Penyematan kata “Wahhâbi” telah membentuk pencitraan negatif, bila tidak bisa disebut sebagai celaan. Asumsi dari penyematan ini, bahwa “seakan” semua orang yang berbeda dengan lapisan masyarakat tertentu dalam masalah agama, baik ilmu, amal maupun keyakinan mendapatkan julukan ini. Bahkan sebagian orang ada yang tidak peduli, apakah perbedaan itu didasari dalil-dalil atau tidak? Anggapan mereka “setiap yang berbeda” berarti Wahhâbi.
Wahhâbi dalam versi orang-orang yang tak paham ini adalah gelar yang disematkan kepada para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul-Wahhâb –rahimahullâh–, padahal beliau –rahimahullâh– tidak pernah mendeklarasikan penamaan itu. Nama itu disematkan oleh orang-orang yang tidak suka dengan dakwah beliau, sepertinya ada tujuan yang kurang baik, sebab jika tujuannya menisbatkan apa yang beliau ajarkan kepada beliau, mestinya dinisbahkan kenama beliau, bukan Wahhâbi.

Berbagai tuduhan diarahkan kepada beliau –rahimahullâh–. Misalnya, beliau –rahimahullâh– dituduh tidak memiliki guru, tidak mencintai Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan ahlul bait, tidak mencintai orang-orang shâlih. Bahkan ada yang menggambarkan Syaikh Muhammad bin Abdul-Wahhâb –rahimahullâh– sebagai pribadi yang haus darah, mudah mengkafirkan kaum Muslimin yang tidak sependapat dengan beliau –rahimahullâh–. Dan yang lebih menyeramkan lagi, ada yang mengaitkan beliau –rahimahullâh– dengan dajjal, hanya dikarenakan tempat kelahiran beliau yang dianggap sama dengan tempat kemunculan dajjal. Orang yang mengikuti dakwah beliau –rahimahullâh– juga mengalami hal yang tidak jauh beda dengan beliau –rahimahullâh–.
Di antara alasan penolakan para penentang dakwahnya adalah karena mereka menganggap Syaikh Muhammad bin Abdul-Wahhâb –rahimahullâh– tidak mencintai Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan ahlul bait. Apakah tuduhan ini benar? Berbicara tentang cinta, itu adalah urusan hati yang keberadaan dan kadarnya tidak bisa diketahui orang lain. Hanya Allâh Ta'âla dan kemudian si pelakunya yang mengetahui. Adapun orang lain, dia akan mengetahuimya setelah diberi tahu atau melihat indikasi yang nampak dari si pelaku dalam menunjukkan kecintaannya itu. Indikasi mencintai Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam adalah mengikuti ajaran Beliau.
Allâh Ta'âla berfirman, yang artinya: Katakanlah (wahai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” -QS Ali Imrân/3 ayat 31- dan demikian itu juga yang dilakukan para Sahabat dalam membuktikan cinta mereka kepada beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Abdullâh Ibnu Umar –radhiyallâhu 'anhuma– misalnya, beliau terus berusaha mengikuti semua tindakan yang pernah dilakukan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, baik saat berada di Madinah maupun ketika beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam perjalanan. Semestinya indikasi ini menjadi perhatian kita untuk mengukur kadar dan bukti kecintaan tersebut; ada cinta dalam hati ataukah tidak? Ataukah hanya sekedar pengakuan kosong? Dan ternyata fakta di lapangan, para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul-Wahhâb –rahimahullâh– sangat antusias menjalankan Sunnah meski ditentang banyak orang. Fakta ini, mestinya mendorong kita untuk husnuzhan dan tidak mencurigai mereka, apalagi menuduhnya dengan tuduhan keji.
Permasalahan penting lain yang dituduhkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul-Wahhâb –rahimahullâh– dan para penyambut dakwahnya yaitu mudah menjatuhkan vonis kafir kepada kaum Muslimin. Tuduhan ini tentu perlu pembuktian, karena ini merupakan permasalahan berat dan penting. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam menjelaskan:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا
Jika ada seseorang yang mengatakan kepada saudaranya “wahai orang kafir” maka ucapan itu akan kembali kepada salah satunya.(HR al-Bukhâri)
Jika anggapan itu sesuai dengan kenyataan, maka yang mengatakannya selamat. Sebaliknya, jika anggapan itu tidak sesuai, maka yang mengatakannya akan menanggung akibat yang sangat buruk. Sedangkan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb –rahimahullâh–, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul-Lathîf bin Abdirrahmân Âlu Syaikh, termasuk orang yang paling menjaga dan menahan diri dalam menjatuhkan vonis kafir, bahkan beliau –rahimahullâh– tidak berani memastikan kafirnya orang yang berdoa kepada selain Allâh Ta'âla karena jahil, (misalnya berdoa kepada, Red.) penghuni kubur atau lainnya, jika tidak ada orang yang mengingatkannya. Begitu pula dengan Pemerintah Arab Saudi yang meneruskan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb –rahimahullâh– ternyata tidak mengkafirkan para jama’ah haji yang berjuta-juta, bahkan justru terus meningkatkan pelayanan kepada para jama’ah haji ini. Dan masih banyak lagi tuduhan yang diarahkan, namun tidak sejalan dengan fakta.
Semoga Allâh Ta'âla membuka hati kita dan kaum Muslimin untuk senantiasa menerima kebenaran, meskipun berbeda dengan kebiasaan kita.

(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers