Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al Baqarah [2]: 185).
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala telah mewajibkan untuk
berpuasa di bulan Ramadhan dari awal sampai akhir bulan. Awal bulan
Ramadhan diketahui dengan dua metode:
Metode Pertama, Melihat Hilal Bulan Ramadhan
Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“Jika kalian melihat hilal (bulan Ramadhan), maka berpuasalah. Jika kalian melihat hilal (bulan Syawwal), maka berbukalah (berhari rayalah). Jika hilal tidak terlihat, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari)” [1]
Imam Ahmad dan An-Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
“Janganlah kalian berpuasa sampai melihat hilal (bulan Ramadhan). Dan jangan berbuka (berhari raya) sampai melihat hilal (bulan Syawwal).” [2]
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Thalq bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu,
إِنَّ اللهَ جَعَلَ هَذِهِ الْأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
“Sesungguhnya Allah menjadikan hilal ini sebagai tanda-tanda
waktu. Jika kalian melihatnya (hilal bulan Ramadhan), maka berpuasalah.
Jika kalian melihatnya (hilal bulan Syawwal), maka berbukalah (berhari
rayalah).” [3]
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
جَعَلَ اللهَ الْأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ، فصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Allah menjadikan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia.
Berpuasalah karena melihatnya (hilal bulan Ramadhan). Dan berbukalah
(berhari rayalah) karena melihatnya (hilal bulan Syawwal). [4]
Dalam hadits-hadits yang mulia ini, wajibnya berpuasa di bulan Ramadhan dikaitkan dengan melihat hilal bulan Ramadhan. Juga terdapat larangan untuk berpuasa tanpa melihat hilal. Allah Ta’ala
telah menjadikan hilal (bulan) sebagai tanda (petunjuk) waktu bagi
manusia, yang dengan hilal tersebut diketahuilah waktu-waktu ibadah dan
muamalah mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji’”
(QS. Al Baqarah [2]: 189).
Hal ini adalah rahmat Allah Ta’ala dan kemudahan bagi umat
manusia, ketika mengaitkan wajibnya puasa Ramadhan dengan suatu perkara
yang jelas dan tanda yang nyata, yang bisa dilihat dengan penglihatan
mereka. Dan tidaklah disyaratkan bahwa hilal tersebut harus dilihat oleh
semua manusia. Jika sebagian mereka telah melihatnya, meskipun hanya
satu orang, maka wajib bagi semua manusia untuk berpuasa.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ”Seseorang
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ’Aku telah
melihat hilal.’ Yang dimaksud adalah hilal bulan Ramadhan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟
‘Apakah Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah?’
Orang tersebut berkata, ‘Ya’. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟
‘Apakah Engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?’
Orang tersebut berkata,’Ya’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
‘Wahai Bilal, umumkanlah kepada kaum muslimin untuk berpuasa besok hari.’” [5]
Diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَ،
وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
”Banyak orang berusaha melihat hilal. Kemudian aku mengabarkan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku
sungguh-sungguh melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan
para sahabat untuk berpuasa” [6]
Metode Kedua, Menggenapkan Bulan Sya’ban Menjadi Tiga Puluh Hari
Berdasarkan metode penentuan awal masuk bulan Ramadhan dengan melihat
hilal, jika hilal tidak terlihat, maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi
tiga puluh hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“Jika hilal tidak terlihat, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari).”
Maksud perkataan beliau, (غُمَّ عَلَيْكُم) adalah jika sesuatu
menutupi hilal, sehingga tidak bisa dilihat pada malam ketiga puluh
bulan Sya’ban, baik berupa mendung atau debu, maka hitunglah bilangan
bulan Sya’ban secara sempurna, yaitu dengan menggenapkannya menjadi tiga
puluh hari. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits yang
lainnya,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ ثَلاَثِينَ
“Jika hilal tidak terlihat, maka genapkanlah (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.” [7]
Maksudnya adalah larangan berpuasa pada hari yang diragukan. Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu,
مَنْ صَامَ هَذَا الْيَوْمَ، فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia
telah durhaka kepada Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam).” [8]
Wajib atas setiap muslim untuk mengikuti petunjuk yang datang dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ibadah puasa dan ibadah lain seluruhnya. Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah membatasi pengetahuan tentang masuknya bulan Ramadhan dengan
salah satu dari dua tanda yang nyata, yang diketahui oleh orang awam dan
orang terpelajar, yaitu melihat hilal atau menggenapkan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.
Barangsiapa yang mendatangkan suatu metode untuk (menentukan) mulai
wajibnya berpuasa (Ramadhan), selain metode yang telah dijelaskan oleh
syariat, maka dia telah durhaka kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam [9].
Hal ini sebagaimana orang-orang yang mengatakan bahwa wajib untuk
menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan. Padahal
dalam metode hisab mungkin terdapat kesalahan, dan juga sesuatu yang
sulit (tersembunyi) yang tidak bisa dikuasai oleh semua orang.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, ”Aku
melihat manusia dalam bulan Ramadhan dan juga bulan lainnya, di antara
mereka ada yang mendengarkan perkataan sebagian ahli hisab yang bodoh,
bahwa hilal telah atau belum terlihat. Mereka mengikuti perkataan
tersebut baik dalam batin mereka atau batin dan lahir mereka.
Sampai-sampai datang berita kepadaku bahwa sebagian qadhi (hakim) ada
yang menolak persaksian sejumlah orang shalih karena perkataan ahli
hisab yang bodoh dan pendusta bahwa hilal telah atau belum terlihat.
Maka mereka termasuk orang yang mendustakan kebenaran …” sampai
perkataan Syaikhul Islam, “Maka kita telah mengetahui dengan pasti dari
agama Islam bahwa menentukan hilal Ramadhan, haji, ‘iddah, atau ilaa’ [10] (dari
hukum-hukum yang dikaitkan dengan hilal) berdasarkan perkataan ahli
hisab (bahwa hilal telah atau belum terlihat) maka hal ini tidak
diperbolehkan. Dalil-dalil tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini sangatlah banyak. Kaum
muslimin telah bersepakat dengan hal ini, dan tidak diketahui sama
sekali adanya perselisihan di antara mereka, baik generasi terdahulu
atau pun generasi belakangan.” [11]
Dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan ilmu hisab ini
terdapat kesulitan dan kesempitan bagi umat ini. Dan Allah Ta’ala
berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al Hajj [22]: 78).
Maka kewajiban setiap muslim adalah membatasi diri atas apa yang telah ditetapkan oleh syariat Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana wajib bagi kaum muslimin untuk membatasi diri atas apa yang telah Allah Ta’ala syariatkan dalam perkara selain hilal dan juga saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. [12]
***
Selesai diterjemahkan di pagi hari, Sint-Jobskade Rotterdam NL, Sabtu 5 Sya’ban 1436
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Catatan kaki:
[1] HR. Bukhari (1900) dan Muslim (8/1080).
[2] HR. Bukhari (1906) dan Muslim (3/1080) dan lafadz di atas adalah
milik keduanya. Di dalam hadits tersebut juga terdapat tambahan, yaitu
kalimat terahir dalam hadits sebelumnya (hadits nomor 1), yaitu
perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
sebagaimana dalam riwayat Bukhari, dan
فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
sebagaimana dalam riwayat Muslim.
[3] HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (8/397 nomor 8237).
[4] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/423), Ahmad dalam Al-Musnad
(4/23), Daruquthni dalam Sunan-nya (2/163). Al-Hakim berkata,”Shahih
menurut syarat Bukhari dan Muslim.” Disepakati oleh Adz-Dzahabi.
[5] HR. Abu Dawud (2340 dan 2341).
[6] HR. Abu Dawud (2342). Dinilai shahih oleh Al-Albani.
[7] HR. Bukhari (1907) dan Muslim (1081).
[8] HR. Abu Dawud (2334); At-Tirmidzi (686); An-Nasa’i (2190); dan
Ibnu Majah (1645). Abu ‘Isa At-Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih.”
[9] Dan juga menambahkan dalam syariat yang telah ditetapkan oleh
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya serta berbuat bid’ah dalam agama yang tidak
ada dalilnya dalam syariat, “Dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
[10] Al-ilaa’ adalah sumpah suami untuk tidak menyetubuhi istrinya dalam jangka waktu tertentu.
[11] Majmu’ Fatawa (25/131, 132)
[12] Diterjemahkan dari: Ittihaaf Ahlil Imaan bi Duruusi Syahri Ramadhan, karya Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Daar ‘Ashimah Riyadh KSA, cetakan ke dua, tahun 1422, hal. 132-134.
___
Artikel Muslim.or.id
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer