DOWNLOAD
Faidah yang bisa dipetik dari ceramah
1. Kriteria Istri yang Ideal, yang diutamakan adalah yang bagus agamanya. Salah satu ciri wanita yang sholihah adalah seorang istri yang dia mampu menyenangkan suaminya ketika memandangnya, mentaati suaminya jika diperintah, dan tidak menyelisihi suaminya jika suaminya tidak senang terhadap sesuatu.
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
2. Kriteria yang kedua adalah pilihlah wanita yang masih gadis. 

“Menikahlah dengan gadis, sebab mulut mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil, dan lebih rela pada pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani).
Namun tidak mengapa menikah dengan seorang janda jika melihat maslahat yang besar. Seperti  sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan janda karena ia memiliki 8 orang adik yang masih kecil sehingga membutuhkan istri yang pandai merawat anak kecil, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya (HR. Bukhari-Muslim)
3. Kriteria yang ketiga adalah pilihlah wanita yang subur yang diperkirakan akan bisa memiliki banyak anak dan yang keempat adalah wanita yang penyayang.
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih)
4. Kriteria yang keempat adalah pilihlah wanita yang berasal dari keluarga yang baik, bukan dari keluarga gembong penjahat, koruptor,penjudi/ pemabok, dll.
5. Salah satu kriteria juga, walaupun bukan kriteria utama, adalah hendaknya memilih calon suami atau istri yang derajat sosialnya tidak terlalu jauh.
Hal ini diisyaratkan oleh kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah wanitaterpandang dan cantik, sedangkan Zaid adalah lelaki miskin yang tidak tampan. Namun siapa diantara para lelaki zaman ini yang lebih memiliki kesholehan dan keutamaan melebihi Zaid bin Haritsah??, dan siapa wanita zaman ini yang memiliki kesholehahan dan keutamaan melebihi Zainab binti Jahsy??. Walaupun demikian, pernikahan mereka pun tidak berlangsung lama dikarenakan status sosial yang terlalu jauh.
6. Ketika dihadapkan kepada pilihan yang sama-sama agamanya bagus, maka yang lebih menjadi prioritas selanjutnya adalah tentang kecantikannya, di bandingkan dengan kriteria kekayaan atau keturunan orang terpandang. Sebagaimana pendapat Ibnul Qayyim al Jauzi dan Syaikh Ibnu Utsaimin.
7. Kriteria suami ideal juga tidak jauh beda dengan kriteria istri ideal. Yaitu yang bagus agamanya.
8. Tidak ada larangan secara syar’i diharamkannya menikah dengan kerabat dekat, adapun hadits yang melarangnya adalah hadits lemah. Juga dengan perbuatan Nabi, yaitu menikahkan Ali bin Abi Tholib radliyallahu’anhu dengan Fatimah radliyallahu’anha yang masih kerabat dekat.
9. Lalu bagaimana cara mencari jodoh kita? Pacaran haram hukumnya dalam Islam, sudah jelas akan banyak menimbulkan kemaksiatan didalamnya ketika berjumpa, memandang, pegangan tangan, bahkan sampai saling mencumbu. Wa ‘iyyadzu billah…..Cara yang lain adalah bisa dengan meminta bantuan kepada kawan, kerabat atau keluarga agar dicarikan jodoh, boleh juga menawarkan adiknya, anak gadisnya, kepada seorang laki-laki yang dianggap sholeh. Seorang wanita juga boleh menawarkan dirinya sendiri kepada seorang laki-laki yang sholeh.
10. Disyariatkannya Melihat calon pasangan/ nazhor dan perinciannya.
11. Disyariatkannya melamar/khitbah dengan adab dan perinciannya yang dijelaskan.
12. Syarat Akad nikah yang pertama adalah menikah haruslah dengan orang yang bukan mahrom atau haram nikah dengannya. Terlarang menikah dengan mahrom tersebut sebagaimana dalam Q.S An-Nisa :22-24.
Mahrom dibagi menjadi tiga: [1] Karena nasab/ darah keluarga, [2] Karena ikatan perkawinan, [3] Karena persusuan. Ketiga jalur ini adalah mahrom selama-lamanya (mahrom muabbad).
[1] Mahrom karena nasab ada tujuh wanita:
Pertama: Ibu.
Yang termasuk di sini adalah ibu kandungnya, ibu dari ayahnya, dan neneknya (dari jalan laki-laki atau perempuan) ke atas.
Kedua: Anak kandung perempuan.
Yang termasuk di sini adalah anak kandung perempuannya, cucu perempuannya dan terus ke bawah.
Ketiga: Saudara kandung perempuan.
Keempat: Bibi dari jalur ayah (‘ammaat)
Yang dimaksud di sini adalah saudara perempuan dari ayahnya ke atas. Termasuk di dalamnya adalah bibi dari ayahnya atau bibi dari ibunya.
Kelima: Bibi dari jalur ibu (khollaat)
Yang dimaksud di sini adalah saudara perempuan dari ibu ke atas. Termasuk di dalamnya adalah saudara perempuan dari ibu ayahnya.
Keenam dan ketujuh: Anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan (keponakan).
Yang dimaksud di sini adalah anak perempuan dari saudara laki-laki atau saudara perempuannya, dan ini terus ke bawah. Adapun sepupu/misanan, maka ini bukanlah mahrom, dan halal jika memang kingin menikahinya. Dan adab-adab dengan bukan mahrom pun juga perlu diterapkan kepada sepupu kita tersebut.
[2] Mahrom karena ikatan perkawinan ada empat wanita:
Pertama: Istri dari ayah (Ibu tiri).
Kedua: Ibu dari istri (ibu mertua). Ibu mertua ini menjadi mahrom selamanya (muabbad) dengan hanya sekedar akad nikah dengan anaknya (tanpa mesti anaknya disetubuhi), menurut mayoritas ulama. Yang termasuk di dalamnya adalah ibu dari ibu mertua dan ibu dari ayah mertua.
Ketiga: Anak perempuan dari istri (Anak tiri). Ia bisa jadi mahrom dengan syarat si laki-laki telah menyetubuhi ibunya. Jika hanya sekedar akad dengan ibunya namun belum sempat disetubuhi, maka boleh menikahi anak perempuannya tadi. Patokannya apakah telah jima’ atau belum adalah jika suami-istri telah bertemu dan masuk ke dalam kamar, pintu dan jendela ditutup, lampu dimatikan, mati itu dikatakan telah jima’. Wallahua’lam. Yang termasuk mahrom juga adalah anak perempuan dari anak perempuan dari istri dan anak perempuan dari anak laki-laki dari istri.
Keempat: Istri dari anak laki-laki (menantu). Yang termasuk mahrom juga adalah istri dari anak persusuan.
[3] Mahrom karena persusuan:
  • Wanita yang menyusui dan ibunya.
  • Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
  • Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
  • Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak dari saudara persusuan).
  • Ibu dari suami dari wanita yang menyusui.
  • Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
  • Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari saudara persusuan).
  • Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
  • Istri lain dari suami dari wanita yang menyesui.
Adapun jumlah persusuan yang menyebabkan mahrom adalah lima persusuan atau lebih. Dan patokan satu kali susuan adalah jika bayi menyusui sampai puas dan sampai dilepas sendiri karena kenyang atau sampai tertidur. Jika dilepas karena misalnya ada hajat dari ibu susuan maka ini belum dihitung satu kali. Dan umur bayi ketika masih 0-2 tahun. 
13. Adapun mahrom yang sifatnya sementara adalah:
Pertama: Saudara perempuan dari istri (ipar).
Kedua: Bibi (dari jalur ayah atau ibu) dari istri.
Ketiga: Istri yang telah bersuami dan istri orang kafir jika ia masuk Islam.
Keempat: Wanita yang telah ditalak tiga, maka ia tidak boleh dinikahi oleh suaminya yang dulu sampai ia menjadi istri dari laki-laki lain.
Kelima: Wanita musyrik sampai ia masuk Islam.
Keenam: Wanita pezina sampai ia bertaubat dan melakukan istibro’ (pembuktian kosongnya rahim).
Ketujuh: Wanita yang sedang ihrom sampai ia tahallul.
14. Syarat yang kedua dalam Akad adalah adanya Wali yang menikahkannya. Wali adalah keluarga dari jalur laki-laki, (secara berurutan) yang pertama adalah bapak, kemudian bapaknya bapak (kakek), kemudian anak (masih diperselisihkan Ulama), kemudian saudara kandung laki-laki, kemudian saudara sebapak, kemudian anak laki-laki dari saudara kandung, kemudian anak laki-laki dari saudara sebapak, kemudian paman (saudara kandung bapak), kemudian anak laki-laki dari paman, kemudian cucunya paman, jika tidak punya keluarga maka walinya adalah wali sulthon, jika dalam negeri ini adalah wali di KUA. Dan Wali pun juga bisa diwakilkan sekalipun wali dari keluarganya masih ada.
15. Syarat yang ketiga adalah adanya Saksi, yaitu dua orang laki-laki.
16. Syarat yang keempat adalah adanya calon mempelai atau yang mewakilinya. Boleh nikahnya dengan diwakilkan dengan lafadz akad nikah yang menyesuaikan.
Tanya Jawab, simak jawabannya dalam ceramah:
1. Bagaimanakah hukumnya jika menikah seorang wanita dalam keadaan hamil? dan bagaimana konsekwensi hukumnya terhadap kejadian seperti ini?
2. Bagaimanakah status anak hasil perzinaan?
3. Bagaimanakah jika ada seorang wanita yang ditakdirkan oleh Allah menjadi mandul? bukankah kasihan jika hal tersebut menjadi kriteria, karena mereka juga ingin berkeluarga dan juga ingin punya anak?
4. Bagaimanakah adab nazhor, apakah harus ditemani mahrom atau murobbi?
5. Bagaimanakah hukumnya jika mengangkat wali nikah dari bapak angkat?
6. Bagaimana jika sudah terlanjur melakukan pernikahan tanpa wali, padahal kedua orang tua calon mempelai juga sudah sama-sama ridlo?

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers