SYUBHAT KEENAM:
Perkataan Al ‘Iz-bin Abdus Salam رحمه الله tentang “bid-’ah,” bahwa:
“Bid’ah itu terbagi kepada bid’ah yang wajib, bid’ah yang haram, bid’ah yang sunnah bid’ah yang makruh dan bid’ah yang mubah. Dan cara untuk mengetahui hal tersebut, maka bid’ah tersebut harus dikembalikan kepada kaidah-kaidah syari’at. Maka jika bid’ah tersebut masuk dalam kaidah yang wajib, maka itulah yang dinamakan dengan bid’ah wajibah, apabila ia masuk pada kaidah yang haram, maka itulah bid’ah muharramah. Jika ia masuk dalam kaidah sunnah, maka itulah bid’ah mandubah (sunnah) dan jika ia masuk dalam kaidah mubah, maka itulah bidah yang mubah”. [Qawaa’idul Ahkaam, 2/173]
BANTAHAN:

Pertama: Sesungguhnya kita tidak diperbolehkan untuk memperhadapkan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم dengan perkataan seorangpun dari manusia, siapapun orangnya. Dan hal ini telah saya peringatkan berulang kali sebelumnya.
Kedua:  Berkata Imam Asy-Syathiby رحمه الله : “Sesungguhnya pembagian tersebut adalah pembagian yang di ada-adakan, tidak ada satupun dalil syar’i yang mendukungnya, bahkan pembagian itu sendiri saling bertolak belakang, sebab hakikat bid’ah adalah jika sesuatu itu tidak memiliki dalil yang syar’i, tidak berupa dalil dari nas-nas syar’i, dan juga tidak terdapat dalam kaidah-kaidahnya. Sebab seandainya disana terdapat dalil syar’i tentang wajibnya, atau sunnahnya, atau bolehnya, niscaya tidak mungkin bid’ah itu ada, dan niscaya amalan tersebut masuk dalam amalan-amalan secara umum yang diperintahkan, atau yang diberikan pilihan. Karena itu maka mengumpulkan beberapa hal tersebut sebagai suatu bid’ah, dan antara keberadaan dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, atau sunnahnya, atau bolehnya, maka semua itu merupakan pengumpulan antara dua hal yang saling menafikan”.[Al I’tisham, 1/246]
Ketiga: Bahwasanya bid’ah yang dimaksudkan oleh Al-’lzz bin Abdus Salam رحمه الله adalah bid’ah menurut pengertian bahasa, bukan menurut pengertian syara’. Dan yang menunjukan hal tersebut (bahwa ia adalah bid’ah menurut bahasa- pent) adalah contoh-contoh yang dipaparkan terhadap pembagian-pembagian tersebut.
  • Maka bid’ah yang wajib beliau contohkan dengan menekuni ilmu nahwu yang dengannya firman Allah dan sabda Rasul-Nya صلى الله عليه و سلم difahami. Apakah kata menekuni ilmu nahwu itu merupakan bid’ah menurut syari’at? Ataukah ia termasuk kepada kaidah yang mengatakan:

ما لا يتمّ الواجب إلا به فهو واجب

“Sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu tersebut, maka sesuatu itu hukumnya wajib”
Ketahuilah bahwasanya mungkin dapat kita katakan mengenai ilmu nahwu, bahwa ia merupakan bid’ah menurut tinjauan bahasa, akan tetapi hukum-hukum syar’i itu ditetapkan dengan pengertian-pengertian menurut syari’at, bukan dengan menggunakan pengertian-pengertian menurut bahasa.
  • Sebagai contoh bagi bid’ah yang mandubah (sunnah), beliau mencontohkannya dengan shalat tarawih, pembangunan sekolah-sekolah, dan pembicaraan mengenai tasawwuf yang terpuji. Semua itu bukanlah merupakan bid’ah di dalam agama. Shalat tarawih telah ada contohnya dari perbuatan Nabi صلى الله عليه و سلم, sebagaimana yang telah kita bicarakan dalam pembahasan tentang syubhat ketiga.
Sedangkan pembangunan sekolah-sekolah adalah wasilah (sarana) untuk menuntut ilmu dan keutamaan ilmu serta mengajarkannya tidak dapat kita pungkiri, serta pembicaraan tentang tasawwuf terpuji telah diketahui sebagai bagian dari nasihat.
  • Adapun bagi bid’ah yang mubah (boleh), beliau memberikan contoh yang banyak terhadap kelezatan-kelezatan. Dan hal ini bukanlah merupakan bid’ah menurut agama, bahkan jika ia sampai kepada derajat israf (berlebih-lebihan), maka ia termasuk kepada hal yang diharamkan, yang masuk dalam suatu bentuk kemaksiatan, bukan termasuk bid’ah. Dan ada perbedaan antara kemaksiatan dan bid’ah. Imam Asy-Syathibiy telah membahas contoh-contoh tersebut dalam pembahasan yang panjang. [Al I’tisham, 1/246]
Keempat: Bahwasanya telah ada riwayat mengenai Al-’Izz bin Salam Rahinahullah bahwa beliau adalah orang yang dikenal sebagai pemberantas bid’ah dan orang yang sangat melarang hal tersebut serta mentahdzir (memperingati) dan bahaya bid’ah. Sungguh beliau pernah melarang beberapa hal yang dinamakan oleh ahli bid’ah dengan bid’ah hasanah. Akan kami kemukakan contoh-contohnya kemudian.
Syihabuddin Abu Syaamah -salah seorang murid dari Al-’lzz- berkata: “Beliau adalah orang yang paling berhak menjadi khathib dan imam, beliau telah menyingkirkan banyak bid’ah yang pernah dilakukan oleh para khatib dengan pukulan pedang di atas mimbar, dan lain-lain, beliau pernah mengungkapkan kebathilan dua shalat pada pertengahan bulan sya’ban (nishfu sya’ban), dan beliau melarang keduanya”. [Thabaqaat Asy Syafi’iyyah oleh Imam As Subki, 8/210)]
Dibawah ini akan kami kutip perkataan beliau yang menujukkan bahwa beliau adalah orang yang memerangi dan melarang bid’ah, yang di antaranya adalah apa yang dinamakan orang dengan “bid’ah hasanah”, namun demikian Al-’lzz bin Salam tetap mengingkarinya. Di antaranya adalah:
Bahwasanya beliau pernah ditanya tentang bersalam-salaman setelah selesai shalat shubuh dan ashar, maka beliaupun berkata :
“Bersalam-salamn setelah shalat subuh dan ashar adalah merupakan salah satu dari bid’ah, kecuali bagi orang yang baru datang yang belum sempat bertemu dan berjabatan tangan dengannya sebelum shalat, sebab bersalam-salaman disyari’atkan oleh agama  ketika baru bertemu. Dan adalah Nabi صلى الله عليه و سلم biasanya setelah shalat berdzikir dengan dzikir-dzikir yang syar’i dan beristighfar 3x kemudian bubar dari shalatnya. Dan diriwayatkan bahwa beliau membaca; (yang artinya:) “Wahai Tuhanku jauhkanlah dari adzab-Mu di hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.” Dan segala kebaikan hanyalah dengan mengikuti Rasulullah صلى الله عليه و سلم. [Fataawaa Al ‘Izz Ibnu Abdissalaam, hal. 46, no. 15, Cet. Daarulbaaz]
Dan beliau juga pernah berkata:

و لا يستحبّ رفع اليدين فى الدعاء إلا فى المواطن الّتى رفع فيها رسول الله صلّى الله عليه و سلّم يديه و لا يمسح وحهه بيديه عقب الدعاء إلاّ جاهل

“Dan tidaklah disukai (disunnahkan mengangkat kedua tangan ketika berdo’a, kecuali pada tempat-tempat yang padanya Rasulullah صلى الله عليه و سلم mengangkat kedua tangannya, dan tidak ada orang yang mengusapkan kedua tangannya kewajahnya setelah berdo’a melainkan orang yang jahil”. [Ibid, hal. 47]
Dan beliau berkata : “Dan tidak disyari’atkan membaca shalawat kepada Rasulullah صلى الله عليه و سلم dalam do’a Qunut, dan shalawat kepada Nabi صلى الله عليه و سلم tidak boleh ditambah atau dikurangi sedikitpun”[1]
Ketika mengornentari perkataan beliau ini, Syaikh Al-Albany berkata: “Di dalam perkatan beliau ini terdapat isyarat bahwasanya kita tidak memperluas istilah bid’ah hasanah, sebagaimana yang dilakukan dan dikatakan oleh orang-orang disaat ini.
Saya katakan : “Dari apa yang telah dibahas, maka menjadi jelaslah bahawasanya yang dimaksudkan oleh Ai-’lzz bin Abdus Salam dalam pembagian beliau terhadap bid’ah adalah bid’ah secara bahasa, bukan merupakan pengertian bid’ah menurut agama.”
Disana masih ada lagi nash yang shahih dari beliau mengenai apa yang beliau maksudkan dengan bid’ah hasanah, dimana beliau berkata ketika membantah Ibnu Shalah mengenai shalat ragha’ib: “Kemudian beliau -ibnu Shalah- mengaku bahwasanya shalat ragha’ib itu merupakan bid’ah yang dibuat-buat, maka kami berhujjah kepada beliau kalau begitu dengan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم,

و شر الأمور محدثاتها و كلّ بدعة ضلالة

artinya: “Dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru (dalam agama), dan setiap bid’ah itu sesat.
Dan telah dikecualikan dalam hadits tersebut bid’ah hasanah dari bid’ah dhalalah, yakni semua bid’ah yang tidak menyelisihi As-Sunnah, bahkan ia sesuai dengan sunnah maka jenis bid’ah yang lain masuk pada keumuman Sabda beliau صلى الله عليه و سلم:

و شر الأمور محدثاتها و كلّ بدعة ضلالة

artinya: “Dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru (dalam agama), dan setiap bid’ah itu sesat.
[Musaajalatu “Amaliyyah Bainal Imaamain Al Jaliilain Al ‘Izz bin Abdissalaam dan Ibnu Shalah, hal. 31]
Di sini kami katakan : Perkara yang ada kesesuaian dengan As-Sunnah, apakah boleh kita katakan sebagai bid’ah menurut agama ? Maka perhatikanlah perkataan Al-’Izz mengenai pengertian bid’ah hasanah, yakni : “Tidak menyelisihi Sunnah, bahkan sejalan dengan As-Sunnah itu sendiri.” !!, maka apa saja yang sesuai dengan As-Sunnah sudah pasti tidak ternasuk dalam kategori bid’ah menurut syari’at, namun terkadang merupakan bid’ah menurut pengertian secara bahasa. Maka sudah sangat jelas apa yang dimaksudkan oleh Al-’Izz dengan bid’ah hasanah, bid’ah wajibah, bid’ah mustahabbah (sunnah) dan bid’ah mubahah (boleh) adalah bid’ah secara makna bahasa. Adapun secara istilah agama, maka semua bid’ah itu sesat. Dan dari sini jelaslah bahwa perkataan bid’ah hasanah dalam agama merupakan salah satu di antara sebab-sebab utama terjadinya pembauran antara makna secara bahasa dan istilah agama terhadap makna bid’ah yang terdapat di dalam atsar-atsar, serta perkataan sebagian ahli ilmu. Maka barangsiapa yang diberi taufiq untuk dapat membedakan antara ini dan itu, maka syubbhat-syubhat tersebut akan hilang dari dirinya dan menjadi jelaslah baginya permasalahan tersebut.

[1] Mungkin yang beliau maksudkan adalah qunut di shalat subuh, sebab beliau bermadzhab Syafi’i, sedangkan mereka mengatakan bahwa hal tersebut disyari’atkan. Kalau tidak, maka sesungguhnya shalawat dalam do’a qunut pada shalat witir merupakan perbuatan Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه . (Ditakhrij oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya, hal. 1100. Lihat pula Shifat Shalat Nabi صلى الله عليه و سلم oleh Al Albani, hal. 160 pada catatan kaki.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers