“Maaf Akhi, bukannya saya tidak menghormati
permintaan akhi. Tapi rasanya kita cukup menjalin ukhuwah saja dalam
perjuangan. Saya doakan semoga akhi menemukan pasangan lain yang lebih
baik dari saya.”
Amboi, bagaimana rasanya bila kalimat di atas dialami
oleh para ikhwan? Bisa saja langit terasa runtuh, hati
berkeping-keping. Sang pujaan hati yang kita harapkan menjadi teman
setia dalam mengarungi perjalanan hidup menampik khitbah kita. Segala
asa yang pernah coba ditambatkan akhirnya karam. Cinta suci sang ikhwan
bertepuk sebelah tangan.
Ya drama kehidupan menuju meghligai pelaminan memang beragam. Ada yang menjalaninya dengan smooth, amat
mulus, tapi ada yang berliku penuh onak duri, bahkan ada yang pupus
ditengah perjalanan karena cintanya tak bertaut dalam maghligai
pernikahan.
Ini bukan saja dialami oleh para ikhwan, kaum akhwat
pun bias mengalaminya. Bedanya, para ikhwan mengalami secara langsung
karena posisi mereka sebagai subyek/pelaku aktif dalam proses melamar.
Sehingga getirnya kegagalan cinta –seandainya memang terasa getir-
langsung terasa. Sedangkan kaum akhwat perasaanya lebih aman tersembunyi
karena mereka umumnya berposisi pasif, menunggu pinangan. Tapi manakala
sang ikhwan yang didamba memilih berlabuh dihati yang lain kekecewaan
juga merebak dihati mereka.
Mengambil sikap
Ikhwan dan akhwat rahimakumullah, siapapun berhak kecewa manakala keinginan dan cita-citanya tidak tercapai. Perasaan kecewa adalah bagian dari gharizatul baqa’ (naluri
mempertahankan diri) yang Allah ciptakan pada manusia. Dengannya,
manusia adalah manusia bukan onggokan daging dan tulang belulang. Ia
juga bukan robot yang bergerak tanpa perasaan, tapi manusia memiliki
aneka emosi jiwa. Ia bisa bergembira tapi juga bisa kecewa.
Emosi negatif, seperti perasaan kecewa akibat
tertolak, bukannya tanpa hikmah. Kesedihan akan memperhalus perasaan
manusia, bahkan akan meningkatkan kepekaannya pada sesama. Bila dikelola
dengan baik maka akan semakin matanglah emosi yang terbentuk. Tidak
meledak-ledak lalu lenyap seketika. Ia akan siap untuk kesempatan
berikutnya; kecewa ataupun bergembira. Jadi mengapa tidak bersyukur
manakala kita ternyata bisa kecewa? Karena berarti kita adalah mansia
seutuhnya.
Kegagalan meraih cinta juga bukan pertanda bencana.
Tapi akan memberikan pelajaran beharga pada manusia. Seorang filsuf
bernama John Charles Salak mengatakan : Orang-orang yang gagal
dibagi menjadi dua; yaitu mereka yang berfikir gagal padahal tidak
pernah melakukannya, dan mereka yang melakukan kegagalan dan tak penah
memikirkannya.
Karenanya kegagalan bukanlah akhir dari segalanya,
tapi justru awal dari segala-galanya. Meski terdengar klise tapi ada
benarnya; ambillah pelajaran dari sebuah kegagalan lalu buatlah
perbaikan diri. Tentu saja itu dengan tetap mengimani qadla Allah SWT.
Agar kegagalan mengkhitbah tidak menjadi petaka, maka
ikhwan dan akhwat, persiapkanlah diri sebaik-baiknya, ada beberapa
langkah yang bisa diambil:
Percayai qadla
Manusia tidak suka dengan penolakan. Ia ingin semua
keinginannya selalu terpenuhi. Padahal ditolak adalah salah satu bagian
dari kehidupan kita. Kata seorang kawan, hidup itu adakaanya tidak bisa
memilih. Perkataan itu benar adanya, cobalah kita renungkan, kita lahir
kedunia ini tanpa ada pilihan; terlahir sebagai seorang pria atau
wanita, berkulit coklat atau putih, berbeda suku bangsa, dsb. Demikian
pula rezeki dan jodoh adalah hal yang berada di luar pilihan kita. Man propose, god dispose. Kita hanya bisa menduga dan berikhtiar, tapi Allah jua yang menentukan.
“Sesungguhnya salah seorang di antara kalian
dikumpulkan penciptaannya di dalam rahim ibunya selama 40 hari kemudian
menjadi ‘alaqah kemudian menjadi janin, lalu Allah mengutus malaikat dan
diperintahkannya dengan empat kata dan dikatakan padanya: ‘tulislah
amalnya, rizkinya dan ajalnya.” (HR.Bukhari)
Maka kokohkanlah keimanan saat momen itu terjadi pada
kita. Yakinilah skenario Allah tengah berlangsung, dan jadilah penyimak
yang baik dengan penuh sangka yang baik padaNya. Tanamkan dalam diri
kita ‘Allah Mahatahu yang terbaik bagi hamba-hambaNya’.
Jangan biarkan kekecewaan menggerogoti keimanan kita
kepadaNya. Apalagi dengan terus menanamkan prasangka buruk padaNya.
Segerahlah sadar bahwa ini adalah ujian dari Allah . akankah kita
menerima qadla-Nya atau merutuknya?
Dengan demikian, fragmen yang pahit dalam kehidupan
InsyaAllah akan memperkuat keyakinan kita bahwa Allah sayang pada kita.
Demikian sayangnya, sampai-sampai Allah tidak rela menjodohkan kita
dengan si fulan yang kita sangka sebagai pelabuhan cinta kita.
Bersiap untuk cinta dan bahagia
“Seandainya ukhti menjadi istri saya, saya berjanji
akan membahagiakan ukhti,” demikian ungkapan keinginan para ikhwan
terhadap akhwat yang akan mereka lamar. Puluhan, mungkin ratusan
angan-angan kita siapkan seandainya si dia menerima pinangan cinta kita.
Kita begitu siap untuk berbahagia dan membahagiakan orang lain. Sama
seperti banyak orang yang ingin menjadi kaya, tenar dan dipuja banyak
orang.
Sayang, banyak diantara kita yang belum siap untuk
merasa kecewa. Dan ketika impian itu berakhir kita seperti terhempas.
Tidak percaya bahwa itu bisa terjadi, ada akhwat yang ‘berani’ menolak
pinangan kita. Bila kurang waras, mungkin akan keluar ucapan,
“berani-beraninya…” atau “apa yang kurang dari saya…..”
Akhi dan ukhti, jangan biarkan angan-angan membuai kita dan membuat diri menjadi tulul amal, panjang
angan-angan. Sadarilah semakin tinggi angan membuai kita, semakin sakit
manakala tak tergapai dan terjatuh. Ambillah sikap simbang setiap saat;
bersiap diri menjadi senang sekaligus kecewa. Sikap itu akan menjadi bufferl penyangga mental kita, apapun yang terjadi kelak.
Manakala kenyataan pahit yang ada di depan mata, sang
akhwat menolak khitbah kita atau sang ikhwan memilih ‘bunga’ yang lain,
hati ini tidak akan tercabik. Yang akan datang adalah keikhlasan dan
sikap lapang dada. Demikian pula saat ia menjatuhkan pilihannya pada
kita, hati ini akan bersyukur padaNya karena doa terkabul, keinginan
menjadi kenyataan.
” Menakjubkan perkara seorang mukmin,
sesungguhnya urusannya seluruhnya baik dan tidaklah hal itu dimiliki
oleh seseorang kecuali bagi seorang mukmin. Jika mendapat nikmat ia
bersyukur maka hal itu baik baginya, dan jika menderita kesusahan ia
bersabar maka hal itu lebih baik baginya.” (HR. Muslim)
Bukan Aib
Ditolak? Emang enak! Wah, mungkin demikian pikiran
sebagian ikhwan. Malu, kesal dan kecewa menjadi satu. Tapi itulah bentuk
‘perjuangan’ menuju pernikahan. Kita tidak akan pernah tahu apakah sang
pujaan menerima atau menolak kita, kecuali setelah mengajukan pinangan
padanya. Manakala ditolak tidak usah malu, bukan cuma kita yang pernah
ditolak, banyak ikhwan yang ‘senasib’ dan ‘sependeritaan’.
Saatnya berjiwa besar ketika ditolak. Tidak perlu
merasa terhina. Demikian pula saat banyak orang tahu hal itu. Bukankah
apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang benar? Mengapa mesti malu.
‘Kita mungkin takkan Bahagia’
Marah-marah karena lamaran tertolak? Mendoakan
keburukan pada ikhwan yang tidak mencintai kita? Itu bukan sikap seorang
muslim/muslimah yang baik. Tidak ada yang bisa melarang seseorang untuk
jatuh cinta
maupun menolak cinta. Sebagaimana kita punya hak untuk mencintai dan
melamar orang, maka ada pula hak yang diberikan agama pada orang lain
untuk menolak pinangan kita. Bahkan dalam kehidupan rumah tangga pun
seorang suami dan istri diberikan hak oleh Allah Ta'ala. Untuk membatalkan
sebuah ikatan pernikahan.
Mengapa ada hak penolakan cinta yang diberikan Allah
pada kita? Bahkan dalam pernikahan ada pintu keluar ‘perceraian’?
jawabannya adalah sangat mungkin manusia yang jatuh cinta atau setelah membangun rumah tangga, ternyata tak kunjung memperoleh kebahagiaan ( al hanaah )
dari pasangannya, maka tiada guna mempertahankan sebuah bahtera rumah
tangga bila kebahagiaan dan ketentraman tak dapat diraih. Wallahu’alam bi ash shawab
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik.” ( Al-Baqarah[2]:229 )
Berpikir positiflah manakala cinta tak berbalas.
Belum tentu kita memperoleh kebahagiaan bila hidup bersamanya. Apa yang
kita pandang baik secara kasat mata, belum tentu berbuah kebaikan di
kemudian hari.
Adakalanya keinginan untuk hidup bersama orang yang
kita idamkan begitu menggoda. Tapi bila ternyata cinta kita bertepuk
sebelah tangan, untuk apa semua kita pikirkan lagi? Allah Maha Pangatur,
ia pasti akan mempertemukan kita dengan orang yang memberikan
kebahagiaan seperti yang kita angankan. Bahkan mungkin lebih dari yang
kita harapkan.
Be positive thinking, suatu hari kelak
ketika antum telah menikah dengan orang lain –bukan dengan si dia yang
antum idamkan- niscaya antum takjub dengan kebahagiaan yang antum
rasakan. Percayalah banyak orang yang telah merasakan hal demikian.
‘Saya tak mungkin berbahagia tanpanya’
ini adalah perangkap, ia akan memenjarakan kita terus
menerus dalam kekecewaan. Perasaan ini juga menghambat kita untuk
mendapatkan kesempatan berbahagia dengan orang lain. Mereka yang terus
menerus mengingat orang yang pernah menolaknya, dan masih terbius dengan
angan-angannya sebenarnya tengah menyiksa perasaan mereka sendiri dan
menutup peluang untuk bahagia.
Mari berpikir jernih, untuk apa memikirkan orang lain
yang sudah menjalani kehidupannya sendiri? Jangan biarkan orang lain
membatalkan kebahagiaan kita. Diri kitalah yang bisa menciptakannya
sendiri. Untuk itu tanamkan optimisme dan keyakinan terhadap qadla Allah
SWT. Insya Allah, akan ada orang yang membahagiakan kita kelak.
Cinta membutuhkan waktu
“maukah ukhti menjadi istri saya? Saya tunggu jawaban
ukhti dalam waktu 1 X 24 jam!” Masya Allah, cinta bukanlah martabak
telor yang bisa di tunggu waktu matangnya. Ia berproses, apalagi
berbicara rumah tangga, pastinya banyak pertimbangan-pertimbangan yang
harus dipikirkan. Ada unsur keluarga yang harus berperan. Selain juga
ada pilihan-pilihan yang mungkin bisa diambil.
Jadi harap dipahami bila kesempatan datangnya cinta
itu menunggu waktu. Seorang akhwat yang akan dilamar –contoh extrim pada
kasus diatas- bisa jadi tidak serta merta menjawab. Biarkanlah ia
berpikir dengan jernih sampai akhirnya ia melahirkan keputusan. Jadi
cara berpikir seperti di atas sebenarnya lebih cocok dimiliki anggota
tim SWAT ketimbang orang yang berkhitbah
Ideal bagus, Tapi realistik adalah sempurna
“Suami yang saya dambakan adalah yang
bertanggungjawab pada keluarga, giat berdakwah dan rajin beribadah,
cerdas serta pengertian, penyayang, humoris, mapan dan juga tampan.” Itu
mungkin suami dambaan Anda duhai Ukhti . tapi jangan marah bila saya
katakan bahwa seandainya kriteria itu adalah harga mati yang tak
tertawar, maka yang ukhti butuhkan bukanlah seorang ikhwan melainkan
kitab-kitab pembinaan. Kenyataannya tidak ada satupun lelaki didunia ini
yang bisa memenuhi semua keinginan kita. Ada yang mapan tapi kurang
rupawan, ada yang rajin beribadah tapi kurang mapan, ada yang giat
dakwah dakwah tapi selalu merasa benar sendiri, dsb.
Ini bukan berarti kita tidak boleh memiliki kriteria
bagi calon suami/istri kita, lantas membuat kita mengubah prinsip
menjadi ‘yang penting akhwat” atau “yang penting ikhwan”. Tapi
realistislah, setiap menusia punya kekurangan – sekaligus kelebihan.
Mereka yang menikah adalah orang-orang yang berani menerima kekurangan
pasangannya, bukan orang-orang yang sempurna. Tapi berpikir realistis
terhadap orang yang akan melamar kita, atau yang akan kita lamar, adalah
kesempurnaan
Maka doa kita kepada Allah bukanlah,”berikanlah
padaku pasangan yang sempurna” tetapi “ya Allah, karuniakanlah padaku
pasangan yang baik bagi agamaku dan duniaku.”
Kekuatan Ruhiyah
Percaya diri itu harus, tapi overselfconfidence adalah
kesalahan. Jangan terlalu percaya diri akhi bahwa lamaran antum
diterima. Jangan juga terlalu yakin ukhti, bahwa sang pujaan akan datang
ke rumah anti. Perjodohan adalah perkara gaib. Tanpa ada seorang pun
yang tahu kapan dan dengan siapa kita akan berjodoh. Cinta dan
berjodohan tidak mengenal status dan identifikasi fisik. Bukan karena
ukhti cantik maka para ikhwan menyukai ukhti. Juga bukan karena akhi
seorang hamalatud da’wah lalu setiap akhwat mendambakannya.
Kita tidak bisa mengukur kebahagiaan orang lain
menurut persepsi kita. Bukankah sering kita melihat seseorang yang
menurut kita “luar biasa” berjodoh dengan yang ‘biasa-biasa’. Seperti
seringnya kita melihat pasangan yang ganteng dan cantik, populer tapi
kemudian berpisah. Inilah rahasia cinta dan perjodohan, tidak bisa
terukur dengan ukuran-ukuran manusia
Maka landasilah rasa percaya diri kita dengan sikap
tawakal kepada Allah. Kita berserah diri kepadaNya akan keputusan yang
ia berikan. Jauhilah sikap takkabur dan sombong. Karena itu semua hanya
akan membuat diri kita rendah dihadapan Allah dan orang lain. Intinya
saya bermaksud mengatakan ‘jangan ke-ge-er-an’ dengan segala title dan
atribut yang melekat pada diri kita.
Beri cinta kesempatan (lagi)
“……….dan jangan kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum
yang kafir.” ( QS. Yusuf[12]:87 )
bersedih hati karena gagal bersanding dengan dambaan
hati wajar adanya. Tapi bukan alasan untuk menyurutkan langkah berumah
tangga. Dunia ini luas, demikian pula dengan orang-orang yang mencintai
kita. Kegagalan cinta bukan berarti kita tidak berhak bahagia atau tidak
bisa meraih kebahagiaan. Bila hari ini Allah belum mempertemukan kita
dengan orang yang kita cintai, insyaAllah ia akan datang esok atau lusa,
atau kapanpun ia menghendaki, itu adalah bagian dari kekuasaanNya
cinta juga berproses. Ia membutuhkan waktu. Ia bisa
datang dengan cepat tak terduga atau mungkin tidak seperti yang kita
harapkan. Ada orang yang dengan cepat berumah tangga, tapi ada pula yang
merasakan segalanya berjalan lambat, namun tidak pernah ada kata
terlambat untuk merasakan kebahagiaan dalam pernikahan. Beri kesempatan
diri kita untuk kembali merasakan kehangatan cinta. ‘ love is knocking outside the door.’ Kata musisi Tesla dalam senandung love will find a way. Tidak
pernah ada kata menyerah untuk meraih kebahagiaan dalam naungan
ridhoNya. Yang pokok, ikhwan atau akhwat yang kelak akan menjadi
pasangan kita adalah mereka yang dirihoi agamanya.
“jika melamar kepada kalian seseorang yang kalian
ridho agamanya dan akhlaknya maka nikahkanlah ia, bila kalian tidak
melakukannya maka akan ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang nyata”
(HR. Turmudzi)
“ Wanita dinikahi karena satu dari tiga hal;
dinikahi karena hartanya, dinikahi karena kecantikannya, dinikahi karena
agamanya. Maka pilihlah yang memiliki agama dan akhlak (mulia) niscaya
selamat dirimu.” (HR.Ahmad)
====
Sumber: dudung.net Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer