Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du …
Saya tidak tahu harus memulai cerita dari mana, karena keinginan ini
sebenarnya sudah ada sejak lama. Rasanya harus buka kartu jika ini
diceritakan. Merahasiakan latar belakang hidup, secara umum, memang
lebih baik. Namun terkadang ada yang perlu kita ceritakan, barangkali
bermanfaat bagi yang lainnya. Karena itu, saya mohon maaf jika terkesan
ada unsur tazkiyah, memuji diri sendiri. Sebenarnya, itu hanya ungkapan
kegembiraan ketika seseorang mendapatkan sesuatu yang berharga.
Saya hanya hendak bercerita tentang sebuah buku. Buku yang banyak tersebar di masyarakat.
Sewaktu awal kuliah, saya seorang aktivis pergerakan. Sebagaimana umumnya mahasiswa yang mendapat predikat sangat semangat dengan idealisme.
Tidak hanya satu pergerakan, tapi beberapa ormas pergerakan. Bagi saya,
selama itu ada kesan memperjuangkan Islam maka layak untuk didukung.
Pada kesempatan yang sama, saya tinggal di sebuah pesantren yang pembinanya anti dengan pergerakan. Meskipun ada beberapa pembina yang menjadi petinggi pergerakan. Namun, khusus pembina di ruangan saya, beliau sangat anti dengan pergerakan.
Pesantren itu campur-baur — ada mahasiswa, ada santri usia sekolah, ada juga santri pelatihan bahasa.
Khusus untuk mahasiswa, kami punya kegiatan rutin kajian tiap malam,
antara pukul 20.00 – 21.30. Kajian ini hampir tidak pernah libur,
kecuali jika ustadznya mengisi pengajian di luar pesantren. Ini menjadi
ujian kesabaran terbesar bagi semua mahasiswa. Rasanya seperti dipaksa.
Kajian campur ngantuk berat. Tapi, jangan sampai ada suara polpen jatuh.
Jika sampai jatuh, bisa-bisa santri akan dipanggil oleh ustadz, dan
ditertawakan oleh teman-teman. Hampir tidak ada peluang untuk meminta
izin, selain sakit atau belajar untuk ujian.
Awal-awal mengikuti, rasanya saya tidak bisa melanjutkan. Hingga ada
beberapa rekan seangkatan saya yang memilih keluar, karena tidak kuat
dengan kegiatan ini.
Perasaan terpaksa pun menyelimuti diri saya. Mendengarkan kajian,
sementara batinnya berontak. Rasanya tidak ada yang bisa masuk. Padahal
pertemuan berikutnya, Ustadz selalu menanyakan pelajaran kemarin.
Satu hal lagi, terkadang dalam kajian, Ustadz memberikan kritik pedas
untuk beberapa kegiatan mahasiswa pergerakan. Itu membuat saya semakin
berontak. Saya berada di pihak mereka, bukan di pihak Ustadz. Saya harus
mengakhiri malam saya dengan kondisi sangat kelelahan. Lelah fisik
karena sudah sangat capek, dan lelah batin dengan semua suasana yang
sangat tidak nyaman bagi saya. Maklum jika ini sampai berpengaruh pada
penurunan berat badan.
Alhamdulillah, Allah takdirkan, saya di posisi bersebelahan dengan
seorang teman yang lebih senior dua tahun di atas saya. Dari beliau,
saya terbantu untuk memahami kesimpulan kajian, yang rasanya sulit untuk
saya cerna.
Hingga pada suatu kesempatan, saya menemukan buku panduan shalat di
rak senior saya itu. Saya ingat, buku itu berwarna biru. Tapi saya tidak
terlalu memperhatikan penerbitnya. Seingat saya, buku itu mulai saya
baca malam hari setelah kajian.
Saya tidak tahu, rasanya ada sesuatu yang aneh. Mungkin itu yang
namanya hidayah. Saya yang biasanya sudah sangat ngantuk, tiba-tiba bisa
bertahan tetap segar. Saya baca buku pelan-pelan. Kadang beberapa kali
saya ulang. Setiap poin saya nikmati. Rasanya, sangat mudah untuk
diserap. Malam itu, kegiatan baca tidak selesai. Lanjut esok hari.
Buku Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karya
seorang ahli hadis yang tawadhu’, Imam Al-Albani. Saya tertarik karena
ini membahas shalat yang menjadi ibadah rutin paling penting bagi
manusia. Selama ini kita mengerjakan shalat, rasanya garing. Kita
melakukan berbagai gerakan, membaca berbagai bacaan, tapi kita tidak
pernah tahu dari mana sumbernya. Alhasil, saya semakin suka buku ini,
karena semua gerakan dalam shalat, disebutkan dengan rinci dan disertai
dalil.
Hingga, saya baca buku itu sampai habis. Padahal ini belum pernah ada
dalam sejarah hidup saya; baca buku sampai habis. Karena biasanya hanya
di permukaan dan daftar isi saja.
Singkat cerita, Allah memberi taufik kepada saya, hingga saya menjadi
orang yang sangat cinta dengan shalat sunnah. Siapa pun yang mencintai
sesuatu, akan berusaha sekuat tenaga untuk menyia-nyiakannya. Setiap
saya shalat, saya berusaha untuk menyesuaikan dengan panduan yang
disebutkan dalam buku itu. Bahkan saya membayangkan setiap dalil untuk
semua gerakan dalam shalat itu. Kali ini saya bisa merasakan ketenangan
dan konsentrasi dalam shalat. Atau jika tidak keberatan, saya ungkapkan,
“Saya sedang khusyuk dalam shalat.” Shalat dengan fokus memikirkan
semua gerakan dan bacaan yang ada di dalamnya.
Perjalanan spiritual itu ternyata tidak berhenti di sini. Sekali
lagi, mungkin inilah yang disebut hidayah, tiba-tiba saya menjadi orang
yang suka belajar agama. Biasanya pukul 7.00 saya sudah lari dari
pesantren untuk kelayapan, sekarang suasanya berbeda. Saya jadi
suka membaca hadits, saya jadi suka mendengarkan kajian, saya jadi suka
baca buku-buku para ulama.
Dan … di antara yang saya anggap sangat menggembirakan, saya semakin
mudah menerima pelajaran di kajian malam. Kali ini, hati sudah tidak
lagi berontak. Suasana lebih nyaman dan lebih tenang.
Saya layak berterima kasih yang setinggi-tingginya atas kesabaran Ustadz, yang mengantarkan saya menuju manusia yang sebenarnya.
Ada cuplikan peristiwa yang menarik. Sampai saya suka dengan kajian,
penampilan saya masih sama dengan orang awam. Isbal, baju dimasukkan,
pakai sabuk, dan seterusnya. Ya, meskipun ini bukan standar orang yang
anti-ngaji. Suatu ketika saya diajak kajian oleh senior saya,
di Masjid Al-Hasanah, Terban. Kajian Ahad pagi, pukul 9.00. Melihat
penampilan saya yang paling nyeleneh sendiri, ustadz yang akan
mengisi pengajian pagi itu langsung memanggil saya, yang kala itu sedang
mengambil posisi untuk duduk.
”Ya, Fulan!” Ustadz memanggil.
“Saya?” jawabku.
“Ya, Anda. Di mana Allah?”
Rasanya aneh. Belum pernah saya dapat pertanyaan seperti ini. Tapi alhamdulillah, saya sudah tahu kunci jawabannya.
Saya jawab, “في السماء (di atas langit).”
Alhamdulillah, jawaban saya dibenarkan. Jawabnya pakai bahasa Arab lagi. Ya … sedikit kecampuran deg-degan.
Lebih aneh lagi, ternyata yang mengalami peristiwa semacam itu bukan
saya seorang. Saya berjumpa dengan seseorang teman satu angkatan. Dia
seorang salafi. Dia baru saja menikah dan pindah di dekat masjid tempat
saya tinggal. Kala itu, saya sudah jadi marbot masjid. Ketika sedang
ngobrol tentang buku Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saya langsung sampaikan, ini buku mengantarku menjadi senang ngaji. Dia balik sampaikan, ternyata sama! Dia senang ngaji juga karena buku ini.
Di kesempatan lain, saya berjumpa adik angkatan. Dua tahun lebih muda
dari saya. Ternyata dia juga memiliki pengalaman yang sama. Cinta
salafi, karena buku Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Setelah tambah beberapa referensi, saya mendapat informasi yang lebih
mencengangkan. Ternyata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini, seorang ahli
hadits Mesir, juga mengalami hal semisal. Beliau yang dulunya seorang
apoteker, berubah menjadi ulama hadits kelas dunia; pengantarnya, buku Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Saya semakin yakin, kejadian semacam ini pastilah banyak. Dari sekian
juta umat Islam di dunia, mungkin ada banyak orang yang nasibnya
seperti Syaikh Abu Ishaq. Allahu a’lam, betapa besar jasa Imam
Al-Albani. Betapa banyak pahala yang akan beliau dapatkan.
Semoga Allah menerima amal kita semua.
***
Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel WanitaSalihah.Com
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer