Pertanyaan :
Assalamualaikum..saya merupakan seorang isteri kedua. Suami saya tidak pernah memberikan nafkah kepada isteri pertama walaupun telah diperintahkan mahkamah syariah untuk melakukannya. selama hayat isteri pertama saya yang menanggung nafkah yaitu sebanyak RM1,500 nafkah bulanan +RM1,500.00 nafkah tunggakan setiap bulan sehingga beliau wafat. Sekarang suami saya telah menjual rumah beliau , bolehkah saya meminta wang nafkah yg sepatutnya dibayar suami saya kepada isteri pertama beliau dari hasil penjualan rumah beliau..?wassalam
Dari: Devi M.T (Malaysia)
Jawaban:

Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Sering kami tegaskan bahwa suami memiliki tanggung jawab utama dalam keluarga, menanggung nafkah istri dan anaknya. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan tanggung jawab ini, diantaranya,
Firman Allah,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Lelaki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian manusia (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan mereka memberi nafkan dengan hartanya ….” (Q.S. An-Nisa’:34)
Allah juga berfirman,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Merupakan kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar ….” (Q.S. Al-Baqarah:233)
Dalam hadis dari Muawiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Ya Rasulullah, apa hak istri yang menjadi tanggung jawab kami?’
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah.” (HR. Ahmad 20013, Abu Daud no. 2142, Ibnu Majah 1850, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Anda bisa simak penjelasan al-Khithabi tentang hadis ini, di bawah ini.
Selama anda masih berstatus sebagai suami, ke manapun anda akan mengantongi tanggung jawab dan kewajiban ini. Sampai terjadi perpisahan, karena cerai atau kematian, atau karena anak-anak sudah dewasa.

Suami Tidak Memberi Nafkah itu Dosa

Kepada para suami,
Sekalipun anda harus pergi meninggalkan keluarga untuk ibadah, kewajiban memberi nafkah tidak pernah gugur. Bahkan jika anda membiarkan mereka secara sengaja tanpa nafkah, anda dianggap telah melakukan dosa.
Wahb bin Jabir menceritakan, bahwa mantan budak Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu pernah pamit kepadanya, “Saya ingin beribadah penuh sebulan ini di Baitul Maqdis.”
Sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, langsung bertanya kepada beliau, “Apakah engkau meninggalkan nafkah untuk keluargamu yang cukup untuk makan bagi mereka selama bulan ini?”
“Belum.” Jawab orang itu.
“kembalilah kepada keluargamu, dan tinggalkan nafkah yang cukup untuk mereka, karena saya mendengar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يقوت
“Seseorang dianggap melakukan dosa, jika dia menyia-nyiakan orang yang orang yang wajib dia nafkahi.” (HR. Ahmad 6842, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Dalam riwayat lain dinyatakan,
إِنَّ الله سائل كل راع عما استرعاه: أحفظ أَمْ ضَيَّعَ، حَتَّى يَسْأَلَ الرَّجُلَ عَنْ أَهْلِ بيته
Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah dia jaga ataukah dia sia-siakan. Hingga seorang suami akan ditanya tentang keluarganya. (HR. Ibnu Hibban 4493 dan dihasankan oleh al-Albani).

Nafkah adalah Utang

Kepada para suami, pemimpin rumah tangga.
Anda jangan merasa tenang, ketika anda tidak lagi ditagih dan tidak lagi dikejar untuk memberikan nafkah. Karena kewajiban nafkah ini adalah kewajiban syariat. Hukum yang selalu mengikat di dunia dan di akhirat.
Karena itu, jika saat ini anda merasa bebas tidak memberikan nafkah kepada keluarga, anda perlu ingat, bahwa ini tidak selesai dan berakhir di dunia. Masalah ini akan berlanjut di akhirat.
Karena nafkah yang tertunda adalah utang, dan anda harus melunasinya.
Imam al-Khithabi (w. 388 H), seorang ulama ahli hadid dan ahli bahasa bermadzhab Syafiiyah, beliau menjelaskan hadis dari Muawiyah bin Haidah tentang tugas-tugas suami,
في هذا إيجاب النفقة والكسوة لها ، وهو على قدر وسع الزوج ، وإذا جعله النبي ( صلى الله عليه وسلم ) حقا لها ، فهو لازم حضر ، أو غاب ، فإن لم يجد في وقته ، كان دينا عليه كسائر الحقوق الواجبة ، سواء فرض لها القاضي عليه أيام غيبته ، أو لم يفرض.
Dalam hadis ini terdapat pelajaran tentang kewajiban memberi nafkah dan pakaian untuk istri. Besarnya nafkah itu, sesuai dengan kemampuan suami. Jika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikannya sebagai hak istri, maka nafkah itu menjadi wajib ditunaikan, baik dia di rumah atau tidak di rumah. Jika saat ini belum ada, maka itu menjadi utang baginya sebagaimana kewajiban yang terkait hak manusia lainnya. Baik diputuskan oleh hakim ketika dia tidak ada, atau tidak diputuskan hakim.”
Keterangan al-Khitabi ini dinukil oleh al-Baghawi – ulama syafiiyah – (w. 516) dalam Syarh as-Sunnah di bab Hak dan Kewajiban Suami Istri, jilid 9, hlm. 160.

Itsar yang Luar Bisa

Itsar: mendahulukan orang lain, dari pada diri sendiri.
Sikap anda dengan memberikan nafkah kepada istri pertama sangat luar biasa. Tidak semua wanita mampu melakukannya. Semoga Allah memberikan balasan terbaik bagi anda.
Karena sejatinya ini kewajiban suami, anda berhak untuk meminta ganti dari suami.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers