak menunjukkan bahwa itulah batasan jumlah nama Allah,
sebagaimana bila seseorang berkata, “Si Fulan punya 100 budak yang
membantunya berdagang dan dia juga punya 100 budak yang membantunya
berjihad.” Adapun Ibnu Hazm berpendapat bahwa hadits tersebut
menunjukkan bahwa nama Allah hanya terbatas 99. (Dinukil dari Al-Mujalla, 9:1)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَ تِسْعِيْنَ اِسْمًا مِائَةً إِلاَّ وَاحَدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama –
seratus kurang satu; barang siapa yang menghitungnya (ahsha’), akan
masuk surga.” (Hadits shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; lihat: Shahih wa Dhaif al-Jami’ Ash-Shaghir)
Jumlah sembilan puluh sembilan bukanlah batasan
Menurut pendapat jumhur ulama, asmaul husna berjumlah tidak terbatas.
“Tidak ada satu pun orang yang tahu berapa pastinya jumlah asmaul husna. Dalilnya adalah doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan semua nama yang menjadi
milikmu, baik yang Engkau sendiri yang menyebut diri-Mu dengannya – yang
Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, yang engkau ajarkan kepada salah
seorang hamba-Mu, atau yang Engkau simpan sebagai hal gaib yang hanya
Engkau yang tahu.’
Dengan demikian, Allah Jalla wa ‘Ala memiliki nama (asma’)
yang sangat banyak. Beberapa di antaranya adalah yang Allah sebutkan
dalam Al-Quran. Ada pula yang Allah ajarkan kepada salah seorang
hamba-Nya (misalnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pen.), dan itu tidak termaktub dalam Kitab-Nya.
Adapun hadits yang berbunyi, ‘Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama;
barang siapa yang menghitungnya akan masuk surga,’ maka hadits ini
bukanlah menjadi pembatasan (bahwa nama Allah hanya 99). Akan tetapi
yang benar, 99 nama tersebut menunjukkan bahwa orang yang menghitungnya
akan masuk surga. Jadi, bukan berarti total nama Allah hanya sembilan
puluh sembilan dan tidak ada lagi selain itu. (I’anatul Mustafid, 3:369)
“Kalimat semacam ini biasa diungkapkan dalam keseharian, misalnya
Anda berkata, ‘Saya punya 100 dirham. Saya bersedekah sejumlah itu.’
Kalimat ini tidak menutup kemungkinan bahwa Anda ternyata punya dirham
yang lain (Anda masih punya selain 100 dirham itu), yang tidak Anda
sedekahkan.” (Al-Mujalla Syarh Qawa’idul Mutsla, (9:2)
Contoh dalam keseharian kita: Total uang saya di dompet Rp 100.000,-
Tapi ini bukan berarti saya tidak punya uang selain itu, karena di rumah
saya pun menyimpan uang.
Imam An-Nawawi menguraikan dalam Syarh Shahih Muslim, 17:5,
“Ulama telah bersepakat bahwa hadits ini bukan menunjukkan bahwa nama
Allah itu terbatas jumlahnya. Bukan pula bahwa Allah tidak punya nama
lain selain sembilan puluh sembilan nama itu. Hadits tersebut hanya
menunjukkan bahwa orang yang menghitung (ahsha’) 99 nama
tersebut akan masuk surga. Jadi, maksudnya hanya untuk memberitakan
bahwa orang bisa masuk surga bila menghitung sembilan puluh sembilan
nama tersebut, bukan untuk memberitakan bahwa nama Allah terbatas
(sembilan puluh sembilan saja).” (Al-Mujalla Syarh Qawaidul Mutsla, 9:3)
Makna menghitung (ahsha’)
Ahsha’ mencakup beberapa hal, yaitu menghafal teksnya, yang
terpenting adalah mengetahui maknanya, dan yang paling sempurna adalah
beribadah kepada Allah dengan segala hal yang berkaitan dengan nama
Allah tersebut. (Al-Mujalla Syarh Qawa’idul Mutsla, 9:2)
Makna ahsha’ (menghitung) mencakup beberapa poin:
- Mengetahui nama tersebut.
- Memahami makna/artinya.
- Beramal dengan segala hal yang terkait dengan nama tersebut.
Jika seseorang semata menulis atau menyebut nama tersebut tapi dia
tidak tahu makna/artinya, atau dia sudah tahu maknanya tapi tidak
beramal shalih dengan berbekal pengetahuannya tersebut, maka kondisi itu
tidak terhitung sebagai amalan yang mendapat ganjaran mulia ini (yaitu
surga, pen.)” (I’anatul Mustafid, 3:369)
Secara bahasa, kalimat “barang siapa yang menghitungnya, akan masuk surga” merupakan shifat (na’at) untuk kata “sembilan puluh sembilan”. Jadi, kalimat tersebut bukan mubtada’ (berkedudukan marfu’), melainkan dia menempati kedudukan manshub. (Disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Fatawa, 6:381)
Aplikasi hadits ini
Contohnya, kita menghafal nama Allah Ar-Razzaq, dan kita tahu
maknanya adalah “Maha Pemberi rezeki”. Dengan begitu, kita memohon
rezeki kepada Allah dengan berdoa, “Wahai Ar-Razzaq, mohon beri aku
rezeki.”
Dengan meyakini bahwa Allah adalah Ar-Razzaq, kita turut meyakini
bahwa satu-satunya pemberi rezeki hanya Allah. Tidak mungkin ada
dewa-dewi yang mampu memberi rezeki, seperti mitos Dewi Sri (Dewi Padi
yang membantu keberhasilan panen para petani).
Dengan meyakini bahwa Allah adalah Ar-Razzaq, tidak mungkin kita akan
mempersembahkan sesajen ke pohon yang dianggap keramat, atau
melarungkan kepala kerbau ke laut untuk memohon keselamatan dari jin
yang dikira ratu penjaga pantai.
Dengan meyakini bahwa Allah adalah Ar-Razzaq, kita tidak takut
memiliki anak lebih dari dua, karena toh rezeki setiap manusia telah
dijamin oleh Allah. Allah sangat mampu memberi rezeki kepada setiap
manusia yang hidup sejak masa Nabi Adam hingga era smartphone saat ini.
Dengan meyakini bahwa Allah adalah Ar-Razzaq, tidak ada kata “putus
asa” dalam kamus hidup kita. Tugas kita adalah berusaha, dan kita selalu
optimis bahwa rezeki itu pasti akan datang dari sisi Allah.
Dengan meyakini bahwa Allah adalah Ar-Razzaq, kita selalu yakin bahwa
setiap nikmat pasti datang dari Allah. Kita hadang tiap kesombongan
yang ingin bercokol di hati. Mengapa sombong, padahal semua kenikamatan
itu adalah pemberian Allah? Harta, ilmu, anak, fasilitas hidup,
kesehatan, dan segala kenyamanan di dunia ini pasti merupakan rezeki
dari Allah.
Semoga ulasan yang ringkas ini bermanfaat. Barakallahu fikum.
Referensi:
- Al-Mujalla Syarh Qawa’idul Mutsla, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
- I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
- Shahih wa Dhaif al-Jami’ Ash-Shaghir, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Penulis: Athirah Mustadjab (Ummu Asiyah)
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel WanitaSalihah.Com
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Anonymous said...
Piye kabare Mas Bro? Ditunggu kunjungan baliknya.