Oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Muqaddimah
Pada zaman sekarang, banyak sekali sarana modern yang menawarkan kemudahan dalam hal berdakwah. Mulai dari media tulis seperti maja­lah, koran, bulletin, internet[1] media suara (audio) seperti radio, kaset, handphone; bahkan media layar (audiovisual) seperti, TV, video, VCD, dan sebagainya. Semua sarana ini sangat efektif dalam penyebaran dakwah, sehingga—alhamdulillah ­akhir-akhir ini perkembangan dakwah salafiyyah di bumi pertiwi ini semakin marak.
Kalau hukum radio dan majalah mungkin tidak terlalu bermasalah. Keduanya jelas disyari’atkan karena mengandung banyak maslahat dan sedikit sekali mengandung mafsadat. Oleh karenanya, tidak diketahui seorang ulama pun yang melar­ang asal hukumnya[2]. Namun, ada suatu masalah yang sering ditanyakan, dipermasalahkan, bahkan diperdebatkan yaitu tampilnya sebagian syaikh dan ustadz sekarang di VCD atau TV[3], apakah hal itu sesuai dengan etika hukum Islam ataukah bertentangan?! Hal itu memunculkan tanda tanya besar yang membutuhkan jawaban berdasarkan argumentasi ilmiah.
Pada kesempatan kali ini, kami memandang perlu membahas masalah ini agar kita tidak gegabah dalam menghukumi atau berburuk sang­ka kepada sebagian da’i. Semoga Allah membimb­ing pena penulis dari ketergelinciran. dan tegur saga pembaca sangat kami nantikan sebagai per­baikan di hari kemudian.[4]
Masalah ini—hukum ustadz/da’i tampil di layar—tidak lepas dari perselisihan, sebagaimana yang biasa terjadi pada masalah-masalah fiqih[5]. Paling tidak, ada dua pendapat di kalangan ulama kontemporer yang perinciannya akan kita uraikan berikut ini dengan argumentasinya masing-mas­ing.

Pendapat Pertama: Boleh
Pendapat ini diperkuat dengan keumuman dalil yang menganjurkan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala :
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendak­lah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima. (QS. Ali Imran 131: 187)
Qotadah rahimahullah mengatakan: “Ini adalah perjan­jian yang dibebankan Allah kepada ahli ilmu, ba­rang siapa di antara mereka memiliki ilmu maka hendaknya menyampaikannya. Dan janganlah kalian menyembunyikan ilmu karena itu adalah kehancuran.”[6]
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya dari al-Qur’an, hadits dan ucapan salafush sholih dalam masalah ini.
Pendapat Kedua: Terlarang
Sebagian kalangan melarang dai/ustadz tampil di media layar dengan beberapa alasan dan argu­men sebagai berikut, di antaranya :
  1. Metode dakwah dengan cara seperti ini adalah baru dalam agama sehingga termasuk kategori bid’ah.
  2. Menampilkan gambar sang ustadz, sedangkan hal ini termasuk gambar yang terlarang dalam hadits.
  3. Memiliki dampak negatif seperti menjadikan sang ustadz tidak bisa terus terang dalam dak­wah, membuat banyak orang berkeinginan membeli alat tersebut dan menjadikan wanita menonton gambar ustadz, padahal membend­ung sarana fitnah merupakan prinsip syari’at Islam.?[7]
Dialog dan Jawaban Atas Pendapat Kedua
Berikut ini beberapa jawaban atas pendapat kedua sebagai dialog ilmiah yang bernuansa per­saudaraan dalam menyikapi perbedaan bukan permusuhan.

1. Metode dakwah dengan cara seperti ini adalah baru dalam agama sehingga termasuk katego­ri bid’ah
Jawaban :
a)      Alasan ini lemah, sebab berdakwah untuk menyebarkan kebenaran sejenis amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan sebagainya yang tidak ter­batas pada sarana tertentu bahkan setiap sarana boleh digunakan selagi tidak bertentangan de­ngan agama. Bukti akan hal itu, syari’at Islam sangat menekankan untuk penyebaran ilmu dan dakwah tanpa terbatas pada sarana tertentu. Perhatikan hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Hendaknya orang yang hadir di antara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir. ” [8]
Imam Syathibi rahimahullah berkata: “Penyampaian ilmu tidaklah terbatas pada cara tertentu, boleh de­ngan cara apa pun baik untuk menjaga, men­gajarkan, dan menulis serta lainnya. Demikian pula, untuk menjaganya dari penyelewengan ti­daklah terbatas. Oleh karenanya, pengumpulan dan penulisan mushaf disepakati kebenarannya oleh salafush sholih, tidak dianggap batil. Dan selain mushaf lebih mudah urusannya, kare­na dalam hadits dianjurkan untuk mencatat ilmu.[9]
Syaikh as-Sadi rahimahullah berkata: “Tidak ragu bahwa menyebarkan hukum apabila ditetapkan de­ngan suara yang lebih luas jangkauannya dan lebih menyebar, maka hal itu termasuk dalam kaidah besar ini.”[10]
Dengan demikian, maka setiap alat sarana dak­wah modern yang tidak bertentangan agama bukanlah termasuk kategori bid’ah, tetapi ter­masuk maslahat mursalah yang diamalkan sala­fush sholih[11]. Oleh karena itu, mereka mendiri­kan majelis-majelis untuk mengajarkan ilmu dan menjawab pertanyaan secara tertib dan ter­jadwal, padahal cara seperti itu tidak ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[12]
b)      Maksud para ulama yang menyatakan bahwa wasilah (sarana) dakwah adalah tauqifiyyah (paten) adalah aural dakwah itu sendiri seperti sandiwara, nasyid, dan lainnya. Adapun alat untuk penyebaran dakwah seperti mikrofon, kaset, faks, sekolah, pesantren, yayasan, dan sejenisnya maka hukumnya adalah boleh selagi tidak bertentangan dengan syari’at. Jadi harus dibedakan antara keduanya.[13]
2.  Menampilkan gambar sang ustadz, sedangkan hal ini termasuk gambar yang terlarang dalam hadits
Jawaban:
a)      Tidak ragu bahwa gambar-gambar makhluk bernyawa hukumnya haram. Namun perma­salahannya, apakah gambar yang tampil di video dan VCD termasuk kategori gambar yang terlarang dalam hadits? Masalah ini masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan ula­ma. Sebagian ulama seperti Syaikh Ibnu Baz rahimahullah memasukkannya dalam gambar terlarang dan sebagian lagi tidak memasukkannya seperti Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah[14], Hammad al-Anshori rahimahullah[15], dan sebagainya[16].
b)      Anggaplah itu termasuk gambar yang terla­rang, namun larangan tersebut termasuk laran­gan karena sebab wasilah (sarana), yang diper­bolehkan ketika ada kebutuhan dan masalahat yang besar. Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Sesuatu yang diharamkan karena wasilah dan membendung keharaman maka diperbolehkan ketika ada maslahat yang lebih besar seperti bolehnya aroya (menjual kurma kering dengan kurma basah yang masih di pohon) dalam riba fadhl, bolehnya sholat yang memiliki sebab setelah shubuh dan ashar, bolehnya lelaki me­lihat wanita karena ingin menikah, atau saksi dan dokter melihat wanita padahal hukum asal­nya adalah terlarang.”[17]
c)      Anggaplah perkara itu asalnya terlarang, na­mun tatkala penjelasan syari’at secara sempur­na membutuhkan alat-alat modern tersebut dan bila tidak digunakan maka akan menyebabkan lemahnya kebenaran, menangnya kebatilan[18], kejahilan manusia tentang agama, dan masih banyak lagi dampak lainnya, maka diboleh­kan gambar seperti ini untuk memilih keru­sakan yang lebih ringan sebagaimana kaidah yang mapan dalam agama. Di antara yang ber­fatwa demikian adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah padahal beliau termasuk ulama yang mengharamkan gambar secara umum, beliau berkata: “Apabila gambar untuk kemaslahatan umum seperti gambar untuk pengajian ulama dan ceramah mereka agar para pendengar ya­kin bahwa ucapan ini betel-betel dari si fulan bukan lainnya maka dalam kondisi seperti ini bisa dikatakan boleh untuk kemaslahatan umum.”[19]
3. Memiliki beberapa dampak negatif
Jawaban :
a)      Anggapan bahwa alat-alat dakwah tersebut menjadikan sang ustadz tidak bisa terus terang dalam dakwah tidaklah benar. Bahkan justru sebaliknya, bila kita tidak memanfaatkan alat­alat tersebut maka berarti kita menyembun­yikan ilmu, sebab Allah Ta’ala memerintahkan kepa­da ulama untuk menyampaikan ilmu semampu mungkin. Oleh karenanya, barang siapa yang mampu menggunakan fasilitas itu maka dian­jurkan baginya untuk memanfaatkannya, bah­kan mungkin bisa jadi wajib hukumnya, sebab umat Islam sekarang sangat membutuhkan kepada penjelasan ulama tentang agama yang benar, sedangkan alat tersebut sangatlah cocok untuk kebutuhan mereka pada zaman seka­rang.
Kemudian anggaplah terkadang ustadz tidak terus terang dalam sebagian masalah, maka hal itu tidak menjadikan terlarang selagi dia tidak mengatakan kebatilan dan mengharap­kan dunia serta keinginan tenar/populer sebab sebagaimana kata ulama “Li kulli maqom maqol” (setiap medan ada pembicaraan yang sesuai).[20]
b)      Adapun anggapan bahwa perkara tersebut membuat banyak orang berkeinginan membeli alat tersebut dan menjadikan wanita menonton gambar ustadz, ini juga merupakan alasan yang berlebihan karena alat-alat seperti TV sekarang memang sudah masuk ke hampir semua rumah orang. Dan anggaplah ada kemungkaran tersebut tetap saja tidak menjadikan terlarang dise­babkan kemaslahatan yang lebih besar; sedan­gkan kaidah syari’at menyatakan bahwa agama dibangun di atas kemaslahatan yang murni, atau kemaslahatan yang lebih besar sekali­pun ada sedikit kerusakan di dalamnya. Con­toh: hukum rajam, potong tangan, dan jihad disyari’atkan oleh Alloh karena kemaslahatan­nya besar dan meluas untuk masyarakat banyak sekalipun ada sedikit kerusakan bagi yang di­hukum.
Pendapat Yang Kuat
Dari keterangan di atas dapat kita ketahui kuat­nya pendapat pertama dan lemahnya pendapat ke­dua. Harus kita ingat bahwa Islam adalah agama yang dibangun di atas kemaslahatan, sedangkan tidak ragu lagi bahwa kehadiran ustadz atau Syaikh dalam sarana-sarana modern membawa maslahat yang besar karena dengan alat tersebut dakwah akan menyebar ke segenap pelosok dan penjuru tempat dalam setiap jajaran manusia yang tak terhitung jumlahnya. Dengan demikian, di­harapkan kebenaran dan dakwah ini akan banyak diikuti oleh orang.
Benar, kita tidak memungkiri adanya bebe­rapa kekurangan dalam media itu. Akan tetapi, kita harus ingat akan kaidah bahwa “kemasla­hatan umum harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan pribadi.”[21] Kami menyadari bahwa masalah ini termasuk wilayah ijtihad yang di­perselisihkan ulama. Oleh karenanya, kami sangat berharap agar perbedaan pendapat dalam ma­salah ini tidak menjerumuskan kita untuk saling bermusuhan dan berlepas diri[22], tetapi marilah kita sikapi dengan lapang dada dan saling meng­hormati pendapat lain.
Sebagaimana kami sangat menekankan kepada saudara-saudara kami yang tampil dalam media tersebut untuk meluruskan niat mereka dan mem­bekah diri mereka dengan ilmu serta memper­hatikan kaidah-kaidah dalam masalah ini, serta memberikan udzur kepada sebagian ustadz lain yang tidak man tampil di media layar. Inilah nasi­hat dan pesan berharga Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ketika ditanya tentang masalah ini: “Barang siapa yang lapang dadanya dan me­miliki ilmu maka hendaknya dia berdakwah di TV untuk menyampaikan risalah Allah, semoga Allah memberikan pahala baginya. Dan barang siapa be­lum bisa menerima hatinya dan menganggapnya sebagai syubhat sehingga tidak berdakwah di TV maka kami berharap dia diberi udzur.”[23]
Demikian apa yang dapat kami utarakan dalam kajian tulisan kali ini. Semoga bisa diambil manfaatnya. Wallohu A’lam.
Sumber: Majalah AL FURQON no. 108 Edisi 05 thn. Ke 10 Dzulhijjah 1431 H/ Nov-Des 2010 M
Artikel www.Salafiyunpad.wordpress.com di-publish ulang dari www.ibnuabbaskendari.wordpress.com

[1] Internet, di samping sebagai media tulis, sekaligus audio maupun audiovisual (Red).
[2] Dr. Abdulloh ath-Thoriqi & berkata: “Media hukum asaInya adalah boleh. Buktinya, seandainya media dipe­gang oleh orang yang benar dan menggunakannya dalam penyebaran kebenaran, maka tidak diragukan lagi akan bolehnya, karena ia seperti mimbar dan panggung yang dijadikan alat untuk menyampaikan ilmu dan berdialog.” (Hukmul Musyarokah Da’wiyyah fil Qonawat al-Fadho’iyyah, belum tercetak)
[3] Yang penulis maksud dalam pembahasan ini adalah TV streaming (diakses melalui internet, Red) yang dikelola oleh saudara-saudara kita Ahlus Sunnah wal Jama’ah se­perti Ahsan TV, Sarana Sunnah TV, Rodja TV, Hang TV dan sebagainya. Adapun televisi-televisi umum yang banyak memuat kemungkaran, hal itu di luar pembahasan kita. Semoga pada kesempatan lainnya masalah itu bisa diba­has.
[4] Pembahasan ini banyak menukil dari kitab al-Futya al­Washir karya Dr. Kholid bin Abdillah al-Muzaini, Dar Ibnul Jauzi, KSA, cet. pertama tahun 1430 H, dengan be­berapa tambahan dari referensi lainnya.
[5] Semoga Allah Ta’ala merahmati Imam Ibnul Qoyyim tatkala mengatakan: “Adanya perbedaan pendapat di kalangan manusia adalah suatu hal yang pasti terjadi karena per­bedaan pemahaman dan kadar akal mereka. Akan tetapi, yang tercela adalah permusuhan di kalangan mereka. Adapun perbedaan yang tidak menjadikan permusuhan dan pengelompokan, masing-masing yang berselisih tu­juannya adalah ketaatan kepada Allah Ta’ala dan rosul-Nya, maka perbedaan tersebut tidaklah berbahaya, karena me­mang itu adalah suatu kepastian pada manusia.” (Showai’q al-Mursalah 2/519)
[6] Ma’alim Tanzil 1/383 oleh al-Baghawi
[7] Al-Fidiyu al-Islami wal Fadho’iyyat al-Islamiyyah hlm. 7, 11, 57 oleh Nashir bin Hamd al-Fahd.
[8] HR. Bukhari: 105 dan Muslim: 1679
[9] Al-I’tishom 1/186
[10] Al-Fatawa as-sa’diyyah hlm. 223-224.
[11] Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Kes­impulannya, para sahabat Nabi mengamalkan maslahat mursalah yang tidak ada dalilnya selagi tidak bertentan­gan dengan syari’at atau membawa kerusakan yang lebih besar, demikian juga seluruh ulama madzhab berpegang pada maslahat mursalah sekalipun mereka mengatakan’ untuk menjauhinya. Barang siapa yang membaca kejadi­an-kejadian yang menimpa para sahabat dan masalah-ma­salah dalam fiqih madzhab niscaya dia akan mengetahui kebenaran hal ini.” (al-Masholih al-Mursalah h1m. 46)
[12] Lihat tentang hal ini kitab Adabul Imla’ wal Istimla’ karya as-Sam’ani (wafat 562 H).
[13] Lihat Hukmul Intima’him. 160-161 oleh Syaikh Bakr bin Ab­dillah Abu Zaid rahimahullah, al-Hujaj al-Qowiyyah ‘ala Anna Wasa’il Da’wah Tauqifiyyah h1m. 88-90 oleh Syaikh Abdus Salam Barjas.
[14] Lihat al-Qoulul Mufid 2/438 – 411, Majmu’ Fatawa wa Rosa’il 2/262-267. Namun, perlu ditegaskan di sini bahwa yang diperbolehkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah adalah foto atau gambar yang mengandung masalahat yang besar, bukan berarti beliau membolehkan gambar atau foto jenis ini se­cara mutlak!! Perhatikanlah!! (Lihat Hukmut Shia’ah Shuroh bil Yad oleh Dr. Abdulloh ath-Thoyyar)
[15] Al-Majmu 2/720
[16] Lihat perbedaan ulama dan dialog dalam masalah ini se­cara luas dalam Ahkam Tashwir Fil Fiqhil Islam
[17] I’lamul Muwaqqi’in 2/161
[18] Telah sampai kabar kepada penulis bahwa aliran-ahran ses­at seperti Ahamadiyyah, Syfah, Shufiyyah, mereka memi­liki TV dakwah ala mereka. Lantas apakah kita Ahlus Sun­nah diam dan mencukupkan dengan alat sederhana saja?!!
[19] At-Tamtsiliyyah Tilfaziyyah wa Istikhdamuha fi Majali Dakwah h1m. 188 oleh Muhammad Hasan al-Arhabi, dialog bersa­ma Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam Koran Mir’atul jami’ah h1m. 9, Universitas Muhammad bin Su’ud di Riyadh 15/7/1404 H.
[20] Lihat al-jami’ li Akhlaqi Rowi wa Adabis Sami’ No. 407 oleh al-Khothib al-Baghdadi rahimahullah.
[21] Al-Muwafaqot 2/348 oleh asy-Syathibi rahimahullah
[22] Alangkah indahnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimi­yyah rahimahullah “Adapun perselisihan dalam masalah hukum maka banyak sekali jumlahnya. Seandainya setiap dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masa­lah harus saling bermusuhan, maka tidak akan ada per­saudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu saja—kedua orang yang paling mulia setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam—mereka berdua berbeda pendapat dalam beberapa masalah, tetapi keduanya tidak menginginkan kecuali ke­baikan.” (Majmu’ Fatawa 5/408)
[23] Liqo’ati Ma’a Syaikhoni 1/81 oleh Dr. Abdulloh ath-Thoyyar

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers