Oleh
Ustadz Abu Minhal
http://almanhaj.or.id/content/3069/slash/0

Penyelewengan Terhadap Ayat

يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ

(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat
dengan pemimpinnya..[al-Isra : 71]

PENYELEWENGAN MAKNA AYAT
Sebagian kelompok, dengan sengaja melakukan penafsiran yang dipaksakan
atas ayat tersebut, berkaitan dengan penyebutan kata "imam". Mereka
melakukan penyelewengan terhadap makna ayat. Ini dilakukan untuk
mendukung kepentingan golongan atau kelompoknya supaya bisa tetap
eksis, dan para tokohnya teropini sebagai sosok yang hebat, lantaran
akan dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala saat hari Kiamat kelak.
Para pengikutnya pun dibuat tercengang dengan tafsiran tersebut.


Di antara golongan yang "memanfaatkan" ayat ini ialah Islam Jama'ah,
yang kini bernama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Kelompok yang
sudah berulang kali berganti nama ini memelintir kandungan ayat di
atas. Mereka memberi penafsiran, yang isinya diarahkan kepada pemimpin
LDII, yaitu Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol). Berdasarkan
penuturannya dalam "tafsir manqul" miliknya, ia berkata: "Pada hari
kami panggil setiap manusia dengan imam mereka, sehingga yang tidak
punya amir, maka akan masuk neraka". Penyebutan kata "imam" yang
dimaksud oleh LDII ialah amir mereka, yaitu Nur Hasan. Keterangan ini
dituturkan oleh mantan tokoh besar LDII yang telah sadar, yaitu Ustadz
Hâsyim Rifâ'i yang pernah berguru selama 17 tahun kepada Nur Hasan
'Ubaidah Lubis, pendiri LDII.[1]

Kalangan lainnya, yaitu Sufi, juga berkepentingan memegangi ayat ini
untuk mempropagandakan thariqat-thariqat yang sebenarnya tidak pernah
dicetuskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kalangan Sufi
menggiring jamaah-jamaahnya untuk taat kepada para syuyûkh (guru)
penggagasnya secara mutlak. Padahal dari ayat tersebut tidak ada
muatan sedikit pun yang bisa mendukung klaim mereka. Hal ini akan
menjadi jelas dari dua sisi.[2]

Pertama : Para ulama besar dari kalangan ahli tafsir tidak ada satu
pun dari mereka yang memaknai kata "imam" dengan makna "syaikh-syaikh
tarikat". Orang-orang yang ahli dalam bidang tafsir pada masa lalu,
seperti Ibnu 'Abbâs, al-Hasan al-Bashri, Mujâhid, Qatâdah,
adh-Dhahhâk, mereka memberi penafsiran kata "imam" dengan makna kitab
yang berisi amalan-amalan. Demikian pula Imam al-Qurthubi rahimahullah
dan Imam Ibnu Katsir rahimahullah merajihkan pengertian ini dengan
merujuk firman Allah pada surat Yâsîn/36 ayat 12.

Menurut al-Qâsimi rahimahullah, yang dirajihkan oleh Ibnu Katsir
rahimahullah itulah pendapat yang benar. Karena Al-Qur`ân menjelaskan
sebagian ayatnya dengan sebagian lainnya. Dan yang pertama kali perlu
diperhatikan dalam memahami makna-makna ayat-ayat Al-Qur`ân, yaitu
dengan mengacu pada ayat-ayat yang semakna.

Kedua : Seandainya yang dimaksud dengan "imam" adalah syaikh thariqah
–sebagaimana klaim kalangan Sufi–, maka pernyataan ini tidak bisa
dijadikan dalil untuk menunjukkan tingginya kedudukan syaikh atau
keharusan untuk memuliakannya. Sebab, panggilan dengan namanya tidak
mesti menunjukkan keutamaan diri seseorang.

Imam ath-Thabari rahimahullah sendiri merajihkan pengertian "imam"
tersebut, ialah orang-orang yang diikuti dan menjadi panutan di dunia.

Seperti sudah diketahui, sejumlah orang mudah mengekor setiap penyeru
dan menyambut setiap ajakan. Tidak aneh jika mereka menyambut para
tokoh kesesatan pula. Karena itu, diriwayatkan dari sejumlah ulama
tafsir dari Ibnu 'Abbas, berkata tentang tafsir kata "imam mereka"
dalam ayat, yaitu "imam dalam hidayah dan imam dalam kesesatan".[3]

Keterangan ini juga telah disinggung oleh Ibnu Katsir. Kata beliau:
"Mungkin saja pengertian dari "imam mereka", maksudnya ialah setiap
kaum (dipanggil) dengan orang yang mereka ikuti. Orang-orang beriman
akan mengikuti para nabi, dan orang-orang kafir akan mengikuti para
tokoh mereka. Allah telah berfirman, yang artinya: Dan Kami jadikan
mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka ….
(al-Qashash/28:41).

Mujahid berkata,"Imam, ialah orang yang diikuti. Maka nanti akan
dipanggil, datangkanlah para pengikut Nabi Ibrahim, datangkanlah para
pengikut Musa, datangkanlah para pengikut setan, datangkanlah para
pengikut berhala-berhala. Orang-orang yang berada di atas al haq, akan
mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kanan. Dan para penganut
kebatilan akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kiri".

Apabila telah jelas bahwa "imam" itu bisa bermakna panutan dalam
hidayah atau panutan dalam kesesatan; bisa juga seorang nabi, setan
yang terkutuk, maupun berhala dan para pemuja (penganut)nya akan
dihimpun di bawah panji sang panutan, baik ia panutan dalam kebaikan
maupun dalam kejelekan, jika telah jelas hakikat ini; maka status
seorang syaikh thariqat sebagai imam bagi para jamaahnya, tidak
otomatis mengindikasikan keutamaannya. Bahkan tetap saja, penilaian
terhadap diri syaikh thariqat ini tergantung kepada amalan-amalan,
ucapan-ucapan dan ajaran-ajarannya yang ditimbang dengan ajaran
Rasulullah, sehingga ia pun menjadi panutan dalam hidayah jika
bertumpu pada ajaran-ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebaliknya, bisa jadi ia menjadi panutan dalam kesesatan seiring
dengan penyelewengannya dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Seandainya yang
menjadi "imam" mereka al-Kitab dan as Sunnah, niscaya mereka tidak
membutuhkan penerapan berbagai ibadah yang tidak pernah diajarkan
dalam al-Kitab dan as-Sunnah

DI ANTARA KLAIM PALSU KALANGAN SUFI[4]
Seorang penganut thariqat Tijâniyyah yang bernama al-Fûti, ia
mengatakan kepada jamaahnya, bahwa thariqat mereka merupakan thariqat
terbaik dan akan menjadi maraji` (rujukan) bagi semua wali Allah.

Al-Fûti berkata: "Pada hari Allah memanggil manusia dengan nama syaikh
mereka dan memanggil mereka untuk mendekati syaikh mereka di atas
kedudukannya … kalau para jamaah dipanggil dengan nama-nama syaikh
(thariqah) mereka dan Allah memanggil para ahli thariqat untuk menuju
tempat syaikh mereka dan menempatkannya pada derajat syaikh, maka
menjadi jelas dengan sedikit pencermatan saja, bahwa para penganut
penutup para wali (Ahmad at-Tijani) yang bergantung kepadanya, selalu
konsisten dengan wirid-wirid dan dzikir-dzikirnya, sehingga tidak ada
orang lain yang mampu menyamai derajat mereka, kendatipun mereka itu
ahli ma'rifah, shiddiqîn dan para aghwâts, selain para sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sini, kalangan awam
tarikat Tijaniyyah lebih afdhol daripada yang lainnya". Lihat
ar-Rimâh, 2/29.

Al-Fûti kian menampakkan rasa percaya diri terhadap kehebatan
thariqatnya, dengan perkataannya: "Sungguh, seluruh wali akan memasuki
kelompok kita, akan mengambil wirid-wirid kita, dan konsisten dengan
thariqat kita, (wali-wali Allah) dari zaman pertama kali muncul
kehidupan sampai hari Kiamat. Bahkan bila Imam Mahdi telah bangkit di
akhir zaman, ia akan mengambil (ajaran) dari kita dan masuk kelompok
kita". Lihat ar-Rimâh, 2/29.

Sanggahan : Perhatikanlah, sejauh mana kebenaran klaim di atas.
Bagaimana mungkin seluruh wali Allah (yang sebenarnya) sejak pertama
muncul kehidupan akan bergabung dengan thariqat Tijâniyyah?

Ini sebuah klaim yang membutuhkan burhân (petunjuk) dan dalil yang
kuat. Bagaimana mungkin orang-orang yang telah meninggal sebelum Ahmad
at-Tijâni dilahirkan itu bergabung dengan thariqatnya? Sungguh suatu
anggapan aneh yang sangat nyata.

Di bagian lain al-Fûti mengomentari orang-orang yang berada di luar
thariqatnya. Dia berkata: "Adapun orang-orang yang masih berada dalam
kegelapan, kebodohan, kesesatan dan kezhaliman (maksudnya, orang-orang
yang belum mengikuti Tijâniyyah), tidak ada penghalang bagi mereka
untuk bersandar dengan syaikh kami Ahmad at-Tijâni, padahal telah
begitu nampak kemuliaan dan keutamaan thariqatnya, serta keistimewaan
para pengikutnya; seperti terangnya sinar matahari siang hari di musim
panas, kecuali mereka akan tercampakkan dari rahmat Allah Ta'ala,
terhambat dari kebaikan, mendapat laknat, kecelakaan dan kerugian".
Lihat ar-Rimâh, 2/44.

Seorang dai Tijâni bernama Ibrahîm Nayyâs, ia berkata: "Berdasarkan
sebagian pengertian yang dikandung oleh ayat-ayat ini, engkau bisa
mengetahui bahwa orang yang memperoleh taufik dari Allah untuk
bergabung dengan thariqat kami, niscaya kebahagiaannya di dunia dan
akhirat sempurna, dan ia termasuk orang yang dicintai dan diterima di
sisi Allah, walau bagaimanapun kondisinya". Lihat as-Sirrul-Akbar
wan-Nûrul-Abhar, hlm. 416).

Begitu pula salah seorang dari kalangan thariqat Rifâ'iyyah. Setelah
menunjukkan kemampuan syaikhnya yang luar biasa, seperti menempuh
jarak sejauh perjalanan 100 tahun hanya dengan satu langkah saja,
mengetahui bahasa-bahasa burung, dan lain-lain, ia berkata:
"Pegangilah ujung-ujung pakaiannya. Jadilah engkau orang yang duduk di
majlisnya. Jangan sekali-kali menjauh dari kehidupannya dan mintalah
syafaat dengan namanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sungguh
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menolak permohonan syafaatmu
melalui namanya. Karena ia termasuk ahli bait yang mulia. Sungguh
orang-orang besar, tokoh-tokoh …, mereka semua telah mengetahui bahwa
tarikatnya merupakan jalan keselamatan dan keamanan. Kecintaan
terhadapnya termasuk faktor paling efektif untuk mendekatkan diri
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka mengharuskan diri dan
keluarga mereka untuk berpegang dengan janjinya, dan komitmen dengan
thariqatnya" Lihat ar-Rimâh, 2/25, 1/349-350.

Oleh karena itu, setiap kaum Muslimin harus waspada. Jalan selamat
dalam beragama ialah dengan mengikuti pemahaman generasi Salaf, yaitu
jalan yang penuh hikmah dan berdasarkan ilmu.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers