Pertanyaan.
Bagaimana kepastian hukum shalat di Masjid Nabi yang di dalamnya terdapat
kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Boleh atau tidak?
Jawaban.
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kami jelaskan beberapa hal menyangkut
permasalahan ini.
Bahwasanya Islam melarang kita membangun masjid di atas kuburan ataupun
mengubur seseorang di dalam masjid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda:
لَعْنَةُ اللَّهُ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ
أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun
kuburan para nabi mereka sebagai masjid. [Muttafaqun ‘alaihi].
Demikian juga, dalam sebuah hadits disebutkan adanya larangan shalat
menghadap kuburan, sebagaimana sabda Rasulullah:
لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
Janganlah kalian shalat menghadap kuburan, dan janganlah duduk di
atasnya. [HR Muslim].
Oleh sebab itu, para ulama melarang shalat di masjid yang ada kuburannya,
bahkan dianggap tidak sah. Sebagaimana Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah
wal-Ifta Saudi Arabia telah menyatakan dalam fatwanya, bahwasanya terdapat
larangan menjadikan kuburan sebagai masjid, maka tidak diperbolehkan shalat
disana dan shalatnya tidak sah.[1]
Adapun kepada pemerintah, dianjurkan untuk menghancurkan masjid yang dibangun
di atas kuburan, apabila kuburan tersebut ada sebelum pembangunan masjid.
Apabila keberadaan masjid lebih dahulu daripada kuburan, maka hendaknya kuburan
tersebut digali, dikeluarkan isinya, dan kemudian dipindahkan ke pekuburan umum
yang terdekat. Anjuran ini disebutkan dalam fatwa yang berbunyi:
Tidak diperbolehkan shalat di dalam masjid yang ada satu kuburan atau
beberapa kuburan, berdasarkan pada hadits Jundab bin ‘Abdullah Radhiyallahu
anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
(pada) lima hari sebelum beliau n meninggal:
إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَ
صَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ, ألآ فَلاَ تَتَّخِذُوْا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّيْ
أَنْهَكُمْ عَنْ ذَلِكَ
Sungguh umat sebelum kalian dahulu telah membangun masjid-masjid di atas
kuburan para nabi dan orang shalih mereka. Ketahuilah, janganlah kalian
membangun masjid-masjid di atas kuburan, karena aku melarangnya. [HR
Muslim].
Juga hadits A’isyah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau
bersabda:
لَعْنَ اللَّهُ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ
أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun
kuburan para nabi mereka sebagai masjid.
Kewajiban pemerintah kaum Muslimin agar menghancurkan masjid-masjid yang
dibangun di atas kuburan, disebabkan karena masjid-masjid tersebut dibangun
bukan di atas takwa. Hendaknya juga mengeluarkan semua yang dikubur di dalam
masjid setelah masjid dibangun dan mengeluarkan jenazahnya, walaupun telah
menjadi tulang atau debu, karena kesalahan mereka dikubur disana. Setelah itu
diperbolehkan shalat di masjid tersebut, sebab yang dilarang telah hilang.[2]
Prof. Dr. Syaikh Shalih al Fauzan, di dalam fatwanya, beliau menyatakan:
Apabila kuburan-kuburan tersebut terpisah dari masjid oleh jalan atau pagar
tembok, dan dibangunnya masjid tersebut bukan karena keberadaan kuburan
tersebut, maka tidak mengapa masjid dekat dari kuburan, apabila tidak ada tempat
yang jauh darinya (kuburan). Adapun bila pembangunan masjid tersebut di tempat
yang ada kuburannya, dengan tujuan dan anggapan di tempat tersebut ada
barakahnya, atau (menganggap) hal itu lebih utama, maka tidak boleh, karena itu
merupakan salah satu sarana perantara perbuatan syirik.[3]
Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan Masjid Nabawi, yang di dalamnya
terdapat kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka para ulama telah
menjelaskan bahwa hukumnya berbeda dengan kuburan lainnya. Ketika menjawab
pertanyaan seseorang yang menjadikan Masjid Nabawi -yang ada kuburan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam – sebagai dalil bolehnya shalat di dalam masjid
yang ada kuburannya, Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah
wal-Ifta` berfatwa:
Adapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (beliau) dikuburkan di luar
masjid, (yaitu) di rumah ‘Aisyah. Sehingga pada asalnya, Masjid Nabawi dibangun
untuk Allah dan dibangun tidak di atas kuburan. Namun masuknya kuburan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ke dalam masjid), semata-mata
disebabkan karena perluasan masjid.[4]
Syaikh al Albani rahimahullah , secara jelas juga mengatakan:
Masalah ini, walaupun saat ini secara nyata kita saksikan, namun pada zaman
sahabat, hal tersebut tidak pernah ada. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam wafat, mereka menguburkannya di rumah beliau yang berada di samping
masjid, dan terpisah dengan tembok yang terdapat pintu tempat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju masjid. Perkara ini terkenal dan
dalam masalah ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. (Maksud)
para sahabat, ketika menguburkan beliau n di kamar ‘Aisyah, agar tidak ada
seorangpun yang dapat menjadikan kuburan beliau sebagai masjid. Namun yang
terjadi setelah itu, diluar perkiraan mereka. Peristiwa tersebut terjadi ketika
al Walid bin Abdil Malik memerintakan penghancuran Masjid Nabawi pada tahun 88 H
dan memasukkan kamar-kamar para isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ke dalam masjid, sehingga kamar ‘Aisyah dimasukkan ke dalamnya. Lalu jadilah
kuburan tersebut berada di dalam masjid. Dan pada waktu itu, sudah tidak ada
seorang sahabat pun yang masih hidup di Madinah. [5]
Kemudian Syaikh al Albani memberikan kesimpulan hukum, bahwa hukum terdahulu
(uaitu larangan shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburannya,
Red.) mencakup seluruh masjid, baik yang besar maupun yang
kecil, yang lama maupun yang baru, karena keumuman dalil-dalilnya. Satu masjid
pun tidak ada pengecualian dari larangan tersebut, kecuali Masjid Nabawi. Karena
Masjid Nabawi ini memiliki kekhususan, yang tidak dimiliki oleh masjid-masjid
yang dibangun di atas kuburan. Seandainya dilarang shalat pada Masjid Nabawi,
tentu larangan itu memberikan pengertian yang menyamakan Masjid Nabawi dengan
masjid-masjid selainnya, dan menghilangkan keutamaan-keutamaan (yang dimiliki
Masjid Nabawi tersebut). Hal seperti ini, jelas tidak boleh. [6]
Demikianlah beberapa penukilan dari pendapat para ulama dalam permasalahan
ini. Sehingga menjadi jelas bagi, bahwa shalat di Masjid Nabawi yang di dalamnya
terdapat kuburan Nabi, tidaklah mengapa. Yakni dibolehkan.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran
085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi
08122589079]
________
Footnote
________
Footnote
[1] Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta`
no. 5316.
[2] Ibid., no. 4150 dan no. 6261.
[3] Al Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih bin ‘Abdillah bin
Fauzan al Fauzan (2/171), fatwa no. 148.
[4] Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta`
no. 5316 (6/257)
[5] Tahdzirus-Saajid.
[6] Ibid.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer