Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Kepada
kaum muslimin kami berpesan, supaya bertakwa kepada Allah setiap saat.
Istiqamah dalam mengamalkan ajaran Islam. Hendaknya takut kepada Allah
dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya di mana saja berada. Lalu
melakukan introspeksi diri, sehingga tidak meninggalkan apa yang telah
Allah wajibkan dan tidak menerjang apa yang telah Dia larang atas
kalian.
Kami juga berwasiat agar
terus bertafaqquh fiddin (mengkaji Islam), mempelajari kaidah-kaidah
dasar Islam dan mengetahui masalah halal dan haram. Karena di sanalah
letak kebaikan umat Islam. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
"Siapa yang kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan jadikan orang itu fakih terhadap dien." (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya, dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu 'Anhu)
Yufaqqihu,
maknanya: menganugerahkan kecerdasan, pengetahuan, dan kefahaman
terhadap urusan Islam (hukum-hukum syar'i). Faham di sini adalah faham
yang membuahkan amal shalih agar kefahaman dan ilmunya tersebut tidak
menjadi bumerang bagi dirinya. Karena siapa yang tidak mengamalkan ilmu
yang telah dipahaminya, ia termasuk orang yang mendapat murka,
sebagaimana yang tersebut dalam hadits shahih, "Al-Qur'an itu menjadi
pembelamu atau yang memberatkanmu."
Allah Subhanahu wa Ta'ala
dengan tegas mencela orang yang memahami kebenaran dan telah
menyampaikannya kepada yang lain, namun ia sendiri tidak mengamalkannya.
Allah Ta'ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ
مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
"Hai
orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu
perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (QS. Al-Shaff: 2-3)
Saat menjelaskan hadits di atas, banyak ulama menyebutkan juga hadits lain, dari Abu Musa al-Asy'ari, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda, "Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang dengannya
Allah mengutusku adalah seperti air hujan yang turun ke tanah. Di
antaranya ada tanah yang subur yang menyerap air sehingga menumbuhkan
tanaman dan rerumputan yang banyak. Ada juga tanah tandus yang menahan
air sehingga orang-orang bisa memanfaatkannya; mereka minum darinya,
memberi minum ternaknya, dan mengairi tanaman. Ada juga tanah yang
keras; tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan
tanam-tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah,
lalu ia mengambil manfaat apa yang dengannya Allah mengutusku, sehingga
ia belajar dan mengajarkannya. Dari sisi lain ada orang yang tidak mau
mengambil manfaat darinya, serta orang yang sama sekali tidak menerima
petunjuk Allah yang dengannya aku diutus." (Muttafaq 'Alaih)
Dalam kitab Miftah Daar al-Sa'adah
(1/60-61), milik Ibnul Qayyim menjelaskan, manusia dilihat dari sisi
kesiapan dan kesediaannya menerima risalah (ajaran) yang dibawa
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam tiga bagian;
Pertama, ada orang yang menghafal, memahami maksudnya, dan mampu
menyimpulkan hukum, hikmah dan faedah-faedahnya. Mereka inilah yang
diumpamakan sebagai tanah yang bisa menerima air. Hafalan itu seperti
tanah yang menumbuhkan tanaman yang sangat banyak. Sedangkan pemahaman,
ma'rifah, istimbath adalah seperti penumbuhan tanaman dengan air.
Inilah perumpamaan para huffaz, fuqaha', dan ahlul hadits.
Kedua,
orang yang diberi hafalan dan ucapan, lalu mencatatnya, tetapi mereka
tidak diberi pemahaman makna dan kemampuan menyimpulkan hukum,
mengungkap hikmah dan faidahnya. Mereka itu seperti orang yang membaca
dan menghafalkan Al-Qur'an, juga memperhatikan huruf dan i'rabnya,
tetapi mereka tidak diberi pemahaman khusus dari Allah.
Manusia
memiliki pemahaman yang sangat beragam. Cukup banyak yang hanya mampu
memahami satu atau dua hukum, dan ada juga yang sanggup memahami
seratus atau dua ratus hukum. Mereka itu seperti tanah yang menahan air
air untuk kepentingan orang banyak, untuk minum, memberi minum ternak,
dan menyiram tanaman.
Kedua macam manusia di atas termasuk orang-orang yang bahagia. Macam pertama, derajatnya lebih tinggi dan terhotmat, "Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Jumu'ah: 4)
Ketiga,
manusia yang tidak mendapatkan bagian; baik berupa hafalan, pemahaman,
riwayah, maupun dirayah. Jika diumpamakan mereka ini laksana tanah
tandus yang tidak bisa menumbuhkan tumbuhan dan tidak pula menyimpan
air. Mereka itu orang-orang celaka.
Macam
dua pertama, orang-orang yang sama-sama belajar dan mengajar,
masing-masing sesuai dengan apa yang dimilikinya. Satu bagian
mengetahui laafaz-lafaz Al-Qur'an dan menghafalnya. Satunya lagi,
memiliki pengetahuan tentang makna, hukum, dan ilmu-ilmunya.
Adapun
golongan ketiga adalah orang-orang yang tidak mempunyai ilmu dan tidak
pula bergelut dalam dunia pengajaran. Mereka itulah yang tidak mau
menyambut dan menerima petunjuk Allah. mereka itu lebuh buruk dari
binatang ternak dan akan menjadi bahan bakar neraka.
. . . siapa yang tidak mengetahui urusan dien (Islam) maka ia termasuk orang yang tidak dikehendaki oleh Allah menjadi baik. . .
Hadits
di atas mencakup penjelasan tentang kemuliaan ilmu agama dan
mengajarkannya sertakeagungan statusnya. Juga mencakup kesengsaraan
orang-orang yang tidak memilikinya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
menyebutkan beberapa macam manusia ditinjau dari sisi ilmu tersebut,
bahwasanya di antara mereka ada yang memperoleh kebahagiaan dan ada
pula yang celaka dan sengsara. (disarikan secara ringkas)
Sebaliknya,
siapa yang tidak mengetahui urusan dien (Islam) maka ia termasuk orang
yang tidak dikehendaki oleh Allah menjadi baik. Al-Hafidz Ibnu Hajar
dalam Fathul Baari berkata, "Mafhum hadits bahwa orang yang tidak
bertafakkuh fiddin, yakni tidak belajar kaidah-kaidah Islam dan
cabang-cabangnya, maka sungguh ia diharamkan kebaikan. Abu Ya'la
mengeluarkan hadits Mu'awiyah dari jalur lain yang dhaif, ditambahkan
di ujungnya, "Siapa yang tidak dijadikan paham terhadap dien, maka
Allah tidak peduli kepadanya." Makna hadits ini adalah shahih, karena
siapa yang tidak mengetahui perkara-perkara (ajaran) agamanya, maka ia
bukan seorang fakih dan tidak pula mencari pengetahuan, sehingga pantas
ia disifati bahwa ia tidak dikehendaki mendapatkan kebaikan." Wallahu
Ta'ala A'lam
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer