Ruwatan yang dalam foto ini jelas ritual
kemusyrikan. Silakan baca, Ruwatan dan Kemusyrikan Dimuncul-munculkan
Lagi di Indonesia http://www.nahimunkar.com/ ruwatan-dan-kemusyrikan- dimuncul-munculkan-lagi-di- indonesia/
Ritual ruwatan atau membuat sesaji untuk
dipersembahkan kepada roh-roh dan sebagainya itu termasuk kemusyrikan,
karena sudah ditegaskan oleh Allah Ta’ala:
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ(106)
”Dan janganlah kamu memohon kepada selain
Allah, yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan
bahaya kepadamu,jika kamuberbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu,
dengan demikian, termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik).” (QS.
Yunus/10: 106).
Kemusyrikan Merajalela Tapi Tak Disadari
Sebagai gambaran nyata, marilah kita simak contoh berikut ini.
Pengantin di Jakarta bahkan di Indonesia
tampaknya masih banyak terimbas kepercayaan batil berbau musyrik,
menganggap ada hari-hari keberuntungan dan ada tanggal sial. Pengaruh
klenik (perhitungan untung dan sial dikaitkan dengan aneka macam
alamat-alamat atau perlambang) perdukunan masih marak. Masyarakatnya
tampak modern, agamanya pun Islam, tetapi kadang keyakinannya rusak.
Percaya klenik, petunjuk syetan dan dukun. Hingga di berbagai daerah di
Jawa, mereka tidak berani nikah di sepanjang bulan Suro (Muharram)
karena dianggap bulan pageblug (datangnya penyakit). Benar-benar
keyakinan batil.
Sebaliknya ada hari-hari yang dianggap
mengandung keberuntungan. Contoh nyata, pada tanggal 7 bulan 7 tahun
2007, di Jakarta dan tempat-tempat lain khabarnya marak orang nikah. Di
Kecamatan Pasar Minggu Jaksel yang berpenduduk 146.000-an orang, sehari
itu ada 62 pasang pengantin. Bahkan di Kecamatan Cakung Jakarta Timur
yang berpenduduk 150.000-an orang ada 80 pasang pengantin di hari itu.
Padahal rata-rata biasanya sehari hanya ada 7 pasang pengantin. Berarti
melonjak 1000 persen lebih.
Padahal dalam tuntunan Islam telah ada
ancaman dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merasa sial karena
sesuatu atau karena alamat-alamat yang dianggap mendatangkan sial adalah
termasuk perbuatan kemusyrikan. Sebab Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عَنْ حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ قَالُوا : وَمَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ ؟ قَالَ : أَنْ يَقُولَ اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إلَّا خَيْرُك وَلَا طَيْرَ إلَّا طَيْرُك , وَلَا إلَهَ غَيْرُكَ (رواه ِأَحْمَدَ عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ. قال الشيخ الألباني : ( صحيح ) انظر حديث رقم : 6264 في صحيح الجامع)
“Barangsiapa yang tidak jadi melakukan
keperluannya karena merasa sial, maka ia telah syirik. Maka para sahabat
radhiyallahu ‘anhum bertanya, Lalu bagaimana kafarat dari hal tersebut
wahai Rasulullah?”
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Katakanlah:
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Katakanlah:
اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إلَّا خَيْرُك وَلَا طَيْرَ إلَّا طَيْرُك , وَلَا إلَهَ غَيْرُكَ
“Allahumma laa khaira illaa khairaka wa laa thiyara illa thiyaraka wa laa ilaha ghairaka.
(Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikanMu, dan tidak ada
kesialan kecuali kesialan [dari]-Mu, dan tidak ada Tuhan yang berhak
disembah selain-Mu).” (HR.Ahmad dari Abdullah bin Umar dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani).
Petunjuk dari Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam telah jelas seperti itu, namun sebagian orang justru
mengikuti petunjuk lain, entah itu dari dukun, klenik, atau peninggalan
nenek moyang dan sebagainya yang merusak aqidah keimanan.
Sebelum melanjutkan pembahasan ini, perlu
diketahui, sampai tahun 2007, untuk nikah itu ongkos yang harus dibayar
ke KUA (Kantor Urusan Agama), menurut peraturan aslinya, nikah di KUA Rp
35.000,- sedang bedolan (penghulunya diundang ke luar kantor)
tambah Rp 50.000, jadi Rp 85.000,- Tapi entah kenapa, di Jakarta uang
pendaftaran nikah Rp 35.000 itu berubah jadi Rp 125.000, sedang bedolan
Rp 50.000 berubah jadi minimal Rp 300.000, dan maksimal yang sudah
pernah konon sampai Rp 15 juta.
Sebagai contoh tentang banyaknya orang
yang menikah pada tanggal 7, bulan 7, tahun 2007, akan kami lanjutkan
mengenai dua kecamatan di Jakarta: Pasar Minggu Jakarta Selatan dan
cakung Jakarta Timur.
KUA Pasar Minggu saat itu punya 6
penghulu, maka satu hari itu tiap satu penghulu harus
menikahkan/mencatat 10 pasang pengantin lebih, mungkin saja sampai
termehek-mehek, karena harus pontang-panting ke sana-ke mari. Tapi dapat
duitnya tiap satu penguhulu minimal hari itu Rp 3 juta. Lha yang di
Cakung, kalau satu penghulu hari itu harus menikahkan 15-an pasang
pengantin apa tidak lebih temehek-mehek. 80 pasang pengantin itu kalau
minimal satunya membayar penghulu Rp 300 ribu, maka para penghulu itu
minimal telah meraup Rp 24.000.000 pada hari itu. Bukan main!
Ternyata kemusyrikan di sini menghasilkan
duit bagi sebagian orang. Dan sebagian orang itu justru yang bertugas
dalam lingkup agama Islam. Namanya saja Kantor Urusan Agama (Islam)
Kementerian Agama. Mestinya, pertama-tama yang harus diberantas oleh
kantor ini adalah kemusyrikan. Karena kemusyrikan itu adalah kemunkaran
yang tertingi. Jadi harus paling pertama diberantas. Tetapi ketika
justru mendatangkan uang seperti itu, apakah ada sedikit terlintas
dipikiran mereka untuk memberantasnya?
Antara duit dan merajalelanya dosa terbesar yakni kemusyrikan, mana yang lebih dekat kepada hati dan pikiran?
Antara yang nikah tidak mendatangkan duit,
misalnya nikah langsung ke KUA, tanpa memberi uang bedolan (uang
tambahan ketika nikahnya di luar KUA –Kantor Urusan Agama) dengan yang
maraknya pernikahan karena percaya kepada keberuntungan hari ke7, bulan 7
tahun 2007 yang berbau kemusyrikan itu, mana yang lebih menyenangkan
bagi petugas KUA?
Ini bukan memukul rata bahwa yang nikah
pada hari tertentu itu berbau musyrik. Mungkin ada pula yang tidak
percaya bahwa hari itu hari keberuntungan. Terhadap yang tidak percaya
itu, maka tidak terkena masalah kemusyrikan ini. Tetapi gejala banyaknya
yang menikah di hari itu dan di Jawa ada kejadian tahunan tentang
sepinya menikah di bulan Muharram (Suro) karena dianggap sebagai bulan
yang mengandung bahaya (pageblug/datang penyakit dan sebagainya), maka kepercayaan tathoyyur,
menganggap sial berkaitan dengan hari atau tanggal itulah kemusyrikan
menurut Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan masalah itulah
yang didiamkan saja oleh pihak yang bertugas mencatat penikahan dari
KUA, biasanya. Padahal, kemusyrikan itulah bahaya terbesar dalam hidup
ini, karena semua amal terhapus. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menegaskan:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ(65)
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu
dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan
(Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk
orang-orang yang merugi. (QS. Az-Zumar [39] : 65)
Di samping itu dosa syirik/menyekutukan
Allah Subhanahu wa Ta’ala itu tidak akan diampuni Allah bila sampai
pelakunya itu meninggal belum bertaubat. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا(48)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik)
itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ [4]
: 48)
Sebegitu dahsyatnya bahaya kemusyrikan.
Namun maraknya kemusyrikan yang merupakan dosa terbesar dan tak diampuni
bila pelakunya mati belum bertaubat itu dibiarkan saja, bahkan mungkin
dianggap sebagai lahan. Apalagi justru mendatangkan duit, bagi
orang-orang tertentu ketika masyarakat ramai-ramai menikah seperti pada
tanggal 7, bulan 7, tahun 2007.
Pantas saja, di Indonesia ini sudah ada
Departemen Agama (kini Kementerian Agama) sejak 3 Januari 1946, namun
sampai tulisan ini dibuat tahun 2007M / 1428H justru kemusyrikan semakin
menjadi-jadi. Bahkan sekarang dengan adanya Otonomi Daerah, Pemerintah
Daerah (Pemda) di mana-mana hampir rata menghidupkan aneka kemusyrikan
yang telah terkubur. Ada upacara musyrik akbar yang disebut larung laut,
menghanyutkan sesaji untuk syetan laut. Ada penyembelihan binatang
untuk tumbal, sedekah bumi dan aneka sesaji untuk syetan pujaan mereka.
Padahal masing-masing daerah itu ada Kanwil Departemen Agama (kini
Kementerian Agama) tingkat provinsi, Kantor Departemen Agama (kini
Kementerian Agama) tingkat kabupaten atau kotamadya, dan KUA (Kantor
Urusan Agama) tingkat kecamatan. Tetapi upacara-upacara kemusyrikan itu
makin besar dan marak di mana-mana.
Dalam hal pernikahan, kalau para petugas dari KUA itu sesuai dengan namanya, maka berkewajiban memberantas kemusyrikan. Tapi nyatanya, yang namanya adat injak telur yang berbau kemusyrikan, pernahkah diberantas oleh para petugas KUA?
Yang namanya bid’ah pitonan (ritual kehamilan tujuh bulan) pernahkah orang KUA mengusiknya?
Bukankah mereka dari Kantor yang urusannya agama Islam?
Kenapa kemusyrikan dan bid’ah dibiarkan tetap merajalela sedangkan sehari saja mereka pontang-panting menghadiri pernikahan sampai ada yang 15 tempat, yang kemungkinan besar di sana ada kemusyrikan dan bid’ah?
Membela Aliran Sesat
Di samping membiarkan merajalelanya
kemusyrikan dan bid’ah, masih tambah menyedihkan lagi ketika saya
saksikan sendiri, betapa gigihnya sebagian pejabat di bawah Departemen
Agama (kini Kementerian Agama) itu yang justru membela aliran sesat.
Wallahi, saya menyaksikan dan merasakan langsung, di samping laporan
tokoh-tokoh Islam beberapa daerah. Masih ditambah lagi bersama sebagian
MUI (Majelis Ulama Indonesia) Daerah yang sama-sama membela aliran sesat
khususnya LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Padahal MUI Pusat
tetap menyatakan bahwa LDII itu adalah aliran sesat jelmaan Islam
Jama’ah atau Darul Hadits yang telah dilarang Jaksa Agung RI 1971. Namun
anehnya, seorang ketua MUI Kepri (Kepulauan Riau) bisa ‘ditenteng’ oleh
seorang pengusaha dari LDII Batam untuk menghalangi bedah buku saya, Bunga Rampai Penyimpangan Agama di Indonesia, di Batam 8 Juli 2007. Padahal jelas MUI telah mengeluarkan rekomendasi tentang sesatnya LDII:
MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah mengeluarkan rekomendasi mengenai aliran sesat LDII.
MUI dalam Musyawarah Nasional VII di
Jakarta, 21-29 Juli 2005, merekomendasikan bahwa aliran sesat seperti
Ahmadiyah, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) dan sebagainya agar
ditindak tegas dan dibubarkan oleh pemerintah karena sangat meresahkan
masyarakat. Bunyi teks rekomendasi itu sebagai berikut:
“Ajaran Sesat dan Pendangkalan Aqidah. MUI mendesak Pemerintah untuk bertindak tegas terhadap munculnya berbagai ajaran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam, dan membubarkannya, karena sangat meresahkan masyarakat, seperti Ahmadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), dan sebagainya. MUI supaya melakukan kajian secara kritis terhadap faham Islam Liberal dan sejenisnya, yang berdampak terhadap pendangkalan aqidah, dan segera menetapkan fatwa tentang keberadaan faham tersebut. Kepengurusan MUI hendaknya bersih dari unsur aliran sesat dan faham yang dapat mendangkalkan aqidah. Mendesak kepada pemerintah untuk mengaktifkan Bakor PAKEM dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya baik di tingkat pusat maupun daerah.” (Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia, Tahun 2005, halaman 90, Rekomendasi MUI poin 7, Ajaran Sesat dan Pendangkalan Aqidah).
Barangkali saya salah pasang, bila
mengharap orang-orang yang duduk di Departemen Agama (kini Kementerian
Agama) dari pusat sampai daerah untuk memberantas kemusyrikan, apalagi
bid’ah. Sedang kurikulum yang dibuat Departemen Agama RI sendiri telah
jelas-jelas menghasilkan keburukan, hingga saya tulis buku “Ada Pemurtadan di IAIN“.
Itu memang kurikulumnya dari Depag RI. Dan sekarang kurikulum itu konon
sudah menjadi hak otonom masing-masing perguruan tinggi Islam, sehingga
Departemen Agama katanya sulit untuk mengubahnya. Wallahu a’lam, ada
apa sebenarnya terhadap agama Islam di negeri ini.
Dari sisi lain, Pak Menteri Agama sendiri
mengakui, memang Departemen Agama belum bersih. Hanya saja maksudnya
mungkin hanya dari korupsi. Kalau tentang kemusyrikan apalagi bid’ah,
Menteri Agama dulu, Munawir Sjadzali (1983-1992), sampai marah-marah
kepada para pejabat Depag, karena dia dengar, untuk mempertahankan
jabatan ataupun naik, sampai mereka berdukun. Itu berarti kental dengan
praktek-praktek kemusyrikan berkaitan dengan syarat-syarat dari dukun
alias wali syetan yang harus dijalankan demi meraih apa yang diinginkan,
yakni jabatan.
Bahkan saya dengar kemarahan beliau, ada
pejabat di Bandung yang main perempuan, dan di antara prakteknya itu ada
fotonya di saku. (Saat itu belum ada ponsel, hingga tak beredar seperti
kasus Yahya Zaini dari Golkar yang diduga main dengan penyanyi dangdut
Maria Eva, kemudian vcd-nya hasil rekaman dari telephon genggam itu
beredar dan diputar di gedung DPR MPR).
Karena keadaannya —masyarakat terjerumus
kepada kemusyrikan, bid’ah, dan kemaksiatan, sedang pihak-pihak dari
Departemen Agama dan MUI Daerah (sebagian)— seperti itu, maka saya tidak
heran lagi, di saat saya dikeroyok oleh ribuan orang dari aliran sesat,
ternyata “oknum” dari Depag Daerah dan MUI Daerah justru membela aliran
sesat LDII. Dan saya tidak heran lagi, ketika para pengantin di Jakarta
itu bareng-bareng jadi pengantin pada tanggal 7 bulan 7 tahun 2007,
tidak diusik tentang kepercayaan mereka yang kemungkinan sekali berbau
klenik, tetapi dianggap sebagai lahan empuk.
Faktor-Faktor Pendukung Maraknya Kemusyrikan, Aliran Sesat, Bid’ah, dan Maksiat.
Faktor-Faktor Pendukung Maraknya Kemusyrikan, Aliran Sesat, Bid’ah, dan Maksiat.
Setelah kita tahu kondisi masyarakat
cenderung mengamalkan kemusyrikan sedang sebagain pejabat agama dan
ulama MUI daerah tidak mengusik kemusyrikan itu bahkan kadang mereka
mendukung aliran sesat, maka bisa dilihat faktor-faktor pendukung
semaraknya kemusyrikan, kesesatan, dan aneka bid’ah di Indonesia sebagai
berikut:
1. Masyarakat tidak sedikit yang masih cenderung mempercayai klenik (perhitungan semacam perbintangan) dukun terutama mengenai masalah yang berkaitan dengan nasib mereka, sial ataupun beruntung.
2. Kondisi rawan kemusyrikian itu tempo-tempo justru dianggap sebagai lahan empuk karena mendatangkan duit, contohnya tentang banyaknya yang menikah pada tanggal 7, bulan 7, tahun 2007, yang bisa ditarik kesimpulan, kemungkinan besar dianggap sebagai hari keberuntungan. (Adapun yang tak mempercayainya sebagai hari keberuntungan, tak terkena bab kemusyrikan ini).
Kesimpulan itu karena masyarakat juga
mempercayai adanya hari-hari bahkan sebulan penuh sebagai bulan sial,
hingga mereka (sebagian orang Jawa) tak mau ada pernikahan di bulan
Muharram yang mereka sebut bulan Suro (dari lafal Arab ‘Asyuro, tanggal
10 Muharram, yang tanggal itu disunnahkan puasa ‘Asyuro dalam Islam,
disertai tanggal 9 Muharram), dianggap sebagai bulan Pageblug,
mendatangkan sial ataupun penyakit. Ini jelas tathoyyur, menganggap
adanya alamat sial berkaitan dengan sesuatu, dalam hal ini bulan
Muharram/Suro.
3. Keyakinan batil berbau kemusyrikan itu masih ditambah pula dengan buku-buku primbon/ramalan nasib, bahkan buku-buku kemusyrikan itu sering dijajakan oleh para penjual di masjid-masjid.
Contohnya buku Mujarobat, yang walaupun
ada pelajaran sholat di dalamnya, namun ada ramalan-ramalan, cara
membuat jimat (rajah, tulisan yang kemudian dilipat-lipat sebagai jimat
yang dibawa-bawa, entah sebagai penglaris, pelet/pengasihan,
atau kekebalan dan sebagainya; jelas kemusyrikan menurut Hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam). Buku-buku primbon itu tidak dilarang
beredar, walau sampai di masjid-masjid.
4. Para pejabat agama pada umumnya dan sebagian ulama terutama daerah-daerah membiarkan saja berlangsungnya kemusyrikan, kesesatan, aneka bid’ah dengan aneka rangkaiannya.
Tidak semua mereka membiarkannya, namun
banyak yang tidak mempersoalkan kemunkaran-kemunkaran itu berlangsung di
masyarakat. Bahkan sebagian mereka justru mendukung bid’ah yang
jelas-jelas munkar.
5. Atas nama otonomi daerah, Pemerintahan Daerah di mana-mana banyak yang menggalakkan kemusyrikan, atas nama budaya daerah atau demi pariwisata dan aneka dalih lainnya, dengan dana tentu saja dari masyarakat, yaitu mayoritas muslimin.
Sampai-sampai ada yang mengancam orang
yang tidak ikut upacara kemusyrikan. Kabarnya di suatu daerah, nelayan
yang tidak mau ikut upacara larung laut (sesaji untuk syetan laut) maka
diancam perahunya akan dibakar. Bisa dilihat di situs-situs Pemda di
mana-mana, banyak yang memajang upacara larung laut. Upacara-upacara
sesaji, satu bentuk kemusyrikan pun dihidup-hidupkan kembali oleh Pemda
dan masyarakat musyrikin di mana-mana.
6. Jahilnya sebagian banyak masyarakat terhadap agamanya (Islam) akibat kondisi pendidikan dan lingkungan yang tidak kondusif untuk belajar Islam secara benar. Itu masih ditambah dengan gencarnya serangan aneka program yang melalaikan masyarakat dari agamanya.
Contoh kecil, misalnya iklan di televisi,
di tv kereta eksekutif dan media lainnya, memperagakan minum teh botol
untuk buka puasa Ramadhan, pakai tangan kiri sambil berdiri, maka
ternyata di masyarakat menjadi umum orang minum pakai tangan kiri.
Bahkan dalam acara-acara buka puasa bersama pun banyak kita temui
orang-orang yang minum dengan tangan kiri. Dengan adanya iklan dan
semacamnya yang menyelisihi Islam itu akibatnya masyarakat tidak tahu
bahwa minum pakai tangan kiri itu cara syetan, sedang cara Islam adalah
pakai tangan kanan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
{ إذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ , وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ ; فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ , وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ } . رَوَاهُ مُسْلِمٌ 3764, وَأَبُو دَاوُد , وَابْنُ مَاجَهْ
“Apabila seseorang dari kalian makan maka
hendaknya ia makan dengan tangan kanannya, dan apabila ia minum
hendaknya ia minum dengan tangan kanannya, karena sesungguhnya syetan
itu makan dengan tangan kirinya, dan ia minum dengan tangan kirinya.”
(HR. Muslim nomor 3764, Abu Daud, dan Ibnu Majah).
Syetan itu makan dan minum pakai tangan
kiri. Maka orang yang makan atau minum pakai tangan kiri itu meniru cara
makan dan minum syetan atau menyerupai syetan, bahkan syetan ikut
bergabung dalam makan dan minumnya. Karena ada hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
{ مَنْ أَكَلَ بِشِمَالِهِ أَكَلَ مَعَهُ الشَّيْطَانُ وَمَنْ شَرِبَ بِشِمَالِهِ شَرِبَ مَعَهُ الشَّيْطَانُ }( رَوَى أَحْمَدُ عَنْ عَائِشَةَ مَرْفُوعًا ” تحفة الأحوذي شرح حديث 1721)
“Barangsiapa makan dengan tangan kirinya
maka syetan makan bersamanya, dan barangsiapa minum dengan tangan
kirinya maka syetan minum bersamanya.” (HR. Ahmad, dari ‘Aisyah, marfu’
dengan sanad hasan, Tuhfatul Ahwadzi syarah Sunan At-Tirmidzi nomor
1721).
وقد جاء عن حفصة رضي الله عنها زَوْج النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْعَلُ يَمِينَهُ لِطَعَامِهِ وَشَرَابِهِ وَثِيَابِهِ وَيَجْعَلُ شِمَالَهُ لِمَا سِوَى ذَلِكَ . ” رواه أبو داود رقم 30
Riwayat dari Hafshah radhiyallahu ‘anha
istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa menjadikan kanannya untuk makannya, minumnya, dan
pakaiannya, dan menjadikan kirinya untuk hal-hal selain itu. (HR. Abu
Daud nomor 30).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
Ini adalah kaidah yang terus menerus dalam syara’/ agama, yaitu apa-apa
yang termasuk bab terhormat dan mulia seperti memakai baju, celana,
slop, masuk masjid, bersiwak, bercelak, memotong kuku, memotong kumis,
menyisir rambut, mencabuti bulu ketiak, mencukur kepala, salam dari
sholat, membasuh anggota badan dalam bersuci (dari hadas), keluar dari
kakus, makan, minum, berjabat tangan, menyalami hajar aswad dan
sebagainya, dan hal-hal yang semakna adalah disukai pakai (tangan/kaki)
kanan padanya.
Adapun hal-hal yang sebaliknya, seperti
masuk kakus/WC, keluar dari masjid, ngupil (ataupun buang ingus) dan
istinjak/cebok, melepas baju, celana, slop, dan yang serupa dengannya,
maka disukai pakai (tangan/kaki) kiri padanya. Hal itu semua karena
mulianya dan terhormatnya kanan, wallahu a’lam. (An-Nawawi, Syarah
Shahih Muslim juz 3 halaman 160)
Contoh lainnya, misalnya, kadang secara
serempak masyarakat ini diprogramkan untuk tidak menggubris lagi sunnah
hingga tak tahu bahwa ada sunnah yang mengajarkannya. Kenyataan yang
dialami masyarakat, misalnya, dalam tatacara baris berbaris, dari anak
sekolah sampai pegawai dan sebagainya, kalau namanya maju jalan, itu
dimulai dengan kaki kiri, bahkan pemimpin barisan biasanya memberi
aba-aba dengan berteriak: “Kiri!… Kiri!… Kiri!…” Sehingga “maju jalan”
alias melangkah dengan kaki kiri itu menjadi ‘sunnah orang Indonesia’.
Itulah, salah satu contoh untuk melalaikan
sunnah secara sistematis, dan tak menggubris agama. Memangnya kita
digerakkan untuk baris ke wc atau kakus? Kenapa digerakkannya dengan
kaki kiri? Jahilnya umat Islam Indonesia ini sudah sampai tingkat sangat
parah, sampai tidak tahu lagi, ketika minum itu sunnahnya pakai tangan
kanan, sedang langkah awal dengan kaki kiri itu untuk masuk ke wc atau
kakus. Mereka diarahkan untuk menyelisihi Sunnah, bahkan di sisi lain
diseret untuk melakukan kemusyrikan secara beramai-ramai.
7. Memberi cap buruk dan memusuhi dakwah sunnah.
Sudah sampai sedahsyat itu parahnya,
sampai tidak tahu bahwa minum itu sunnahnya pakai tangan kanan, sedang
kemusyrikan-kemusyrikan itu harus dijauhi tetapi masyarakat justru
ditarik-tarik untuk menggalakkannya; namun para pejabat agama dan
sebagian ulamanya masih diam dan hanya sibuk dengan urusan mereka.
Bahkan tempo-tempo mereka justru bahu
membahu kerjasama satu sama lain untuk mengusik sebagian kecil umat yang
malakukan dakwah sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
masih peduli kepada kerusakan yang makin parah ini, lalu diberi cap-cap
yang negatif yang memojokkan, bahkan diupayakan agar jadi musuh bersama.
Contoh nyata adalah berita berikut ini: swaramuslim.net
Pejabat Departemen Agama Memfitnah Salafi
Oleh Redaksi 23 Apr 2007 – 2:46 pm
Laporan Muhammad Umar Alkatiri
Dakwah Salaf di Batam difitnah Direktur
Penerangan Agama Islam Departemen Agama RI, Ahmad Jauhari, di Aula
Jayakarta Kantor Wilayah Departemen Agama DKI Jakarta, Kamis 12 April
2007, dalam acara Sosialisasi Lembaga Pendidikan dan Pengamalan Agama
(LP2A). Acara itu dihadiri 150-an peserta dari penyuluh agama Islam,
Pengurus Forum Komunikasi Majelis Ta’lim, Kepala Seksi Penamas
(Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid).
Isi fitnah Ahmad Jauhari antara lain
berupa perkataan yang berisi: Tantangan Islam tidak hanya dari luar tapi
ada dari dalam juga. Dari dalam ada aliran misalnya Salaf Batam. Salaf
Batam ini menganggap orang selain salaf itu halal di-khekh
(sambil memperagakan tangan ke leher seperti menggorok leher). Informasi
ini, dia katakan, diperoleh dari orang NU (Nahdlatul Ulama). Kemudian
Ahmad Jauhari bercerita banyak tentang macam-macam kejahatan lakon
manusia di Indonesia.
Contohnya pelacuran, seks bebas, narkoba,
bencana dan lain-lain tantangan yang dihadapi umat Islam Indonesia.
Sehabis Ahmad Jauhari berpidato, moderator yakni Kabid Penamas Kanwil
Depag DKI Jakarta Masruri Haris mempersilakan kepada peserta untuk
bertanya. Lantas ada seorang yang bertanya tentang Salaf Batam. Dia
menanyakan kepada Ahmad Jauhari, “Apakah benar Salaf Batam menghalalkan
darah orang selain Salaf seperti yang Bapak katakan?” Dia minta agar itu
diralat dan ditinjau ulang. “Siapa informan yang menginformasikan itu?”
Yang bertanya ini mengemukakan, dia punya kawan orang salaf di Masjid
Al-Sofwah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, alumni Timur Tengah dan alumni
LIPIA. Mereka itu, ungkap penanya ini, mengajinya benar, bagus, dan
tidak seperti yang dikatakan Bapak. Kemudian dia katakan, punya
kawan-kawan pula yang mengaji Al-Qur’an dan Hadits di Masjid Al-Furqon
Dewan Dakwah Jakarta Pusat, itu mengajinya juga bagus, tidak seperti
yang dikatakan Bapak.
Oleh karena itu pernyataan Bapak perlu
diralat dan ditinjau kembali serta dicek kembali kepada sumbernya.
Setelah ada pertanyaan itu, microphone yang dipegang oleh moderator,
langsung diminta oleh Ahmad Jauhari. Guna menjawab pertanyaan penanya
itu supaya tidak lupa. Ahmad Jauhari menjawab, “Salaf ini beda dengan
Salafi. Kebetulan saja namanya sama. Kalau Salafi itu kan orang generasi
terdahulu yang mengikuti ajaran Nabi dan sahabat. Saya ini dulu juga
salafi, ujar Ahmad Jauhari.” (Namun, Ahmad Jauhari tidak menjelaskan,
Salaf yang dia maksud itu seperti apa).
Ahmad Jauhari melanjutkan, “Informasi ini
saya peroleh dari orang yang sangat bisa dipercaya, dari Prof Ali
Mustafa Yaqub,” ujarnya. (Ali Mustafa Yaqub adalah orang NU yang aktif
di MUI Pusat, pada bulan Februari 2007 ia ke Batam berbicara tentang
Salafi, berhadapan dengan Ustadz Yusuf Baisa dari Cirebon, -red.). Ini
artinya, Ahmad Jauhari (pejabat Departemen Agama), telah menjadikan
orang bermasalah seperti Ali Mustafa Yaqub sebagai sumber informasi
tanpa dibuktikan kebenarannya.
Perlu ditambahkan di sini, Ali Mustafa
Yaqub itu di zaman Presiden Gus Dur dikenal sebagai pendukung Gus Dur
terutama dalam hal mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel yang
selama ini tidak pernah ada, karena Israel adalah zionis. Ali Mustafa
Yaqub mendukung hubungan dagang dengan Israel lewat pidatonya dalam satu
malam peringatan (Isra’ Miraj atau maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, salah satu dari dua itu) yang disiarkan secara nasional lewat
televisi dan radio serta media massa lainnya. Akibatnya Ali Mustafa
Yaqub banyak dihujat orang terutama ketika berhadapan dengan para da’i.
Di antaranya di Klaten Jawa Tengah dan ketika Ali Mustafa Yaqub menatar
da’i se Jawa Timur di Masjid al-Hilal Dewan Dakwah Surabaya. Para da’i
menghujatnya hingga dia kewalahan. Peristiwa itu terjadi tahun 2000.
Adapun gesekan antara Ali Mustafa Yaqub
dengan Salafi bisa diingat, bahwa Ali Mustafa Yaqub menulis buku
berjudul Hadits- hadits Palsu Seputar Ramadhan, yang terbit tahun 1424H.
Dalam buku itu Ali Mustafa Yaqub mengaku: “Kami adalah tidak lebih dari
seorang santri pinggiran yang baru belajar hadis kemarin sore.”
(halaman 85). Tetapi dalam bukunya ini Ali Mustafa Yaqub banyak mencela
Ahli Hadits kenamaan abad ini, yaitu Syaikh Nashiruddin Al-Albani yang
bukan hanya jadi rujukan Salafi namun sudah masyhur se-dunia. Di antara
celaan Ali Mustafa Yaqub kepada Syaikh Nashir ini di bukunya itu ada sub
judul: Di bawah ketiak al-Albani, Arogansi al-Albani dan sebagainya.
Maka dibalaslah oleh Abu Ubaidah dengan buku yang berjudul Syaikh Al-Albani Dihujat, (Pustaka ‘Abdullah, Jakarta, Oktober 2005).
Di antara pemberi kata pengantar ada yang
menguliti Ali Mustafa Yaqub dengan tandas: Saudaraku Ali Mustafa Yaqub
di dalam kitabnya tersebut dari mulai halaman 49 sampai akhir kitab
(hal. 141) telah melakukan perbuatan-perbuatan tercela —kalau tidak mau
dikatakan sangat tercela— di antaranya: Talbis dan tadlis-nya,
menghilangkan amanat ilmiyyah, bohongnya, takalluf-nya, taqlid-nya,
celaannya terhadap Ulama, kesombongannya di hadapan Ulama, kejahilannya
dalam ilmu hadits, kejahilannya dalam fiqih hadits. Membantah dan
membodohi dirinya sendiri dengan kata lain Ali Mustafa Yaqub membantah
Ali Mustafa Yaqub. (lihat buku Syaikh Al-Albani Dihujat, halaman xxiv, kata pengantar Al-Ustadz Abu Unaisah ‘Abdul Hakim bin Amir Abdat).
Tampaknya, dalam hal dua gesekan, yang
satu tentang dukungan Ali Mustafa Yaqub terhadap Gus Dur yang mau
membuka hubungan dengan Israel, dan satunya lagi tentang celaannya
terhadap Syaikh Al-Albani itu kini bertambah lagi dengan adanya
pengakuan Direktur Penerangan Agama Islam itu tadi.
Kualitas Pejabat yang Membimbing Para Penyuluh Umat Islam.
Mengenai pembicara yakni Ahmad Jauhari,
bisa dikemukakan di sini, dia sebelum menjadi Direktur Penerangan Agama
Islam adalah Kepala Biro Kepegawaian Departemen Agama Pusat. Dalam
pidatonya itu kadang dia berbicara tanpa sumber yang jelas. Contohnya,
dia berkata, di Indonesia ini jumlah wanita nakal sebanyak 274.000 orang
yang terdaftar. Sedangkan pelanggannya per tahun 10 juta orang. Ketika
ada yang bertanya, sumbernya dari mana Pak? Dia jawab, “Jangan tanya,
pokoknya ada deh!”
Direktur penerangan Agama Islam berada di
bawah Dirjen Bimas (Bimbingan Masyarakat) Islam yang sekarang Dirjennya,
Dr. Nasaruddin Umar, yang termasuk tim penulis “Ensiklopedi Islam untuk
Pelajar” pimpinan Dr. Nurcholish Madjid terbitan PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta 2001, yang isinya menjajakan pluralisme agama (menyamakan
semua agama) yang menurut Islam merupakan aqidah kemusyrikan. Di
antaranya menegaskan: “Pahala bersifat universal, dalam arti berlaku
untuk semua umat beragama, tidak hanya umat Islam.” (Jilid 4, halaman
117). (swaramuslim.net, Pejabat Departemen Agama Memfitnah Salafi, Oleh: Redaksi 23 Apr 2007 – 2:46 pm, Laporan Muhammad Umar Alkatiri). (Tentang bahaya Ensiklopedi Islam untuk Pelajar susunan Dr Nurcholish Madjid dkk, silakan baca buku Hartono Ahmad Jaiz, Bunga Rampai Penyimpangan Agama di Indonesia, pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2007).
Dengan demikian, ungkapan bahwa hancurnya
Islam itu adalah dari umat Islam sendiri, dalam hal ini tampak nyata,
karena bukan sekadar dari umat Islam, tetapi dari sebagian tokohnya.
Catatan tambahan: Ahmad Jauhari belakangan
divonis 10 tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan Al-Qur’an
Kementerian Agama. Beritanya sebagai berikut.
Sanksi Koruptor Proyek Al Quran Diperberat
Diterbitkan pada Senin, Augustus 25 2014 09:00
JAKARTA. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
menolak banding yang diajukan oleh mantan Direktur Urusan Agama Islam
dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimbingan Masyarakat
(Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag), Ahmad Jauhari.
Sebelumnya, Jauhari divonis oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dalam kasus korupsi pengadaan Al Quran di Ditjen Bimas Islam tahun anggaran 2011 dan 2012.
Kepala Bagian Humas Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Hatta mengatakan, hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru memperberat hukuman Jauhari. “Putusannya, pidana dinaikkan dari delapan tahun menjadi 10 tahun,” kata Hatta, kemarin (24/8).
Tapi, Hatta tak merinci pertimbangan hakim dalam memutuskan banding kasus ini. Sidang ini dipimpin oleh Syamsul Bahri Bapatua sebagai hakim ketua.
Sebelumnya, Jauhari divonis oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dalam kasus korupsi pengadaan Al Quran di Ditjen Bimas Islam tahun anggaran 2011 dan 2012.
Kepala Bagian Humas Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Hatta mengatakan, hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru memperberat hukuman Jauhari. “Putusannya, pidana dinaikkan dari delapan tahun menjadi 10 tahun,” kata Hatta, kemarin (24/8).
Tapi, Hatta tak merinci pertimbangan hakim dalam memutuskan banding kasus ini. Sidang ini dipimpin oleh Syamsul Bahri Bapatua sebagai hakim ketua.
Catatan saja, pada 10 April 2014, Pengadilan Tipikor memvonis Jauhari hukuman pidana delapan tahun penjara serta denda Rp 200 juta subsidair enam bulan kurungan dalam kasus korupsi pengadaan Al-Quran dan divonis. Dia juga dihukum membayar uang pengganti Rp 100 juta dan US$ 15.000 yang diterima dari pemenang proyek pengadaan Al-Quran. Tapi, ia telah mengembalikan uang itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat penyidikan.
Sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK),
Jauhari terbukti secara bersama-sama melakukan korupsi pengadaan
Al-Quran tahun 2011-2012. Jauhari menetapkan PT A3I sebagai pelaksana
pengadaan Al Quran 2011 dengan anggaran Rp 22,87 miliar. Lalu pada 2012,
Jauhari menetapkan PT Sinergi Pustaka Indonesia dalam proyek yang sama
dengan anggaran Rp 59,3 miliar. Jauhari dianggap merugikan negara Rp
27,05 miliar.
Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho bilang, Jauhari seharusnya dihukum minimal 13 tahun sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di KPK. Adinda Ade Mustami.
Sumber : Koran Harian, 25 Agustus 2014
http://www.kpk.go.id/id/ berita/berita-sub/2098-sanksi- koruptor-proyek-al-quran- diperberat
Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho bilang, Jauhari seharusnya dihukum minimal 13 tahun sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di KPK. Adinda Ade Mustami.
Sumber : Koran Harian, 25 Agustus 2014
http://www.kpk.go.id/id/
(bersambung, insya Allah)
(Dari buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Nabi-Nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, dengan sedikit tambahan dan editing).
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer