Aisyah
bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, pernahkah engkau
mengalami hari yang lebih pedih dari hari Perang Uhud?” Rasulullah
menjawab, “Aku sering mendapatkan (gangguan) dari kaummu. Yang
paling menyakitkan adalah peristiwa Hari Aqabah, saat aku mengajak
Ibnu Abdi Yalil bin Abdu Kulal masuk Islam namun ia tidak menyambut
ajakan yang kuinginkan. Aku pun beranjak pergi dengan hati yang
sedih. Tidaklah aku tersadar melainkan setelah tiba di Qarnu
Tsa’alib[1]. Aku tengadahkan kepalaku ke langit, tiba-tiba tampak
segumpal awan menaungiku. Aku angkat kepalaku, ternyata Jibril berada
di sana dan berseru kepadaku. Jibril berkata, ‘Sungguh Allah telah
mendengar ucapan kaummu dan jawaban mereka terhadapmu. Allah telah
mengutus malaikat penjaga gunung kepadamu agar engkau memerintahnya
sesuai dengan kehendakmu terhadap mereka (orang-orang kafir).’
Malaikat gunung kemudian berseru kepadaku serta mengucapkan salam,
lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar
ucapan kaummu kepadamu. Aku adalah malaikat gunung yang telah diutus
oleh Rabbmu kepadamu agar engkau memerintahkan kepadaku sesuai dengan
perintahmu. (Wahai Muhammad,) apa yang engkau inginkan? Jika engkau
menghendaki, aku akan menimpakan dua gunung itu kepada mereka[2]’.”
Rasulullah lalu menjawab, “Tidak. Aku justru berharap agar Allah
mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang yang akan menyembah
Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun.”
Suatu
hari Nabi bersabda, “Tahukah kalian ke mana matahari pergi?” Para
sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya matahari ini berjalan hingga berada di
bawah ‘Arsy, lalu ia tersungkur sujud kepada Allah. Dia terus dalam
keadaan sujud hingga dikatakan kepadanya, ‘Naiklah engkau,
kembalilah dari mana engkau datang!’ Matahari pun kembali, sehingga
di waktu pagi dia terbit lagi dari tempat terbitnya. Kemudian ia
berjalan hingga berakhir pada tempat menetapnya di bawah ‘Arsy,
lalu bersujud dan tetap dalam keadaan demikian, sampai dikatakan
kepadanya, ‘Naiklah, kembalilah dari mana engkau datang!’
Matahari pun kembali, sehingga di waktu pagi muncul dari tempat
terbitnya. Kemudian ia berjalan lagi tanpa sedikit pun manusia
menyadarinya, hingga berakhir pada tempat menetapnya itu di bawah
‘Arsy, lalu dikatakan kepadanya, ‘Naiklah, dan terbitlah engkau
dari barat!’ Keesokan harinya, matahari terbit dari sebelah barat.
Rasulullah melanjutkan, “Tahukah kalian, kapan itu terjadi? Itu
terjadi di hari (yang difirmankan oleh Allah):
‘Tidaklah
bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum
beriman sebelum itu, atau ia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa
imannya’.” (al-An’am: 158)
Takhrij
Hadits Aisyah dan Abu Dzar
Hadits
Aisyah muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari
dalam ash-Shahih, “Kitab Bad’il Khalq” (3/1180 no. 3059), dan
“Kitab at-Tauhid bab firman Allah” no. 6954.
Diriwayatkan
pula oleh al-Imam Muslim dalam ash-Shahih, “Kitabul Jihad was
Siyar” (3/1420 no. 1795).
Keduanya
meriwayatkan hadits Aisyah melalui jalan Abdullah bin Wahb bin Muslim
al-Qurasyi, dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Urwah bin az-Zubair,
dari Aisyah. Lafadz di atas adalah lafadz Muslim.
Adapun
hadits Abu Dzar diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, “Kitab
Bad’il Khalqi” no. 3199, juga beliau keluarkan di beberapa tempat
dalam ash-Shahih, no. 4802, 4803, 7424, 7433.
Hadits
ini diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam Shahih-nya “Kitab
al-Iman” (1/138 no.159) dan lafadz di atas adalah lafadz Muslim.
At-Tirmidzi
juga meriwayatkan hadits ini dalam as-Sunan, “Kitabul Fitan” no.
2186 dan “Kitab Tafsir Al-Qur’an” no. 3227. Beliau berkata,
“Ini adalah hadits yang hasan sahih.”
Abu
Dawud juga meriwayatkannya dalam as-Sunan “Kitab al-Huruf wal
Qira’at” no. 4002 dengan kisah yang berbeda, yaitu Rasulullah
bertanya kepada Abu Dzar di saat beliau memboncengkannya di atas
keledai.
Semua
meriwayatkan hadits Abu Dzar melalui jalan Ibrahim bin Yazid bin
Syarik Abu Asma’ al-Kufi, dari ayahnya Yazid bin Syarik bin Thariq
at-Taimi al-Kufi, dari Abu Dzar al-Ghifari Jundub bin Junadah.
Semua
perawinya tsiqah (tepercaya sekaligus kuat hafalannya), hanya saja
Ibrahim seorang mudallis[3]. Akan tetapi, sebagian sanad hadits
menunjukkan bahwa Ibrahim mendengar langsung dari ayahnya.
Dalam
sebagian riwayat Muslim, Abu Dzar berkata,
Aku
masuk masjid sementara Rasulullah duduk. Ketika matahari terbenam
beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, tahukah engkau ke manakah
matahari pergi?” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang
mengetahui.” Beliau berkata, “Sesungguhnya ia pergi meminta izin
untuk sujud, lalu diizinkan, seolah-olah dikatakan kepadanya,
‘Kembalilah engkau dari tempat kedatanganmu.’ Terbitlah matahari
dari tempat tenggelamnya’.”
Perdebatan
Seputar Hadits Abu Dzar
Penulis
Tafsir al-Manar (Muhammad Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh)
memberikan komentar terhadap hadits Abu Dzar tentang berjalannya
matahari dan sujudnya kepada Allah di bawah ‘Arsy dengan komentar
yang menyelisihi al-haq (kebenaran). Ia mengatakan bahwa matan (teks)
hadits ini membingungkan. Di samping itu, menurutnya ada kelemahan
dalam sanadnya.
Ia
berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
melalui jalan dari Ibrahim bin Yazid bin Syarik at-Taimi dari Abu
Dzar.”[4] Meskipun Ibrahim seorang yang tsiqah sebagaimana
penilaian ahlul hadits, namun ia perawi yang mudallis.
Al-Imam
Ahmad (wafat 241H) berkata, “Ia tidak berjumpa dengan Abu Dzar.”
Ad-Daruquthni
(385 H) berkata, “Ia tidak mendengar dari Hafshah tidak pula dari
Aisyah, bahkan ia tidak mendapati zaman keduanya.”
Ali
bin al-Madini (234 H) berkata, “Ia tidak mendengar hadits dari Ibnu
Umar, demikian pula dari Ibnu Abbas….”
(Dalam
hadits ini, Ibrahim meriwayatkan dari Abu Dzar, yang dikatakan oleh
al-Imam Ahmad bahwa Ibrahim tidak menjumpainya. Artinya, Ibrahim
meriwayatkan dengan perantara, yang boleh jadi adalah orang yang
tidak tsiqah, –pen.). Lihat Tafsir al-Manar (8/211—212).
Apa
Jawabnya?
Terhadap
hadits Abu Dzar tentang sujudnya matahari, demikian pula hadits
Aisyah tentang malaikat penjaga gunung dan hadits-hadits tentang
urusan gaib yang semisal, bisa saja seseorang seenaknya berkomentar,
“Hadits ini memang sahih sanadnya, tapi teksnya janggal. Susah bagi
akal untuk mencernanya!”
Oleh
sebagian kalangan, kalimat ini dianggap sah-sah saja, padahal kalimat
ini sungguh merupakan ungkapan yang luar biasa berbisa. Dengan
kalimat ini, hadits-hadits yang sahih diabaikan dan diingkari,
walaupun disepakati kesahihannya oleh al-Bukhari dan Muslim.
Kita
katakan kepada mereka, “Wahai para pemuja akal, apakah setiap hal
yang tidak masuk akal berarti itu dusta dan mustahil? Kalau kaidah
ini kalian terapkan dalam menyikapi hadits-hadits Rasul, sungguh
kalian akan menyimpang sejauh-jauhnya. Ingatkah kalian saat
Rasulullah kembali dari perjalanan Isra’? Tidak genap satu malam
Rasulullah telah melintasi sahara dari Makkah ke Baitul Maqdis, yang
seharusnya ditempuh dua bulan perjalanan kala itu. Bahkan, Rasulullah
telah menembus tujuh lapis langit dan kembali lagi ke Makkah.
Berita
besar ini disampaikan kepada penduduk Makkah sehingga terjadilah apa
yang terjadi. Mereka bertepuk tangan, berjingkrak-jingkrak
menertawakan berita Rasul dan mengejeknya. Mereka anggap semua itu
mustahil. Adapun Abu Bakr justru bertambah kokoh keimanannya, tidak
sedikit pun bergeser dari iman hingga beliau beroleh gelar
ash-Shiddiq.
Sejenak
pena berhenti menanti jawaban para pengagum akal. Apakah mereka
hendak mengikuti jalan musyrikin Quraisy dalam menyikapi berita
Rasul, atau jalan Abu Bakr ash-Shiddiq dan kaum mukminin? Sepertinya
terlalu lama kita menanti jawaban mereka. Semoga Allah memberi
hidayah kepada kita semua.
Menyangkut
kritikan terhadap sanad al-Bukhari dan Muslim, kita katakan, “Penulis
tafsir al-Manar seharusnya dengan teliti melihat kembali apa yang
dibacanya, agar tidak terjatuh kepada kesalahan yang sangat fatal.
Apalagi dilanjutkan dengan perkataannya, ‘Apabila hadits yang
dikeluarkan al-Bukhari dan Muslim saja ada yang memiliki illat
(cacat) seperti ini, bagaimana halnya dengan hadits yang tidak
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta penulis kitab-kitab
as-Sunan?’.” (Tafsir al-Manar)
Sanad
hadits Abu Dzar yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim adalah
Ibrahim bin Yazid at-Taimi, dari ayahnya Yazid bin Syarik at-Taimi,
dari Abu Dzar. Sanad ini muttashil (bersambung) dengan rawi-rawi yang
tsiqah. Keadaan Ibrahim sebagai seorang mudallis tidak membahayakan
karena dalam sebagian sanad Muslim tampak bahwa Ibrahim mendengar
dari ayahnya. Dengan demikian, tidak ada ‘illat dalam hadits Abu
Dzar seperti tuduhan penulis Tafsir al-Manar. Walhamdulillah.
Mengimani
Berita-Berita Gaib dari Rasulullah
Alam
semesta yang demikian besar menyimpan berjuta rahasia yang tidak
mungkin disingkap oleh akal manusia. Hanya berita-berita gaib para
rasul Allah yang mampu menembus rahasia itu, tentu saja dengan wahyu
dari Allah. Allah berfirman:
“Dan
demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan
(Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya)
agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (al-An’am: 75)
“(Dia
adalah Rabb) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan
kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang
diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga
(malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26—27)
Seorang
yang jujur dalam persaksian imannya niscaya selalu tunduk di hadapan
sabda-sabda Rasulullah, baik berupa berita, perintah, maupun
larangan. Ia akan selalu beribadah kepada Allah dengan tuntunan
beliau dan tidak beribadah dengan kebid’ahan. Tidak ada sedikit pun
keraguan dalam sanubarinya atau rasa berat hati terhadap keputusan
Rasulullah yang sesungguhnya adalah wahyu dari Allah yang mutlak
kebenarannya.
Di
hadapan hadits Aisyah dan Abu Dzar, seseorang diuji, apakah ia
beriman atau mengingkari berita-berita Rasulullah? Seorang yang
beriman tentu akan mengambil semua yang datang dari Rasulullah.
“Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya
Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr: 7)
Berbeda
halnya dengan orang-orang yang menyimpan keraguan, berita-berita
Rasulullah akan mereka singkirkan atau sepelekan. Lebih-lebih jika
kabar Rasulullah tersebut menyelisihi hawa nafsunya, berbeda dengan
kepentingannya, berseberangan dengan adat istiadatnya, atau berbeda
dengan hasil penelitian dan olah pikir manusia. Di situlah akan
semakin tampak siapa yang lebih mengutamakan hawa nafsunya daripada
keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebelum
berlarut, marilah kita kembali pada dua hadits yang mengawali
pembahasan kita. Dalam hadits Aisyah, Rasulullah mengabarkan bahwa di
antara malaikat-malaikat Allah ada yang ditugaskan sebagai penjaga
gunung. Mereka adalah makhluk Allah yang sangat kuat. Dengan izin
Allah mereka mampu membalikkan gunung dan menimpakannya kepada siapa
saja yang Allah kehendaki. Semua itu dengan perintah Allah dan tidak
lepas dari pengaturan-Nya.
Perhatikan
kedatangan malaikat gunung kepada Rasulullah. Ia berkata kepada Rasul
bahwa Allah memerintahkannya untuk mendengar perintah Rasulullah.
Jika beliau berkehendak, dua gunung akan dia timpakan kepada kaum
musyrikin. Malaikat tersebut tidak serta-merta datang kepada Rasul
tanpa perintah Allah, atau tiba-tiba mengangkat gunung dan
menimpakannya kepada manusia yang ingkar tanpa perintah dari-Nya.
Sungguh, mereka adalah makhluk yang taat dan tidak sedikit pun
bermaksiat kepada Allah.
“(Mereka
malaikat-malaikat Allah) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
Subhanallah,
gunung-gunung yang menjulang, Engkau tetapkan para penjaganya dari
kalangan malaikat-malaikat-Mu yang senantiasa menanti perintah-Mu.
Hadits Aisyah menyingkap sebuah rahasia dari berjuta rahasia alam
semesta.
Adapun
hadits Abu Dzar al-Ghifari mengabarkan berita gaib lain dari
keajaiban alam. Beliau mengabarkan bahwa matahari yang berada di atas
kita tidaklah diam. Ia terus berjalan, menuju satu tempat di bawah
Arsy untuk bersujud kepada-Nya, menanti perintah serta izin-Nya untuk
terbit dan tenggelam dari tempat biasanya ia terbit dan tenggelam.
Hingga
datang satu masa di akhir zaman nanti, Allah, Rabbul ‘Alamin, tidak
lagi mengizinkannya untuk terbit dari timur. Dia akan
memerintahkannya terbit dari sebelah barat, tempat tenggelamnya.
Itulah sebagian tanda Rabb yang dimaksud dalam firman Allah:
Yang
mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada
mereka (untuk mencabut nyawa mereka), kedatangan Rabbmu, atau
kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu. Pada hari datangnya sebagian
tanda-tanda Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi
dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum)
mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, “Tunggulah
olehmu, sesungguhnya kami pun menunggu (pula).” (al-An’am: 158)
Saat
itulah, tidak akan bermanfaat iman seseorang yang baru beriman.
Demikian pula, seorang yang baru bertaubat tidak diterima taubatnya,
sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya
Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk memberikan ampunan
bagi mereka yang berdosa di siang hari dan Dia membentangkan
tangan-Nya di siang hari untuk mengampuni mereka yang berdosa di
malam hari, hingga terbit matahari dari tempat tenggelamnya.”[5]
Hadits
Abu Dzar tegas menunjukkan batilnya perkataan bahwa matahari diam
tidak berjalan. Teori manusia mengatakan matahari sebagai pusat tata
surya itu diam, hanya berputar pada porosnya. Kekuatan daya tarik
gravitasi yang dimilikinya mampu menarik sekian banyak planet
termasuk bumi untuk mengitari dirinya. Adapun ia sendiri diam, tidak
berjalan.
Saudaraku,
anggapan bahwa matahari diam, tidak berjalan, dan hanya perputar pada
porosnya, adalah teori manusia. Adapun seorang mukmin akan berkata
sesuai dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya bahwa matahari
berjalan menuju tempat di bawah ‘Arsy. Ia tidak diam di tempatnya,
sebagaimana hal ini tampak dari pertanyaan Rasulullah kepada para
sahabatnya:
“Tahukah
kalian, ke mana matahari ini pergi?”
Wahai
Rabb kami, itu berita Rasul-Mu. Kami beriman dan tidak ada sedikit
pun keraguan di hati kami.
“Wahai
Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan,
dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam
golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan-Mu).” (Ali
Imran: 53)
Gunung,
Matahari, dan Seluruh Alam di Bawah Kekuasaan serta Pengaturan Allah
Matahari
berjalan secara teratur dengan perintah Allah. Dia berfirman:
“Dan
matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang
Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin: 38)
Gunung-gunung
yang kokoh juga berada dalam perintah dan pengawasan Allah. Allah
menetapkan para penjaga dari kalangan malaikat-Nya untuk menjalankan
semua ketetapan dan perintah tersebut.
Demikian
pula lautan serta segala apa yang di langit dan di bumi, mereka semua
adalah makhluk Allah yang berada di bawah pengawasan dan
pengaturan-Nya.
“Allah
lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar
padanya dengan seizin-Nya, supaya kamu dapat mencari sebagian
karunia-Nya, dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan
untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
berpikir.” (al-Jatsiyah: 12—13)
Bumi
tempat kita berpijak dan langit yang mengatapi kita, keduanya taat
dan tunduk kepada Allah. Dia berfirman:
Dan
Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi
orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu
masih berupa asap, lalu Dia berkata kepada langit dan kepada bumi,
“Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau
terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati.”
(Fushshilat: 10—11)
Gemuruhnya
guntur juga tidak lepas dari perintah Allah.
Sekelompok
Yahudi datang kepada Nabi, mereka bertanya, “Wahai Abul Qasim,
kabarkan kepada kami tentang guntur, apa itu?” Nabi berkata, “Ada
salah satu malaikat Allah yang diberi tanggung jawab atas awan. Ia
membawa cemeti dari api yang dengannya ia menggiring awan ke arah
yang dikehendaki oleh Allah.” Yahudi berkata, “Suara yang kita
dengar, apakah itu?” Nabi berkata, “Itu hardikan malaikat saat
menggiring awan menuju tempat yang Dia perintahkan.” (al-Hadits)[6]
Musibah
Bukan Sekadar Fenomena Alam
Belum
lepas dari ingatan kita berbagai musibah yang menimpa manusia di
negeri ini: gempa bumi, tsunami, dan letusan berikut awan panas
“wedus gembel” Merapi.
Hal
yang tidak boleh lepas dari sanubari adalah keyakinan bahwa musibah
itu tidak terjadi begitu saja tanpa perintah Allah. Merapi tidak
serta-merta meletus tanpa perintah. Lempengan bumi pun tidak begitu
saja bergerak tanpa kehendak Sang Pencipta. Demikian pula, air laut
tidak begitu saja meluap menenggelamkan manusia tanpa perintah Allah,
Rabbul ‘Alamin.
Alam
semesta adalah makhluk Allah yang diatur dan diperintah. Allah yang
memerintahkan air bah menenggelamkan kaum Nuh. Dia pula yang
memerintahkan malaikat membalik bumi tempat kaum Luth tinggal. Dia
juga yang memerintahkan Laut Merah memusnahkan Fir’aun beserta bala
tentaranya. Inilah hakikat yang tidak boleh terlupakan dalam akidah
seorang muslim.
Hendaknya
manusia juga menyadari bahwa kerusakan tersebut sesungguhnya buah
dari kezaliman manusia. Allah tidak zalim. Akan tetapi, manusialah
yang menzalimi diri-diri mereka. Allah menimpakan semua itu agar
manusia menyadari bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang lemah.
Hamba yang harus segera kembali kepada Allah, bertaubat dari dosa dan
kesalahannya. Demikian juga, agar mereka mengerti bahwa hanya Allah
lah, Dzat yang berhak diibadahi.
“Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(ar-Rum: 41)
Sejenak
kita buka sejarah kaum Nuh. Saat Allah menghendaki kebinasaan atas
kaum durhaka, tidak ada satu pun usaha yang bermanfaat walaupun
seseorang pergi ke atas gunung yang tinggi.
Dan
Nuh berkata, “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut
nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya Rabbku
benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahtera itu
berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh
memanggil anaknya sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh
terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan
janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya
menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat
menjagaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi
hari ini dari azab Allah, selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.”
Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Jadilah anak itu
termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hud: 41—43)
Dialah
yang Berhak Diibadahi
Jika
alam semesta ini di bawah pengaturan Allah, semua tunduk kepada
Allah, lantas pantaskah sesuatu selain Allah yang diibadahi? Tentu
jawabannya tidak.
Dalam
ayat-ayat Al-Qur’an, manusia sering diingatkan bahwa Allah adalah
satu-satunya Dzat yang mengatur alam semesta, menciptakan, dan
memberi rezeki, agar mereka menyadari bahwa hanya Allah sajalah yang
berhak untuk diibadahi. Tidak pantas manusia menyekutukan Allah
dengan para makhluk-Nya ketika beribadah. Allah berfirman:
“Wahai
manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan
air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
(al-Baqarah: 21—22)
Dalam
Al-Qur’an, Allah sering menampakkan kebatilan peribadatan kepada
selain Allah dengan mengingatkan manusia bahwa sesembahan selain
Allah adalah makhluk yang diatur, bukan yang mengatur; makhluk yang
diciptakan dan tidak menciptakan. Makhluk yang demikian lemah dan
fakir, apakah pantas diibadahi?
Katakanlah,
“Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah/sesembahan) selain
Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit
dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu andil pun dalam
(penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara
mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.” (Saba’: 22)
Saat
bencana menimpa, seharusnya manusia segera kembali kepada Allah,
bertobat kepada-Nya, dan mentauhidkan-Nya, tidak justru semakin
bergantung kepada selain Allah. Dengan ketakwaan, Allah akan
menjadikan sebuah negeri sebagai negeri yang diberkahi oleh Allah.
Jangan seperti negeri-negeri yang ingkar, yang membanggakan
kecerdasan otaknya untuk menghadapi musibah. Alam bukan di tangan
manusia tetapi di tangan Allah. Dialah yang memerintah, Dia pula yang
memutuskan.
Belum
lepas dari ingatan kita gempa bumi yang menimpa Kota Kobe (Jepang) di
tahun 90-an. Tidak ada yang memungkiri kemajuan Jepang dalam
teknologi. Mata dunia terbelalak dengan kehebatan Jepang dalam
teknologi. Kobe sejatinya sudah dipersiapkan sebagai kota antigempa.
Semua konstruksi bangunan disiapkan dengan canggih untuk menghadapi
gempa hingga lebih dari 8 Skala Richter (8 SR). Tetapi itu hanya
angan manusia belaka. Di hadapan kekuasaan Allah, tidak satu makhluk
pun yang bisa menengadahkan kepalanya untuk sombong dan berbangga.
Gempa dengan skala “hanya” lima koma sekian SR merayapi Kota
Kobe. Dalam hitungan detik, tidak ada satu bangunan pun selamat.
Gedung pencakar langit, jembatan layang, dan seluruh bangunan yang
ada harus luluh lantak tertelan gempa.
“Jika
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu
merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari
di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu
merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu
matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah
mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)?
Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah selain orang-orang yang
merugi.” (al-A’raf: 96—99)
Ya
Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari akibat
perbuatan jelek diri kami!
Amin,
ya Rabbal ‘Alamin.
Catatan
Kaki:
[1]
Qarnu ats-Tsa’alib adalah Qarnu al-Manazil, miqat bagi penduduk
Najd untuk melakukan ibadah haji atau umrah. Jaraknya sekitar 94 km
dari Makkah, saat ini dikenal dengan nama as-Sailul Kabir.
[2]
Dua gunung yang dimaksud adalah gunung Abu Qubais dan gunung yang di
hadapannya.
[3]
Mudallis adalah orang yang menampakkan hadits yang terputus sanadnya
seakan-akan bersambung.
[4]
Sanad yang benar adalah Ibrahim bin Yazid, dari ayahnya yakni Yazid,
dari Abu Dzar al-Ghifari.
[5]
HR. Muslim “Kitabut Taubah” bab “Qabulut Taubati minadz Dzunub
wa in Takarrarat adz-Dzunub wat Taubah (Bab Diterimanya Taubat
Walaupun Dosa dan Taubatnya Terulang)” (4/2113 no. 2759) dari
sahabat Abu Musa al-Asy’ari.
[6]
HR. at-Tirmidzi (4/257 no. 5121) dari Abdullah bin Abbas. At-Tirmidzi
berkata, “Hadits hasan sahih gharib.” Diriwayatkan pula oleh
al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (1/274). Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam
tahqiq beliau mengatakan, “Sanad hadits ini sahih.” Asy-Syaikh
al-Albani mengatakan tentang hadits ini, “Paling rendahnya, hadits
ini berderajat hasan.” Lihat takhrijnya dalam ash-Shahihah
(4/491–493).
Sumber:
http://asysyariah.com/
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer