Ustadz Aan Chandra Thalib حفظه الله تعالى
“Dahulu ilmu ini adalah sesuatu yang sangat mulia, sebab dari mulut ulamalah ilmu itu di ambil. Namun ketika ilmu itu pindah kedalam lembaran-lembaran buku, lenyaplah cahayanya lalu berpindahlah pada orang yang bukan ahlinya”. (Imam Al Auza’i -rahimahullah-)
Catt:
Mengambil ilmu langsung dari para ulama/ustadz merupakan sunnah para salafussholeh. Bahkan dulu mereka melarang para penuntut ilmu menimba ilmu dari orang yg hanya mengandalkan bacaan saja tanpa duduk dimajelis ilmu.
Ibnu Aun -rahimahullah- berkata: “Janganlah kalian mengambil ilmu kecuali dari orang yang dikenal telah menuntut ilmu dari ulama” Sulaiman bin Musa -rahimahullah- juga mengatakan: “Ilmu itu tidak diambil dari seorang kutu buku” (At-Tamhid jilid: 1 hal: 44-45)

Nah dari seorang kutu buku saja tidak apalagi dari muridnya Mbah Google..?
Diantara faidah menimba ilmu dari ulama/ustadz adalah:
  1. Menghemat waktu
  2. Meminimalisir kesalahan
  3. Ilmu akan tertanam kuat dalam ingatan, sebab apa yang didengar jauh lebih mudah diingat ketimbang apa yang dibaca.
  4. Belajar Ilmu dan Akhlak dalam waktu bersamaan. “Sekali dayung dua tiga pulau terlampau”. Bila ilmu tak dapat paling tidak akhlak sang guru/ustadz
  5. Meraih ketenangan dan keberkahan majelis serta doa semesta.
Apakah mendengarkan mp3 memiliki hukum yang sama dengan talaqqi..?
Tidak sama dari banyak sisi. Tapi mendengarkan kajian melalui Mp3 atau video insyaallah cukup bagi yg tdak memiliki waktu untuk duduk dimajelis ilmu.
Hanya saja, hukum asalnya adalah duduk di majelis ilmu sebab didalamnya ada musyafahan dan musaa’alah yg tidak bisa dilakukan dengan hanya mendengarkan mp3 saja. Disamping keberkahan, ketenangan, dan janji surga yang diberikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
“Barangsiapa yang menempuh jalan dalam mencari ilmu, Allah akan memudahkan jalannya menuju surga”
Bagi muhasshil yg telah menguasai rukun ilmu (Ushulul Hadits, Ushulul Fiqh, Ushuulul lughah) tidak mengapa bila dia membaca sendiri, namun bila menemukan sesuatu yg sulit untuk difahami hendaknya dia kembali bertanya pada guru pembimbingnya. [1]
[1]. Faidah diatas kami terima saat menemani syaikh Amir Al Qarawy ke Makkah setahun yg lalu. Beliau adalah Mahasiswa S3 jurusan Aqidah. Merangkap sebagai dosen UIM dan Qari’ tetap syeikh Ali Nasheer Faqihy -hafidzahullah- juga Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily. (131)
***

SIAPA BILANG ILMU TIDAK DIAMBIL DARI SEORANG KUTU BUKU ??

( Meluruskan Statemen Seorang Ustadz )
Oleh: Abu Husein At-Thuwailibi.
Beliau adalah seorang penuntut Ilmu yang sedang menempuh kuliah (pendidikan) di Universitas Islam Madinah KSA. Semoga Allah meneguhkan beliau diatas Ilmu dan dakwah Salafiyah.
Saya tergelitik saat membaca salah satu risalah (artikel) nya yang banyak disebarluaskan oleh para pengagumnya di jejaring sosial dengan Judul: “Sekali Lagi, Kembalilah Ke Majelis Ilmu”.
Saya tidak menganggap salah apa yang beliau tuliskan,karena beliau menyusun statemennya dengan mengutip perkataan sejumlah Ulama Salaf. Hanya saja, bila statemen yang menjadi kesimpulan beliau di mutlakkan begitu saja,maka ini menjadi suatu kekeliruan yang harus di syarahkan.
Pada intinya, Sang Ustadz menyatakan bahwa para Ulama salafus shalih melarang menimba ilmu dari orang yang hanya mengandalkan bacaan saja tanpa duduk di mejelis Ilmu. Lalu beliau menukil perkataan sejumlah Ulama diantaranya Sulaiman Bin Musa yang berkata, “ilmu itu tidak diambil dari seorang kutu buku”.
Memang benar, bahwa Menuntut Ilmu terbaik dan efektif adalah dengan berguru, bermajelis dengan para Ulama dan Murobbi, akan tetapi bukan berarti membaca buku/kitab atau sarana-sarana lain merupakan metodologi belajar yang mesti disudutkan atau seolah di pinggirkan.
Mencermati apa yang ditulis Sang Ustadz, saya teringat dengan Perkataan Kaum Shufi yang sangat masyhur dan populer, “Barang siapa yang belajar tanpa guru maka gurunya adalah setan”.
Perkataan populer kaum sesat Shufi ini pernah di bantah oleh Syaikh Bin Baz Rahimahullah. Beliau berkata:

أمَّا قولُهم: “مَن لا شيخَ له؛ فشيخُه الشيطان”؛ فهذا باطل، ما له أصل، وليس بحديث. وليس لك أن تتَّبع طرق الشيخ إذا كان مخالفاً للشرع، بل عليك أن تتبع الرَّسول -صلَّى الله عليه وسلَّم- وأصحابَه -رضي الله عنهم وأرضاهم- ومَن تَبِعهم بإحسان، في صلاتك، وفي دعائك، وفي سائر أحوالك

“Adapun perkataan mereka yakni Kaum Shufi bahwasanya barangsiapa yang tidak punya guru, maka gurunya adalah setan; maka perkataan ini adalah bathil. Tidak ada asalnya. Bukan pula hadits. Tidak boleh bagimu untuk mengikuti jalan seorang syaikh apabila ia menyelisihi syari’at. Bahkan wajib bagimu untuk mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para shahabatnya Radhiyallahu ‘anhum serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dalam shalatmu, do’amu dan seluruh keadaanmu…”
Saudaraku yang dimuliakan Allah, memang benar, ada ungkapan:

“من كان شيخه كتابه فخطؤه أكثر من صوابه”.

“Barangsiapa gurunya adalah sebuah kitab maka kesalahannya akan lebih banyak dari pada benarnya”.
Akan tetapi, kalau kita bisa memanfaatkannya dengan baik dan benar maka kitab-kitab dan buku-buku itu juga bisa kita jadikan sebagai salah satu sarana menambah ilmu dan sarana dalam menyebarkan dakwah, pengajaran dan informasi yang baik. Bukan berarti belajar secara otodidak itu mutlak salah. Bahkan Al-Imam Ibnu Hazm Rahimahullah pun konon belajar agama secara otodidak, beliau belajar secara mandiri lewat kitab-kitab para ‘Ulama, selama asas ‘ilmu ‘alat yang beliau miliki sudah mumpuni. Bahkan sejarah mencatat beliau termasuk Ulama besar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terlambat dalam menuntut Ilmu, beliau mulai belajar dimasa tua, namun Allah memberi beliau taufiq untuk bisa belajar dan menggali ilmu secara mandiri. Sampai tidak kita temukan kitab fenomenal yang berjudul “Al-Muhalla” kecuali yang di tulis oleh Imam Ibnu Hazm Rahimahullah.
Demikian pula master Hadits abad ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah, secara jujur, beliau juga belajar agama lebih dominan secara otodidak, menelaah kitab-kitab secara mandiri. Ya, memang beliau punya guru, diantaranya adalah ayah beliau sendiri, akan tetapi ingat, guru-guru beliau adalah mengajarkan sejumlah Ilmu alat, ilmu dasar, sedangkan pengembangan dan penambah wawasan khazanah ilmiah beliau gali sendiri lewat Kitab-kitab para ‘Ulama mu’tabarah dari kalangan madzahib al-arba’ah, sampai beliau banyak terinsipirasi mazhab Hanbali dalam banyak satuan-satuan fiqih dan ushul. Beliau terkenal kutu buku, tercatat dalam sejarah beliau banyak menghabiskan waktunya untuk membaca kitab di Maktabah Zhahiriyah.
Lebih transparan lagi, bahkan salah seorang Tokoh besar Salafi di negeri, sebut saja Al-Ustadz Abdul Hakim Abdat, beliau juga bisa dibilang belajar tanpa guru, beliau otodidak dan kutu buku, fakta itu tidak bisa dipungkiri. Beliau dominan menuntut Ilmu secara otodidak lewat membaca dan menelaah kitab-kitab, banyak menghabiskan waktunya di Maktabah Ma’hadil ‘Ulum (Perpustakaan LIPIA) Jakarta. Hingga banyak kalangan yang menyebut beliau sebagai “Sarjana Perpustakaan”. Realita yang mesti kita terima, namun dengan begitu apakah mengurangi kemuliaan beliau sebagai seorang Mu’allim ?? Apakah mengurangi kredibilitas beliau sebagai Juru Dakwah ?? Kalla Wa Alfi Kallaa !! Justru beliau di datangi oleh banyak para penuntut Ilmu dari berbagai daerah di nusantara dari masa ke masa, beliau mengajar di banyak tempat, berdakwah di banyak tempat, menulis banyak kitab dan buku, bahkan di setiap beliau hadir di Maktabah LIPIA Jakarta untuk menelaah kutub, berbondong-bondong mahasiswa-mahasiswa LIPIA menghampiri dan mendekati tempat duduk beliau, mereka bertanya, belajar, meminta pengetahuan dan wawasan kepadanya.
Memang, Ustadz Abdul Hakim Abdat sempat duduk di majelis Syaikh Utsaimin dalam sejarah perjalanannya, namun hal itu bukan dikategorikan berguru, karena hanya sekedar hadir dalam majelis-majelis Umum. Bukan talaqqi atau mulazamah secara khusus. Sedangkan Ustadz Zainal Abidin saja yang duduk di majelis Syaikh Bin Baz selama dua tahun pun beliau tidak menganggap berguru dengan Syaikh Bin Baz, Ustadz Zainal Abidin Bin Syamsudin tidak menganggap beliau itu murid Syaikh Bin Baz. Apalagi yang hanya sekedar duduk ikut Ta’lim dalam majelis-majelis Umum. Demikianlah Ustadz Abdul Hakim Abdat. dan tentu saja beliau punya guru, diantaranya adalah ayah beliau sendiri dan sejumlah mu’allim-mu’allim dahulu di masanya belajar, akan tetapi beliau belajar ilmu ‘alat, ‘ilmu dasar, sementara pengembangan dan mengasah ilmu beliau lebih banyak membaca dan menelaah kitab-kitab itu, dengan kata lain beliau Kutu Buku alias Otodidak.
Dalam kitab Al-Asybah Wannazhoo-ir Imam Suyuthi dijelaskan BOLEH belajar agama secara otodidak dari kitab–kitab mu’tabaroh para ‘Ulama, kecuali belajar membaca Al-Qur’an harus melalui guru yang memiliki sanad shohih muttashil sampai ke Rasulullah.
  1. الأشباه و النظائر للسيوطى ص 189-190:

وقال ابن عبد السلام: أما الاعتماد على كتب الفقه الصحيحة الموثوق بها فقد اتفق العلماء في هذا العصر على جواز الاعتماد عليها والاستناد إليها لأن الثقة قد حصلت بها كما تحصل بالرواية ولذلك اعتمد الناس على الكتب المشهورة في النحو واللغة والطب وسائر العلوم لحصول الثقة بها وبعد التدليس

  1. كتاب حق التلاوة ص 46:

فعلى قارئ القرآن ان يأخذ قرائته على طريق التلقّى و الإسناد عن الشيوخ الآخذين عن شيوخهم كى يصل الى تأكد من أن تلاوته تطابق ما جاء عن رسول الله صلى الله عليه و سلم

Na’am, kalaulah sang Ustadz mensyaratkan belajar agama dengan para ‘Ulama secara langsung dan terkesan menganggap remeh orang-orang yang belajar tidak dengan para ‘Ulama (sebagaimana substansi dari statemen beliau yang saya fahami), maka ini sikap yang sungguh subjektif saya kira. Dirinya bisa menuntut Ilmu langsung dengan para ‘Ulama, bahkan ke Madinah, itu berkat taufiq yang Allah karuniakan kepadanya, lantas bagaimana dengan orang-orang yang tidak mampu untuk ke Madinah ??? Atau para penuntut Ilmu yang memiliki keterbatasan untuk bisa berguru dengan para ulama ??? Dengan latar belakang dan back graund yang bermacam ragam ??? Ok lah ia bisa menuntut Ilmu ke Madinah belajar dengan para ‘Ulama , lantas apakah semua orang bisa seperti itu ??? Bukankah “Fattaqullah Mastatho’tum” (Bertaqwalah kepada Allah sesuai kemampuan kalian) ??
Biarlah mereka belajar secara otodidak karena disitulah kemampuan mereka, dan tak pantas kita bersikap timpang sedemikian rupa. Jangan kita kira harus langsung duduk di majelis Ilmu lalu seseorang mendapatkan Ilmu dan pasti selamat dari kesesatan. Pertanyaannya; bagaimana dengan seorang muslim yang memiliki kesibukan padat atau keterbatasan keadaan dan sosial sehingga ia tak mampu untuk hadir langsung di majelis Ilmu dan hanya mampu untuk mendengar kajian lewat rekaman video di Internet misalnya, atau kajian rutin di Radio, atau melihat muhadhoroh para ‘Ulama dan ustadz-ustadz lokal lewat Youtube, atau dengan mengikuti kajian dan pembahasan ilmu yang di rutinitaskan lewat grup-grup WhatsApp misalnya, sementara zaman semakin canggih dengan tekhnologi yang Allah karuniakan kepada hamba-hambanya.
Demikian pula belajar lewat internet, meski kita sepakat bahwa belajar agama harus dengan jalan berguru kepada ulama yang ahli di bidangnya, namun bukan berarti membaca kitab, buku, atau belajar lewat internet harus kita tinggalkan. Memang kita tidak memandang bahwa internet itu sebagai satu-satunya sumber ilmu agama, melainkan internet itu fungsinya hanya sebagai media saja.
Dan dalam belajar ilmu agama, selain keberadaan seorang guru yang ahli di bidangnya, tidak bisa dipungkiri bahwa kita butuh media pembelajaran. Di antaranya kita butuh kitab untuk membaca ilmu yang sudah ditulis oleh guru kita atau para Ulama.
Dan seorang guru atau Ulama pun juga perlu menuliskan semua ilmunya agar tidak hilang. Oleh karena itu sang guru juga butuh pena, tinta, lembaran kertas bahkan mesin cetak untuk menyebarkan ilmunya yang berharga.
Kalau di masa lalu buku atau kitab itu berbentuk lembaran kertas yang dicetak dan dijilid, maka di masa modern ini bukunya bisa saja berbentuk buku elektronik, baik berupa website yang berisi banyak tulisan ilmu atau berformat file komputer semacam pdf dan sejenisnya.
Dan internet itu ibarat buku, bahwa tidak semua buku itu baik. Ada buku yang baik dan ada buku yang tidak baik. Tetapi tidak ada yang memungkiri bahwa buku atau kitab adalah salah satu media yang cukup bermanfaat, dimana kita bisa mendapatkan ilmu agama yang luas. Demikian juga dengan internet, ada yang isinya baik dan ada yang isinya buruk.
Pada intinya, belajar yang paling baik memang dengan berguru kepada ulama, ustadz, atau orang yang berilmu, apabila mampu dan memungkinkan. Para ulama dulu bahkan mencela orang-orang yang tidak keluar mencari ilmu dan mendatangi para ulama sebagaimana penjelasan sang Ustadz dalam tulisannnya. Belajar dari guru lebih praktis dan lebih terhindar dari kekeliruan apalagi penyimpangan, hanya saja apakah semua orang memiliki kemampuan yang sama untuk mencari ilmu dengan para ‘Ulama ??? apakah semua yang ikut tes Muqabalah beasiswa kuliah ke Universitas Islam Madinah maqbul (lulus) semua ??
Sehingga, bila dimutlakkan bahwa orang yang tidak punya guru atau orang yang kutu buku maka ilmunya tidak layak diambil, maka ini juga tidak benar dan perlu di luruskan.
Menuntut ilmu melalui perantaraan kitab itu tidaklah mutlak mesti keliru pada akhirnya. Meskipun tetap harus kita katakan bahwa belajar din (agama) pada ulama atau ustadz atau ahli ilmu lebih baik daripada belajar secara otodidak (membaca sendiri).
Sehingga, yang jadi tolok ukur kebenaran adalah kesesuaian terhadap kebenaran yang bersumber dari yang maha benar itu sendiri (yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Fakta membuktikan, betapa banyak orang yang berguru namun ternyata malah sesat ?!
Apakah anda kira Washil Atha’ itu tidak punya guru ??
Apakah anda kira Bisyr Al-Marisi itu tidak punya guru ??
Apakah anda kira Syaikh Siti Jenar itu tidak punya guru ??
Apakah anda kira Khomaini itu tidak punya guru ??
Apakah anda kira Ulil Abshar Abdalla itu tidak punya guru ??
Apakah anda kira Said Aqil Siradj itu tidak punya guru ?? Bahkan guru-gurunya adalah para Ulama Salafi di Makkah Arab Saudi mulai dari S 1 sampai S 3. !!!!?
Betapa banyak orang yang berbangga dengan guru dan sanad keilmuan, namun ilmu dan amal mereka ternyata menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan sesat !?
Belajar dari buku, kitab, kaset atau rekaman, internet, atau sumber-sumber lain itu BOLEH dan tetap mempunyai keutamaan. Allah akan memahamkan siapapun yang dikehendaki-Nya melalui media apapun, sebagaimana kata Rasulullah “Man Yuriidillahu Bihi Khairan Fa-Yufaqqihu Fiddiin” (Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan atasnya maka Allah akan faqihkan dia dalam agama). namun, kalau hanya menyandarkan ilmu dari media-media tersebut tanpa mendatangi guru – sementara kita mampu – adalah kerugian yang sangat besar. Ingat, selama kita mampu.! lalu bagaimana dengan merkeka yang tidak mampu ?? dengan aneka kesibukan atau keterbatasan dari banyak sisi…??
Na’am, oleh karena itu bersikaplah Objektif dan pengertian terhadap setiap keadaan, agar statement kita tidak mengundang perdebatan.
Allahu A’lam Wal ;Ilmu ‘Indallah.
'Sekali Lagi… Kembalilah Ke Majelis Ilmu' dapat dibaca di Nahimunkar.com.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers