بسم الله الرحمن الرحيم
و عليكم السلام والرحمة الله وبركاته
Alhamdulillah washsholatu wassalaamu ‘alaa rosulillah, waba’du:
Pertanyaan 1 yang berkaitan dengan salaman dan tugas dokter:
Hukum Membawa Wanita ke Dokter Untuk Memeriksa-kan Auratnya Karena Darurat
Lajnah Daimah
Pertanyaan:
Apakah boleh seorang laki-laki membawa isterinya ke seorang dokter
laki-laki muslim atau kafir untuk mengobatinya dan membukakan auratnya
termasuk kemaluannya? Perlu diketahui, bahwa sebagian orang membawa
putri-putrinya ke para dokter untuk memeriksakan mereka lalu para dokter
itu memberikan ser-tifikat keperawanan, biasanya mereka lakukan itu
ketika telah mendekati waktu pernikahan.
Jawaban:
Jika
pemeriksaan dan pengobatan wanita bisa dilakukan oleh dokter wanita
muslimah, maka tidak boleh memeriksakan atau meminta pengobatan kepada
dokter laki-laki walaupun muslim. Tapi jika tidak bisa, dan kebutuhannya
mendesak untuk segera diobati, maka dokter laki-laki yang muslim itu
boleh memeriksanya dengan dihadiri oleh suaminya atau mahramnya karena
khawatir terjadi fitnah atau terjadi hal-hal yang tidak terpuji. Jika
tidak ada dokter muslim maka tidak apa-apa dokter kafir dengan syarat
tadi. Semoga shalawat dan salam dicurahkan kepada nabi kita Muhammad,
keluarga dan para sahabatnya.
Rujukan:
Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah (19), Lajnah Da’imah, hal. 149. Disalin
dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, penerbit Darul Haq.
Dari Fatwa As-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz rahimahullah:
Sebagian Staf Wanita Mengeraskan Suara dan Bersalaman dengan Rekan Prianya
Sebagian
wanita yang merupakan staf rumah sakit selalu mengeraskan suaranya
ketika berbicara bersama teman-teman wanitanya atau dengan
teman-temannya dari kalangan pria. Bahkan sebagian dari mereka
bersalaman dengan kaum pria dari kalangan dokter atau yang lainnya,
apakah hukum agama bagi mereka? Dan apakah kita berdosa ketika diam
tidak menegurnya?
Jawaban:
Seharusnya
para dokter, baik pria atau wanita selalu memperhatikan orang-orang
yang sedang sakit sehingga mereka tidak mengeraskan suara di dekat
mereka, akan tetapi hal itu dilakukan di tempat yang lain.
Adapun
bersalaman, maka sesungguhnya seorang pria tidak diperbolehkan
bersalaman dengan seorang wanita kecuali dengan mahramnya. Sedangkan
jika seorang dokter wanita atau perawat wanita yang bukan mahramnya,
maka hal itu tidak diperbolehkan, karena sesungguhnya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya aku tidak pernah bersalaman dengan kaum wanita (yang bukan mahram, -ed).”
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Demi
Allah, Rasulullah sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang
wanita (yang bukan mahram, -ed), dan tidaklah beliau membai’at mereka
kecuali dengan perkataan, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada
beliau.”
Maka
seorang wanita tidak diperbolehkan bersalaman dengan seorang lelaki
yang bukan mahramnya. Dia tidak diperbolehkan bersalaman dengan seorang
dokter pria, seorang direktur pria, seorang pria yang sedang sakit atau
yang lainnya jika ia bukan merupakan mahram. Akan tetapi hendaknya dia
berbicara dengan baik, mengucapkan salam tanpa berjabat tangan, dan
tanpa membuka auratnya. Hendaknya ia selalu menutup kepalanya, badannya,
dan mukanya walaupun dengan memakai cadar yang matanya terbuka. Karena
sesungguhnya seorang wanita adalah aurat dan fitnah sebagaimana
difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“…
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri
Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih
suci bagi hatimu dan hati mereka…” (QS. Al-Ahzab: 53)
Di dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“… Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka…” (QS. An-Nuur: 31)
Kepala
dan wajah adalah perhiasan yang paling utama, demikian pula yang berada
pada tangannya atau kakinya, berupa perhiasan atau cat kuku, semuanya
adalah fitnah berdasarkan dau ayat di atas. Maknanya adalah semua itu
merupakan aurat, dan kewajibannya adalah menutupi aurat dan menjauhi
segala fitnah, dan di antara sebab fitnah adalah bersalaman.
(Sumber:
Panduan Shalat dan Bersuci bagi Orang Sakit Menurut Sunnah yang Shahih
karya Syaikh DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani (penerjemah: Zaki
Rakhmawan & Beni Sarbeni), penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Bogor.
Cet. Pertama Muharram 1427 H – Februari 2006 M, hal. 102-137.)
Artikel terkait: http://almanhaj.or.id/content/1683/slash/0/hukum-dokter-membuka-aurat-wanita-dan-berkhalwat-dengannya-untuk-berobat/
2. Hukum merayakan ulang tahun:
Pertanyaan.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun
anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat
yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan hati
anak dan keluarganya ?
Jawaban.
Perayaan
ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah,
atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka
hal itu termasuk bid'ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari
amalan bid'ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya
sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya
('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan
RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied (hari raya) dalam
Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai
hari raya.
Saat
memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapati dua
hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang dan
menganggapnya sebagai hari 'Ied, maka beliau bersabda.
"Artinya
: Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih
baik dari keduanya, yaitu 'Idul Fitri dan 'Idul Adha".
Kedua.
Adanya
unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan
merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka".
Kemudian
panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau
dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik
orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara
orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk
amalanya.
Karena
itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur
panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : "Semoga
Allah memanjangkan umurmu" kecuali dengan keterangan "Dalam ketaatanNya"
atau "Dalam kebaikan" atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang
kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang
jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita
darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan
dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya
: Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan
menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara
yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka.
Sesungguhnya rencana amat teguh". [Al-A'raf : 182-183]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya
: Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian
tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka. Sesungguhnya
Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa
mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan". [Ali-Imran : 178]
[Fatawa Manarul Islam 1/43]
[Disalin
dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar
Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa'id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim,
Penerbit Griya Ilmu]
3. Kerja pembantu direstoran orang ahli kitab
Pertanyaan:
Apakah dibolehkan bagi seorang muslim untuk menjadi pembantu orang
non-muslim? Dan bila dibolehkan, bolehkah menyajikan makanan untuk
mereka pada siang hari bulan Ramadhan?
Al-Lajnah menjawab:
Islam
adalah agama yang toleran dan mudah. Bersamaan dengan itu, Islam adalah
agama yang adil. Hukum seorang muslim menjadi pembantu bagi orang
kafir, berbeda sesuai dengan tujuannya. Bila tujuannya adalah syar’i,
dengan mewujudkan hubungan baik antara dia dengan orang kafir itu
sehingga dia bisa mendakwahinya kepada Islam dan menyelamatkannya dari
kekafiran dan kesesatan, ini adalah tujuan yang mulia. Dan di antara
kaidah yang telah tetap dalam syariat ini: “Sarana-sarana hukumnya
seperti hukum tujuannya.” Bila tujuannya adalah perkara yang wajib, maka
sarana itu menjadi wajib pula. Dan bila tujuannya adalah perkara haram,
maka sarana itu menjadi haram.
Bila dia tidak memiliki tujuan yang syar’i, maka dia tidak boleh menjadi pembantu mereka. Ini terkait dengan perkara-perkara yang sifatnya mubah.
Adapun
menjadi pembantu dalam menyajikan makanan dan minuman yang haram,
seperti daging babi dan khamr, tidak diperbolehkan secara mutlak. Karena
memuliakan mereka dengan menyajikan hal-hal itu merupakan suatu bentuk
maksiat kepada Allah l dan taat kepada mereka dalam hal kemaksiatan.
Juga merupakan bentuk mendahulukan hak mereka daripada hak Allah l.
Seorang muslim wajib berpegang teguh dengan agamanya.
Adapun
menyajikan makanan untuk mereka pada siang hari bulan Ramadhan, juga
tidak diperbolehkan secara mutlak. Karena ini merupakan perbuatan
menolong mereka dalam hal yang Allah haramkan. Dan sudah maklum dari
syariat yang suci ini, bahwa orang-orang kafir juga terkena seruan
(untuk melaksanakan) syariat ini, baik ushul (pokok) maupun furu’
(cabang)-nya. Tidak diragukan bahwa puasa Ramadhan merupakan salah satu
rukun Islam, dan orang-orang kafir juga terkena kewajiban untuk
melaksanakannya dengan (terlebih dahulu) merealisasikan syaratnya, yaitu
masuk Islam. Sehingga, seorang muslim tidak boleh membantu mereka untuk
tidak melaksanakan hal yang Allah l wajibkan atas mereka. Sebagaimana
tidak boleh membantu mereka pada perkara yang mengandung penistaan dan
penghinaan terhadap si muslim tersebut, seperti menyajikan makanan untuk
mereka, dan semacamnya.
Hanya
Allah-lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam Allah l semoga
tercurah kepada Nabi kita Muhammad n, keluarga, dan para sahabat beliau.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah, 14/474-475, fatwa no. 1850)
Silakan baca sendiri artikel terkait lainnya di link berikut:
Belum lagi masalah safar yang jauh untuk bekerja di luar negeri:
Wallohua'lam...
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer