Seorang dokter spesialis jantung di Surabaya mendapatkan komplain dari pasiennya. “Pak dokter ini gimana sih! Obat yang rutin pak dokter suntikkan kepada saya itu ‘kan terbuat dari babi,” si pasien mengungkapkan kegusarannya. “Darimana bapak mengetahuinya? Pak dokter balik bertanya. “Ini saya lihat di keterangan kandungan obat. Jelas disitu dicantumkan berasal dari babi,” si pasien menunjukkan kemasan obat yang telah dipergunakan.

Pasien penderita penyakit jantung itu telah lama dirawat dan menjalani terapi injeksi heparin, sebuah obat anti penggumpalan darah yang berfungsi mencegah terjadinya stroke. Dokter yang juga muslim, bahkan anak salah satu Ulama besar di Jawa Timur itupun kaget. Selama ini ia tidak menyadari kalau obat yang diberikan kepada pasiennya itu berasal dari babi.
“Kalau saya tahu dari babi, tentu saya akan menolaknya sejak awal, dan akan berusaha mencari alternatifnya. ‘Kan jelas, babi itu tersentuh saja termasuk najis yang berat. Ini malah dimasukkan secara sengaja ke dalam tubuh saya. Jadi gak karu-karuan rasanya!” pasien itu menandaskan keresahan dan kegeramannya.
Walau terjadi di Jawa Timur, peristiwa yang sama tidak menutup kemungkinan juga terjadi di kota lainnya. Misalnya pasien yang harus disuntik insulin ataupun pasien yang mengalami cangkok organ tubuh. Bisa saja obat-obatan tersebut berasal dari babi. Sayangnya infomasi ini tidak pernah disampaikan kepada pasien. Bahkan dokter sendiri masih banyak yang tidak tahu informasi ini.
Memang dalam kondisi tertentu penggunaan obat dari babi ini masih diperdebatkan. Tetapi alangkah indahnya jika pasien pun mendapatkan hak atas informasi tersebut. Keputusan selanjutnya terserah kepada pasien dan keluarganya, apakah mau menggunakan obat tersebut atau tidak.
Istri salah seorang pejabat tinggi di tanah air ini juga pernah mengalami kejadian serupa. Ia harus menjalani operasi katup jantung. Kepadanya diberikan alternatif, apakah akan menggunakan katup jantung dari babi ataukah dari metal. Katup yang berasal dari babi sebenarnya lebih aman dan resiko penolakannya lebih kecil. Namun dengan informasi ini sang pasien lebih memilih yang berasal dari metal. Itulah pilihan berdasarkan keyakinannya, dengan segala resiko yang harus ditanggung. Memang akan jauh lebih adil jika pasien diberikan informasi dan kebebasan memilih, bukan seperti yang terjadi pada kasus pertama.
Bahan Haram
Pada kenyataannya obat-obatan yang beredar memang bepeluang mengandung bahan haram atau najis. Sebut saja contoh Insulin yang bisa berasal dari bahan babi. Selain itu ada Lovenox, obat injeksi untuk anti penggumpalan darah yang menggunakan bahan yang berasal dari babi. Ada pula Cereblyosin yang dibuat dengan bahan dari otak babi. Itu baru satu-dua kasus obat dengan bahan yang berasal atau mengandung unsur dari babi yang diharamkan dalam Islam.
Selain itu, ada beberapa vaksin yang media tumbuhnya berasal dari ginjal kera, juga terkontaminasi dengan enzim tripsin dari babi, seperti vaksin polio, hepatitis, dll. Bagaikan fenomena gunung es, agaknya masih banyak lagi obat-obatan yang menggunakan bahan atau diproses dengan bahan yang mengandung atau tercemar oleh unsur babi. Dan malangnya lagi, banyak dokter, kalangan medis dan farmasi yang tidak menyadari tentang hal yang sangat krusial ini.
Dr. Anna P. Roswiem, wakil direktur LPPOM MUI lebih lanjut menjelaskan, dalam proses pembuatan obat (produk farmasi) sering ditambahkan bahan lain selain bahan aktif obat itu sendiri, yang dikenal dengan nama farmaseutik (bahan pembantu eksipien). Seperti bahan pengemulsi, pensuspensi, pewarna, perasa, mikro enkapsulasi, pelarut, pemanis, pengawet, anti-oksidan, dll. Bahan parmaseutik dalam pembuatan tablet misalnya, adalah magnesium stearat (garam asam lemak), monogliserida (bahan turunan lemak atau minyak), yang mungkin berasal dari lemak atau minyak hewan. Begitu pula vaksin ada yang menggunakan media penumbuhnya berupa ginjal kera dan bahan yang terkontaminasi enzim babi.
Bahkan, menurut Prof. Dr. H. Jurnalis Uddin, PAK dari Universitas YARSI, ada vaksin yang dibuat dengan bahan berasal dari embrio hewan atau manusia, seperti Hepatitis A dan Smallpox. “Maka perlu kajian yang lebih mendalam, apakah hewan itu termasuk yang halal untuk dikonsumsi atau diharamkan, seperti babi itu tadi! Dan walaupun berasal dari hewan yang halal, masih perlu diteliti pula bagaimana proses penyembelihannya? Apakah sesuai dengan syariah atau tidak?”
Dr. Anna yang juga pengajar Biokimia IPB itu menambahkan, “Sedangkan obat didalam kapsul, dimana cangkang kapsul terbuat dari gelatin dan gliserol, perlu kajian yang lebih mendalam tentang kehalalan gliserol itu sendiri yang merupakan hasil hidrolosis lemak atau minyak, selain itu juga kehalalan gelatin yang berpeluang berasal dari tulang atau kulit babi. Meskipun belakangan juga sudah ada produsen yang membuat gelatin dari tulang sapi atau ikan.”
Dari data-data yang dikemukakan, dapat disimpulkan sebagaimana yang disebutkan Prof. Dr. Sugijanto, Apt.M.S., Dosen Fk. Farmasi UNAIR, Surabaya, “Banyak sediaan farmasi yang masih diragukn kehalalannya. Karena bisa berasal dari bahan yang telah jelas haramnya, atau bisa juga diduga mengandung atau terkontaminasi dengan bahan yang haram.”
Pakar farmasi sekaligus pimpinan LPPOM MUI Jawa Timur ini lebih lanjut menjelaskan, bahan aktif obat dan bahan farmaseutik itu banyak yang dibuat dari ekstrak hewan, bahkan tak sedikit pula yang berasal dari ekstrak bagian tubuh manusia, selain yang dibuat secara sintetis dan semi-sintetis kimia serta dari bahan tambang (mineral).
Dengan demikian untuk dua kategori yang disebutkan pertama diatas, status kehalalannya untuk dikonsumsi oleh masyarakat muslim tentu sangat diragukan, kalau tak hendak dikatakan lebih cenderung kepada haram dan terlarang. Karena yang terbuat dari ekstrak, tidak diketahui apakah berasal dari hewan babi, atau kera yang dilarang agama, ataukah dari hewan yang halal dikonsumsi oleh umat Islam. Kalaupun dari hewan yang halal, harus pula diketahui terlebih dahulu bagaimana proses penyembelihannya, apakah sesuai dengan kaidah syariah atau tidak. Sedangkan untuk obat yang berasal dari ektrak bagian tubuh manusia, para ulama telah bersepakat mengharamkannya, demikian tokoh cendekiawan Muslim Jawa Timur ini menjelaskan secara lebih rinci.
Malangnya lagi, banyak dokter yang merekomendasikan penggunaan obat-obatan yang tidak jelas status kehalalannya itu, walaupun sebagian besar dokter itu juga beragama Islam. Karena mereka tidak mengetahui kandungan bahan yang dipergunakan dalam produksi obat dimaksud. Bahkan ditandaskan oleh Prof. Jurnalis Uddin, yang telah lama menggeluti dunia kedokteran di perguruan tinggi, “Lebih dari 90% dokter tidak mengetahui status kehalalan obat yang diberikan kepada pasien-pasiennya.” Suatu kondisi yang jelas sangat menyedihkan bagi masyarakat muslim yang mayoritas di negeri ini. Itulah yang dialami oleh dokter jantung di Surabaya tadi.
“Ini adalah PR buat kita semua, khususnya bagi kalangan medis dan ahli  farmasi,” demikian lanjut Prof. Jurnalis Udin. Bagaimana umat Islam bisa menemukan alternatif pembuatan obat dan vaksin yang terjamin kehalalannya. Minimal untuk jangka pendek ini, bagaimana para dokter bisa mendapatkan pelatihan mengenai halal dan haram, sehingga bisa menggunakan informasi itu dalam memberikan obat kepada pasien-pasiennya. (hendra-Jurnal Halal)
Sumber: www.halalmui.org

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers