Dia salah satu gadis cantik yang kupunya. Wajahnya semanis namanya.
Begitu pula akhlaknya. Dia anak istimewa. Seistimewa anak-anak didikku
yang lain.
Dia anak yang pantang menyerah walau kemampuan menghafalnya tidak secepat beberapa kawannya.
Dia
anak yang penurut. Jika aku memerintahkan sesuatu, dia selalu bersegera
melaksanakan. Semoga Allah memberkahinya, begitu juga dengan
kawan-kawannya.
Seperti biasa, kusimak hafalan anak-anak didikku
satu per satu. Tibalah giliran Anisah. Ini hafalan baru untuknya. Aku
tahu, dia serius dalam menghafal. Tapi kali ini, dia tersendat; hal yang
wajar bagi para penghafal Al-Quran. Seperti biasa, dia memintaku
menunggu dan tidak memberi tahu ayat selanjutnya sampai dia mengingatnya
sendiri. Dia telah mencoba dan mencoba … namun gagal. Tiba-tiba dia
terdiam dengan wajah tertunduk. Ketika kutanya, “Anisah, kok diam?” Dia
malah menangis sesenggukan. Aku tidak membentaknya atau memarahinya,
karena bukan hakku memarahi anak sepenurut Anisah.
Di sela-sela
tangisnya, dia berkata, “Ustadzah, aku sudah berusaha menghafal, tapi
kenapa aku nggak hafal-hafal? Aku juga udah nggak main lama-lama, tapi
belum hafal.”
Dia menangis sampai Al-Quran yang dia bawa basah oleh tetesan-tetesan air mata.
Aku
terdiam. Mendung sudah di pelupuk mata. “Ya Allah, betapa banyak
hamba-hamba-Mu yang melalaikan kalam-Mu. Betapa banyak di antara kami
yang menyia-nyiakan pedoman hidup kami sendiri. Ampuni kami, ya Rabb.”
Aku
tak kuasa lagi. Kukatakan padanya, “Anisah, Ustadzah nggak marah sama
Anisah. Sekarang Anisah duduk lagi, Ustadzah tunggu habis istirahat ya.”
Kini
tetesan-tetesan air matanya mengering sudah. Tangisnya berganti senyum
yang mengembang, setelah kuceritakan kepadanya kisah Anisah dan Syaima’,
saudari sepersusuan Rasulullah.
“Jangan menangis, Anisahku. Semoga Allah memberkahi perjuanganmu, Nak.”
***
Oleh: Nida Syahidah
Artikel UmmiUmmi.Com
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer