Berapa pun gaji yang diberikan perusahaan kepada Anda, tidak menjamin
apakah bisa merasa cukup dan kaya. Jika penghasilan saat ini Rp2 juta
per bulan, mungkin terpikir bahwa keuangan Anda akan lebih baik, merasa
cukup, atau kaya apabila perusahaan memberikan gaji Rp5 juta per bulan?
Belum tentu. Lho, kok gitu?
Kesalahpahaman yang selama ini terjadi di masyarakat. Bahkan,
kesalahpahaman ini dimotivasi baik melalui seminar, workshop, buku, dll.
Bahkan sudah menjadi kesepakatan umum bahwa kalau ingin kaya
penghasilan harus tinggi bukan cukup. Kesalahan terbesar dalam pola
pikir kita adalah menyamakan kata “kaya” dengan “penghasilan tinggi”.
Masalahnya, dari pengalaman saya menangani klien, sering kali
“penghasilan tinggi” tidak menjamin seseorang merasa kaya atau cukup.
Ada banyak orang yang punya penghasilan tinggi, sebut saja di atas
Rp5-10 juta, atau bahkan lebih tinggi lagi, tapi karena dia tidak bisa
mengelola uangnya (entah karena boros atau karena tidak pintar mengelola
dan tidak tahu rambu-rambunya), dia tidak juga merasa cukup.
Sebaliknya, kita sering melihat ada banyak orang yang penghasilannya
terbatas, tapi karena dia pintar mengelola, dia bisa merasakan
kehidupannya makmur. Kaya secara lahir dan juga batin (puas).
Nah, apakah saat ini Anda mengalami:
1. Mendapatkan uang tapi mudah pula menghabiskannya?
2. Kesulitan untuk mengatur cash flow (arus kas/utang piutang/aset, dll).
3. Mengalami masalah tagihan-tagihan.
4. Kurang memahami setiap penawaran keuangan (produk investasi maupun cicilan).
5. Di mana posisi keuangan Anda saat ini? (Tidak dapat memberikan gambaran kekayaan bersih atau posisi aset-aset yang dimiliki.)
6. Apakah Anda mengetahui berapa lama lagi Anda harus terus bekerja
untuk menyimpan aset, atau berapa banyak uang yang sudah dihasilkan agar
bisa memetik hasilnya (pensiun)?
7. Kesulitan untuk berinvestasi syariah? Dll.
Jika ingin mendapatkan jawaban dari masalah-masalah tersebut, saatnya
Anda belajar manajemen keuangan. Manajemen dapat diartikan pula
mengolah sumber daya yang ada (potensi) dengan proses
perencanaan-pengorganisasian-pengaktualisasian-pengevaluasian (P-O-A-C)
atau lebih sederhana dengan perencanaan-pelaksanaan-pengevaluasian (Plan-Do-Check) untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Perencanaan Keuangan adalah istilah umum untuk Manajemen Keuangan Pribadi & Keluarga (Personal & Family Financial Planning).
Perencanaan sudah dianggap mewakili sebuah proses manajemen, karena
langkah awal ini akan memicu proses berikutnya sehingga terbentuk sebuah
siklus manajemen. Perencanaan akan melakukan adaptasi sesuai hasil
pengevaluasian yang dilakukan. Ada pepatah bijak yang menyatakan bahwa
ketika kita gagal dalam merencanakan berarti merencanakan kegagalan atau
dengan kata lain ketika kita tidak merencanakan apa pun untuk apa yang
akan dilakukan, berarti kita telah merencanakan kegagalan.
Merencanakan keuangan (harta), menjadi sangat penting sebagai aspek
utama dalam kehidupan ini, Imam Fakhruddin ar-Razy rahimahullah berkata,
“Harta (al-maalu) disebut harta (maal) karena setiap orang banyak
condong dan cenderung kepadanya. Cenderung dalam bahasa Arabnya adalah
mailun, berasal kata: Maala, Yamiilu, maa’ilun, dan maalun.
Karena itulah secara tabiat harta disukai manusia. Penyebabnya adalah
kesempurnaan, harta merupakan sebab menggapai penyempurnaan kemampuan
hak manusia. Banyak harta akan mendatangkan kekuatan dan kesempurnaan
kemampuan manusia. Bertambahnya harta mengakibatkan semakin bertambahnya
kemampuan seorang manusia.”
Untuk itulah, tata kelola harta ini menjadi perhatian terbesar
manusia, bukan saja mengatasi kesempitan, namun juga dapat mendapatkan
apa yang diharapkan dari harta tersebut, terlebih sebagai seorang muslim
diharapkan menjadi sebuah amal kebaikan dengan mengikuti tuntunan
Al-Qur’an dan Hadits sebagai rujukan utama.
Apakah ada tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang membimbing manusia
untuk mengatur keuangannya? Tentu saja ada. Bahkan berdasarkan hukum
syariat, agar upaya kita dinilai ibadah (sesuai sunah atau mengikuti
petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya), harus mengikuti nash-nash yang
telah ada. Bagi seorang muslim mengikuti petunjuk Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya bukan hanya sebagai panduan hidup, namun meyakini bernilai
pahala.
Islam tidak membenci harta, namun mewaspadai keburukan perilaku
manusia terhadap harta, seperti firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Isra
ayat 26-27, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan
haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithan dan syaithan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” Diperkuat dengan surat Al-Furqon ayat 67, ”Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian.”
Penegasan ini menyiratkan bahwa seorang muslim harus pandai mengelola
uang (harta) atau cerdas finansial. Dengan demikian secara tegas dapat
dikatakan Islam sebagai penggerak perencanaan keuangan. Mengapa? Betapa
tidak, Al-Qur’an yang diturunkan 14 abad lalu, melalui ayat-ayatnya
telah menegaskan pentingnya merencanakan keuangan, agar bisa
membelanjakan harta di tengah-tengah antara keduanya (tidak
berlebihan/boros dan kikir).
Check Up 3 Sepertiga
Sebelum membahas pengaturan keuangan secara rinci, sebaiknya dipahami
dulu awal harta (uang) itu didapat. Karena uang di tangan seorang
muslim, bukan saja dituntut pertanggungjawaban cara membelanjakannya,
namun juga dimulai dari cara mendapatkan. Bahkan lebih tegas lagi
pentingnya bagi seorang muslim, merujuk pada hadits, “Tidaklah
bergeser telapak kaki bani Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya
hingga ditanya tentang lima perkara; umurnya untuk apa ia gunakan, masa
mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk
apa ia belanjakan, dan apa yang ia perbuat dengan ilmu-ilmu yang terlah
ia ketahui“. (HR. At-Tirmidzi no.2416 dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Al bani di dalam Ash Shahihah no. 947)
Para ulama sepakat mengategorikan mencari harta kekayaan (uang) juga
memenuhi kaidah fiqh dalam 5 hukum taklif, yaitu; wajib, mustahabb
(sunah), mubah, makruh, dan haram.
Bekerja bagi seorang muslim akan menjadi wajib ketika ia memiliki
tanggungan minimal untuk dirinya sendiri (nafkah), terlebih jika
memiliki keluarga seperti disebutkan dalam Al-Qur’an Surat (QS)
Al-Baqarah ayat 233, dan mencari uang juga menjadi wajib ketika memiliki
kewajiban terhadap hak orang lain (utang piutang, ikut serta membayar
denda/diat, atau membayar ganti rugi lainnya).
Ukuran nafkah (dirinya dan keluarga inti) lebih disandarkan pada
kebutuhan untuk menopang hidupnya saja, karena akan berubah menjadi
sunah ketika telah mencapai standar kecukupan, namun berniat menolong
fakir miskin, anak yatim, janda-janda miskin, atau nafkah untuk
menanggung kerabat-kerabatnya yang sebetulnya bukan tanggungan dirinya,
dengan harapan dapat memelihara silaturahmi.
Pendapat ulama Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (bersandar pada QS.
Al-Baqarah ayat 215) menyatakan bahwa selain kedua orangtua dari
keluarga (bagi yang sudah menikah) dan kerabat yang merupakan mahram,
bukanlah kewajiban seseorang untuk menafkahi mereka.
Hukum mencari harta kekayaan berubah menjadi mubah bila sudah
memenuhi kebutuhan pokok, akan tetapi masih ingin mencari yang lebih
untuk kesenangan dan kenyamanan dirinya beserta orang yang ditanggungnya
dalam hal kelezatan makanan, minuman, tempat tinggal, dan
perkara-perkara mubah lainnya.
Baru berubah menjadi makruh bila usaha mencarinya tersebut
menyebabkan seseorang meninggalkan ibadah-ibadah sunah, terjerumusnya
dalam perkara-perkara makruh. Bahkan menjadi haram bila cara
mencapai/mendapatkannya haram, atau menyebabkan lalai atas
kewajiban-kewajiban sebagai seorang muslim (shalat, shaum wajib, zakat,
haji, dll), atau hasil yang digunakan untuk yang haram.
Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir, berkata, ”Mencari uang (harta)
bisa jadi terpuji bila ditunaikan karena suatu kewajiban, sunah, atau
mubah. Namun, bisa juga menjadi tercela dilakukan (makruh dan haram).”
Untuk itulah, agar bekerja dapat bernilai ibadah, bekerja harus
sesuai dengan syariat (1) Al-Qur’an (firman Allah), (2)
As-Sunah/Al-Hadits (Rasul-Nya), (3) Ijtihad/fatwa/pendapat salafushalih
(orang-orang mukmin). Hal ini senada dengan firman Allah dalam Al-Qur’an
surat At-Taubah ayat 105, ”Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah (1) dan Rasul-Nya (2) serta orang-orang mukmin (3) akan melihat pekerjaanmu itu,”
Untuk itu, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. memberikan kiat praktis mengatur keuangan
agar bernilai ibadah (nyunah). Dari Abu Abdillah (ada yang mengatakan
namanya itu ialah Abu Abdirrahman) yaitu Tsauban bin Bujdud,
katanya: “Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. bersabda: “Seutama-utama dinar yang
dinafkahkan oleh seseorang lelaki ialah dinar yang dinafkahkan kepada
keluarganya (1), dan juga dinar yang dinafkahkan kepada kendaraannya
untuk berjuang fi-sabilillah (2) dan pula yang dinafkahkan kepada
sahabat-sahabatnya untuk berjuang fisabilillah juga (3)” (HR. Muslim)
(1) Untuk konsumsi
(2) Untuk modal kerja
(3) Untuk charity/ sedekah (kepentingan umum fisabilillah)
Hadits tersebut sejalan dengan Shahih Muslim yang dimasukkan dalam
kitab Riyadushalihin Bab 60 tentang Kedermawanan oleh Imam Nawawi, dari
Abu Hurairah ra. pula dari Nabi saw., sabdanya: “Pada suatu ketika
ada seorang lelaki berjalan di suatu tanah lapang—yang tidak berair,
lalu ia mendengar suatu suara dalam awan: “Siramlah kebun si Fulan itu!”
Kemudian menyingkirlah awan itu menuju ke tempat yang ditunjukkan, lalu
menghabiskan airnya di atas tanah lapang berbatu hitam itu. Tiba-tiba
sesuatu aliran air dari sekian banyak aliran airnya itu mengambil air
hujan itu seluruhnya, kemudian orang tadi mengikuti aliran air tersebut.
Sekonyong-konyong tampaklah olehnya seorang lelaki yang berdiri di
kebunnya mengalirkan air itu dengan alat keruknya. Orang itu bertanya
kepada pemilik kebun: “Hai hamba Allah, siapakah nama Anda?” Ia
menjawab: “Namaku Fulan,” dan nama ini cocok dengan nama yang didengar
olehnya di awan tadi. Pemilik kebun bertanya: “Mengapa Anda tanya nama
saya?” Orang itu menjawab: “Sesungguhnya saya tadi mendengar suatu suara
di awan yang inilah air yang turun daripadanya. Suara itu berkata:
“Siramlah kebun si Fulan itu! Nama itu sesuai benar dengan nama Anda.
Sebenarnya apakah yang Anda lakukan?” Pemilik kebun menjawab: “Ada pun
Anda menanyakan semacam ini, karena sesungguhnya saya selalu
melihat—memperhatikan benar-benar—jumlah hasil yang keluar dari kebun
ini. Kemudian saya bersedekah dengan 1/3-nya, saya makan bersama
keluarga saya yang 1/3-nya, dan saya kembalikan pada kebun ini yang
1/3-nya pula—untuk bibit-bibitnya.” (Riwayat Muslim)
Memperhatikan hadits tersebut, kita dapat menarik benang merah, bahwa
penghasilan seorang muslim akan menjadi 3 kebaikan apabila
didistribusikan:
(3) 1/3 untuk modal kerja (dikembalikan untuk mendapat penghasilan kembali)
(2) 1/3 untuk dimakan (konsumsi sehari-hari, nafkah secukupnya)
(1) 1/3 untuk disedekahkan.
Apa yang dimaksud dengan sedekah? Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. bersabda: “Bersedekahlah.”
Lalu seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu
dinar? Beliau bersabda: “Bersedekahlah pada dirimu sendiri.” Orang itu
berkata: Aku mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk
anakmu.” Orang itu berkata: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau
bersabda: “Sedekahkan untuk istrimu.” Orang itu berkata: Aku masih punya
yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk pembantumu.” Orang itu
berkata lagi: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Kamu
lebih mengetahui penggunaannya.” Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Hakim.
Secara tegas keterangan hadits yang diuraikan tersebut tidak merinci
kebutuhan untuk masing-masing infaq (sedekah) untuk individu yang dituju
tersebut, namun keterangan ini dapat dijadikan landasan untuk
menentukan batasan dan skala prioritas distribusi 1/3 pendapatan
tersebut, di pos ini setidaknya dapat dialokasikan anggaran untuk:
1. Haji & Umrah (termasuk berqurban setiap tahunnya) untuk diri sendiri dan pasangan, juga perencanaan keuangan pensiun.
2. Perencanaan pendidikan anak dan anggaran menikahkan anak perempuan serta khitan anak laki-laki (termasuk aqiqah).
3. Berzakat, infaq, sedekah, dan wakaf. Serta menyiapkan dana
cadangan yang dapat digunakan sewaktu-waktu untuk kepentingan sosial
lainnya, sebut saja memberikan hadiah saat menghadiri walimahan,
memberikan pinjaman (mengutangkan), dll.
Jika dibagi rata setiap pendapatan kita pada pos-posnya, Insya Allah
hak dan kewajiban semua pihak akan tertunaikan. Artinya, pendapatan yang
dihasilkan tidak sepenuhnya untuk dikonsumsi, untuk itulah diperlukan
pemahaman yang baik tentang perencanaan keuangan, agar pemanfaatannya
optimal dan mendapat keberkahan serta bernilai ibadah. [ ]
Sumber : personal.keuanganusaha
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer