Para
pembela tahlilan (atau dulu sering disebut kenduren atau kenduri
berkenaan dengan kematian) sering melontarkan kalimat-kalimat yang
sesukanya.
Bila
ada orang meninggal kemudian tidak diadakan tahlilan atau kendurian
maka dikucilkan dan masih dikata-katai dengan ungkapan yang menyakitkan.
Misalnya, “tega amat ya, kok seperti nguburin kucing saja”. Padahal
justru Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika wafat juga
kemudian tidak diadakan kenduren atau tahlilan. Bahkan isteri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khadijah radhiyallahu ‘anhu, wanita yang
sangat membela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak semula jadi
nabi, ketika dia wafat juga tidak diadakan tahlilan atawa kendurian.
Kini ketika umat Islam diingatkan bahwa
acara tahlilan peringatan orang meninggal pada hari ke 3, ke 7, ke 40,
ke 100, per tahun/ haul (pendak pisan, pindo dst), 1000 hari (nyewu) dan
sebagainya; bahwa itu tidak ada dan tidak diajarkan di zaman Nabi, lalu
dengan sigapnya mereka mengatakan, dulu zaman Nabi juga tidak ada kapal
terbang, naik haji pakai onta. Jadi kini naik haji pakai kapal terbang
juga bid’ah dong?
Kalau mau berfikir, naik onta itu adalah
berkendaraan atau namanya alat transportasi. Selama tidak ada larangan,
berarti boleh-boleh saja. Karena alat itu bukan ibadah itu sendiri.
Sehingga yang diperintahkan oleh Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam
adalah manasik hajinya, agar meniru beliau :
خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
Ambillah dariku manasik kamu sekalian. (HR An_Nasaai, shahih menurut Al-Albani).
Berhaji naik onta dijadikan alasan untuk
membantah orang yang tidak melakukan tahlilan, kendurian dan semacamnya
yang berkaitan dengan memperingati kematian. Maksudnya, kalau tahlilan
tidak boleh karena di zaman Nabi tidak ada, maka kalau naik haji juga
harus naik onta, tidak boleh naik kapal terbang, karena di zaman Nabi
tidak ada, maka itu bid’ah.
Alasan
seperti itu sampai dilontarkan pula oleh seorang muballigh di televisi.
Namun kemudian sampai kini tidak muncul lagi, dan tidak perlu
diceritakan apa yang dia alami, dan tidak mungkin muncul lagi di
televise di dunia ini secara langsung (karena sudah diambil nyawanya
oleh Malaikat Maut).
Lebih
ngeri lagi, kini malah ada yang sampai tega dalam membela bid’ah,
dengan mengatakan, kalau tahlilan itu bid’ah karena di zaman Nabi tidak
ada, maka muka loe(wajah kamu) itu juga bid’ah, karena di zaman Nabi
tidak ada.
Astaghfirullah… yang melontarkan
kata-kata itu bukan hanya orang di jalanan. Tapi orang yang berani juga
pidato di majelis-majelis ta’lim. Entah karena geramnya kepada yang
tidak mau tahlilan atau kenapa, sampai sengawur itu perkataannya.
Padahal wajah manusia alias muka itu ciptaan Allah. Sedang tahlilan
upacara dikaitkan dengan kematian itu ciptaan manusia. Ke mana ujung
pangkalnya ini ya? Kalau mau marah ya yang agak logis gitu lho.
Kasus-kasus
lontaran perkataan demi membela kenduren alias tahlilan tergambar
seperti tu. Maka jangan heran bila ada orang jadi wakil dalam membela
tahlilan dalam dialog ilmiah pun ternyata melontarkan perkataan bahwa
saudaranya yang mengadakan tahlilan mendapatkan sumbangan beras banyak
dari masyarakat.
Ucapan semacam itu kok tega-teganya
disampaikan di forum ilmiah untuk membela tahlilan. Apakah saudaranya
yang disumbang beras oleh masyarakat itu merupakan hujjah?
Semestinya Umat Islam ini ketika
berselisih dalam suatu hal maka kembali saja kepada Allah dan Rasul-Nya,
karena telah ditegaskan dalam ayat Allah Ta’ala:
{…فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا} [النساء: 59]
….
kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisaa’: 59).
Ayo,
silakan dikembalikan saja. Apakah ketika zaman Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ada tahlilan atau kenduren/ kenduri selamatan berkaitan
dengan kematian. Bila ada, ya ayo dilaksanakan. Bila tidak ada, dan
ternyata memang tidak ada, ya sudah. Apalagi bahkan ada penjelasan:
Hadits riwayat Ahmad
عَنْ جَرِيرِ بْنِ
عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ ، قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ الاِجْتِمَاعَ إِلَى
أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ
النِّيَاحَةِ. تعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح
Dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata:
”Kami menganggap berkumpul di (rumah
keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit
dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).” (HR Ahmad, shahih menurut Syu’aib al-Arnauth).
Walau
sudah jelas seperti itu, tapi mungkin pihak-pihak yang membela tahlilan
atau kendurenan masih belum terima dan memberikan cap-cap buruk kepada
yang tidak mau tahlilan. Lantas bagaimana?
Ya,
Islam kan sudah komplit. Tentu ada juga petunjuknya. Hanya saja saya
belum tentu tahu bagaimana cara menghadapi itu. Tanyakan saja kepada
ahlinya. Apakah ayat ini dapat dipakai untuk menghadapi masalah itu.
Yakni ayat:
) وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا (.
Dan
hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil
menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung)
keselamatan. (QS Al-Furqon/ 25: 63).
قالوا قولاً يسلمون به من الإثم فلم يردوا السيئة بالسيئة ولكن بالحسنة . أيسر التفاسير للجزائري (3/ 95، بترقيم الشاملة آليا)
[mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan]
artinya, mengucapkan perkataan yang selamat dari dosa, maka tidak
membalas keburukan dengan keburukan tetapi dengan kebaikan (Aisaurut
Tafaasir 3/95 maktabah syamilah).
Coba
saja tanyakan kepada ahlinya, apakah ayat itu dapat dipakai dalam
menghadapi masalah ini. Atau ada yang tersinggung karena mereka dianggap
jahil? Atau mereka akan lebih marah lagi ketika merujuk kepada yang
memaknakan ayat itu merupakan petunjuk dalam menghadapi orang kafir,
sehingga langsung kita dianggap sebagai orang yang jelas-jelas takfiri?
Ya,
kalau mereka marah, cukup ditanggapi bahwa kalau toh ayat itu
dimaknakan begitu, bukankah menghadapi yang seperti itu saja kita
diajari untuk berkata yang haq, tanpa mengandung dosa, dan tanpa
membalas keburukan dengan keburukan; apalagi terhadap sampeyan-sampeyan
sesama Muslim. Ini artinya justru lebih mengena. Ketika kepada yang
jahil saja Al-Qur’an menuntun untuk berkata dengan perkataan yang haq,
tanpa mengandung dosa, tanpa membalas dengan keburukan; apalagi kepada
yang bukan jahil.
Masih tidak terima?
(nahimunkar.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer