ustadz....
ketika sy dlm perjalanan dari aceh selatan ke aceh utara......kemudian sy meminta bang supir berhenti di sebuah masjid karena kebetulan sy hendak buang air kecil dan kebetulan juga hampir adzan subuh (bang supir dan beberapa penumpang tdk shalat subuh)...trus adzan subuh berkumandang.....sy bingung...apakah sy shalat subuh berjamah bersama imam atau sy shalat sendirian ?
Ahmad Al Faqih
Jawaban:
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh. Semoga Allah senantiasa berkahi saudara dalam kebaikan.
Berkenaan dengan pertanyaan yang saudara sampaikan, maka kami jawab dengan beberapa point berikut:
Pertama: Meremehkan shalat lima waktu
Kami sangat menyayangkan keadaan kaum muslimin di negeri kita. Apalagi yang kami saksikan ketika kami sendiri safar dengan menggunakan kereta, bus atau pesawat, banyak sekali yang tidak memperhatikan shalat. Semisal shalat shubuh misalnya, di pesawat tidak ada yang memperhatikan di sisi kanan dan kirinya apakah fajar shodiq telah terbit, tanda masuknya shalat Shubuh. Padahal waktu shalat Shubuh amat singkat, mulai dari terbit fajar shodiq hingga matahari terbit. Banyak yang kami perhatikan memeluk bantal atau bertutup shalat, dan membiarkan waktu shalat terlewat begitu saja. Padahal waktu shalat sudah tertentu,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
(QS. An Nisa’: 103). Ibnu Mas’ud berkata, “Shalat itu punya waktu
tertentu sebagai waktu haji.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir,
4: 258)Orang yang shalat namun lalai saja terancam seperti dalam ayat berikut ini,
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”
(QS. Al Maa’un: 4-5). Ibnu ‘Abbas berkata, “Mereka yang dimaksud adalah
yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya” (Zaadul Masiir, Ibnul
Jauzi, 9: 244). Bagaimana lagi dengan orang yang tidak mengerjakan
shalat sama sekali? Tentu ancamannya lebih parah.Bahkan para ulama telah sepakat bahwa meninggalkan satu shalat saja, itu sudah termasuk dosa besar. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7). Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba-ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Dalam hadits-hadits pun disebutkan bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk kekafiran. Di antara hadits tersebut adalah,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim no. 257).Dari penjelasan di atas, kami nasehatkan hendaklah setiap muslim memperhatikan amalan yang satu ini. Jangan sampai ia meremehkannya. Ketika seseorang bersafar atau melakukan perjalanan jauh, ia tetap punya kewajiban yang sama sebagaimana ia mukim. Semoga kita perhatikan nasehat ‘Umar bin Khottob berikut ini, Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“ (Lihat Ash Sholah, Ibnul Qayyim, hal. 12)
Kedua: Keringanan saat safar
Dalam safar, memang keadaan yang amat sulit dan penuh kecapekan. Seorang musafir akan sulit tidur, sulit makan dan melakukan aktivitas lainnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
السَّفَرُ
قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
وَنَوْمَهُ ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar merupakan siksaan, karena menghalangi seorang di antara
kalian untuk bisa menikmati makan, minum dan tidur. Jika di antara
kalian telah menyelesaikan keperluannya, maka hendaklah dia segera
kembali ke keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no.
1927). Oleh karena itu, karena berbagai kesulitan seperti ini, maka
Islam memberikan berbagai keringanan saat safar berkaitan dengan shalat,
di antaranya:1. Bolehnya mengqoshor shalat, artinya shalat empat raka’at dijadikan dua raka’at. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ
“Allah ‘azza wa jalla melepaskan dari musafir separuh shalat.”
HR. Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa-i dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Misykatul Mashobih 2025).2. Bolehnya shalat sunnah di atas kendaraan. Dari Jabir bin ’Abdillah, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ
تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ
الْقِبْلَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan
shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya.
Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan
dan menghadap kiblat.” (HR. Bukhari no. 400)Ibnu ‘Umar berkata,
وَكَانَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ
قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ
يُصَلِّى عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat
sunnah di atas kendaraannya menghadap arah kendaraan berjalan, lalu
beliau sempat melakukan witir di atas. Namun beliau tidak melakukan
shalat wajib di atas kendaraan” (HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 700)3. Bolehnya menjamak shalat jika sulit mengerjakan shalat di masing-masing waktu.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَالْقَصْرُ
سَبَبُهُ السَّفَرُ خَاصَّةً لَا يَجُوزُ فِي غَيْرِ السَّفَرِ وَأَمَّا
الْجَمْعُ فَسَبَبُهُ الْحَاجَةُ وَالْعُذْرُ فَإِذَا احْتَاجَ إلَيْهِ
جَمَعَ فِي السَّفَرِ الْقَصِيرِ وَالطَّوِيلِ وَكَذَلِكَ الْجَمْعُ
لِلْمَطَرِ وَنَحْوِهِ وَلِلْمَرَضِ وَنَحْوِهِ وَلِغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ
الْأَسْبَابِ فَإِنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ رَفْعُ الْحَرَجِ عَنْ الْأُمَّةِ
Sebab qoshor shalat khusus hanya karena seseorang itu bersafar. Tidak
boleh seseorang mengqoshor shalat pada selain safar. Adapun sebab
menjamak shalat adalah karena adanya hajat (kebutuhan) dan adanya udzur
(halangan). Jika seseorang butuh untuk menjamak shalat, maka ia boleh
menjamaknya pada safar yang singkat atau safar yang waktunya lama.
Begitu pula seseorang boleh menjamak shalat karena alasan hujan dan
kesulitan semacam itu, karena sakit, dan sebab lainnya. Karena ingat
sekali lagi, sebab menjamak shalat adalah untuk menghilangkan kesulitan
pada kaum muslimin. (Majmu’ Al Fatawa, 22: 292)Jika sudah mengetahui beberapa keringanan shalat saat safar seperti yang disebutkan di atas, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk meninggalkan shalat. Karena lihatlah saat sulit, Islam memberikan kemudahan.
Ketiga: Ketika sulit mengerjakan shalat fardhu turun dari kendaraan
Sebagaimana diterangkan dalam hadits Jabir dan perkataan Ibnu ‘Umar di atas, shalat fardhu hendaklah dilakukan dengan turun dari kendaraan. Bagaimana jika tidak memungkinkan kita turun seperti misalnya kita mendapati waktu shalat Shubuh di atas kendaraan atau waktu shalat lainnya di atas kereta atau bus? Jawabnya, boleh dilakukan di atas kendaraan asalkan dengan memenuhi dua syarat:
1. Khawatir akan keluar waktu shalat sebelum sampai di tempat tujuan. Namun jika bisa turun dari kendaraan sebelum keluar waktu shalat, maka lebih baik menunggu. Kemudian jika sudah turun, dia langsung mengerjakan shalat fardhu.
2. Jika tidak mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat. Namun jika mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat fardhu, maka wajib melaksanakan shalat fardhu dengan kondisi turun dari kendaraan. (Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 21869)
Sehingga untuk kasus yang saudara
tanyakan jika memang bisa mengerjakan shalat Shubuh dengan turun dari
kendaraan, maka itu lebih baik. Ditambah lagi jika bisa berjamaah dengan
musafir lainnya atau dengan penduduk setempat, itu lebih ahsan dan
menuai pahala yang lebih besar. Dakwahilah mereka akan pentingnya
shalat, semoga mereka pun bisa mendapatkan hidayah.
Wallahu a’lam. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ KSU, Riyadh KSA, 12 Rabi’ul Awwal 1433 H
www.rumaysho.com
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer